Minggu, 19 Oktober 2008

Pilih Favorit atau Bermutu?

HASIL Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UAS-BN) tingkat sekolah dasar tahun ini sangat berarti bagi perkembangan pendidikan di Bumi Blambangan. Nilai tertinggi UAS BN ternyata didominasi siswa sekolah ‘ndeso’.
Lima besar nilai tertinggi UAS BN diraih siswa sekolah di kecamatan yang jauh dari ibukota kabupetan. Ada Frizal dari SDN 1 Jajag, Kecamatan Gambiran dengan nilai 29,30. Berikutnya ada Alwi Sina dari SDN 1 Tegalsari, Kecamatan Tegalsari dengan nilai 29,25. Peringkat tiga diraih Aji Sapta, siswa SDN 1 Cluring Kecamatan Cluring dengan nilai 29,10. Peringkat empat dan lima diraih siswa SDN 1 Temuasri, Kecamatan Sempu.
Hasil UAS BN tersebut menunjukkan bahwa sekolah di daerah ternyata bisa menghasilkan siswa berprestasi. Faktanya memang demikian. Meski begitu, sekolah yang mampu menghasilkan output bermutu, belum tentu otomatis langsung jadi sekolah favorit di mata masyarakat.
Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dinas pendidikan saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Pada perkembangan selanjutnya, muncul adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.
Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang disebut sekolah bermutu. Nah, sekarang kembali pada kita semua, pilih yang bermutu atau pilih bermerk favorit. (*)

Tidak ada komentar: