Rabu, 24 November 2010

Saatnya Bikin Sirkuit Balap

DALAM kurun waktu setahun ini, setidaknya sudah tiga kali polisi

menggaruk para remaja aktor dan penonton balap liar dalam jumlah besar di Jalan Gajah Mada Banyuwangi. Pada malam Minggu kemarin (20/11), polisi mengamankan 23 unit motor yang diduga terlibat balap liar di ruas jalan tersebut.

Sebelumnya, awal bulan lalu (9/10), polisi juga telah mengamankan banyak pembalap liar berikut motornya di Jalan Gajah Mada Banyuwangi. Tiga bulan lalu, polisi juga pernah membubarkan balap liar di lokasi tersebut (21/8). Waktu itu, sedikitnya 120 unit sepeda motor yang diamankan oleh polisi waktu itu.

Ternyata, razia besar-besaran terhadap aksi balap liar secara kontinyu, tidak membuat penggemar balap motor menjadi kapok. Mereka tetap beraksi menantang maut dan membahayakan pemakai jalan di lokasi yang sama.

Seperti pengalaman-pengalaman razia sebelumnya, para pembalap liar itu hanya dikenakan sanksi pembinaan. Setelah mendengarkan ‘ceramah’, mereka pun diizinkan pulang ke rumah masing-masing.

Untuk ketiga kalinya, berbagai upaya yang telah dilakukan aparat itu ternyata tak mampu membendung maraknya aksi balap liar. Sehingga muncul dua kemungkinan dalam kasus tersebut. Yang pertama, mungkin saja sanksi yang diberikan terhadap para remaja pembalap liar itu terlalu ringan. Sehingga mereka tetap tidak kapok untuk terus melakukan kegiatan berbahaya itu di jalan umum.

Kemungkinan yang kedua, hobi balap di jalan itu bisa jadi sudah mendarah daging di kalangan remaja. Tekanan sebesar apa pun, ternyata tidak mampu menyurutkan niat mereka untuk menghentikan aksi balap liar di jalan umum. Ancaman terkena ciduk razia petugas, ternyata masih kalah dengan menyalurkan hobi adu balap motor yang memacu adrenalin penggemarnya.

Jika ini yang sedang terjadi, tak ada salahnya untuk mengalihkan hobi mereka yang membahayakan pengendara di jalan umum, menjadi sebuah peluang untuk mendulang prestasi. Peluang mendulang prestasi inilah yang perlu dikaji lebih mendalam.

Hobi balap liar harus segera diarahkan. Mereka perlu dikawal agar bisa masuk dalam lingkaran prestasi ajang lomba balap dan dunia otomotif. Mereka mungkin saja butuh difasilitasi dalam bentuk adanya arena sirkuit balap. Dan tak kalah penting, perlu juga digelar event kejuaraan balap motor baik road race, drag race, motocross, bahkan kalau perlu digelar kejuaraan freestyle. Agar semua itu terwujud, pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa kemudahan dalam perizinan kegiatan balap legal.

Jika semua itu sudah terwujud, kegiatan balap liar diharapkan otomatis akan tereduksi. Meski begitu, aparat tetap tak boleh kendur. Tradisi razia balap liar secara kontinyu itu tetap penting dilakukan. Jika perlu, sanksinya dipertegas untuk memberikan efek jera yang benar-benar membuat kapok pelakunya. (*)

Endapan Pasir yang Mahal

NILAI ekonomi endapan pasir di pantai, biasanya kurang begitu tinggi. Jika dijual, endapan pasir -apalagi yang ada di kawasan muara- biasanya kurang laku dijual. Tetapi yang terjadi di Banyuwangi, ada endapan pasir muara pantai yang terbilang mahal harganya.

Tetapi, ini bukan berarti endapan pasir tersebut layak dijual. Sebaliknya, endapan pasir tersebut harus disingkirkan agar kawasan tersebut bisa lebih bermanfaat bagi para nelayan dan warga sekitar. Sayangnya, untuk membuang endapan pasir di muara pantai Boom ini, pemerintah harus membayar mahal. Tidak sedikit dana APBD Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang sudah dikucurkan untuk ’membuang’ endapan pasir di muara pantai Boom tersebut. Muara pantai Boom itu setidaknya sudah menguras dana APBD Jatim senilai Rp 58,7 miliar.

Sekadar diketahui, aktivitas pengerukan muara pelabuhan Boom dilakukan mulai tahun 2007 lalu. Waktu itu, Pemprov Jatim sudah menggelontor dana Rp 3,7 Miliar untuk pengerukan muara. Pada tahun 2009, aktivitas pengerukan dilanjutkan kembali dengan anggaran yang lebih besar, yakni Rp 44 miliar. Kali ini, dana tersebut juga dipakai untuk pembangunan break water dan pemasangan sheet pile agar pengerukan muara bisa bertahan lama.

Sedangkan pada tahun 2010 ini, Pemprov Jatim kembali mengucurkan dana Rp 11 miliar. Dana itu digunakan untuk pengerukan muara pelabuhan dan penambahan beton cengkih pencegah sedimentasi.

Melihat fakta tersebut, sudah banyak uang negara yang dihabiskan untuk mengeruk pasir muara pantai Boom. Jika muara sudah lebar dan dalam, arus lalu lintas perahu dan kapal tradisional masuk Pelabuhan Boom menjadi lancar. Jika sudah demikian, tingkat perekonomian serta kehidupan para nelayan setempat diharapkan menjadi lebih baik.

Namun jika kita melihat fakta yang terjadi saat ini, sungguh cukup mengenaskan. Belum genap setahun dilakukan pengerukan terakhir, kondisi muara itu sudah mengkhawatirkan. Endapan pasir kembali terlihat sebagian mulut muara. Jika kondisi ini terus berlangsung, bukan mustahil ’pintu masuk’ perahu menuju Pelabuhan Boom itu akan tertutup lagi.

Jika muara itu benar-benar tertutup nanti, dana besar yang mengucur dari pemerintah untuk mengeruk muara itu tentu sia-sia. Sudahkah sebanding dana yang dikucurkan pemerintah dengan manfaat dari pekerjaan tersebut?

Karena itu, tak ada salahnya dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk memecahkan persoalan tahunan yang dihadapi para nelayan tersebut. Demikian pula sebaliknya. Jika memang hasil kajian ternyata diketahui bahwa kawasan itu tak memungkinkan untuk dikembangkan lagi karena faktor alam, untuk apalagi memaksakan pekerjaan proyek itu dilanjutkan. Ya, sebelum merugi lebih banyak lagi, tak ada salahnya kajian mendalam tentang masalah ini. (*)

Sejuta Alasan untuk Tanjung Wangi

ENTAH dalil apalagi yang nanti akan mengemuka untuk pelabuhan Tanjung Wangi. Status dan fungsi pelabuhan yang masuk wilayah Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi ini, seolah tak bisa beranjak.

Selalu banyak kendala agar kawasan tersebut bisa menjadi sebuah pelabuhan dengan terminal peti kemas. Hambatan dan rintangan seolah tak ada habisnya. Padahal, semua pihak sudah mengakui, bahwa potensi Tanjung Wangi sangat besar untuk berkembang dan maju.

Secara geografis dan dukungan faktor alam, pelabuhan ini secara teknis sangat layak untuk menjadi terminal peti kemas. Kondisi dasar laut di bawah dermaga cukup baik, karena kapal tak perlu waswas dengan adanya faktor sedimentasi (pendangkalan oleh endapan lumpur). Faktor suplai air bersih untuk kapal juga cukup memadai.

Sementara itu, faktor peranti hukum pendukung perkembangan pelabuhan Tanjung Wangi juga sudah ada. Pemprov Jawa Timur sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur tentang lalu lintas kendaraan peti kemas. Kontainer yang posisinya berada di sebelah timur Probolinggo harus dikirim lewat Pelabuhan Tanjung Wangi.

Namun sayang, Pergub itu masih belum dipatuhi. Sebagian peti kemas masih tetap dikirim lewat pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Alasannya, Pergub itu harus didukung dengan rambu lalu lintas larangan untuk kontainer peti kemas. Padahal, penetapan rambu tersebut merupakan kewenangan Menteri Perhubungan melalui Dirjen Perhubungan Darat.

Kini, muncul lagi satu kendala terkait sulitnya Tanjung Wangi menjadi peti kemas. Kadishubkominfo Banyuwangi mengatakan, pengusaha di Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo lebih memilih pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Salah satu problemnya, pengusaha mengeluhkan persoalan infrastruktur jalan di hutan Baluran dan hutan Gunung Kumitir.

Masih haruskah kondisi jalan jadi alasan. Sebab selama ini, pengusaha dari Banyuwangi tentu juga mengirim kontainer peti kemas ke Surabaya. Ternyata mereka bisa lewan dan bisa sampai tujuan di Surabaya. Karena kalau tidak lewat jalur itu, mau lewat mana lagi? Masihkah kita menyalahkan kondisi jalan? Daripada sekadar mencari alasan, mungkin butuh niat baik dan kerja keras semua pihak untuk mewujudkan harapan berkembangnya pelabuhan ini. (*)

Pelajaran dari Lomba Balap Sepeda

PENGGEMAR balap sepeda di Bumi Blambangan tentu sudah tak asing dengan event akbar Tour d' Indonesia. Tour d' Indonesia merupakan sebuah lomba balap sepeda berlevel internasional yang dilaksanakan setiap tahun di Indonesia.

Menurut catatan, Tour d' Indonesia sebenarnya sudah digelar sejak tahun 2003. Tour d' Indonesia juga merupakan salah satu turnamen resmi seri Persatuan Balap Sepeda Internasional (Union Cycliste International, UCI).

Turnamen ini umumnya diadakan sekitar bulan September dan Oktober. Sejak awal digelarnya Tour d' Indonesia, selalu saja ada sponsor utama kegiatan ini. Selama beberapa tahun digelar, sponsor Tour d' Indonesia sudah beberapa kali berganti.

Meski begitu, secara teknis, pelaksanaan acara lomba balap sepeda tersebut nyaris tak berubah. Pesertanya juga selalu banyak. Selain diikuti pembalap nasional dari beberapa klub di Indonesia, agenda Tour d' Indonesia juga sering diikuti oleh para pembalap asing. Mereka ada yang tergabung dalam klub balap sepeda Indonesia, ada pula pembalap asing yang ikut dengan membawa bendera klub negara masing-masing.

Sementara itu, rute Tour d' Indonesia juga sering berubah. Beberapa kali rutenya dimulai dari Bandung dan finish etape terakhir di Denpasar, Bali. Sering pula, panitia Tour d' Indonesia memilih rute dari Jakarta dan finish di Bali.

Memang, pemilihan finish lomba balap sepeda itu di Pulau Dewata memiliki dampak politis bagi pemerintah Indonesia. Karena sebagian peserta merupakan warga asing, tentu ada manfaat besar dalam pengembangan dan promosi pariwisata negeri ini. Bali yang jadi ikon wisata nasional, bisa jadi pelepas dahaga para pembalap yang telah lelah setelah berlaga menempuh rute lebih seribu kilometer tersebut.

Nah, hampir setiap tahun pelaksanaan Tour d' Indonesia tersebut, rute yang ditetapkan biasanya hampir selalu menjadikan Banyuwangi sebagai titik yang dilewati. Namun tahun ini, panitia Tour d' Indonesia mendadak mencoret Banyuwangi sebagai rute balapan.

Tentu saja, kenyataan ini cukup merugikan bagi Banyuwangi. Biasanya, dengan digelarnya event besar tersebut di Kota Gandrung bisa memberikan dampak atau efek berantai terhadap sendi kehidupan ekonomi masyarakat Banyuwangi. Mereka bisa meraup untung dari berjualan makanan, minuman, hotel, hingga promosi pariwisata. Yang jelas, banyak warga yang ikut merasakan dampak ekonomi dari lomba kelas dunia tersebut.

Meski begitu, kita tak bisa menyalahkan panitia lomba yang ’meloncati’ Banyuwangi dari rute lomba balap tersebut. Walau pun rute Jember – Banyuwangi menyuguhkan pemandangan pegunungan yang menawan serta track yang menantang, tetapi lihatlah kondisi jalannya. Muluskan kondisi aspal jalan Banyuwangi – Jember? Sudah layakkah kondisi jalan tersebut. Ya, harus diakui bahwa kondisi jalan yang menghubungkan dua kabupaten ini masih jauh dari layak. Masih banyak lubang di sana sini. Karena ini, kalau kita ingin memberikan dampak ekonomis kepada warga, benahilah dulu kondisi jalan yang ada. Inilah pelajaran yang harus dipetik dari lomba balap sepeda. (*)

Harapan Baru Pembenahan Birokrasi

KEBIJAKAN awal Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas sudah mulai nampak. Yang sudah mulai ditempuhnya adalah membenahi internal birokrasi. Langkah awal ini adalah pembenahan organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Banyuwangi. Beberapa struktur OPD warisan bekas Bupati Ratna Ani Lestari segera dirombak total.

Untuk perombakan OPD tersebut, Bupati Abdullah Azwar Anas tidak bekerja sendiri. Dia sengaja menggandeng tiga perguruan tinggi (PT) yakni Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, dan Institut Teknologi Surabaya (ITS) Surabaya.

Beberapa dinas hampir dipastikan akan dirombak. Yang sudah mengemuka adalah perombakan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dispendikpora). Dinas ini akan dipecah menjadi dua, yakni Dinas Pendidikan (Dispendik) serta Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesehatan dan UPTD Pendidikan di masing-masing kecamatan akan dihidupkan kembali.

Bupati Anas mengaku sudah mengumpulkan seluruh camat. Dalam konsolidasi tersebut, para camat juga sepakat untuk menghidupkan kembali UPTD. Padahal kalau kita cermati, sebenarnya bangkitnya kembali UPTD di masing-masing kecamatan itu tentu saja akan mengurangi ’kewenangan’ camat.

Jika kita menoleh sejarah ke belakang, penghapusan UPTD Pendidikan dan UPTD Kesehatan, sejatinya membuat beban kerja dan tanggung jawab Camat menjadi bertambah. Yang diurusi seorang Camat semakin banyak dan kompleks.

Misalnya, jumlah guru yang ada di satu kecamatan saja sangat banyak. Untuk mengurusi mereka berikut kebutuhannya, tentu sudah cukup luar biasa ribet. Selain itu, urusan bermacam hal teknis bidang pendidikan juga sangat menyita waktu, pikiran, serta energi. Hal yang sama rumit dan kompleksnya juga terjadi di bidang kesehatan.

Sinyal menghidupkan kembali UPTD Pendidikan dan UPTD Kesehatan itu bisa jadi angin segar. Namun, iktikad baik ini sebaiknya jalan dilandasi dengan pertimbangan politis. Perombakan birokrasi ini, sebaiknya dilandasi dengan semangat semata-mata untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat di bidang kesehatan dan pendidikan.(*)

Senin, 01 November 2010

Meneladani Kiprah Sang Vokalis

SELURUH dunia sedang dilanda kekhawatiran dengan kondisi bumi yang kita tinggali. Kehidupan di bumi ini akan terancam, jika kerusakan alam terus dibiarkan. Apalagi, tanda-tanda kehancuran lingkungan itu sudah mulai terasa dengan isu perubahan iklim dunia atau pemanasan global.

Keprihatinan atas kondisi bumi itu dirasakan banyak kalangan. Tidak terkecuali, kalangan publik figur seperti penyanyi gaek ibu kota, Iwan Fals. Penyanyi yang dikenal sangat vokal di masa Orde Baru itu mengaku prihatin dengan banyaknya hutan gundul sehingga menimbulkan banjir.

Karena itu, sang vokalis ini mengajak masyarakat untuk banyak menanam pohon di sekitar rumah masing-masing. Seruan itu juga disampaikan menjelang konser perjalanan spiritual Iwan Fals bersama Ki Ageng Ganjur di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi kemarin.

Kepada para santri, Iwan mengingatkan kondisi hutan di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan. Sebagian besar hutan sudah banyak yang gundul akibat penebangan liar. Bahkan, bukan mustahil jika seluruh hutan di Indonesia terancam rusak hanya dalam waktu 15 tahun ke depan. Kerusakan itu terjadi bila tidak ada yang mau menanam pohon.

Untuk menghindari kerusakan hutan, samng vokalis itu selalu mengajak masyarakat menanam pohon. Sebab, dengan menanam pohon maka bisa memperpanjang kehidupan. Selain itu, kegiatan menanam pohon juga bisa menjaga keseimbangan lingkungan.

Tugas menjaga keseimbangan ini, diakui oleh sang vokalis itu merupakan kewajiban seluruh komponen masyarakat. Tidak terkecuali, kalangan seniman juga ikut berperan dalam menyerukan untuk menjaga keseimbangan kehidupan.

Memang, menjadi seniman vokalis sekaligus jadi tukang kritik problem sosial itu bisa memberi spirit dan kesadaran bagi publik. Tetapi, ada hal yang layak diteladani daripada sekadar berfungsi sebagai tukang melayangkan kritik. Memberikan contoh yang lebih baik, merupakan tindakan yang punya banyak nilai tambah. Tidak sekadar memberi penyadaran lewat kata-kata, tetapi sudah memberikan teladan dengan melakukan langkah nyata menanam pohon bersama masyarakat. (*)

Lebih Baik Mencegah TKI Teraniaya

MENGADU peruntungan dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, memang penuh risiko. Mereka yang membekali diri dengan keahlian, serta melewati jalur dan prosedur yang benar, akan berpeluang sukses mendulang duit dari mancanegara.

Namun yang terjadi selama ini, masih banyak TKI yang bernasib buntung. Kerap diberitakan, TKI jadi bulan-bulanan di negeri orang. Banyak kejadian penyiksaan, pemerasan, penganiayaan, pemerkosaan dan banyak kasus yang lainnya. Tak jarang, TKI pulang hanya tinggal nama.

Tentu, kita tak ingin kejadian-kejadian buruk seperti itu terus menimpa TKI. Peran mereka sebagai sosok ‘pahlawan pendulang devisa’, harus mendapat perlindungan dalam segala hal. Baik perlindungan secara fisik, hingga mendapatkan rasa aman secara mental.

Karena itu, berbagai upaya pencegahan agar mereka tak lagi teraniaya di negeri orang, merupakan harga mati yang tak dapat ditawar lagi. Jangan sampai ada lagi TKI berangkat melalui jalur dan prosedur yang tidak benar. Inilah yang harus mendapat sorotan dari aparat maupun masyarakat.

Karena itu, adanya upaya pemantauan oleh masyarakat terhadap TKI di Bumi Blambangan layak diacungi jempol. Seperti yang dilakukan petugas gabungan dari Polsek Cluring bersama Dinas Sosial Tenaga Kerja Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyuwangi dan Lembaga Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LPTKI). Mereka berhasil menggerebek sebuah rumah di Dusun Purwosari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring, kemarin (20/10). Rumah itu diduga dijadikan sebagai tempat penampungan TKI ilegal.

Saat digerebek, rumah yang sejak setahun disewa perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) itu dihuni empat orang. Dua orang merupakan calon TKI, sedangkan dua orang lainnya merupakan karyawan perusahaan PJTKI. Rumah itu juga tak pernah diberi papan nama PJTKI.

Memang, setelah diperiksa, perusahaan itu pernah memiliki izin untuk menampung TKI yang akan berangkat. Namun sudah cukup lama, izin yang dikantongi perusahaan tersebut dinyatakan telah expired (kedaluwarsa) oleh petugas.

Meski demikian, tindakan tegas petugas menggerebek dan memeriksa penghuni rumah penampungan ilegal itu merupakan langkah terbilang maju. Aparat sudah berusaha untuk lebih jeli dalam pengawasan serta menjalankan prosedur dalam proses pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Sekecil apa pun kesalahan dalam masalah pengiriman TKI, bisa berdampak buruk pada TKI yang bersangkutan. Dengan begitu, di masa mendatang diharapkan tak ada lagi berita kisah pilu penderitaan para pendulang devisa tersebut. Semoga. (*)

Menanti Goodwill Pemerintah Atasi Problem Sampah

PROBLEM sampah sedang mendera Kota Gandrung. Masalah sampah bukan hanya menggelinding seputar persoalan teknis. Materi gunjingan masyarakat tak lagi membahas dampak limbah rumah tangga tersebut.

Warga tak lagi membahas sampah itu menimbulkan bau menyengat. Mereka juga tak lagi ngomong soal penyakit yang ditimbulkan akibat menumpuknya sampah. Mereka juga mulai mengabaikan materi pembicaraan tentang rusaknya keindahan kota akibat sampah di mana-mana.

Pertanyaan masyarakat saat ini sudah mulai menjadi bola panas yang menggelinding secara liar. Kepala mereka sudah tak lagi ‘dingin’ dalam menyikapi problem sampah tersebut.

Memang, berlarut-larutnya penyelesaian sampah itu mengundang kecaman dari sejumlah pihak. Semua kecaman itu ditujukan kepada pemerintah daerah yang berwenang dalam masalah limbah rumah tangga tersebut.

Kalangan politisi juga secara blak-blakan mengkritik pemerintahan Bupati Ratna Ani Lestari dan Wabup Yusuf Nuris. Mantan Ketua DPRD H Achmad Wahyudi menuding Bupati telah membiarkan persoalan tidak terselesaikan. Dia juga meminta Bupati bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan sampah. Terlebih, di akhir masa jabatannya, bupati dan wakil bupati harus berbuat baik untuk Banyuwangi.

Kritik senada juga dilontarkan kalangan anggota DPRD Banyuwangi. Intinya, mereka meminta Bupati untuk tidak memberikan kesan jelek di akhir pemerintahannya.

Sementara itu, sebagian sampah rumah tangga sebenarnya mempunyai nilai ekonomis yang menguntungkan. Kertas, plastik sisa makanan, botol bekas, lempengan logam dan barang lain yang masih berharga oleh para pemulung. Barang bekas itu biasanya dipungut dan dikumpulkan untuk dijual kembali.

Tak bisa dipungkiri, pemulung memberikan kontribusi besar dalam mengurangi jumlah sampah di negeri ini. Selain itu, upaya lain untuk mengurangi sampah. Sampah dipilah antara jenis basah dan kering. Selanjutnya, sampah basah dari bahan organik bisa diproses untuk menjadi kompos. Selain itu, perlu bahan-bahan yang sulit terurai seperti plastik, bisa didaur ulang menjadi barang lain yang lebih bermanfaat. Yang terakhir, bahan-bahan yang cukup berbahaya seperti limbah medis, bisa dihilangkan dengan dibakar di incenerator.

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sebenarnya sudah siap mendatangkan investor untuk mengelola sampah yang menggunung tersebut. Nah, kalau sudah seperti ini, sebenarnya kurang apa lagi? Memang, persoalan sampah sebenarnya bisa diselesaikan, apabila adanya kemauan politis dari para pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan. Tinggal goodwill (niat baik) mereka dalam menuntaskan masalah sampah yang belum nampak hingga sekarang. (*)

Membina Penggemar Balap Liar

BALAP liar kambuh lagi di Bumi Blambangan. Pada malam Minggu kemarin (9/10), beberapa pembalap liar kembali beraksi di Jalan Gajah Mada Banyuwangi. Aksi di double way tersebut ditonton banyak orang.

Padahal dua bulan lalu, polisi pernah membubarkan balap liar di lokasi tersebut (21/8). Ada sedikitnya 120 unit sepeda motor yang diamankan oleh polisi waktu itu. Ratusan motor itu diduga ikut terlibat dalam balap liar tersebut. Bahkan, banyak juga warga yang jadi penonton balap liar malam itu.

Ternyata, razia besar-besaran bulan Agustus lalu, tidak membuat penggemar balap motor menjadi kapok. Mereka tetap beraksi di lokasi yang sama.

Seperti pengalaman-pengalaman razia sebelumnya, para pembalap liar itu hanya dikenakan sanksi pembinaan. Setelah mendengarkan ‘ceramah’, mereka pun diizinkan pulang ke rumah masing-masing.

Memang, menangani balap liar terutama di kalangan pemuda dan pelajar itu tidak boleh sembarangan. Langkah pembinaan tersebut memang cukup diacungi jempol. Padahal, kejadian membahayakan keselamatan pemakai jalan seperti balap liar seperti itu, sebenarnya bisa saja langsung dipidanakan. Tetapi kali ini, langkah awal berupa pembinaan memang cukup diperlukan.

Memang, menangani balap liar sebenarnya bisa dilakukan sama halnya menangani kuda liar. Karena itu, tugas kita bersama, terutama aparat yang terkait, untuk menjadikan balap ‘liar’ itu menjadi lebih ‘jinak’.

Upaya penjinakan ini bisa dilakukan dengan penegakan hukum, yakni melakukan razia terhadap balap motor dengan lebih giat. Langkah berikutnya adalah mengalihkan balap motor menjadi minat dan bakat. Yang tadinya balap liar, dialihkan dengan membuka lebih banyak even balap legal.

Bentuknya bisa berupa arena road race, drag race hingga motocross. Dan tak kalah penting, pemerintah juga perlu memberikan wadah berupa sarana sirkuit, serta mempermudah perizinan kegiatan balap legal.

Hal ini tentu tidak dapat dilakukan sendirian oleh aparat keamanan. Untuk mengatasinya, diperlukan penyelesaian dan dukungan dari berbagai pihak. Pihak eksekutif harus ikut proaktif dalam membantu mewujudkan hal itu. Pihak legislatif juga harus ikut mendukung upaya pembinaan generasi muda ini, dengan jalan memuluskan anggaran untuk kegiatan dan pembangunan sarana tersebut. Tokoh masyarakat, kalangan pendidik, serta pemuka agama juga perlu urun rembug dalam penuntasan masalah generasi penerus agar melakukan hal yang positif. (*)

4D untuk Kurangi Problem Sampah

AKSI pemblokiran Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) di Banyuwangi semakin meluas. Yang pertama, TPSA di Kelurahan Bulusan, Kecamatan Kalipuro, diblokir warga. Berikutnya, pengolahan tinja yang difungsikan menjadi TPSA di Kelurahan Kertosari, Kecamatan Banyuwangi, juga mulai ditentang warga. Yang terakhir, pemblokiran TPSA juga dilakukan warga Dusun Sidomulyo, Desa Gitik, Kecamatan Rogojampi.

Akibatnya, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banyuwangi kesulitan membuang sampah di Kota Gandrung. Sudah tiga hari terakhir, petugas kebersihan tak mengambil limbah rumah tangga dari rumah warga. Hal ini terjadi, karena semua tempat pembuangan sementara (TPS) penuh dan baunya menyengat. Bahkan, hampir seluruh armada truk sampah parkir di kawasan GOR Tawang Alun dengan kondisi sarat muatan sampah.

Sebenarnya, persoalan sampah bisa diselesaikan apabila adanya kemauan politis dari para pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung terwujudnya sistem pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Di beberapa negara maju, sudah lebih 30 tahun lalu memberlakukan aturan bagi sektor industri untuk memproduksi kemasan yang ramah lingkungan.
Selain itu perusahaan-perusahaan juga harus ikut mempertanggungjawabkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh produknya. Caranya, adalah dengan memperhitungkan biaya yang diperlukan untuk mengatasi dampak lingkungan itu ke dalam perhitungan harga produk yang dihasilkan.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah tumbuhnya jenis usaha yang menjadikan sampah sebagai komoditasnya oleh para pemulung dan lapaknya. Sebagian sampah yang terbuang ke bak penampungan sampah rumah tangga ternyata mempunyai nilai ekonomis yang menguntungkan. Kertas, plastik sisa makanan, botol bekas, lempengan logam dan barang lain yang masih berharga oleh para pemulung dipungut dan dikumpulkan untuk dijual kembali.

Tak bisa dipungkiri, pemulung memberikan kontribusi besar dalam mengurangi jumlah sampah di negeri ini. Selain itu, upaya lain untuk mengurangi sampah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menerapkan metode 4D untuk mengurangi kuantitas sampah sebelum masuk ke TPSA. 4D tersebut bisa berarti ‘dipilah’, ‘dikompos’, ‘didaur ulang’, dan ‘dibakar’.

Awalnya, sampah dipilah antara jenis basah dan kering. Selanjutnya, sampah basah dari bahan organik bisa diproses untuk menjadi kompos. Selain itu, perlu bahan-bahan yang sulit terurai seperti plastik, bisa didaur ulang menjadi barang lain yang lebih bermanfaat. Yang terakhir, bahan-bahan yang cukup berbahaya seperti limbah medis, bisa dihilangkan dengan dibakar di incenerator. Dengan berbagai proses tersebut, setidaknya bisa mengurangi jumlah sampah yang masuk ke landfilling (tempat pembuangan akhir). Barulah kemudian, tinggal memikirkan untuk memiliki sarana TPSA di Banyuwangi yang layak, memadai, modern, dan ramah lingkungan di masa mendatang. (*)

Membasmi Tikus Kabel

PARA pelaku pencuri kawat telepon (curwatpon) beraksi lagi. Selama ini, kasus pencurian sarana publik tersebut tidak hanya terjadi di Banyuwangi. Kejahatan serupa juga sering melanda Situbondo.

Kabar terakhir, kabel telepon sepanjang 200 meter di tepi jalan raya tengah hutan Curah Bacok, Desa Glagahagung, Kecamatan Purwoharjo disikat oleh kawanan maling (28/9).

Pelaku yang diduga berjumlah lebih dari seorang itu sepertinya sudah profesional. Dalam aksinya, mereka menguliti kabel telepon milik PT Telkom itu di lokasi kejadian. Kulitnya ditinggal begitu saja, sedangkan tembaganya dibawa kabur.

Pencurian kabel telepon di sekitar hutan Curah Bacok itu bukan kali ini saja. Di lokasi itu, selama ini dikenal sangat sepi. Bila malam hari, jarang ada warga yang melintas di jalur yang menghubungkan Kecamatan Purwoharjo dan Tegaldlimo itu.

Polisi baru tahu ada curwatpon sekitar pukul 06.30. Warga yang kebetulan melintas di jalan itu melihat ada kabel telepon berserakan. Dilihat dari cara memotong yang cepat dan hasil potongan bagus, pelakunya diduga sudah profesional.

Akibat kejadian ini, ratusan pelanggan telepon di sekitar Desa Glagahagung dan sebagian wilayah Kecamatan Tegaldlimo tidak bisa menelepon.

Aparat keamanan tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam mencegah aksi penjarahan kabel sarana umum tersebut. Langkah yang paling jitu, sebenarnya adalah pencegahan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan pencerahan kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya keberadaan kabel tersebut. Jika masyarakat sudah merasa ikut memiliki saran umum tersebut, tentu mereka akan ikut menjaga kabel tersebut.

Yang tidak kalah pentingnya, aparat juga perlu memutus rantai perdagangan gelap kabel tersebut. Pelaku pencurian kabel tentu tidak akan memakan hasil jarahannya dalam bentuk asli. Mereka tentu akan menjual lagi kabel tersebut kepada para penadah logam tembaga.

Karena itu, sudah saatnya ditingkatkan pengawasan peredaran tembaga di pasaran. Asal usul barang tersebut harus jelas dan terdaftar. Bahkan jika perlu, dilakukan razia besar-besaran terhadap simpul-simpul perdagangan kabel tembaga. Jika terbukti menjadi penadah kabel curian, mereka harus ditindak tegas.(*)

Perhiasan Emas Bahayakan Balita

DI MATA masyarakat, kasus penjambretan sebenarnya termasuk hal yang biasa. Mereka memandang jambret tak ubahnya seperti copet yang menggasak dompet korbannya. Namun sejatinya di mata hukum, kasus penjambretan tak ada bedanya dengan kasus perampokan. Aparat penegak hukum, biasanya mengganjar pelaku penjambretan maupun pelaku perampokan dengan pasal yang sama, yakni pasal tentang pencurian dengan pemberatan.

Dalam hal ini, ancaman hukuman penjambretan dan perampokan lebih berat daripada kasus-kasus pencurian biasa. Mengingat, jenis tindak kejahatan tersebut mengandung unsur paksaan. Perampok mengambil barang korbannya dengan memaksa, demikian juga dengan penjambret yang merampas barang milik korbannya dengan paksaan.

Melihat bobot tindak kejahatan tersebut, perlu adanya perhatian khusus dalam kasus penjambretan ini. Terlebih lagi, bila korban penjambretan itu melibatkan anak-anak yang usianya masih di bawah lima tahun (balita).

Kita bisa mengambil pelajaran dari kasus jambret dengan tersangka Hendrik Kastiawan, 26, asal Dusun Karangrejo, Desa/Kecamatan Cluring. Sejak awal, dia sebenarnya tidak punya rencana untuk melakukan tindak kejahatan. Setelah berjalan-jalan dengan temannya di Dusun Gempoldampit, Desa Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, muncullah idenya untuk menjambret.

Niat jahat itu muncul, setelah melihat Nava Aulia Nevada yang masih berusia tiga tahun. Balita tersebut tampak mengenakan perhiasan kalung emas saat bermain dengan tetangganya. Dengan berpura-pura menanyakan alamat, Hendrik dengan cepat menyambar kalung emas di leher balita tersebut.

Beruntung, teman main korban berteriak minta tolong. Akhirnya, warga dengan cepat bertindak melakukan pengejaran dan berhasil membekuk tersangka. Sedangkan seorang teman Hendrik yang menunggu naik motor saat kejadian, berhasil kabur dan kini sudah masuk daftar pencarian polisi.

Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus ini. Hendrik ternyata sejak awal mengaku tak berniat untuk melakukan penjambretan. Niat jahat itu muncul, setelah dia melihat balita itu mengenakan kalung emas. Terlebih, situasi di lingkungan sekitar tempat kejadian sedang sepi saat itu.

Karena situasi yang mendukung, terjadilah tindak kejahatan yang levelnya nyaris setara dengan aksi perampokan. Memang benar slogan pencegahan tindak kejahatan yang selama ini digelorakan oleh aparat penegak hukum. Waspadalah, kejahatan itu timbul bukan saja karena ada niat dari pelakunya. Kejahatan juga bisa terjadi karena situasi yang mendukung. Jika memang dirasa tak aman, tak ada salahnya jika balita tak usah lagi mengenakan perhiasan emas. (*)

Menggugah Keikhlasan Pelajar

BANYUWANGI tengah melaksanakan program program nasional imunisasi penyakit difteri. Imunisasi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya serangan penyakit difteri. Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten dari sembilan daerah di wilayah Jawa Timur, yang mendapatkan program imunisasi ini.

