Minggu, 06 Desember 2009

Menjadi Petani yang Tidak Egois

BEBERAPA daerah di Jawa Timur mulai resah dengan adanya serangan hama wereng. Para petani di beberapa kota-kabupaten merasa kelimpungan dengan hama tersebut. Tidak sedikit petani yang mengalami gagal panen pada masa pancaroba (peralihan musim) seperti ini.

Keresahan yang sama juga dirasakan kalangan petani di Bumi Blambangan. Meski daerahnya dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, petani di Banyuwangi juga ikut resah dengan serangan hama wereng.

Petani di empat kecamatan di Banyuwangi sudah mengaku mengalami gagal panen. Meski pemkab tidak sepenuhnya ‘mengakui’ mewabahnya serangan wereng ini, tetapi fenomena serangan hama kali ini tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena jika tidak ditangani secara serius, serangan wereng ini bisa menjadi musibah besar bagi kesejahteraan rakyat Bumi Blambangan, khususnya para petani.

Memang, hama wereng sebenarnya punya musuh alami. Musuh alami tersebut bisa berupa predator, parasit maupun bakteri patogen. Akan tetapi, kita tidak bisa ‘mengkondisikan’ para musuh alami itu agar bergerak bersama-sama memerangi wereng di suatu daerah.

Yang bisa dikendalikan oleh petani adalah dengan cara melakukan pembasmian dengan obat-obatan dan bahan kimia. Tetapi langkah ini sangat memerlukan biaya. Artinya, petani harus berhitung kembali pengeluaran untuk pembasmian hama dengan penghasilan dari panen yang akan diperoleh. Jika salah mengelola, bisa-bisa petani akan merugi.

Yang paling penting adalah menciptakan petani yang tidak egois dalam upaya pemberantasan hama. Aksi pemberantasan hama ini harus dilakukan secara serentak. Sebab dengan pemberantasan wereng secara serentak, hasilnya akan lebih efektif. Kalau pemberantasan wereng dilakukan sendiri-sendiri, hama tersebut akan pindah ke tempat lain.

Langkah pemberantasan hama secara serentak sudah dilakukan oleh para petani di Desa Bedewang, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Mereka telah memberikan teladan yang baik kepada petani di daerah lain. Karena untuk membasmi hama, petani harus kompak satu kata dan satu langkah.

Selain itu, petani juga harus memperhatikan pola tanam. Mereka sebaikany tidak lagi terjebak dengan rutinitas yang cenderung menanam padi secara monoton. Sebaiknya, petani menyusun jadwal penanaman dengan sistem selang seling. Misalnya tiga musim ditanami padi, satu musim tanam lainnya ditanami palawija. Dengan begitu, kesuburan tanah akan tetap terjaga serta tanaman akan lebih aman dari serangan hama. (*)

Serukan Damai Sejak Dini

Ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) Banyuwangi 2010 akan semakin ramai. Setidaknya sudah muncul beberapa kubu yang siap bersaing dalam perebutan kursi Bupati Banyuwangi periode 2010-2015.

Perkembangan politik terkini menunjukkan, setidaknya berpeluang muncul lima kelompok yang akan mengajukan cabup. Empat kelompok sudah memenuhi ketentuan Undang-Undang untuk mengajukan calon bupati (cabup).

Yang pertama adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perolehan suara partai berlogo banteng kekar ini dalam pemilu legislatif 2009, sudah mencukupi untuk mengajukan cabup. Yang kedua adalah Partai Demokrat. Perolehan suara partai ini juga memenuhi syarat untuk mengajukan cabup sendiri.

Kelompok ketiga adalah koalisi yang digalang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menjelang Pilkada 2010, PKB menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP), dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Akumulasi suara koalisi parpol ini dalam pemilu legislatif lalu sudah melebihi 15 persen dari suara sah. Dengan demikian, koalisi PKB sudah berhak mengusung cabup sendiri.

Kelompok keempat adalah koalisi lima parpol di parlemen. Koalisi ini terdiri atas Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nusantara (PAN), dan Partai Republik Nusantara (RepublikaN). Perolehan kursi lima parpol itu sudah melebihi 15 persen kursi di DPRD. Karena itu, koalisi lima parpol ini juga berhak mengusung cabup sendiri.

Sementara itu, ada kelompok terakhir yang berpeluang memunculkan cabup sendiri. Kubu ini bisa dimotori oleh Partai Golkar (PG) yang mendapatkan 7 kursi di DPRD. Untuk mengajukan cabup sendiri, PG harus berkoalisi dengan partai lain. PG hanya butuh tambahan 1 kursi koalisi parpol di parlemen untuk memenuhi syarat tersebut. Atau bisa juga, PG menggandeng beberapa parpol kecil untuk memperoleh minimal 15 suara sah dalam pemilu legislatif.

Yang perlu jadi catatan adalah posisi PKNU. Partai yang punya beberapa kursi di DPRD ini memang belum menyatakan sikap hingga Senin kemarin (30/11). Meski sudah ada kecenderungan untuk bergabung dengan aliansi lima parpol parlemen, PKNU masih tampak wait and see.

Terlepas dari semua itu, ada baiknya kita kembali melihat ke belakang, yakni Pilkada 2005 silam. Pada waktu itu, ada lima kandidat yang mengusung cabup. Kondisi ini hampir sama seperti yang terjadi saat ini. Menjelang Pilkada 2010, sudah ada lima kubu yang berpeluang mengusung cabup masing-masing.

Semakin banyak kubu, potensi konflik politik di seputar penyelenggaraan pilkada akan semakin besar pula. Karena itu, jika sekarang sudah mulai digagas bagaimana mengupayakan pilkada yang damai, fair, dan cerdas adalah langkah bijaksana. Selagi masih ada waktu, kiranya potensi yang ada itu diramu dan diberdayakan semaksimal mungkin, untuk meminimalisasi setiap potensi konflik. (*)

Satu Orang Satu Pohon, Seribu Terowongan

DAMPAK kerusakan hutan akibat penambangan emas liar di hutan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sungguh luar biasa. Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Selatan yang mengelola kawasan hutan tersebut mengklaim, kerusakan lingkungan yang terjadi di tempat itu lebih parah dari pada dampak penjarahan masal yang pernah terjadi tahun 1994 silam.

Aksi penambangan liar yang dibiarkan marak selama beberapa bulan, ternyata tidak hanya merusak pohon jati yang di pegunungan itu. Aksi penambangan masal tersebut juga mengakibatkan tanah dan lingkungan alam di kawasan tersebut.

Kejadian ini layak jadi perhatian semua kalangan di Bumi Blambangan. Memang, kerusakan pohon jati di lokasi tersebut masih bisa dihitung oleh pihak Perhutani. Selaku pengelola hutan kawasan tersebut, Perhutani juga bisa berusaha untuk menanam kembali tanaman jati yang rusak akibat penambangan ilegal secara masal tersebut. Terlebih, Perhutani sudah siap menjalankan program one man, one tree (satu orang tanam satu pohon) seperti yang sudah dicanangkan pemerintah.

Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah upaya itu cukup untuk mengembalikan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Apakah penanaman kembali (reboisasi) itu mampu memperbaiki lagi struktur tanah yang ada di pegunungan tersebut.

Kalau kita menoleh lagi ke belakang, sekitar 15 tahun silam pernah terjadi tragedi lingkungan di lokasi yang sama. Massa menjarah tanaman jati di hutan tersebut karena berbagai alasan yang cukup kompleks. Seiring perjalanan waktu, Perhutani memang berhasil menghijaukan lagi hutan tersebut setelah pohon jati yang ada dibabat massa.

Namun yang terjadi saat ini, sepertinya akan sulit dikontrol. Kerusakan lahan hutan tersebut sudah memasuki tahap akut alias kritis. Tanaman jati yang rusak memang bisa ditanami kembali. Perjalanan waktu memang akan menumbuhkan lagi pucuk jati muda, menjadi tanaman yang tegak dan kokoh.

Tetapi lahan hutan itu kini dipenuhi sedikitnya seribu terowongan. Tidak tanggung-tanggung, setiap terowongan itu bisa mencapai kedalaman 40 meter. Inilah cikal bakal terowongan menuju bencana alias neraka dunia.

Memang, petugas sudah berusaha menutup seribu lubang terowongan tersebut. Tetapi setelah beberapa bekerja keras, mereka baru mampu menutup sekitar 70 terowongan tambang. Kalau pun nantinya –entah kapan-, seribu lebih terowongan itu bisa ditutup, struktur dan kepadatan tanah tak akan pulih seperti sedia kala.

Terlebih, masa sekarang sudah memasuki musim hujan. Seandainya saja kawasan itu diguyur hujan terus menerus selama beberapa hari saja, lalu seribu terowongan sedalam 40 meter itu dipenuhi air, entah apa jadinya kawasan itu. Apalagi, lokasi tersebut berada di pegunungan yang mungkin saja terdapat beberapa perkampungan di bawahnya. Kalau sudah begini, kita semua hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi tanah longsor di kawasan tersebut.

Memang, kerusakan pohon jati masih bisa dihitung dan diperbaiki. Yang perlu digarisbawahi, kerusakan lingkungan ternyata tidak bisa dinilai dengan angka. Lingkungan sejatinya juga bukan milik kita, tetapi itu adalah warisan untuk anak cucu kita di masa mendatang. Karena itu sudah sepantasnya, jika kita semua sebisa mungkin ikut berpartisipasi melestarikan lingkungan alam di sekitar kita. (*)

Mengepras, Mengeruk dan Mengikat

CUACA Kota Gandrung dan sekitarnya diprediksi kurang bersahabat beberapa hari mendatang. Hujan disertai angin kencang besar berpeluang terjadi di daerah ini. Tidak hanya itu, ketinggian ombak juga patut menjadi perhatian bagi nelayan dan operator pelayaran.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Banyuwangi mencatat ada peningkatan kecepatan angin dalam beberapa hari terakhir. Situasi ini akan berdampak pada gelombang permukaan air laut. Di Selat Bali, ketinggian ombak mencapai 0,3 meter hingga 2 meter. Untuk di Samudera Indonesia, tinggi ombak bisa mencapai 2,5 meter.

Sementara itu, belum semua warga layak disebut sebagai masyarakat yang tanggap cuaca. Karena itu, semua komponen warga perlu terlibat dalam sosialisasi untuk menciptakan masyarakat yang tanggap cuaca. Langkah ini bisa diawali dengan upaya sosialisasi melalui slogan yang mudah diingat.

Seperti yang sudah terjadi Pada bidang kesehatan, yang memiliki banyak slogan dalam melakukan sosialisasi kepada publik. Misalnya ada istilah 3M untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah yang menular lewat nyamuk. Istilah 3M tersebut artinya menguras bak mandi, menutup tempat air, dan Mengubur sampah yang ditempati genangan air.

Bidang finansial juga punya slogan. Seperti yang dipopulerkan Bank Indonesia (BI) untuk mencegah peredaran uang palsu (upal). Mereka menyuarakan slogan 3D (dilihat, diraba, dan diterawang ).

Nah, tidak ada salahnya jika slogan serupa juga dipopulerkan untuk bidang klimatologi (iklim) yang terkait masalah cuaca. Untuk mengantisipasi dampak cuaca buruk, masyarakat harus tanggap dengan lingkungan sekitarnya.

Tidak ada salahnya mengadopsi istilah 3M seperti yang sudah populer untuk melawan penyakit demam berdarah. Tanggap cuaca itu, juga bisa dilakukan dengan cara 3M (mengepras, mengeruk dan mengikat).

Mengepras artinya memotong ranting dan dahan pohon yang sudah tua. Dengan begitu, jika ada angin kencang, pohon tidak lagi membahayakan keselamatan.

Mengeruk artinya mengambil semua lumpur dan sampah di saluran air dan selokan. Dengan begitu, diharapkan peningkatan debit air saat musim hujan, tidak lagi mengakibatkan genangan dan banjir.

Mengikat artinya memasang tali semua kapal dan perahu nelayan. Jika cuaca buruk terjadi, nelayan dan operator pelayaran harus rela menghentikan aktivitas pelayaran demi keselamatan. Jika slogan ini sudah populer, masyarakat tentu akan lebih tanggap terhadap cuaca buruk. (*)

Pembuangan Orang Gila dan Anjing Gila

POSISI Banyuwangi secara geografis bisa dibilang cukup strategis. Bumi Blambangan ini berada di ujung timur Pulau Jawa, yang berbatasan langsung dengan Bali. Banyuwangi merupakan pintu masuk jalur darat menuju Pulau Dewata.

Selain itu, pada sisi utara terdapat hutan Taman Nasional Baluran yang berbatasan dengan Kabupaten Situbondo. Pada sisi barat, terdapat hutan Gunung Ijen yang berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso. Di sisi selatan, ada hutan Gunung Kumitir yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Jember.

Seluruh penjuru arah perbatasan Banyuwangi itu, seolah merupakan pagar yang dibentuk olah alam. Ada yang berupa hutan-gunung, dan ada juga laut (Selat Bali) di sisi timur. Dengan kondisi seperti itu, pemantauan yang ada di kawasan perbatasan tersebut sangat sulit dilakukan.

Tidak dapat dipungkiri, kondisi ini kerap juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Mereka ingin membersihkan daerahnya dari segala macam gangguan ketertiban yang meresahkan masyarakat di wilayahnya.

Sudah menjadi rahasia umum, Banyuwangi sering dijadikan sasaran lokasi pembuangan penyakit masyarakat oleh daerah lain. Gelandangan, pengemis, dan orang gila (orgil) dalam jumlah besar, sesekali sengaja dibuang ke Banyuwangi. Kejadian seperti ini diakui oleh Dinas Sosial (Dinsos) Banyuwangi. Dinsos juga pernah mengirim surat pengaduan ke Dinsos Provinsi Jawa Timur, karena gerah daerahnya selalu dijadikan tempat pembuangan orgil oleh daerah lain.

Yang lebih parah, Banyuwangi ternyata juga dijadikan sebagai lokasi pembuangan anjing gila yang terinfeksi penyakit rabies. Polisi telah menguak pengiriman 40 ekor anjing gila dari Bali di pelabuhan di Pelabuhan Landing Craft Machine (LCM) Ketapang Senin dini hari kemarin (16/11). Dari hasil pemeriksaan klinis Instalasi Karantina Hewan Ketapang di Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, sekitar 99 persen anjing yang dikirim tersebut positif mengidap rabies.

Nah, jika dibandingkan dengan pembuangan penyakit masyarakat (baca: orgil), pengiriman anjing berpenyakit rabies ini lebih berbahaya. Karena penyakit masyarakat (orgil) itu tidak menular secara langsung pada masyarakat Banyuwangi. Sebaliknya, pengiriman penyakit anjing gila itu cukup meresahkan. Karena rabies termasuk penyakit yang menular pada manusia (zoonosa).

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya dan ditakuti, serta mengganggu ketenteraman hidup manusia. Apabila sekali gejala klinis penyakit rabies timbul, maka biasanya akan diakhiri dengan kematian. Virus rabies selain terdapat di susunan syaraf pusat, juga terdapat di air liur hewan penderita rabies. Jika manusia tergigit oleh anjing tersebut, bisa fatal akibatnya.

Melihat besarnya potensi bahaya yang ditimbulkan, sudah selayaknya kita semua ikut waspada. Tanggung jawab untuk mengamankan Banyuwangi dari serbuan rabies, tidak mungkin dibebankan kepada polisi dan aparat karantina hewan di pelabuhan. Dengan kondisi kawasan perbatasan Banyuwangi yang seperti itu, pengawasan dan pengamanan lalu lintas kawasan perbatasan sangat perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat. Dengan begitu, semoga Banyuwangi tak lagi menjadi pembuangan orang gila dan anjing gila. (*)

Problem Lingkungan Vs Masalah Sosial

KABAR maraknya penambangan tradisional di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, cukup mengagetkan kita semua. Betapa tidak, daerah yang dulunya merupakan hutan, kini telah berubah menjadi kawasan penambangan. Petak 78 dan Petak 79 di Kampung 56, kawasan Perhutani Banyuwangi Selatan, kini benar-benar ramai. Diperkirakan jumlah penambang tradisional yang hidup di situ sudah mencapai 12 ribu orang.

Lokasi penambangan emas tradisional yang masuk Dusun Ringinagung, Desa/Kecamatan Pesanggaran itu sudah bukan seperti hutan belantara. Para penambang itu berburu emas di hutan jati tersebut. Mereka menggali setiap lokasi yang diduga memiliki kandungan emas.

Untuk membuat galian, butuh usaha yang sangat keras. Penambang harus menggali dengan kedalaman rata-rata 40 sampai 50 meter. Satu lubang galian rata-rata dikerjakan oleh 12 sampai 15 orang. Saat ini, jumlah lubang galian di areal pegunungan tersebut diperkirakan mencapai seribu lebih. Belasan ribu orang itu mengaku sudah mendapatkan emas dari hasil pekerjaannya. Namun, mereka enggan menyebutkan seberapa berat emas yang telah diperoleh.

Kondisi ini membuat problem yang ada di kawasan tersebut menjadi semakin rumit. Dari sudut pandang ekologi, adanya penambangan tradisional secara masal itu merupakan satu kejadian luar biasa. Kawasan hutan yang seharusnya dipertahankan demi keseimbangan lingkungan, kini telah rusak.

Perilaku tersebut sedikit banyak ikut menyumbang terjadinya pemanasan global. Perilaku perusakan hutan, tentu akan berpengaruh terhadap berkurangnya proses fotosintesis, sehingga jumlah oksigen berkurang. Belum lagi ancaman populasi yang besar dengan berbagai aktivitas yang beragam, yang banyak menyumbangkan karbon dioksida.

Seribu lubang galian juga mengakibatkan kerusakan lapisan tanah di kawasan tersebut. Sedikit banyak, hal ini akan mempengaruhi sediaan serta kemurnian air tanah di kawasan itu.

Namun di sisi lain, masalah penambangan tradisional juga sarat dengan problem sosial. Mereka adalah warga negeri ini yang membutuhkan penghasilan demi kehidupan keluarganya. Jumlah 12 ribu orang penambang tradisional bukanlah angka yang kecil. Mereka termasuk masyarakat kita yang butuh pekerjaan dan penghasilan untuk bertahan hidup.

Memang, kejadian yang terjadi di kawasan selatan Bumi Blambangan ini, ibarat makan buah simalakama. Akankah kita mementingkan kondisi alam serta hutan, yang berdampak pada kelangsungan hidup dan pelestarian planet bumi rumah kita ini? Atau akankah kita lebih mementingkan nasib belasan ribu warga serta keluarganya, yang butuh makan dari hasil tambang emas tradisional?

Yang jelas, persoalan lingkungan dan masalah sosial itu harus segera dicari solusinya. Jangan sampai kedua masalah itu semakin berlarut-larut tanpa ada solusi. Karena semua ini sudah selayaknya menjadi tanggung jawab kolektif semua komponen di Banyuwangi. Kalangan eksekutif, legislatif, akademisi, aparat penegak hukum serta semua masyarakat, sebaiknya sudah harus memikirkan solusinya mulai sekarang. (*)

Penghematan yang Tepat Sasaran

Sejumlah mobil dinas (mobdin) milik Pemkab Banyuwangi dibiarkan tidak terpakai di Pendapa Shaba Swagata Blambangan.

Pemandangan yang terjadi di pendapa itu, kontras dengan pemandangan di kantor DPRD. Selama ini, para wakil rakyat kesulitan mendapatkan mobil operasional untuk kelancaran kegiatan.

Bahkan beberapa waktu lalu, para wakil rakyat harus menggunakan sepeda motor untuk kegiatan kunjungan kerja mereka. Itu terjadi setelah mobil operasional untuk Komisi-Komisi DPRD jenis Mitsubishi L300 ditarik oleh eksekutif tanpa ada alasan yang jelas.

Pemkab menyatakan bahwa, kendaraan yang ada di Pendapa tersebut tidak mangkrak. Kondisinya masih bisa digunakan untuk kegiatan pemerintahan. Sejumlah kendaraan dinas itu merupakan kendaraan operasional di beberapa dinas. Untuk sementara waktu, Pemkab membatasi kendaraan dinas yang ada.

Pembatasan mobdin tersebut terkait penghematan bahan bakar minyak (BBM). Agar penggunaan bahan bakar tidak boros, maka sejumlah kendaraan di dinas ditarik ke Pemkab.

Untuk sementara waktu, dinas dibatasi dua kendaraan dinas. Yang satu untuk kendaraan operasional kepada dinas, sedangkan yang satunya untuk operasional dinas sehari-hari.

Program hemat BBM ini memang layak didukung semua pihak. Tidak ada yang salah dalam program tersebut. Karena menghemat pengeluaran uang rakyat, merupakan tindakan yang mulia. Terlebih, jika hasil penghematan itu nantinya digunakan untuk keperluan yang langsung menyentuh kepentingan rakyat. Misalnya, untuk pembangunan atau perbaikan jalan rusak di pedesaan.

Tetapi, apakah faktanya sudah demikian? Ternyata, masih banyak jalan di Bumi Blambangan ini yang masih rusak parah. Lihat saja aksi warga Desa Sembulung, Kecamatan Cluring. Mereka nekat memblokade jalan, karena sudah lebih 15 tahun terakhir ini, pemerintah membiarkan jalan di desa itu rusak parah. Belum lagi beberapa daerah lainnya yang mengalami nasib yang sama.

Di sisi lain, DPRD juga mengaku mengalami kesulitan karena ditariknya beberapa mobil operasional komisi. Bahkan, para wakil rakyat terpaksa ramai-ramai naik sepeda motor pribadi untuk melakukan inspeksi mendadak.

Melihat kejadian ini, dampak positif penghematan BBM itu memang belum dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, program mulia penghematan itu, ternyata cukup mengganggu kinerja wakil rakyat.

Dengan begitu, sudah selayaknya kita semua mengkaji kembali kebijakan tersebut. Rakyat memang harus mendukung inisiatif pemkab dalam melakukan gerakan dan program hemat BBM mobdin. Tetapi ingat, jangan sampai penghematan itu mengganggu kinerja dan layanan untuk publik. Yang lebih penting, hasil penghematan BBM itu harus bisa dirasakan dan menyentuh kepentingan seluruh masyarakat. (*)

Senin, 02 November 2009

Ujian Loyalitas Demi Negeri

VONIS Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi atas kasus rekayasa kenaikan pangkat beberapa pejabat Pemkab ternyata belum berakhir. Pada pertengahan Juni 2009 lalu, mantan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Banyuwangi, Suryanto sudah divonis 1,8 tahun penjara oleh PN Banyuwangi.

Vonis yang sama juga diberikan pada mantan Kasubag Mutasi BKD Banyuwangi, Sunaryanto. Ketika itu, majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 50 juta subsider kurungan satu bulan penjara.

Majelis hakim menilai, kedua terdakwa terbukti secara bersama-sama bersalah menyalahgunakan wewenang saat menjabat sebagai kepala BKD dan Kasubag Mutasi BKD. Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 2,264 miliar.

Kedua mantan pejabat BKD tersebut bertanggung jawab atas beberapa rekayasa pangkat pejabat pemkab. Kebijakan itu membuat banyak pejabat tersebut menerima tunjangan jabatan (tunjab), yang tidak seharusnya mereka terima.

Atas praktik seperti itu, kerugian negara mencapai Rp 2,264 miliar. Rinciannya, Rp 435 juta merupakan kerugian negara langsung. Sisanya, Rp 1,892 miliar akibat pemberian tunjab yang salah alamat.

Kasus rekayasa kenaikan pangkat pejabat pemkab itu memang terjadi sekitar tahun 2001 lalu. Waktu itu, sedang diberlakukan otonomi daerah. Karena ada aturan tentang eselon yang dinaikkan, ratusan pejabat Pemkab tidak memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan yang diduduki sebelumnya. Di sinilah, peran dua mantan pejabat BKD tersebut. Mereka diduga terlibat langsung dalam proses rekayasa kenaikan pangkat agar para pejabat itu tetap bisa menempati posnya.

Dengan kenaikan pangkat fiktif itu, tunjangan ratusan pejabat itu ikut dinaikkan. Negara dirugikan, karena banyak pejabat yang menerima tunjab tersebut. Secara pribadi, mungkin Suryanto tidak ’makan’ miliaran rupiah uang kerugian negara tersebut. Uang tunjab tersebut justru mengalir dan dinikmati banyak pegawai di pemkab.

Kini, nasib uang tunjab miliaran rupiah yang telanjur diberikan pada banyak pegawai itu, kembali diungkit. Enam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan beberapa pejabat yang diduga menerima tunjab tersebut ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Mereka mendesak agar penerima tunjab tersebut ditindak dan diproses secara hukum.

Sementara itu, sebagian pejabat penerima tunjab yang dilaporkan itu merespons kejadian ini dengan langkah bijak. Jika memang tunjab yang mereka terima itu adalah fiktif, mereka siap ramai-ramai mengembalikan tunjab yang diterima delapan tahun lalu itu.

Iktikad baik sebagian pejabat itu layak diacungi jempol. Karena faktanya, sebagian dari mereka memang tidak tahu bahwa tunjab itu ternyata bukan hak mereka. Apalagi sebelumnya, sebagian dari mereka ternyata tidak pernah meminta tunjab tersebut.

Dengan adanya niat baik untuk mengembalikan tunjab, hal itu sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pegawai yang loyal pada negara. Ya, mungkin peristiwa ini menjadi semacam ujian ulang terkait loyalitas pegawai di masa sulit sekarang. (*)

Membendung Pornografi Ponsel

BEBERAPA hari terakhir ini, muncul berita yang membuat kalangan orang tua jadi miris. Belum reda masalah peredaran video syur, kali ini sudah beredar foto adegan hot. Dalam gambar yang beredar lewat telepon seluler (ponsel) itu, santer disebut bahwa foto itu dilakukan oleh oknum pelajar putri di sebuah sekolah menengah tingkat pertama di Kabupaten Banyuwangi.

Informasinya, foto tersebut diduga juga beredar di kalangan pelajar di Bumi Blambangan. Untuk mendapatkannya, bisa dilakukan dengan layanan bluetooth (salah satu fasilitas pemindahan data) pada ponsel.

Gambar yang beredar itu memiliki beberapa adegan yang berbeda. Tiga gambar, misalnya, menunjukkan seorang perempuan dan pria sedang beradegan mesra sambil berciuman. Sisanya, ada yang berpelukan sambil tidur. Selain itu, ada gambar yang menunjukkan keduanya sedang berenang di sebuah kolam renang.

Adapun ciri-ciri perempuan dalam foto tersebut, di antaranya berkulit kuning, mata agak sipit, dan berambut lurus. Sedangkan si pria, berperawakan agak gemuk dan ada tato di lengannya. Selain itu, beberapa sesi pengambilan foto, keduanya sempat mengenakan kacamata.

Siapa pun aktor yang ada dalam gambar hot tersebut, siapa pula yang menyebarkan gambar tersebut, sebenarnya tidak terlalu penting bagi para orang tua. Karena urusan tersebut sudah menjadi tanggung jawab pihak aparat yang berwajib.

Dari sudut pandang orang tua, ada hal yang lebih mengkhawatirkan. Dengan adanya peredaran video dan gambar tak senonoh itu, dampaknya akan dirasakan kalangan pelajar. Sedikit atau banyak, dampak negatif itu akan dirasakan oleh kalangan remaja.

Terlebih lagi, usia kalangan pelajar SMP merupakan masa yang paling penting. Mereka sedang dalam masa pencarian identitas dan jati diri. Sehingga, ada kecenderungan untuk menirukan sesuatu yang baru. Apalagi, jika sesuatu ini mereka anggap cukup hebat.

Dengan beredarnya video dan foto porno di kalangan pelajar, betapa negerinya jika muncul cenderung pada mereka untuk meniru adegan tersebut.

Memang, hadirnya teknologi ponsel merupakan hal yang patut disyukuri. Dengan sentuhan teknologi, berbagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi lebih mudah. Akan tetapi, jika hasil capaian teknologi kemudian disalahgunakan, maka yang muncul adalah beragam dampak buruk. Tidak hanya tujuan utama dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak tercapai, namun penyalahgunaan teknologi itu sendiri akan membuat hidup manusia semakin sulit.

Dampak negatif teknologi ponsel sudah terasa dengan beredarnya video dan gambar porno di kalangan pelajar. Ini sama sekali tidak mendidik dan cenderung merusak masa depan generasi muda. Karena itu, sudah saatnya kita semua untuk ikut mengawasi penyalahgunaan teknologi ponsel terutama di kalangan pelajar. Dengan pengawasan semua pihak, paling tidak bisa membendung peredaran pornografi di kalangan pelajar.(*)

Sumpah yang Membawa Kedamaian

KASUS-KASUS yang menyentuh dunia supranatural kembali mengemuka di Bumi Blambangan. Yang terakhir, terkait berita heboh pelaksanaan sumpah pocong masal di Dusun Gragajan Pantai, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.

Secara bergantian, enam orang warga melakukan sumpah pocong di musala setempat. Sumpah pocong dilaksanakan tiga kali. Setiap kali penyumpahan, ada dua orang yang menyatakan sumpahnya di hadapan warga, ulama, polisi dan tentara yang hadir.

Kejadian ini sebenarnya bermula dari Paiman, 55, yang merasa tidak terima dituding sebagai tukang santet. Dia dan istrinya, Suwanah, 45, bersumpah tak punya ilmu hitam tersebut (23/10). Mereka juga bersumpah tidak menyantet tetangganya yang bernama Miswati, 50.

Akhirnya, sumpah pocong juga dijalani Miswati dan suaminya, Suyud, 65. Keduanya juga bersumpah bahwa mereka tidak pernah menuduh Paiman dan istrinya memiliki ilmu santet. Mereka juga bersumpah tidak pernah menuduh Paiman dan istrinya mengirim ilmu santet pada Miswati.

Ternyata itu belum cukup. Masih ada dua warga lainnya yang menjalani sumpah pocong di lokasi yang sama. Mereka adalah Supriyanto dan Sumiyati, dua tetangga yang sempat dicurigai sebagai penyebar kasak-kusuk ilmu santet tersebut. Dalam sumpah pocong tersebut, mereka berjanji tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah santet.

Kejadian ini memang terasa cukup unik. Bukan hanya karena masyarakat setempat menganggap sumpah pocong sebagai kegiatan yang cukup sakral. Tetapi, kejadian itu juga menarik karena ada tiga kubu yang berbeda yang menjalani sumpah pocong itu. Semuanya rela melakukan kegiatan sumpah yang dianggap sakral tersebut, demi menciptakan kedamaian dan ketenteraman di kampung itu.

Kalau kita kaji lebih dalam, sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi serta dilakukan di rumah ibadah (masjid/musala). Di dalam hukum Islam, sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan layaknya jenazah seperti itu. Sumpah dengan tata cara seperti ini, merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan, atau kasus-kasus yang minim bukti.

Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta. Untuk kasus di Grajagan, dengan selesainya pengucapan sumpah tersebut, masing-masing pihak akan merasa lega. Lega karena sudah tak lagi dituding punya ilmu santet. Lega karena sudah tak lagi dituding menyebarkan isu santet. Dan terakhir, masyarakat ikut lega karena kampungnya bebas dari isu-isu yang menyesatkan. (*)

Memutus Rantai Mafia Kabel

AKSI pencurian kabel kembali marak. Pencurian sarana publik tersebut tidak hanya terjadi di Banyuwangi. Kejahatan serupa juga sering melanda Situbondo.

Dalam tempo sehari (19/10), dua kejadian pencurian kabel berhasil terungkap. Satu kasus terjadi Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Satu lagi, kasus serupa juga terjadi di Desa Kesambirampak, Kecamatan Kapongan, Situbondo.

Di Banyuwangi, polisi membekuk Dadang Hermanto, 23, warga Lingkungan Karangasem, Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah. Dia tertangkap saat mencuri kabel telepon di Lingkungan Watu Ulo, Kelurahan Bakungan.

Dadang tidak beraksi sendirian. Dia dibantu dua temannya yang saat ini masih dalam pencarian. Dari tangan Dadang, polisi mengamankan barang bukti berupa kabel telepon sepanjang 150 meter.

Sementara itu di Situbondo, komplotan “tikus kabel” beraksi di Desa Kesambirampak, Kecamatan Kapongan. Sekali beraksi, kawanan pelaku menggondol tiga jenis kabel udara sekaligus. Masing-masing kabel itu berkapasitas 20, 30, dan kapasitas 40.

Setiap kabel amblas itu panjangnya 150 meter. Berarti tiga kabel total panjang mencapai 450 meter.

Akibat aksi pencurian tersebut, bukan hanya para pelanggan Telkom saja yang merengut gara-gara telepon di rumahnya mati mendadak. PT Telkom Situbondo juga menderita kerugian Rp 20,847 juta.

Malam sebelumnya, kawanan curwatpon itu juga beraksi di Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan. Di tempat ini, mereka menggasak kabel telepon kapasitas 80 meter. Panjang kabel amblas mencapai 150 meter. Dari kejadian tersebut, kerugian PT Telkom ditaksir senilai Rp 16,322 juta.

Modus pencurian yang dijalankan pelaku tetap sama. Pelaku lebih dulu memanjat tiang telepon. Begitu sampai di atas, pelaku memotong kabel telepon dengan cara digergaji. Setelah terjatuh, kabel langsung diseret ke area persawahan di sekitar lokasi kejadian.

Aparat keamanan dan Telkom tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam mencegah aksi penjarahan kabel saran umum tersebut. Langkah yang paling jitu, sebenarnya adalah pencegahan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan pencerahan kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya keberadaan kabel tersebut. Jika masyarakat sudah merasa ikut memiliki saran umum tersebut, tentu mereka akan ikut menjaga kabel tersebut.

Yang tidak kalah pentingnya, aparat juga perlu memutus rantai perdagangan gelap kabel tersebut. Pelaku pencurian kabel tentu tidak akan memakan hasil jarahannya dalam bentuk asli. Mereka tentu akan menjual lagi kabel tersebut kepada para penadah logam tembaga. Karena itu, sudah saatnya ditingkatkan pengawasan peredaran tembaga di pasaran. Asal usul barang tersebut harus jelas dan terdaftar. Bahkan jika perlu, dilakukan razia besar-besaran terhadap simpul-simpul perdagangan kabel tembaga. Jika terbukti menjadi penadah kabel curian, harus ditindak tegas dan diproses hukum.(*)

Selamat Ultah, Situbondo!

UNTUK pertama kali, masyarakat Situbondo dihibur dengan kirab andong hias (15/10). Barisan dokar hias itu membawa seluruh pejabat Pemkab Situbondo. Wakil Bupati Suroso beserta istri mengendarai andong yang dihias layaknya kereta kencana. Disusul Sekkab Koespratomowarso serta pejabat yang lain.

Selain andong hias pejabat, kirab juga diisi tiga grup drum band. Kakang dan Embug Situbondo tahun 2009 juga ikut diarak. Rombongan sepeda motor dinas meramaikan barisan belakang.

Kirab itu dimulai di Gedung Serba Guna Baluran di Jalan PB. Soedirman, Situbondo, dan finish di depan Pendapa Kabupaten. Di tempat itu, rombongan disambut kalangan Muspida Situbondo. Saat bersamaan, tari-tarian panyongsong khas Situbondo ikut meramaikan suasana.

Ada juga pengguntingan pita tanda dimulainya rangkaian kegiatan Hari Jadi Situbondo yang ke-37. Peringatan perdana Hari Jadi Situbondo ini diramaikan bermacam kegiatan. Ada acara keagamaan berupa istighotsah, hingga ziarah kubur para sesepuh Situbondo di pesarean Bantungan, makam Ki Pate Alos, hingga ke makam mantan Adipati Wiraraja di Besuki.

Ada juga burung perkutut, festival anak jalanan, jalan santai, triatlon, kontes kucing, hingga kontes ternak. Rangkaian kegiatan itu juga diisi dengan pameran atau expo, ajang kreasi penyuluh pertanian, temu wicara dan sarasehan petani, ruwatan, dan aneka hiburan lain; seperti gambus, kerte, ludruk, wayang kulit, dan pameran Situbondo Fair.

Tahun-tahun sebelumnya, gebyar perayaan seperti itu tidak pernah terjadi di Kota Santri. Karena tahun-tahun sebelumnya, Hari jadi Situbondo memang belum ditetapkan. Penentuan hari bersejarah itu masih menjadi perdebatan, sejarah Kedemangan Besuki, Panarukan, atau Kabupaten Situbondo terkini. Dan setelah melalui bermacam perdebatan, akhirnya pemkab telah menetapkan hari jadinya.

Sama seperti daerah lainnya, penetapan hari jadi suatu daerah memang selayaknya disambut dengan suka cita. Jangan lagi menoleh perbedaan pendapat yang sudah terjadi. Biarlah yang lalu terus berlalu. Kita menatap lagi masa depan, untuk menjadi yang lebih baik. Dengan event peringatan hari jadi ini, sudah banyak masyarakat yang merasakan berkahnya. Dengan adanya pawai, lomba, pameran dan kegiatan lainnya, diharapkan bisa ikut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil. Semoga di tahun-tahun mendatang, dampak positif Hari Jadi Situbondo bisa dirasakan seluruh komponen masyarakat. Selamat Ultah, Situbondo!(*)

Mencoba Tak Bergantung pada Pupuk

PROBLEM distribusi pupuk di Bumi Blambangan seolah selalu ada setiap tahun. Hampir setiap musim tanam, petani selalu disibukkan dengan sulitnya mendapatkan pupuk.

Sebagian petani selalu mengaku sulit mendapatkan pupuk. Sebaliknya, pihak yang berwenang menyatakan pasokan kebutuhan pupuk untuk daerah ini mencukupi. Entah siapa yang paling benar dalam masalah ini. Bahkan, bukan mustahil kalau kedua pihak bisa sama-sama benarnya.

Pemerintah sudah mengatur persediaan pupuk yang cukup di setiap daerah. Bahkan, distribusinya juga diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kendala.

Tetapi dalam beberapa kasus, masih ditemukan juga dugaan pelanggaran dalam proses distribusi pupuk bersubsidi. Seperti kasus yang diungkap Polsek Gambiran. Polisi berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 7,5 ton urea bersubsidi ke luar daerah. Truk pengangkut pupuk itu menggunakan kamuflase tutup jerami, layaknya yang biasa digunakan truk bermuatan semangka. Begitu tutup jerami dibuka, ternyata isinya adalah ratusan sak pupuk urea bersubsidi.

Setelah kasus ini dikembangkan lebih lanjut, ada yang mencengangkan dari pengakuan ternyata tersangka Taufiq Ismail. Kepada polisi, dia mengaku bahwa sebelumnya sudah menjual pupuk bersubsidi untuk dua kali pengiriman ke luar daerah. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pupuk bersubsidi yang sudah diselundupkan ternyata sekitar 14 ton.

Kasus-kasus seperti ini memang bisa mengganggu distribusi pupuk bersubsidi di daerah ini. Pupuk yang seharusnya cukup untuk lahan petani di daerah itu, akhirnya menjadi minus stok. Karena barang sedikit, petani pun kelimpungan mencarinya. Akhirnya, masalah klasik terkait distribusi pupuk kembali terulang.

Sebenarnya, langkah Menteri Pertanian mengubah distribusi pupuk bersubsidi dari sistem terbuka menjadi sistem tertutup sudah patut diacungi jempol. Dengan sistem tertutup, pemerintah pusat atau dinas pertanian di daerah hanya memberikan pupuk bersubsidi langsung kepada kelompok petani dengan beberapa syarat.

Secanggih apa pun sistem distribusi yang diterapkan, ternyata masih saja bisa dibobol. Dalam kasus di Banyuwangi, tersangka justru memborong pupuk dari beberapa kelompok tani. Dia berdalih sedang menanam jagung di lahan babatan bekas hutan.

Terlepas dari semua problem tersebut, sebenarnya ada hal yang lebih mendasar. Coba kita renungkan sekali lagi. Mampukah petani kita menjadi petani yang tangguh, dan tidak bergantung pada pupuk urea? Apakah kita tidak bisa melirik pada pupuk alami? Jawabannya akan membutuhkan kerja keras dari semua komponen negeri ini. Nah, inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. (*)

Mencetak Warga Tanggap Bencana

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah manyatakan, bahwa Banyuwangi termasuk salah satu daerah yang berpotensi besar dilanda bencana gempa. Hingga saat ini, belum ada alat yang mampu mendeteksi kapan datangnya gempa tersebut.

Teknologi yang ada, masih sebatas mengukur dan mengamati gejala gempa dan pendeteksi gelombang tsunami.

Belum ada alat yang bisa memprediksi kapan datangnya gempa, membuat masyarakat harus senantiasa tanggap bencana. Caranya, mengetahui tata cara penyelamatan bencana gempa. Ketika bencana itu benar-benar datang, masyarakat sebaiknya sudah tahu apa saja yang harus dilakukan.

Meski daerah ini termasuk kawasan rawan bencana, fakta yang ada selama ini, masih banyak warga yang tidak mengerti apa itu gempa bumi, tsunami, dan bencana gunung api. Ini terjadi, karena paradigma penanggulangan bencana saat ini masih konvensional. Selain itu, bencana selalu dianggap urusan pusat. Baru setelah jatuh korban jiwa, harta benda, sarana, prasarana, dan kerusakan lingkungan, orang sering menyalahkan pemerintah.

Pascabencana, dana akan mengalir dari pemerintah pusat.

Tetapi apakah sudah cukup demikian? Sudah saatnya, bangsa ini belajar bersahabat dengan bencana. Istilah lain, menjadi bangsa yang tanggap bencana. Dana bantuan mestinya tidak seluruhnya disumbangkan kepada korban, tetapi disisakan guna pendidikan bencana atau kegiatan sosialisasi pencegahan bencana.

Belajar dari pengalaman, peringatan awal adanya bencana mengurangi lebih banyak korban, ketimbang tidak adanya peringatan sama sekali. Ketika tsunami menerjang pantai selatan Pulau Jawa di daerah Pangandaran, warga yang selamat umumnya berlari menyelamatkan diri ke pegunungan. Ini dilakukan, karena warga setempat mendapat pelajaran dari musibah Tsunami Aceh.

Artinya, pelajaran yang berulang-ulang lewat media massa itu dapat efektif mengubah prilaku warga. Warga pesisir yang telah mendapat pelajaran lewat media massa, tidak akan berlari ke tengah laut, saat laut surut secara mendadak. Padahal, banyak sekali ikan yang menggelepar ketika air laut surut secara tiba-tiba sehabis terjadi gempa.

Kegiatan penanggulangan bencana memang sudah seharusnya dilalui secara bertahap. Tahapan itu bisa berupa upaya pencegahan dan kesiagaan sebelum terjadinya bencana. Inilah yang lazim disebut sebagai masyarakat tanggap bencana.

Ketika bencana tak terelakkan terjadi, langkah yang ditempuh adalah langkah cepat penyelamatan para korban. Setelah semua itu berlalu, langkah terakhir adalah rehabilitasi dan rekonstruksi setelah terjadi bencana. Upaya penyelamatan korban dan langkah rehabilitasi sudah biasa dilakukan pemerintah saat terjadi bencana. Yang masih terasa kurang gaungnya, adalah upaya pencegahan dan kesiagaan sebelum terjadinya bencana. Karena itu tak ada salahnya, pendidikan tanggap bencana mulai didilakukan pada seluruh masyarakat secara merata sejak sekarang. (*)

Utang Laptop kepada Negara

ANGGOTA DPRD Situbondo periode 2009–2014 sedang mendapat jatah pembagian laptop. Namun, tidak semua wakil rakyat itu bisa mendapatkan fasilitas dinas berupa komputer jinjing tersebut.

Sebanyak tiga wakil rakyat harus rela tidak kebagian laptop tersebut. Penyebabnya, tiga unit laptop dari anggota DPRD periode sebelumnya, ternyata belum kembali ke Sekretariat DPRD Situbondo.

Tiga mantan anggota DPRD Situbondo melaporkan, bahwa laptop yang mereka gunakan tersebut hilang. Mereka yang mengaku kehilangan laptop dinas tersebut adalah Umami (PDIP), Rizki Muslim (PKB), dan H. Fahmi Amien (PKB). Padahal sejak kemarin, Sekwan sudah mulai mendistribusikan laptop kepada anggota DPRD.

Sekretariat DPRD sempat dibuat kelabakan terkait hilangnya tiga unit laptop tersebut. Akhirnya disepakati, ada tiga anggota DPRD yang harus mengalah untuk sementara tidak kebagian laptop dinas. Tiga parpol besar harus merelakan satu anggotanya tidak kebagian jatah laptop. Tiga parpol pemilik jumlah kursi terbesar yang harus mengalah jatah satu laptop-nya tertunda adalah PPP, PKNU, dan Partai Demokrat.

Sejatinya, laptop maupun mobil dinas adalah fasilitas yang diberikan negara untuk keperluan dinas. Kasus laptop anggota dewan yang hilang, sebenarnya harus diperlakukan sama seperti kasus kendaraan dinas yang hilang.

Selama ini, pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa pegawai yang menghilangkan fasilitas dinas seperti mobil dinas, harus mengganti dengan yang baru. Bahkan, ada pemerintah daerah yang menerapkan masalah penggantian inventaris berupa mobil dinas secara tegas dan disiplin. Misalnya, ketika mobil dinas yang hilang adalah kendaraan keluaran tahun 2000, maka pegawai yang menghilangkan kendaraan itu, harus mengganti dengan mobil keluaran terbaru tahun 2009.

Memang, tidak perlu sekeras itu dalam menuntaskan kasus tiga laptop anggota DPRD Situbondo yang hilang itu. Yang jelas, kalau inventaris negara itu hilang, seharusnya memang diganti oleh yang menghilangkan. Utang kepada manusia saja, tetap dicatat sebagai utang hingga akhirat. Apalagi utang inventaris kepada negara dan rakyat. (*)

Cara Aman Bermain Ombak

GAYA pelesir warga Bumi Blambangan di saat libur Lebaran kali ini memang cukup membuat miris. Coba saja lihat yang terjadi di Wana Wisata Grajagan (WWG) di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi. Banyak warga menghabiskan waktunya untuk mandi di pantai Laut Selatan Jawa tersebut (23/9). Padahal, kegiatan mandi di pantai tersebut sebenarnya sangat berbahaya.

Sekadar diketahui, ketinggian ombak di perairan Grajagan dan sekitarnya bisa mencapai sembilan feet atau sekitar 3,5 meter. Ombak setinggi itu tentu sangat rawan bagi keselamatan manusia.

Namun faktanya, ratusan warga sengaja mandi di pantai Gragajan. Bahkan, banyak yang tampak dengan sengaja bermain-main dengan ombak yang tinggi itu. Yang lebih miris lagi, sebagian besar yang mandi di pantai tersebut adalah anak-anak.

Pihak terkait bukannya menutup mata dengan kenyataan tersebut. Pengelola WWG sudah lama memasang beberapa papan pengumuman yang berisi peringatan bahaya mandi di laut. Tetapi, papan peringatan itu tidak digubris. Bahkan, sebagian papan peringatan tersebut sudah tercabut dan raib dari tempatnya. Memang, cukup susah menghalau ratusan warga yang sedang bermain ombak.

Sementara itu, kegiatan menantang maut bermain ombak seperti itu sebenarnya adalah hal yang lumrah di kalangan surfer. Para pecinta olahraga surfing justru sangat haus akan ombak besar. Mereka rela menempuh perjalanan ribuan mil, demi mendapatkan lokasi pantai dengan ombak yang tinggi.

Mereka memang sudah terlatih dan paham betul dengan karakter ombak. Mereka memang mengisi hidupnya dengan bermain ombak. Bedanya dengan warga Banyuwangi yang bermain ombak, para surfer itu selalu bermain dengan aman. Nah, untuk menghindari terjadinya musibah, tidak ada salahnya agar warga Bumi Blambangan mendapat pendidikan dasar tentang surfing. (*)

Pergeseran Pola Arus Balik

PROBLEM kepadatan arus mudik dan arus balik Lebaran seolah sudah menjadi rutinitas setiap tahun. Saking seringnya, aparat terkait sudah hafal betul bagaimana ritme dan pola kepadatan arus mudik dan arus balik.

Namun yang terjadi saat ini, tren yang terjadi menunjukkan ada sedikit pergeseran dalam pola kepadatan arus mudik dan arus balik yang terjadi di Jawa Timur, khususnya Banyuwangi dan Situbondo. Termasuk tren penumpang penyeberangan Ketapang-Gilimanuk.

Pada arus mudik lalu, puncak kepadatan penumpang diprediksi terjadi pada H-3 Lebaran. Ternyata, puncak arus mudik di penyeberangan Jawa-Bali justru terjadi mulai H-2. Pola pergeseran penumpang juga terjadi pada arus balik Lebaran. Tanda-tandanya sudah terlihat pada situasi di pelabuhan Ketapang pada H+1 kemarin (21/9).

Rupanya, pada H+1 nyaris tidak terlihat antrean kendaraan yang akan menyeberang ke Bali di Pelabuhan Ketapang. Pemandangan ini sangat kontras dengan situasi arus balik Lebaran tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 lalu, sejak H-1 hingga H+1 lebaran, ribuan kendaraan para wisatawan sudah memadati area parkir PT Indonesia Fery ASDP Ketapang.

Tahun ini, ternyata tidak ada antrean panjang kendaraan wisatawan yang sedang liburan. Antrean hanya terjadi saat kapal melakukan bongkar muat. Bahkan, arus wisatawan dari Jawa ke Bali pada liburan Idul Fitri tahun ini cenderung mengalami penurunan sekitar delapan persen.

Nah, kondisi arus balik saat ini sepertinya memang lebih sulit ditebak. Karena itu, ada baiknya pada pemudik yang akan balik ke tempat kerjanya menyiapkan strategi khusus agar tidak terjebak macet. Salah satu strateginya adalah dengan jalan mengelola pemudik agar tidak bersamaan kembali ke tempat kerjanya. Jika bisa diatur seperti itu, kepadatan dan penumpukan kendaraan di jalan serta di pelabuhan, bisa dikurangi.

Yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran dan pengorbanan para pemudik. Jika ingin perjalanan balik bisa dilalui dengan lancar, serta tidak terjebak kemacetan, mereka harus rela berkorban. Misalnya dengan sengaja berangkat lebih awal, tanpa harus menunggu masa liburan habis.

Satu lagi kata kunci sukses dalam melakukan perjalanan arus balik lebaran, yakni mencari informasi yang tepat dan akurat. Sebelum berangkat, jangan sungkan menelpon pengelola pelabuhan atau aparat terkait, untuk menanyakan informasi terkini situasi pelabuhan serta jalan yang akan anda lalui. (*)