Minggu, 19 Oktober 2008

Saatnya Menjual Kemasan

PEREKONOMIAN masyarakat petani kita (Banyuwangi dan Situbondo) memang sangat rentan. Ada guncangan sedikit saja, kehidupan mereka langsung limbung. Bukan hanya problem teknis seperti hama, pupuk dan masalah klasik pemasaran hasil pertanian-peternakan. Riak-riak persoalan sporadis saja, ternyata juga mampu menggoyang perekonomian mereka.
Sebut saja yang terjadi di Dusun Bataan, Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan, Situbondo Rabu (2/4) kemarin. Wabah penyakit menyerang puluhan kambing milik warga setempat. Dalam tempo sebulan, sedikitnya 28 ekor kambing mati mendadak akibat penyakit tersebut. Kambing langsung mati dalam tempo dua hari setelah menderita penyakit tersebut. Gejalanya ditandai dengan mencret dan demam tinggi. Ada juga yang mengeluarkan ingus dari hidung dan mulutnya.
Penyakit ini cukup mengguncang perekonomian peternak di desa itu. Sebab, kambing-kambing itu merupakan aset warga. Ternak tersebut sudah dianggap sebagai ‘aktiva tetap’ dalam ‘badan usaha’ keluarga petani di sana. Begitu kambing mati, pailitlah ekonomi ‘perusahaan’ keluarga petani itu.
Untuk menghindari ‘kiamat kecil’ seperti itu, sudah selayaknya petani kita meninggalkan pola manajemen tradisional. Mereka harus mampu meninggalkan pola lama. Membesarkan ternak dari kecil, kurus lalu gemuk dan dijual. Hasilnya dibelikan lagi ternak kecil untuk dibesarkan, diperbanyak dan demikian seterusnya. Sisanya (laba) untuk menunjang dan memenuhi hidup sehari-hari. Sampai kapan harus seperti itu?
Cobalah kita meniru para petani negara tetangga yang sudah maju. Mereka sudah beberapa langkah lebih maju. Sama-sama menjual sayur, buah, telur, susu, daging dan sebagainya. Tetapi mereka punya menajemen serta pencatatan rapi, riset yang berkembang dan yang tidak kalah penting adalah menjual dengan kemasan yang bagus pula.
Kemasan tidak berarti dan tidak selalu identik bungkus. Sebut saja para petani di Thailand yang punya naluri mencari pasar jitu untuk buah-buahan. Untuk warga Asia, mereka mengembangkan durian dengan aroma wangi yang kuat. Sedangkan untuk pangsa Eropa, mereka mampu mengembangkan varietas durian unggul tanpa bau. Kalau mereka bisa seperti itu, kenapa tidak kita mulai juga di sini. Bisa saja, kita bikin makanan formula rujak soto instan, kelapa kopyor berbentuk tablet mirip suplemen dan seterusnya. Apalagi, Indonesia sangat kaya kuliner khas yang bisa mendunia. Ayo, siapa mau mencoba? (*)

Tidak ada komentar: