Minggu, 19 Oktober 2008

Krisis Lahan v Harga Tebu

SITUBONDO termasuk salah satu daerah penyuplai gula terbesar di Jawa Timur. Ada beberapa pabrik gula (PG) di Kota Santri ini. Sebut saja PG Asembagus (Kecamatan Asembagus), PG Pandjie (Panji), PG Olean (Situbondo) dan PG Wringinanom (Panarukan). Beberapa tahun lalu, pernah beroperasi PG Demaas di Kecamatan Besuki.
Di perbatasan selatan Situbondo-Bondowoso, beroperasi PG Prajekan. Meski masuk wilayah kabupaten tetangga, hubungan ekonomi warga Prajekan lebih dekat dengan Situbondo.
Yang menarik, semua PG tersebut sudah beroperasi sejak zaman kompeni. Penjajah Belanda memahami betul karakter dan kondisi geografis Situbondo dan sekitarnya. Lahan di daerah tersebut dirasakan paling cocok untuk tanaman tebu. Termasuk juga sebagian wilayah Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi yang berbatasan dengan Situbondo.
Setelah ratusan tahun berperan, kini Situbondo terancam kehilangan gelar sebagai pemasok gula nasional. PG di Situbondo terancam kekurangan bahan baku untuk memproduksi gula. Ratusan hektare lahan yang sebelumnya ditanami tebu, kini berubah menjadi lahan tanaman jagung. Seperti yang terjadi pada lahan tebu rakyat di PG Olean yang sebelumnya 1.200 hektare, kini tinggal 420 hektare. Kondisi ini juga terjadi di PG lainnya.
Petani lebih tertarik menanam jagung, karena harganya yang terus merangkak naik. Sementara, randemen tebu dari hari ke hari tak pernah menggairahkan.
Dari keadaan ini sudah bisa dipastikan, pasokan tebu pada tahun ini dipastikan akan berkurang. Akibatnya, PG tidak akan mampu memenuhi target produksi gula pada 2009 maupun 2010. Celakanya, jika kondisi ini terus dibiarkan, PG bisa terancam gulung tikar.
Dalam masalah ini, petani tidak bisa dipersalahkan. Sebab, mereka hanya mengikuti naluri bisnis. Petani berpikir praktis dan memilih produk tanaman yang lebih menguntungkan.
Jangan heran kalau Wakil Presiden Jusuf Kalla begitu ngebet melakukan percepatan industri gula. Kalangan investor juga turut andil mencoba mengatasi bibit ‘krisis gula’ ini. Satu konsorsium sudah siap mendirikan Pabrik Gula Terpadu (PGT) yang terbesar di Pulau Jawa. Yang membanggakan, pilihan mereka jatuh ke Banyuwangi sebagai lokasi PGT.
Sayangnya, investor masih terganjal lahan dalam membangun PGT tersebut. Setelah tiga tahun bergerilya memburu lahan, mereka belum juga mendapat kepastian dalam memenuhi sedikitnya 10 ribu hektare lahan tebu pemasok PGT.
Perkembangan terbaru, Direktur Utama PTPN XI Irwan Basri MM, mengajukan permohonan lahan Perhutani Banyuwangi Selatan seluas 8.000 hektare kepada Menteri Kehutan Malam Sambat Kaban, untuk mendukung realisasi pembangunan PGT tersebut.
Ada beberapa lokasi yang diminta untuk dijadikan alih fungsi penanaman tebu tersebut, yaitu BKPH Karetan, Pedotan, Genteng, Pesanggaran, Curahjati, dan Blambangan. Namun tentu saja, Perhutani tidak akan mudah bisa menerima, ikhlas secara lahir batin mendukung permohonan alih fungsi lahan tersebut.
Intinya, Situbondo dan Banyuwangi sedang kesulitan meneguk manisnya gula tebu. Kesulitan yang dihadapi sama-sama terkait masalah ketersediaan lahan.
Sejatinya, problem bisa tuntas kalau setiap pihak mau melangkah bijak dan introspeksi diri masing-masing. Tidak bijak kalau hanya petani yang dipersalahkan. Jika saja harga dan rendemen tebu membaik, tentu petani tidak akan beralih menanam tanaman lain. Kalau saja harga tebu luar biasa menguntungkan, pemerintah juga tak perlu repot mencari pengadaan lahan puluhan ribu hektare untuk memasok kebutuhan industri gula terpadu.
Jika memang harga tebu bisa mengangkat perekonomian petani secara drastis, bukan mustahil kalau puluhan atau bahkan ratusan ribu hektare lahan petani akan ramai-ramai ditanami tebu. Ada gula, ada semut. Kalau menanam tebu bisa untung besar semanis gula, tak perlu repot lagi mencari lahan. Kalau mampu, semut pun ikut menanam tebu sendiri. (*)

Tidak ada komentar: