Minggu, 19 Oktober 2008

Nyawa Disambung Kompresor

PADA masa perang kemerdekaan, para pejuang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk bertempur melawan penjajah. Mereka rela kehilangan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan untuk bangsanya, negaranya, tanah airnya, diri dan keluarga, serta untuk kemerdekaan anak cucunya.
Memasuki bulan Agustus mendatang, sudah 63 tahun proklamasi kemerdekaan berjalan. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup panjang. Setelah sekian lama, nasib dan sosok pejuang di era kemerdekaan masih tetap menyala di mana-mana.
Di Banyuwangi saja, masih banyak pejuang yang harus bertempur dan bertaruh nyawa demi memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga. Untuk lingkup yang lebih kecil, misalnya di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, banyak pejuang masa kini.
Sedikitnya 450 warga desa pesisir ini bertaruh nyawa setiap hari demi menghidupi keluarga. Mereka adalah para penyelam tradisional pencari ikan hias. Melihat beratnya perjuangan hidup yang dihadapi, mereka sangat layak mendapat predikat sebagai pejuang masa kini.
Ratusan warga desa itu bekerja tanpa mengenal rasa takut. Mereka menyelam dengan alat seadanya. Padahal, risiko maut mengancam setiap saat. Mereka menyelam di kedalaman laut untuk mencari ikan hias. Lokasi yang jadi favorit mereka terletak pada kedalaman laut mulai lima meter hingga 65 meter.
Sedangkan peralatan yang mereka bawa hanya seadanya. Mereka hanya mengenakan kaca mata untuk memudahkan penglihatan di bawah air. Sedangkan alat bantu pernafasan hanya mengandalkan selang dan kompresor.
Padahal, kompresor yang mereka bawa di atas perahu itu bisa saja ngadat sewaktu-waktu. Kompresor macet, artinya mereka tidak bisa bernafas di dasar laut. Tidak bisa bernafas beberapa menit saja, sama halnya dengan nyawa melayang. Ya, hidup mereka hanya bergantung pada kompresor saat menyelam mencari ikan.
Betapa besar risiko menjadi penyelam tradisional. Demi menghidupi keluarga, ratusan warga desa itu masih menggeluti pekerjaan berbahaya itu. Apalagi, pengetahuan penyelam tradisional itu juga pas-pasan. Mereka hanya belajar dari pengalaman.
Niat mereka bekerja memang sangat mulia. Terlebih, mereka sepakat tidak menggunakan potasium untuk mencari ikan. Ditambah lagi, semua ikan hias hasil tangkapan mereka lebih banyak diperuntukkan pasar ekspor. Artinya, kerja mereka pada akhirnya mampu menyumbang devisa bagi negara. Secara tidak langsung, mereka bisa masuk golongan para pahlawan devisa.
Namun hingga kini, mereka merasa belum mendapat sentuhan perhatian pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah bekal ilmu tentang kegiatan penangkapan ikan yang tidak melanggar hukum.
Yang tak kalah penting, jangan sampai mereka dijadikan sapi perahan atas kekurangpahaman mereka dalam masalah hukum. Sudah sepatutnya, kita semua menggiring para pahlawan devisa itu untuk menjadi sejahtera. (*)

Tidak ada komentar: