Minggu, 19 Oktober 2008

Memainkan Perasaan dengan Sumbangan

HARI ini, Bantuan Langsung Tunai (BLT) mulai dicairkan di Banyuwangi. Rencananya, pencairan tersebut akan berlangsung hingga tanggal 19 Juli 2008.
Meski bantuan belum cair, praktik pungutan liar (pungli) sudah marak. Seperti yang dikeluhkan warga miskin penerima BLT di Desa Grogol, Kecamatan Giri.
Sebelum mendapatkan kartu BLT, mereka mengaku ditarik Rp 10 ribu. Seperti yang dialami Masturoh, warga Dusun Krajan, Desa Grogol. Dia mengaku heran, mau mendapat bantuan kok malah dimintai uang.
Karena sangat mengharapkan BLT, mereka menurut saja apapun yang diperintahkan perangkat desa. Seperti diberitakan kemarin (7/7), sudah ada 134 gakin yang menyetorkan uang pungutan Rp 10 ribu tersebut.
Bagian Kesejahteraan Masyarakat Desa Grogol Gozali membantah, kalau pungutan itu sebagai prasyarat pengambilan kartu BLT. Dijelaskan, uang Rp 10 ribu itu akan digunakan untuk selamatan desa. Selamatan seperti itu memang rutin dilakukan setiap setahun.
Dari sudut pandang pemerintah desa, uang tersebut bukan merupakan pungutan BLT. Karena uang Rp 10 ribu tersebut ternyata merupakan sumbangan. Namanya saja sumbangan, sifatnya tentu sukarela. Yang mau menyumbang boleh, tetapi yang tidak mau juga tidak apa-apa.
Sedangkan dari sudut pandang penerima BLT, uang Rp 10 ribu itu juga merupakan sumbangan. Namun, mereka tetap berada pada posisi tawar yang lemah. Mereka sulit menolak untuk membayar sumbangan itu.
Sebagai manusia biasa, mereka juga punya rasa takut. Perasaan seperti memang cukup manusiawi. Karena suatu saat, mereka pasti akan tetap berhubungan dengan pemerintah desa setempat. Mau membikin KTP misalnya, atau surat keterangan untuk mengurus akta kelahiran, mau menikah, bahkan untuk mengurus surat kematian, mereka tetap akan berurusan dengan pemerintah desa setempat.
Ketika ada sumbangan Rp 10 ribu, mereka tidak akan berkutik. Mau tidak mau, rela tidak rela, ikhlas atau kurang ihklas, mereka akan membayar. Apalagi, sebentar lagi mereka dapat kucuran BLT senilai ratusan ribu rupiah.
Ya, perasaan mereka diaduk-aduk. Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam ada rasa keberatan. Tetapi kalau mengedepankan logika dan akal sehat, mereka siap membayar demi kelancaran semua urusan di masa mendatang. Lagi-lagi, perasaan mereka dipermainkan dan emosi diaduk-aduk.
Kondisi serupa juga akan dialami para orang tua di musim Penerimaan Siswa Baru (PSB) seperti saat ini. Posisi tawar mereka juga lemah. Sama lemahnya dengan posisi tawar para penerima gakin. Emosi mereka juga diaduk-aduk.
Masuk sekolah negeri di Banyuwangi memang gratis saat ini. Sekolah dilakukan menarik pungutan. Namun di sisi lain, pihak sekolah boleh menerima sumbangan. Tentu saja, sumbangan semacam itu harus seizin para orang tua wali murid. Nah, orang tua akan berat menolak sumbangan ketika rapat bersama. Kalau menolak atau terlalu vokal, mereka tentu takut berdampak pada anaknya. Bagaimana perasaan kita, kalau teman sekolah menggunjingkan anak kita gara-gara orang tuanya menolak sumbangan pendidikan. (*)

Tidak ada komentar: