Senin, 26 Januari 2009

Kekumuhan Abadi di Jantung Kota Banyuwangi

PEDAGANG Pasar Banyuwangi mogok membayar retribusi sejak sepekan lalu. Mereka mogok lantaran kecewa dengan Dinas Pengelolaan Pasar Banyuwangi.
Dinas Pasar dinilai gagal menertibkan maraknya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di badan jalan Diponegoro, Jalan Veteran dan Jalan Satsuit Tubun. Padahal, Dinas Pasar sudah berjanji untuk membersihkan PKL yang berjualan di badan jalan sekitar Pasar Banyuwangi itu.
Ekpresi kecewa yang dilakukan pedagang Pasar Banyuwangi itu memang cukup beralasan. Mereka tidak pernah merasakan keadilan. Pedagang di dalam pasar selalu dipungut retribusi setiap hari. Mereka ikut menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Artinya, mereka ikut andil dalam pembangunan di Bumi Blambangan.
Tetapi apa yang mereka dapatkan? Ternyata pemkab membiarkan maraknya PKL berjualan di badan jalan sekitar pasar. Akibatnya, pembeli menjadi tak mau masuk dalam pasar. Transaksi jual beli pun lebih ramai terjadi di tepi jalan.
Akhirnya, para pedagang di dalam Pasar Banyuwangi banyak yang gulung tikar. Selama ini, sudah banyak los pedagang dalam pasar yang tutup karena sepi pembeli. Sepanjang tahun 2008 saja, jumlah bedak dalam pasar yang tutup berjumlah puluhan unit.
Betapa meruginya pemkab kalau membiarkan PKL marak di badan jalan. Sebab, PKL tersebut tidak memberi sumbangsih apa pun dalam pembangunan. Kepala Dinas Pengelolan Pasar Banyuwangi, Abdul Rachman mengakui, Bupati Banyuwangi tidak mewajibkan PKL di jalan tersebut membayar retribusi sejak akhir tahun 2007.
Dilihat dari azas keadilan, pemkab sangat men-dzalimi pedagang dalam pasar. Pedagang selalu dipungut retribusi, sedangkan PKL tidak. Pedagang dalam pasar selalu dijadikan sapi perahan, tetapi tidak pernah difasilitasi kesulitannya.
Bukan itu saja kerugian pemkab yang membiarkan maraknya PKL di badan jalan. Pemandangan kota menjadi kumuh. Apalagi, mereka beroperasi di jantung kota Banyuwangi. Ini akan memberikan kesan kurang menyenangkan bagi para pendatang yang baru mengunjungi Kota Gandrung.
Sedangkan bagi warga yang sudah lama paham tentang Banyuwangi, masalah PKL itu akan membuat mereka merasa skeptis dengan pembangunan di daerah ini. Sejak puluhan tahun lalu, wajah Kota Gandrung ini seolah tak pernah berubah. Pasar Besar Banyuwangi yang seharusnya jadi ikon perwajahan dan tata kota, ternyata tidak pernah berubah. Wajahnya selalu kusam dan kusut oleh kekumuhan yang dipicu oleh maraknya PKL di badan jalan.
Bermacam jalan keluar sudah pernah diracik dan dijadikan formula untuk mengatasi maraknya PKL di badan jalan tersebut. Mulai langkah persuasif, tindakan represif aparat penegak Perda. Bahkan, kini sedang didengungkan tentang relokasi ratusan PKL tersebut di lahan selatan Pegadaian. Apakah ini akan jadi obat manjur membersihkan badan jalan tersebut? Kita tunggu saja. (*)

Perampokan Jelang Pemilu

Aksi kejahatan pencurian dengan kekerasan (curat) marak akhir-akhir ini. Masyarakat lebih populer menyebut istilah perampokan dari pada istilah curat.
Yang terakhir terjadi, komplotan perampok asal Sidoarjo dan Surabaya beraksi di Bumi Blambangan (17/1). Mereka mengobok-obok dua rumah di Jalan Padjajaran, Kelurahan Taman Baru, Kecamatan Banyuwangi. Namun sial, mereka berhasil ditaklukkan polisi, hanya dalam tempo 15 menit setelah membawa kabur barang rampokan.
Korban perampokan itu adalah pengusaha properti H Harun Iskak yang tinggal di Jalan Pajajaran Gang II Nomor 22. Satunya lagi tetangganya, Widigdo Harijanto yang menempati rumah di Jalan Pajajaran Gang II Nomor 21. Kawanan perampok masuk dua rumah itu sekitar pukul 09.00 dengan merusak pintu pagar dan rumah. Saat itu, rumah dalam kondisi kosong.
Harun sedang melihat tanahnya di sekitar GOR Tawang Alun, sedangkan isterinya Hj Mina mengantar anaknya ke sekolah mengambil rapor.Begitu juga rumah Widigdo. Pagi itu kosong, karena ditinggal mengantar anaknya ambil rapor di sekolah. Isteri Widigdo bepergian keluar kota.
Sehari sebelumnya, aksi perampokan juga terjadi di Situbondo.
Korbannya Iwan Sanjaya, nasabah Bank Mandiri Situbondo asal Desa Cermee, Kecamatan Cermee, Bondowoso. Uang Rp 40 juta yang disimpan di laci mobil amblas, setelah ban mobil korban bocor.
Polisi memastikan, modus operandi kawanan ini adalah tembak ban. Sebab, dari ban mobil yang bocor, polisi menemukan sebatang paku yang dirancang khusus untuk aksi kejahatan di jalanan
Maraknya peristiwa perampokan ini terjadi menjelang Pemilu Legislatif 2009. Kalau kita berkaca pada sejarah, bermacam perstiwa besar selalu terjadi pada saat menjelang pemilu. Di Banyuwangi saja, ada perstiwa internasional yakni tragedi pembataian masal belasan orang oleh Wirdjo, yang terjadi menjelang Pemilu tahun 1987. Ada juga peristiwa pembantaian dukun santet menjelang Pemilu 1999. Belum lagi peristiwa kelam lainnya yang terjadi menjelang Pemilu pada masa Orde Baru.
Namun, kali ini eranya sudah berbeda. Kita semua harus berpikir positif, dan tidak terlalu terlarut dalam mitos buruk masa lalu. Kasus perampokan terjadi karena pelaku ingin menguasai harta benda korban. Artinya, motif kejadian itu lebih banyak didominasi faktor ekonomi. Maklum, baru saja dunia dilanda krisis global. Mungkin saja dampaknya dirasakan para perampok tersebut. Kalau saja ekonomi negeri kita semakin membaik, diharapkan tak ada lagi tragedi berdarah menjelang Pemilu, terutama di Banyuwangi. (*)

Mencegah Penyelundupan Ternak

ACUNGAN jempol untuk Kantor Karantina Hewan (KKH) Ketapang, Banyuwangi. Aksi intsitusi ini kini lebih greng. Setelah sekian lama seolah ‘tak berdaya’, kali ini mereka bersikap sangat tegas.
KKH dengan tegas melarang pengiriman ternak ke Pulau Dewata. Meski begitu, pengiriman hasil ternak berupa daging ke Bali masih ditoleransi. Kebijakan memperketat pengawasan arus pengiriman ternak menuju Pulau Bali itu, untuk mengantisipasi penularan penyakit menular. Langkah tersebut sekaligus mengurangi upaya penyelundupan ternak di Selat Bali.
Pengawasan ketat ini sekaligus sebagai media penyadaran kepada masyarakat. Ternak yang sakit, sebaiknya tidak dikonsumsi, apalagi diperdagangkan. Petugas karantina hewan juga siaga 24 jam, untuk mengantisipasi penjual maupun pembeli ternak yang membandel. Petugas memeriksa kendaraan yang membawa ternak dan unggas di sekitar pelabuhan Ketapang. Mereka juga memeriksa dokumen ternak tersebut.
Kerja keras petugas memang tidak sia-sia. Mereka berhasil menggagalkan upaya penyelundupan ternak di gerbang lintas Jawa-Bali itu. Bahkan, ditemukan juga kasus puluhan unggas yang disembunyikan dalam muatan pipa. Belum lagi, keberhasilan menggagalkan penyelundupan belasan sapi yang diangkut dalam truk tertutup rapat oleh terpal.
Namun kerja keras petugas karantina hewan itu tidak akan banyak berarti tanpa bantuan dan partisipasi masyarakat. Karena penyelundup ternak antarpulau punya barmacam cara untuk memuluskan bisnisnya. Apalagi, Banyuwangi punya belasan pelabuhan nelayan tradisional yang bisa berhubungan langsung ke Bali. Nah, belasan pelabuhan tradisional itu sejauh ini belum memiliki sarana lengkap untuk pengawasan petugas karantina hewan.
Terlebih, penyelundup juga masih bisa menggunakan tempat-tempat tertentu di sepanjang pesisir Banyuwangi untuk pendaratan ternak kirimannya. Bukan mustahil juga, kalau sapi bisa dilepas dari perahu dan dibiarkan berenang sendiri sejauh belasan meter menuju pantai lokasi pendaratan.
Memang, upaya memperketat pengawasan lalu lintas pengiriman terbak di pelabuhan adalah langkah maju. Namun akan lebih baik juga, upaya tersebuit disertai dengan memberi pemahaman kepada masyarakat pesisir tentang pentingnya peran karantina hewan. Jika masyarakat pesisir bisa mengerti dan punya kesadaran tinggi, hampir dipastikan penyelundupan ternak antarpulau akan sulit terjadi di Bumi Blambangan ini. (*)

Air Genangi Simbol Daerah

Hujan yang turun pada hari Kamis kemarin (8/1), nyaris membuat celaka warga Banyuwangi. Walau hujannya cuma sebentar, namun genangan air terjadi di mana-mana.
Sepanjang Jalan Ahmad Yani digenangi air hingga setinggi betis orang dewasa. Bahkan, halaman depan kantor Pemkab Banyuwangi tergenang air selama beberapa jam. Saluran air yang ada di depan kantor pemkab itu, ternyata tidak mampu menampung aliran air hujan selama sekitar setengah jam itu. Akibatnya, air meluber hingga ke dalam halaman depan kantor bupati tersebut.
Tak pelak, taman depan gedung utama kantor pemkab dibanjiri air setinggi betis orang dewasa. Untungnya, hujan lebat tidak berlangsung lama. Kalau hujan bertahan hingga tiga jam saja, maka kemungkinan Kota Banyuwangi akan tergenang air.
Tidak hanya di Jalan Ahmad Yani, genangan air juga terjadi di beberapa tempat lain. Seperti di Jalan Adi Sucipto dan Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Banyuwangi. Selain itu, air juga menggenangi Jalan Gajah Mada, Kecamatan Giri. Untungnya, genangan aliran hujan itu tidak separah yang terjadi di depan kantor pemkab.
Kantor Bupati Banyuwangi itu, sejatinya bukan hanya sebagai tempat bekerja para pegawai daerah. Namun lebih jauh dari itu, kantor tersebut bisa dikatakan sebagai simbol daerah.
Kalau kantor itu aman, bebas dari maling dan sejenisnya, itu akan menggambarkan bahwa secara umum wilayah Banyuwangi bisa dikatakan aman. Kalau kantor itu bersih dan asri, itu bisa menyimbolkan bahwa Bumi Blambangan ini secara umum juga bersih, hijau dan asri.
Memang, penilaian seperti ini kadang juga dipandang sangat naif. Tetapi kita tidak bisa mengesampingkan analogi yang lazim digunakan masyarakat. Misalnya saja, kalau tiba-tiba kantor Bupati Banyuwangi itu mendadak dijarah perampok, tentu saja dampaknya akan heboh di masyarakat. Lah, kenapa kantor yang posisinya begitu strategis dan selalu dijaga saja bisa kemalingan, bagaimana pula dengan ratusan ribu rumah milik rakyat yang tidak dijaga petugas. Logikanya, tentu posisi ribuan rumah warga Banyuwangi akan sangat lebih tidak aman.
Demikian pula halnya dengan air hujan yang sempat menggenangi seluruh halaman kantor Bupati Banyuwangi. Karena kantor itu sudah jadi simbol daerah, persoalan ini tidak bisa lagi dianggap sepele. Kalau kantor bupati saja sudah tergenang, bagaimana pula nasib ribuan rumah warga yang posisinya tidak strategis, tak dilengkapi drainase, dan sebagainya. Artinya, masih banyak rumah warga yang sangat rawan kebanjiran. Dan itu bukan lagi masalah kecil. Kita semua harus waspada.(*)

Beda Menteri Beda Policy

KABAR gembira dilontarkan Menteri Perhubungan (Menhub) Jusman Syafei Djamal untuk warga Bumi Blambangan. Ketika berkunjung ke proyek lapangan terbang (Lapter) Blimbingsari di Kecamatan Rogojampi, Jusman menyatakan bahwa lapter Blimbingsari siap beroperasikan bulan Maret 2009.
Menhub menilai, secara umum sarana dan prasarana lapter Blimbingsari itu sudah memenuhi syarat kelayakan sebagai lapter perintis. Departemen Perhubungan akan melakukan verifikasi akhir terhadap kesiapan operasional bandara tersebut. Jika tidak ada halangan, pada bulan Maret 2009 lapter tersebut sudah bisa beroperasi.
Ada dua rute yang dimungkinkan pada tahap pencarian pasar penerbangan di lapter itu. Yakni rute penerbangan Banyuwangi-Surabaya (PP) dan rute Banyuwangi-Denpasar (PP). Dua rute tersebut memiliki prospek yang baik untuk mengembangkan lapter Blimbingsari.
Jusman juga menekankan agar memafaatkan potensi yang ada. Artinya, pemkab tidak perlu berpikir lebih jauh untuk menambah panjang runway menjadi 2.700 meter sebelum memiliki pasar tetap. Runway sepanjang 1.700 meter yang ada, hendaknya dimanfaatkan dulu sehingga memiliki pasar tetap. Nanti kalau sudah punya pasar tetap, barulah runway dikembangkan menjadi 2.700 meter.
Untuk sementara waktu, pengoperasian bandara Blimbingsari akan dilakukan secara manual. Persoalan navigasi bisa dibimbing dari Bandara Internasional Juanda Surabaya dan bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali. Secara prinsip, bandara Banyuwangi sudah bisa didarati pesawat jenis ATR 72 atau CN 325.
Penjelasan dan harapan Menhub Jusman sangat gamblang. Ini cukup melegakan warga Banyuwangi. Karena, masyarakat Kota Gandrung sudah lama merindukan terbukanya gerbang transportasi udara di langit Bumi Blambangan ini. Namun di balik semua itu, ada yang sedikit mengganjal pikiran dan hati warga.
Tahun sebelumnya, lapter Blimbingsari juga pernah dikunjungi Menhub yang waktu itu masih dijabat Hatta Radjasa. Waktu itu, kondisi runway sudah siap. Hampir sama siapnya seperti kondisi runway lapter saat ini. Cuma saat itu, runway lebih sempit dan panjangnya baru sekitar 900 meter.
Menhub Hatta ketika tidak mau lapter Blimbingsari segera beroperasi. Alasannya, membangun lapter tak perlu tanggung-tanggung. Lebih baik membuat lapter itu yang bisa digunakan untuk pesawat yang besar sekalian. Akhirnya, operasional lapter tertunda hingga setahun.
Kini, setelah runway lapter agak panjang (masih 1700 meter, belum 2700 meter), datang lagi Menhub Jusman dengan pandangan yang berbeda. Lebih baik lapter segera beroperasi dimulai dari perintis, untuk kemudian mencari pasar tetap. Memang, beda orang yang jadi menteri itu lumrah beda kebijakan. (*)

Umat Islam dan Tahun Baru

HARI ini, umat Islam merayakan tahun baru 1 Muharam 1430 Hijriah. Mereka merayakan datangnya tahun baru itu dengan berbagai kegiatan. Ada yang membaca doa awal tahun secara bersama-sama. Ada yang menggelar istighotsah. Ada juga yang membaca surat Yasin bersama-sama. Bahkan ada yang menggelar tasyakuran untuk meningkatkan kebersamaan warga.
Tidak sedikit umat Islam yang menyambut mentari pagi tahun bari Hijriah dengan menggelar jalan sehat. Mereka berolahraga dengan berjalan kaki keliling kota. Selain menyehatkan badan, mereka juga sekaligus melakukan syiar agama. Mereka akan menunjukkan kekompakan, kebersamaan dan keceriaan umat Islam.
Semua kegiatan peringatan tahun bari Hijriah itu memang cukup positif. Tidak ada unsur foya-foya dan hura-hura dalam kegiatan umat Muslimin tersebut.
Pada sudut pandang lain, tahun baru Islam kali ini bertepatan jatuh pada tanggal 29 Desember 2008 pada kalender masehi. Artinya, dua hari setelah itu akan datang malam tahun baru 2009. Acara tahun baru masehi ini diperingati warga seluruh dunia, tidak terkecuali di Banyuwangi dan Situbondo.
Kalau berkaca pada tahun baru lalu, acara pergantian tahun sering diwarnai kegiatan hura-hura. Konvoi naik motor keliling kota masih dijumpai di mana-mana. Bahkan ada juga menggelar pesta yang mengarah pada hal negatif, seperti minum minuman keras (miras). Sudah selayaknya, kedekatan jatuhnya tahun baru Islam dengan tahun baru 2009 ini, kita jadikan momen saling menghormati. Semoga tidak ada lagi aroma miras di malam tahun baru nanti, terutama bagi mereka yang mengaku sebagai umat Islam. (*

Perampok Teriak Rampok

KALAU seandainya perampok itu punya kode etik, pasti mereka tidak akan menggarong duit sembarangan. Mereka tentu akan pilih-pilih mangsa atau pasien.
Misalnya, duit anak yatim tak akan disentuh. Duit sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah juga tak bakal diganggu. Terlebih, mereka tidak akan menyenggol duit untuk kepentingan warga miskin, apalagi yang menjadi kepentingan rakyat banyak.
Jangan heran, banyak warga yang mengelus dada ketika mendengar berita perampok menyikat duit program Jaringan Pengaman Ekonomi Sosial (JPES) sebesar Rp 45 juta di Kecamatan Cluring. Sebab, duit tersebut akan digunakan untuk pembangunan di Desa Tamanagung, Kecamatan Cluring, Banyuwangi. Duit itu akan dirasakan oleh para keluarga miskin (gakin) di daerah tersebut. Mereka akan diberdayakan untuk proyek pembangunan di daerah itu.
Kisah ini berawal saat dua pengurus kelompok Gakin Desa Tamanagung, Bagus dan Asrofi bertugas mengambil uang JPES di Bank Jatim unit Genteng. Usai mengambil uang, mereka pulang mengendarai motor matic. Uang sebesar Rp 45 juta tersebut disimpan di bawah jok bawah motor itu.
Dalam perjalanan pulang, mereka mengaku dicegat empat perampok yang menunggang dua motor Yamaha RX-King. Dua orang turun dan menodongkan belati.Bagus dan Asrofi mengaku pasrah dan menyerahkan semua uang JPES itu.
Namun setelah kasus itu didalami, polisi menemukan banyak kejanggalan dalam laporan perampokan itu. Keterangan dua saksi pelapor itu banyak yang tidak sinkron. Apalagi setelah digelar reka ulang di lokasi kejadian. Akhirnya polisi menetapkan status Bagus dan Asrofi sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan laporan palsu tentang aksi perampokan.
Memang, keberadaan uang JPES senilai Rp 45 juta itu masih belum jelas. Apakah uang itu benar-benar hilang dicuri? Atau uang itu memang tidak dicuri perampok? Semua kemungkinan masih sedang ditelusuri kebenarannya oleh aparat kepolisian.
Kalau memang laporan perampokan itu palsu, kalangan perampok layak tersinggung. Sebab, perampok telah dijadikan kambing hitam. Apalagi, duit yang disikat itu adalah uang untuk proyek pembangunan desa, dengan memberdayakan keluarga miskin. Kalau sudah begini, siapa yang lebih layak disebut perampok? Siapa yang lebih keji? Merampok orang kaya demi memperkaya diri sendiri yang miskin, atau merampok jatah orang miskin dengan mengkambinghitamkan para perampok? (*)

Standar Kejujuran Kelulusan

MENTERI Pendidikan Nasional (Mendiknas) kembali mengeluarkan peraturan baru yakni Permendiknas nomor 77 tahun 2008. Peraturan itu mengatur tentang Standar Nilai Kelulusan (SNK) siswa SMP dan SMA. Ada ujian nasional (Unas) tahun lalu, SNK ditetapkan hanya 5,25 , kini SNK naik menjadi 5,5.
Artinya, peserta Unas harus meraih nilai rata-rata minimal 5,5 untuk lulus ujian. Jika nilai rata-ratanya kurang dari SNK, mereka otomatis dinyatakan tidak lulus.
Kalau kita melirik ke belakang, pemerintah selalu menaikkan SNK dari tahun ke tahun. Namun dengan penetapan SNK 5,5 ini, kita semua patut berharap agar pemerintah tidak lagi menaikkan standar nilai kelulusan tersebut di tahun-tahun mendatang.
Angka 5,5 termasuk nilai yang ideal untuk standar kelulusan. Ketika siswa meraih nilai rata-rata 5,5 itu berarti dia minimal sudah mengusai lebih dari separo mata pelajaran yang diberikan. Gambaran yang lebih gampang, siswa sudah memenangi perang melawan soal ujian dengan perolehan lebih dari 55 persen. Dengan begitu, secara matematis dia layak dinyatakan lulus.
Meski begitu, masih ada beberapa pihak yang pesimistis dengan penetapan SNK 5,5 tersebut. Banyak kalangan yang waswas, dengan tingginya standar kelulusan yang ditetapkan, akan berdampak pada meningkatnya siswa yang tidak lulus.
Tetapi kita patut bercermin pada pengalaman tahun lalu. Ketika itu, pemerintah menaikkan SNK menjadi 5,25 tahun lalu. Banyak pengelola sekolah yang pesimistis. Bahkan, Dinas Pendidikan (Dispendik) Banyuwangi juga sempat pesimistis. Apakah bisa meluluskan siswanya dengan persentase yang bagus dan tidak.
Namun fakta justru berbica lain. Ternyata, tingkat kelulusan siswa tahun lalu tetap tinggi. Bahkan, SMAN Genteng mampu meraih peringkat pertama tingkat provinsi Jawa Timur.
Ternyata, penetapan standar nilai kelulusan yang tinggi itu direspon dengan baik oleh sekolah dan siswa. Mereka melakukan persiapan yang matang untuk menghadapi Unas. Bahkan beberapa bulan sebelum ujian digelar, mereka sering berlatih menggarap soal pada jam pelajaran tambahan. Akhirnya, kekhawatiran jebloknya hasil ujian tak lagi menjadi masalah.
Dengan demikian, standar nilai kelulusan secara umum tak jadi problem. Namun masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan standarnya dalam menghadapi Unas. Misalnya standar kejujuran mengerjakan ujian, standar kejujuran sekolah mengantar siswanya menggarap Unas secara fair, standar kejujuran guru yang merelakan muridnya menggarap ujian secara mandiri, tanpa memberi bantuan, contekan apalagi praktik perjokian. Memang, standar kejujuran seperti itu tidak bisa ditulis dengan angka. Standar kejujuran hanya bisa dirasakan oleh semua pihak yang terkait dalam melaksanakan Unas. Hati nurani merekalah yang bisa merasakan naik atau tidaknya standar kejujuran melaksanakan Unas. (*)

