Kamis, 06 November 2008

Bergulat Melawan Pergaulan Bebas

MIRIS sekali mendengar berita perkosaan akhir-akhir ini. Khusus di wilayah Banyuwangi saja, sudah terjadi tiga kali kejadian perkosaan dalam waktu sehari.
Kasus pertama melibatkan siswi kelas dua SMP di Kecamatan Muncar. Dia ditemukan warga dengan kondisi pakaian acak-acakan, dengan posisi tergeletak tidak berdaya di dermaga pantai Boom. Gadis itu diduga diperkosa ketika masih dalam pengaruh minuman keras (miras).
Dia mengaku baru berpesta miras bersama beberapa rekannya di Desa Sumbesewu, Muncar. Saat dia mabuk berat, seorang pria berniat mengantarkannya pulang, ternyata dia malah ditemukan di pantai Boom Banyuwangi yang berjarak 35 kilometer dari Muncar!
Kasus kedua terjadi di Kecamatan Purwoharjo. Kali ini, melibatkan siswa SD. Korbannya adalah tetangganya sendiri, seorang siswi yang masih sekolah TK. Kejadian itu bahkan berlangsung pada siang bolong di dekat rumah korban. Modusnya, bocah TK itu dirayu diajak nonton TV.
Kasus ketiga terjadi di Kecamatan Singojuruh. Kali ini, seorang siswi SMP janjian dengan pacarnya untuk bertemu di tengah jalan saat berangkat sekolah. Begitu bertemu, pacar siswi itu mengajak ke rumah saudaranya di desa lain. Karena kondisi rumah sangat sepi, sang pacar minta melakukan hubungan suami istri. Meski itu dilakukan atas kesadaran sendiri, namun lelaki itu terjerat undang-undang perlindungan anak. Sebab, gadis tersebut masih di bawah umur.
Memang, problem yang terkait dengan seksualitas itu ibaratnya fenomena gunung es. Tiga kasus perkosaan yang sedang mengemuka itu, boleh jadi merupakan puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan air laut. Tidak dapat dipungkiri, badan gunung es yang tak terlihat di bawah permukaan air laut, mungkin sudah melebar dan meluas, seluas benua.
Kita tidak tahu, seperti apa kondisi sebenarnya pergaulan para pelajar di Banyuwangi saat ini. Bukan mustahil, sebagian besar pelajar kita sudah terjebak pergaulan bebas saat ini.
Karenanya, sudah selayaknya kita meningkatkan benteng pertahanan kita masing-masing. Tingkatkan pengawasan anak-anak dan generasi penerus kita. Yang paling penting, ajaklah mereka dialog dan biasakan bersikap terbuka. Kalau perlu, beritahu mereka tentang besarnya risiko yang dihadapi ketika mereka terjebak pergaulan bebas. (*)

Mendongkrak Citra Biliar

PERMAINAN biliar kian menjamur di Bumi Blambangan. Tidak hanya warga kota yang memainkan olahraga bola sodok ini. Warga pelosok desa juga tidak asing dengan permainan ini.
Namun tak bisa dipungkiri, arena permainan biliar ini masih lekat dengan stigma negatif. Kegiatan ini sering dicap lekat dengan tindakan perjudian. Padahal, tidak semua penggemar bola sodok menyenangi judi. Bahkan, banyak pemain biliar yang benci dengan segala bentuk taruhan.
Belum lagi cap buruk yang sudah telanjur menempel dalam bisnis permainan biliar. Petugas penghitung skor (score girl), kerap dicitrakan negatif di mata masyarakat. Banyak yang menuding score girl itu sebagai gadis murahan yang ‘bisa dipakai’.
Padahal, score girl sejatinya termasuk kalangan pekerja keras. Mereka harus betah berdiri dan melek dalam mengamati dan menghitung skor permainan. Semua itu dilakukan demi membantu penghasilan keluarga, dengan tujuan mulia agar anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik.
Alangkah bijaknya, jika kita tidak menggebyah uyah dalam memandang dan menilai mereka yang terlibat dalam bisnis bola sodok. Tidak dapat dipungkiri, memang ada oknum yang terlibat praktik judi serta menyerempet kegiatan prostitusi di dunia perbiliaran. Tetapi, masih banyak juga yang berprestasi dan memberikan manfaat baik.
Yang perlu dilakukan adalah mendongkrak kembali citra dunia biliar yang sudah terpuruk ini. Kita bisa meniru daerah tetangga, Bali. Ada yang mengelola binis biliar dengan profesional di Denpasar. Biliar dipadu dengan cafe, serta live musik. Dengan begitu, tidak hanya image olahraga biliar yang terdongkrak. Citra pengunjung dan pemainnya juga ikut terkatrol sebagai kaum yang lebih elegan dan tidak lagi urakan.(*)

Ajining Raga Saka Seragam

Ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga borong kerja (boker) Pemkab Banyuwangi akan dapat jatah seragam baru. Sudah dua tahun terakhir ini, mereka belum mendapat jatah seragam.
Pengukuran seragam pun dilakukan sejak tanggal 22 Oktober 2008 lalu. Karena jumlah pegawai yang luar biasa banyaknya, pengukuran baju seragam itu dilakukan secara bertahap selama beberapa hari. Puncaknya terjadi pada hari Senin (27/10) kemarin.
Pegawai yang akan mendapat giliran pengukuran seragam harus berbaris rapi. Mereka harus antre sebelum mencapai gilirannya untuk diukur. Antreannya cukup panjang dan mengular. Seorang pegawai harus rela antre hampir dua jam lamanya untuk menunggu giliran pengukuran. Bahkan, mereka juga rela untuk dipanggang terik sinar matahari yang menyengat.
Memang, salah satu performa yang membedakan antara pegawai dengan rakyat biasa adalah bajunya. Baju seragam memang bisa menunjukkan status seseorang. Ada bermacam seragam di negeri ini. Mulai seragam sekolah, jaket almamater mahasiswa, seragam polisi, seragam tentara serta seragam pegawai.
Kalau salah memakai seragam, bisa juga fatal akibatnya. Banyak kasus penipuan yang bermuara dari salah memakai seragam. Seperti yang dilakukan seorang pemuda yang berusaha meminang gadis pujaannya. Sialnya, pemuda luntang lantung tak punya pekerjaan itu memakai seragam perwira polisi. Akhirnya, ulahnya menyamar sebagai perwira polisi terbongkar dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ada pula jenis seragam yang sejatinya tidak diinginkan oleh kebanyakan orang. Lihat saja seragam tahanan polisi, seragam tahanan kejaksaan, serta seragam narapidana. Bahkan beberapa waktu lalu, sempat ada wacana di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi seragam khusus bagi para koruptor. Alasannya, penampilan koruptor selama ini masih tetap perlente saat mengikuti persidangan. Karena selama ini koruptor tak memakai seragam, masyarakat awam yang menyaksikan sidang pun kadang dibikin bingung. Mana terdakwa koruptornya, mana pengacaranya. Karenanya bajunya sama-sama klimisnya.
Mengingat pentingnya makna seragam, sangatlah wajar jika pegawai pemkab rela antre berjam-jam untuk pengukuran seragamnya. Ada benarnya juga pepatah Jawa yang mengatakan: ajining raga saka busana (orang bisa dihargai karena pakaian yang disandangnya). (*)

Antisipasi Serangan Teroris, Tugas Siapa?

SAAT ini tidak hanya musim pancaroba yang sedang berlaku. Akhir-akhir ini ternyata juga musim siaga. Semua aparat dikerahkan untuk mengantisipasi aksi serangan teroris.
Banyuwangi sebagai gerbang masuk ke Pulau Bali, punya peran penting dalam masalah antisipasi serangan teroris. Apalagi menjelang pengumuman eksekusi terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi dkk.
Aparat keamanan langsung siaga di sekitar Pelabuhan ASDP Ketapang. Personel bersenjata lengkap disiagakan di pelabuhan yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Dewata tersebut.
Polisi menerjunkan 456 petugas dari berbagai kesatuan di pelabuhan itu. Mereka berasal dari Satuan Reserse, Intelkam, Resnarkoba, hingga tim Gegana yang bertugas menjinakkan bom.
Petugas memeriksa calon penumpang feri dengan teliti. Barang bawaan penumpang juga tidak luput dari perhatian polisi. Mereka juga wajib menunjukkan kartu identitas saat masuk di pelabuhan Ketapang.Warga asing yang akan menuju Bali juga wajib menjalani pemeriksaan paspor dan barang bawaan.
Bahkan, Sedikitnya 13 pelabuhan nelayan tradisional di Banyuwangi juga turut diawasi. Ini merupakan langkah antisipasi agar titik-titik yang bisa jadi akses masuk ke Bali tetap terpantau.
Memang, semua langkah antisipasi telah dilakukan aparat kita. Tak jarang, petugas harus rela menomorduakan keluarga, karena tuntutan siaga 24 jam menjaga sarana vital milik negara. Semua itu dilakukan demi kepentingan masyarakat banyak.
Tetapi, semua upaya aparat itu belum cukup. Sebab, jaringan teroris selalu mencoba beraksi ketika kita semua lengah. Sudah selayaknya seluruh masyarakat Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban lingkungan sekitarnya.
Para nelayan di 13 pelabuhan tradisional di Banyuwangi sudah selayaknya ikut merasa terpanggil. Mereka bisa berpartisipasi mengamankan lingkungannya sendiri. Caranya, dengan ikut mengawasi orang asing tak dikenal yang mencoba menyusup ke Bali.
Warga Kota Gandrung juga bisa ikut ambil bagian mengamankan lingkungan sekitarnya. Caranya dengan ikut peduli dengan kondisi kampung masing-masing. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan kepada RT serta perangkat lingkungan setempat. Dengan begini, semua akan ikut bagian mempersempit ruang gerak jaringan teroris. Karena sejatinya, mengantisipasi serangan teroris itu merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua. (*)