Senin, 15 Desember 2008

Mengawal Muatan Pelabuhan

DEMI keselamatan dalam pelayaran, Menteri Perhubungan mengeluarkan surat Keputusan nomor 28 tahun 2008. SK yang berlaku pada 15 Desember 2008 besok tersebut, mengatur tentang muatan angkutan barang yang akan berlayar naik feri penyeberangan.
PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Ketapang langsung bertindak cepat. Sesuai SK menhub, ASDP langsung membatasi muatan barang yang akan naik feri menyeberang ke Bali. Setiap kendaraan diberi jatah maksimal muatan 30 ton. Jika melanggar ketentuan, ASDP akan bertindak tegas dengan mengusir kendaraan tersebut keluar kawasan pelabuhan mulai Senin besok (15/12).
Kacab PT ASDP Ketapang, Carda Damanik mengakui, selama ini muatan kendaraan yang menyeberang masih banyak yang melebihi 30 ton. Namun karena tak punya payung hukum, ASDP belum bisa mengambil tindakan tegas.
Kendaraan muatannya melebihi batas ketentuan, kosekuensinya harus meninggalkan area pelabuhan penyeberangan. Kendaraan itu bisa masuk lagi ke pelabuhan, asalkan sudah mengurangi muatannya sesuai ketentuan yang berlaku. Meski begitu, kendaraan dilarang membongkar muatannya itu di dalam area pelabuhan.
Peraturan baru itu memang diciptakan untuk tujuan baik. Meski begitu, pemberlakuan aturan tersebut juga harus disertai dengan pengawasan yang baik pula. Sebab bukan tidak mungkin, peraturan yang ketat seperti itu, nantinya justru membuka peluang dan potensi kolusi baru.
Logikanya, perusahaan apa pun tidak mau merugi dalam menjalankan bisnisnya. Tidak terkecuali perusahaan di bidang ekspedisi. Demikian juga halnya dengan awak truk. Mereka bekerja mengharapkan upah untuk menghidupi keluarganya.
Jika selama ini masih banyak praktik kelebihan muatan, tentu awak truk berusaha agar ‘menerobos’ aturan batas muatan 30 ton. Sangat memungkinkan mereka berupaya dengan segala cara. Nah, inilah yang membuka potensi munculnya suap di timbangan pelabuhan. Apalagi selama ini, masyarakat umum tidak bisa memantau timbangan kendaraan. Penunjuk timbangan biasanya hanya dibaca oleh petugas timbangan yang bersangkutan.
Alangkah bijak kalau ASDP mau terbuka dalam masalah pembacaan timbangan kendaraan yang akan menyeberang. Kalau perlu, buat saja papan digital berukuran besar di pelabuhan. Sehingga setiap orang bisa tahu, berapa muatan truk yang sedang ditimbang pada waktu itu. Jika melebihi batas, kalau perlu timbangan langsung mengeluarkan suara alarm keras-keras. Dengan demikian, kerja petugas timbangan bisa selalu dinontrol masyakarat. (*)

PAK dan Banpol

Pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2008 layaknya benang kusut. Cukup rumit dan membingungkan. Bukan saja prosesnya yang rumit dan berliku. Sikap para wakil rakyat juga cukup sulit dimengerti.
Ketika persoalan PAK mengemuka, awalnya banyak fraksi di DPRD yang menolak desakan dari kalangan eksekutif. Yang paling keras menolak pembahasan PAK adalah Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP). Alasannya, Undang-Undang sudah jelas mengatur tentang pembahasan PAK. Bahwa, PAK harus sudah dibahas paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran itu habis. Karena tidak mau menanggung risiko hukum di kemudian hari, akhirnya FPDIP menolak membahas PAK.
Sedangkan Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Demokrat (FD) bersikap lebih lunak. Mereka mau membahas PAK dengan syarat, hanya membahas hal yang dianggap mendesak. Contohnya seperti masalah gaji petugas kebersihan (pasukan kuning) dan anggaran tunjangan guru. Ini karena dua hal itu menyangkut masyarakat banyak. Secara politis, tentu sangat penting dalam ‘mengambil hati’ dua kelompok masyarakat itu.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya panitia musyawarah DPRD memutuskan PAK APBD 2008 tetap diagendakan untuk dibahas. Perkembangan terkini, rangkaian rapat paripurna PAK akhirnya mulai dibahas. Meski banyak wakil rakyat yang absen, rapat paripurna jalan terus. Mereka yang dulu tegas menolak membahas PAK, kini ternyata ikut hadir dalam paripurna itu.
Pada saat hampir bersamaan, hari itu pemkab mencairkan bantuan parpol (Banpol) yang sudah empat bulan tak kunjung cair. Sedangkan fraksi-fraksi di DPRD itu, mereka sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol di lembaga legislatif.
Secara kebetulan pula, ada perubahan sikap wakil rakyat dalam menyikapi pembahasan PAK. Yang dulu tegas menolak, kini malah ikut hadir dalam agenda paripurna yang membahas PAK. Memang, tidak ada korelasi antara perubahan sikap dewan dalam membahas PAK dengan pencairan Banpol. Namun, dua moment yang terjadi hampir bersamaan itu, berpeluang bisa menimbulkan interpretasi tersendiri bagi masyarakat. *

100 Meter dari Pantai

Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) sudah mengucurkan anggaran Rp 800 juta di kawasan Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Dinas Pehubungan Jatim sudah membangun jembatan yang menghubungkan pelabuhan ASDP Ketapang dan Pelabuhan Landing Craft Machine (LCM) Ketapang.
Pelabuhan ASDP Ketapang banyak digunakan untuk jasa penyeberangan orang, sepeda motor, mobil dan bus menuju Bali. Sedangkan pelabuhan LCM Ketapang, berfungsi untuk penyeberangan khusus angkutan barang. Semua jenis truk yang akan ke Bali akan menyeberang lewat pelabuhan LCM.
Dishub Jatim akan merancang suatu pelabuhan terpadu di Ketapang. Pintu masuk ke pelabuhan akan dipusatkan di sisi utara yang saat ini merupakan pelabuhan ASDP. Sedangkan pintu keluar, akan dijadikan satu di sisi selatan (kini merupakan pelabuhan LCM).
Konsep ini memang sudah dirancang untuk lebih memudahkan dan meningkatkan kelancaran pelayanan masyarakat pengguna jasa penyeberangan. Rencana ini cukup sinergi dengan langkah Pemkab Banyuwangi. Dishub Banyuwangi akan menindaklanjuti penyatuan dua pelabuhan tersebut dengan membangun sub terminal untuk angkutan kota. Dengan demikian, penumpang pejalan kaki yang turun dari kapal bisa dengan mudah melanjutkan perjalanannya.
Masalahnya, saat ini terdapat perkampungan warga di antara dua pelabuhan itu. Puluhan kepala keluarga (KK) tinggal di perkampungan yang diapit pelabuhan ASDP dan pelabuhan LCM. Jika penyatuan dua pelabuhan dilakukan, penggusuran puluhan rumah warga kampung itu tak dapat dielakkan.
Penggusuran warga sekampung, sejatinya merupakan satu masalah sosial yang tak bisa dipandang remeh. Problem ini cukup pelik, apalagi melibatkan nasib puluhan KK. Sudah banyak contoh kasus penggusuran rumah (apalagi penggusuran kampung) di kota-kota besar. Hampir semuanya menyisakan masalah. Bahkan tidak sedikit problem penggusuran yang berujung pada bentrokan fisik.
Untuk mengantisipasi hal-hal terburuk, pemprov dan pemkab harus bersikap arif. Semua kemungkinan dampak penggusuran seperti relokasi, ganti rugi, dampak sosial, dan sebagainya harus juga dipikirkan dengan matang. Pembahasan masalah itu idealnya juga melibatkan semua pihak terkait. Sehingga keputusan yang diambil, bisa mengakomodasi kepentingan semua kalangan.
Yang perlu diingat pula, warga kampung yang akan kena gusur juga harus mawas diri. Mereka juga perlu bercermin dan memahami dengan keberadaan mereka di lahan tersebut. Perlu diketahui bahwa lahan 100 meter dari bibir pantai, merupakan milik sah pelabuhan. Kalau pemiliknya menghendaki memakai lahan itu, tentu demi kepentingan yang lebih besar, warga harus juga menyadari hal itu.
Dampak positif dan negatif itu memang selalu ada di mana saja. Namun kalau semua menyadari dan saling memahami, alangkah indahnya dunia ini. Apalagi, jika dampak negatif pembangunan itu akhirnya hanya menempati porsi yang sangat kecil. (*)

Berkah dari Dam Tapen

SITUBONDO bisa dikatakan sebagai daerah tujuan kiriman. Kali ini, warga Kota Santri dapat berkah dari Dam Tapen di Bondowoso.
Ribuan ikan di sepanjang aliran sungai Sampeyan tiba-tiba mabuk. Ikan tersebut teler bukan karena diracun atau kena pengaruh potasium. Kejadian ini, karena di hulu sungai Sampeyan, tepatnya di Dam Tapen, Bondowoso, sedang dilakukan pengurasan lumpur sungai.
Pengerukan lumpur itu biasa dilakukan setiap menjelang musim penghujan. Pengerukan lumpur itu bertujuan untuk melancarkan saluran pembuangan di sungai Sampeyan. Setelah lumpur dikuras, aliran air diharapkan normal dan semakin lancar.
Di sisi lain, pembersihan lumpur itu berdampak pada telernya ribuan ikan di sepanjang sungai Sampeyan. Kondisi ini, justri dimanfaatkan oleh ratusan warga Situbondo. Mereka ramai-ramai turun ke sungai untuk menangkap aneka ikan yang sedang sekarat. Mulai jenis ikan tawes, lele dan wader dan sebagainya. Ikan tiban itu dirasakan sedikit dapat membantu perekonomian warga. Dengan banyaknya tangkapan ikan tiban itu, asap dapur bisa kembali ngebul.
Secara psikologis, kondisi ini juga berdampak positif bagi warga Kota Santri. Mereka menjadi sedikit terhibur dan bisa sedikit melupakan masalah. Ratusan warga bersaing mendapatkan ikan. Mereka bahkan menggunakan bermacam peralatan untuk mencari ikan. Ada juga sampai mempersiapkan ban bekas, untuk peralatan mengapung di atas permukaan sungai agar lebih leluasa mencari ikan. Ini menunjukkan, bahwa tradisi pengurasan Dam Tapen itu bisa jadi momen rekreasi bagi warga Situbondo.
Kalau kita renungi lebih dalam, alam memang punya keseimbangan yang penuh misteri. Dam Tapen sesekali memang memberikan kesenangan bagi warga Situbondo. Kehidupan ribuan petani mungkin juga sangat tergantung dari aliran air Dam tersebut. Entah berapa ribu hektare lahan pertanian yang merasakan manfaat air dari saluran dan dam tersebut.
Tapi perlu juga diingat, apa yang ada di alam punya keseimbangan. Ada baik, ada juga buruk. Barangkali, saat ini sungai Sampeyan berikut Dam Tapen sedang memberikan sesuatu yang manis bagi warga Situbondo. Tapi perlu diingat, Dam Tapen yang punya peran penting bagi Sungai Sampeyan, bisa juga mengirim bencana banjir bandang yang pernah membuat Situbondo porak poranda awal tahun 2008. Apalagi, saat ini sudah masuk musim hujan. Waspadalah warga Kota Santri, jangan lengah! (*)

Mahalnya Rasa Malu

RASA malu itu memang mahal. Banyak orang sudah meraskannya. Demi menutupi rasa malu, seseorang harus rela berkorban banyak. Bisa korban uang, harta benda bahkan kalau perlu jabatan, pekerjaan dan keluarga.
Harga mahal juga harus ditebus oleh Sudiyono. Oknum guru sebuah SMA Negeri di Kota Gandrung itu terpaksa jadi bulan-bulanan, setelah video syur hubungan intim dengan mantan muridnya beredar luas di masyarakat. Warga Banyuwangi bisa menlihat adegan ranjang yang diduga berlangsung di Bali itu melalui layar telepon seluler (ponsel).
Begitu video itu beredar luas, bisa dibayangkan betapa berat beban menanggung rasa malu yang dirasakan Sudiyono. Tak hanya dirinya sebagai oknum pengajar yang merasa tertampar, karena privasi yang dilindunginya, ternyata bisa dilihat banyak orang.
Rasa lebih pedih dan menyakitkan, tentu dirasakan oleh keluarga dan kerabat oknum guru tersebut. Sakali lagi, begitu video syur itu beredar, Sudiyono dan keluarganya seolah sudah merasakan hukuman yang luar biasa beratnya. Ini merupakan ujian yang sangat dan teramat sulit.
Belum tuntas hukuman secara psikologis akibat rasa malu itu, Sudiyono harus berhadapan dengan masalah hukum. Polisi menahannya karena diduga mencabuli mantan muridnya. Memang, setelah video syur itu beredar, seorang korban lapor polisi. Akhirnya, oknum guru itu dijerat pasal Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Penyidik juga menjerat dengan pasal berlapis, yakni subsidair pasal 293 KUHP tentang pencabulan.
Setelah kasus itu menggelinding ke meja hijau, dakwaan primair UUPA nomor 22 tahun 2003 tidak terbukti. Sebab korban yang berinisial DT itu ternyata sudah berusia lebih 18 tahun, saat menjalin hubungan intim dengan oknum guru tersebut.
Meski begitu, jaksa menuntut Sudiyono 18 bulan penjara sesuai dakwaan subsidair pasal 293 KUHP tentang perbuatan cabul. Sidang memang belum berakhir. Palu vonis majelis hakim masih belum diketok. Memang masih ada tahap pleidoi, dan seterusnya. Yang jelas, majelis hakim nantinya pasti akan menjatuhkan vonis. Vonis yang dijatuhkan itu, bisa lebih berat atau bahkan bisa juga lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Semua pihak masih menunggu tiba saatnya jatuhnya putusan tersebut. Tentu saja, Sudiyono juga ikut menunggu keputusan penting itu. Hukuman secara psikis sudah dirasakannya, menanggung rasa malu yang begitu mahal harganya. Kini, hukuman fisik yakni hukuman penjara juga sedang menunggu putusan hakim. Kalau sudah begitu, lengkap sudah penderitaan bapak guru yang satu ini.
Setumpuk hukuman fisik dan psikis itu memang diharap jadi berkah bagi Sudiyono. Dengan kejadian ini, diharapkan ada hikmahnya. Agar dia merenung dan insyaf dengan tobat yang sebenar-benarnya. Termasuk, kasus ini bisa jadi bahan renungan semua guru, semua murid, semua praktisi dunia pendidikan, serta semua warga Bumi Blambangan. Kalau memang tidak mau tobat, satu lagi hukuman yang jauh lebih berat siap menanti. Yakni hukuman di alam akhirat nanti. (*)

Meneladani Pembangunan Masjid Rogojampi

Pengurus Yayasan Masjid Agung Baiturrahman (YMAB) Banyuwangi terus berjuang untuk mendapatkan bantuan dana APBD. Mereka mengikuti dengar pendapat dengan Komisi C DPRD (bidang keuangan), sekaligus mendesak agar bantuan APBD segera dicairkan.
Ketua YMAB Habib Mahdi Hasan meminta DPRD membantu memfasilitasi pencairan anggaran APBD untuk pembangunan MAB. Sebab, bantuan itu sangat dibutuhkan untuk kelancaran pembangunan. Sejumlah panitia pembangunan MAB juga menyampaikan beberapa kesulitan panitia mencari dana untuk mempertahankan kelangsungan proses pembangunan. Tanpa ada bantuan dari APBD, pembangunan masjid tidak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini.
Sementara itu, Asisten Sosial Ekonomi (Sosek) Pemkab, Hadi Sucipto menjelaskan, pencairan bantuan untuk masjid agung tebentur aturan Permendagri 13 tentang bantuan APBD. Bantuan tidak boleh diberikan secara terus menerus. Masjid sudah sekian tahun terus menerus mendapatkan bantuan APBD.
Selain itu, tidak ada anggaran secara khusus untuk masjid agung dalam APBD 2008. Dalam APBD hanya tersedia anggaran untuk bantuan keagamaan. Jadi tidak ada rekening bantuan secara khusus untuk masjid agung tersebut.
Terlepas dari problem yang melilit MAB, ada baiknya kita semua melirik pembangunan Masjid Jamik Baiturrohiem di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Masjid ini juga pernah ‘merasakan’ kucuran bantuan APBD. Tetapi, panitia pembangunan masjid ini tak semata-mata mengandalkan bantuan pemerintah untuk mewujudkan cita-citanya.
Jauh sebelum itu, warga Rogojampi dan sekitarnya sudah bahu-membahu mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Mereka sadar, pembangunan masjid besar Rogojampi itu akan menjadi ikon di wilayahnya. Warga Rogojampi juga sadar, bangunan tersebut akan jadi simbol yang menggambarkan kehidupan mereka. Tak heran, kalau banyak warga non muslim yang secara sukarela ikut membantu pembangunan masjid itu.
Kalau masjid itu akhirnya berdiri megah dan rampung dengan upaya warga, tentu semua akan bangga. Itu bisa menunjukkan kalau warga Rogojampi mampu berbuat. Menunjukkan kalau mereka juga mapan, mereka kompak, mereka rukun, mereka solid dan mereka kuat serta saling melindungi.
Melihat ini, memang tidak adil kalau kita membandingkan pembangunan MAB dengan pembangunan masjid Jamik Rogojampi. Karena, keduanya memang berbeda konteks dalam banyak faktor. Tetapi ada satu hal yang perlu dipetik, tak ada salahnya nilai-nilai yang baik dalam pembangunan masjid Rogojampi itu untuk diteladani. (*)

Bahasa Pengantar dan Literatur

ADA satu hal yang patut diacungi jempol dalam perkembangan dunia pendidikan di Bumi Blambangan. Beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah menyandang (atau mungkin sedang dalam proses menuju) status Sekolah Berstandar Internasional (SBI).
Terkait masalah ini, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Dr Kir Haryana hadir ke Banyuwangi (29/11). Dia memberikan sosialisasi seputar SBI.
Banyak hal menarik yang disampaikan Dirjen tersebut. Dr Kir mengatakan, semua yang terkait dalam SBI sudah diatur dalam peraturan Mendiknas. Mulai masalah kelulusan, kurikulum, cara pembelajaran, tenaga pendidik, pengelola manajemen hinga masalah pembiayaan.
Namun hal yang paling penting dalam menyandang status SBI itu adalah sarana dan prasarana sekolah. Bagaimana agar sarana dan prasara itu membuat siswa nyaman dalam menuntut ilmu. Sekolah juga harus punya kriteria potensial dan mandiri. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan menciptakan situasi kondusif. Sehingga terjalin hubungan dan komunikasi harmonis antara kepala sekolah dan guru.
Ada lagi satu hal yang cukup menggelitik. Dr Kir menyatakan, sekolah berstandar internasional itu, ternyata tidak mewajibkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Alasannya, yang terpenting adalah bagaimana siswa itu bisa mampu dalam hal sains. Menguasai matematika, fisika dan kimia dulu. Baru setelah itu menguasai Bahasa Inggris.
Bagaimana siswa mau mengerti pelajaran, kalau pengantarnya yang menggunakan Bahasa Inggris saja tidak mengerti. Contohnya seperti yang diterapkan sekolah dan kampus di Jepang. Seluruh pengantar pelajaran di Negeri Matahari Terbit menggunakan Bahasa Jepang. Sehingga, mereka benar-benar menguasai pelajaran yang diberikan, terutama mata pelajaran eksak.
Secara logika, alasan Dr Kir memang cukup masuk akal. Itu disertai dengan contoh yang nyata pula, seperti yang terjadi di Jepang. Memang, masalah ini tak perlu jadi polemik apalagi blunder.
Kita juga perlu melihat sisi lain, bahwa pergaulan internasional dan sumber pengetahuan serta literatur internasional selalu menggunakan Bahasa Inggris. Kalau sekadar untuk melatih kemampuan ‘bahasa internasional’ itu, tidak ada salahnya juga membiasakan diri Speaking English setiap hari. Selain itu, negara sekelas Jepang itu punya literatur jauh lebih lengkap dalam hal sains dengan pengantar Bahasa Jepang. Ini pula yang patut dipikirkan oleh pemerintah kita. Sudah lengkapkah literatur yang kita miliki dengan pengantar Bahasa Indonesia?(*)

Orang Mati Pun Terusik

ADA satu lagi lokasi favorit para muda-mudi untuk pacaran. Lokasi itu bukan taman remaja, kawasan wisata, pantai, kafe atau pun sudut mal. Tempat pilihan untuk bermesaraan itu adalah kompleks Makam Tionghoa Tapak Lembu di Dusun Darungan, Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, Banyuwangi.
Kompleks pemakaman itu memang termasuk salah satu kuburan yang bersih di Bumi Blambangan. Untuk menuju ke lokasi pemakaman itu, akses jalannya juga memadai dan mudah dijangkau.
Memang, suasana di pemakaman itu sama sekali tidak mencekam, apalagi menyeramkan. Tempat peristirahatan terakhir itu memang cukup asri, terang dan bersih. Desian lokasi tersebut juga memungkinkan untuk membuat pengunjung nyaman. Ada tempat berteduh, gazebo dan ruas jalan berlapis paving yang tersusun rapi.
Logikanya, arsitek yang mendesain kompleks pemakaman itu berharap, tempat peristirahatan terakhir itu memberikan kesan damai. Memberikan kesan tenang, asri, sejuk dan bersih bagi ‘mereka’ yang bersemayam di sana.
Namun, tujuan membuat tempat peristirahatan yang tenang dan damai itu mulai sedikit terganggu. Rupanya, tempat yang asri dan bersih itu belakangan menjadi tempat favorit bagi muda-mudi untuk berpacaran. Bagi muda-mudi yang sedang dimbauk cinta, kawasan itu mungkin terlihat bak kawasan wisata yang layak dikunjungi.
Tentu saja, kehadiran mereka tak hanya mengusik aparat ketertiban dan warga sekitar. Kalau bisa ngomong, penghuni kuburan itu mungkin juga protes. Karena mereka yang maunya ingin beristirahat dengan tenang, menjadi terusik dengan adanya orang pacaran.
Kalau kita memandang lebih luas lagi, gangguan terhadap lokasi ketenangan istirahat ‘orang mati’ tak hanya terjadi di tempat tersebut. Lihat saja di kawasan pemakaman umum di sekitar kita. Banyak kawasan pemakaman umum yang sudah mulai terganggu dengan aktivitas manusia.
Ada beberapa kompleks makam yang ‘dipinjam’ warga menjadi tempat tambal ban, bengkel dan juga warung kopi. Bahkan, ada juga yang menjadikan kompleks pemakaman umum menjadi lokasi berjudi. Fenomena itu menujukkan, betapa sudah mulainya padatnya Bumi Blambangan ini. Tak hanya tempat umum yang banyak terganggu, tempat orang mati juga mulai tergusur.
Sebenarnya, masih banyak ruang di luar Pulau Jawa yang membutuhkan sentuhan tangan manusia. Dispenduk saja sering mendapat tawaran dari Provinsi Maluku utara untuk program transmigrasi. Dari pada mengganggu ketentraman orang hidup maupun ketenangan orang mati, sebaiknya mereka-mereka ini saja yang dikirim untuk bertransmigrasi. (*)