Jembatan Ambrol Bikin Bingung

KALAU saja proyek jembatan senilai Rp 1,73 miliar di sungai Pekalen Sampean Kabeanem tidak ambrol, rakyat tidak akan bingung. Kalau saja jembatan yang menghubungkan Kecamatan Bangorejo dengan Kecamatan Tegalsari itu sudah bisa dilewati, tentu tidak akan banyak pertanyaan di benak rakyat seperti yang terjadi saat ini.
Betapa tidak, kejadian ambrolnya salah satu sisi plengsengan sepanjang 11 meter itu saja muncul banyak versi. Kalau versi warga setempat, jembatan itu ambrol pada malam hari. Mereka menduga, tanah yang digunakan untuk menguruk sisi jembatan itu tidak kuat menahan air hujan.
Di bagian ini, bangunan sepanjang 11 meter hanya dicor dibagian tepinya. Sedang di tengahnya hanya diuruk tanah dengan ketinggian sekitar delapan meter. Warga juga pernah mengingatkan pada pihak pelaksana, agar mempertebal setiap pasangan pada jembatan itu.
Berbeda lagi versi pelaksana proyek. Menurut pegawai PT Bentang Alam Nusantara, semua pengerjaan jembatan itu sudah sesuai dengan gambar. Jembatan itu juga tidak ambrol begitu saja. Mereka menyatakan, jembatan tersebut sengaja dirobohkan karena ditemukan ada yang retak.
Entah siapa yang benar dalam masalah ini. Apakah warga yang benar, atau pelaksana yang benar. Kalau hanya mencari mana yang paling benar, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Padahal yang sebenarnya paling urgen, warga dua kecamatan itu membutuhkan jalan poros. Jembatan itu punya peran penting dalam mewujudkan jalan poros yang jadi impian masyarakat di sana.
Yang lebih membingungkan lagi, pada perkembangan terkini terungkap, bahwa proyek jembatan itu ternyata sudah diserahkan pihak pelaksana kepada Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Banyuwangi.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Dinas Kimpraswil mengaku jembatan itu sudah selesai bersamaan dengan berakhirnya masa anggaran 2008. Pengerjaan pembangunan jembatan sudah selesai, kosntruksinya sesuai bestek dan laporannya juga sudah diserahkan. Uang proyek juga sudah dicairkan. Bahkan, laporan proyek itu juga sudah diterima oleh BPK. Kondisi ini mengundang reaksi keras anggota komisi D DPRD Banyuwangi. Bahkan seorang wakil rakyat tegas menyatakan proyek itu faktanya belum selesai.
Entah siapa yang benar dalam hal ini. Apakah Dinas Kimpraswil yang benar, ataukah sebaliknya, wakil rakyat yang benar. Memang jembatan itu penuh pertentangan dan cukup membingungkan. Entah, pro kontra apalagi yang akan muncul besok tentang jembatan ini. (*)