Banyuwangi jadi sasaran program nasional ini, karena kawasan ini berpeluang terjadinya tren peningkatan difteri. Selama sepuluh hari dalam pekan ini, imunisasi tersebut serentak digelar di sekolah-sekolah. Sasarannya adalah siswa kelas tiga sekolah dasar, hingga siswa kelas IX sekolah menengah pertama.

Usia tersebut termasuk kelompok paling rentan serangan difteri pada saat ini. Sebenarnya, kelompok balita lebih rentan terhadap penyakit tersebut. Namun, karena kalangan balita sudah mendapat program imunisasi DPT (difteri, pertusi, tetanus) selama beberapa kali, tingkat kekebalannya dianggap cukup. Sedangkan siswa SD dan SMP, rentang waktu mereka menjalani imunisasi DPT sudah cukup lama sejak mereka masih balita. Karena itu, kelompok pelajar ini sangat rentan terinfeksi difteri.

Jika kita menoleh kabupaten tetangga, tepatnya di Desa Tamansari, Kecamatan Sumbermalang, Situbondo, kasus difteri pernah mengemuka bulan lalu. Sedikitnya sudah ada empat bocah setempat yang terserang penyakit yang menyerang pernapasan ini. Bahkan, satu di antara empat penderita tersebut harus kehilangan nyawanya. Bocah malang itu adalah Yusroniah, warga Desa Tamansari, Sumbermalang. Anak berumur 11 tahun itu meninggal dunia karena terlambat mendapatkan penanganan medis.

Penyakit difteri disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Sasaran awal adalah saluran pernapasan. Namun, jika tidak segera ditangani, penyakit itu akan menyebar ke seluruh jaringan sel tubuh sehingga sangat mematikan.

Kuman difteri ini sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam tinggi dan adanya selaput putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan cepat meluas dan menutupi jalan napas. Hal itu mengakibatkan kejang dan kaku Hal itu mengakibatkan kejang dan kaku. Hal itu mengakibatkan kejang dan kaku seluruh tubuh. Pertusis (batuk 100 hari) cukup parah bila menyerang anak balita, bahkan penyakit ini dapat menyebabkan kematian.

Salah satu cara paling efektif untuk mencegahnya, adalah dengan imunisasi. Berbeda dengan imunisasi balita, kesadaran sepenuhnya ada pada orang tua. Sedangkan untuk menggugah kesadaran di kalangan siswa SD dan SMP, memang butuh kerja keras. Untuk memberikan pemahaman pelajar tentang pentingnya hal ini, butuh partisipasi aktif semua komponen pendidikan. Tak hanya guru dan pengelola sekolah yang berperan. Karena itu, partisipasi aktif orang tua serta lingkungan pergaulan pelajar sangat diperlukan, untuk menggugah kesadaran pelajar agar rela diimunisasi. (*)

Ombak Berkelas Dunia

CUKUP miris melihat gaya warga Bumi Blambangan dalam mengisi liburan Lebaran di pantai. Lihat saja yang dilakukan ratusan warga pengunjung Wana Wisata Grajagan (WWG) di Kecamatan Purwoharjo.

Ombak dan gelombang pantai Grajagan tersebut dikenal cukup tinggi dan ganas. Pihak pengelola WWG juga sudah memasang papan larangan, agar pengunjung tidak mandi di pantai.

Tapi kenyataannya, ribuan pengunjung di musim liburan Idul Fitri kali ini banyak yang nekat. Para pengunjung yang umumnya anak-anak itu, terlihat mengabaikan papan larangan itu. Mereka nekat mandi di pantai laut selatan itu. Anak-anak terlihat mandi di pantai sambil bermain dengan ombak yang tinggi. Mereka tampak malah menyambut setiap ombak besar yang datang.

Jika melihat besarnya jumlah pengunjung pantai tersebut, sungguh tak mungkin bagi pengelola WWG untuk mengawasi mereka satu per satu. Pihak pengelola sudah cukup memasang papan peringatan, berisi larangan berenang di pantai tersebut. Selain itu, pengelola WWG kerap memberikan warning secara lisan kepada pengunjung.

Tetapi, semua upaya peringatan serta warning itu ternyata tidak mempan. Seolah-olah, para pengunjung yang berjumlah ratusan orang setiap hari itu sudah punya motto tersendiri. Seolah-olah mereka menunjukkan, bahwa kurang seru jika datang ke pantai Grajagan kalau tidak bermain atau berenang di pantai.

Fakta ini sebenarnya menunjukkan, bahwa warga Bumi Blambangan ini cukup bernyali. Mereka ternyata sangat tangguh dalam menghadapi ombak. Sejak usia dini, mereka terlihat membuat ombak yang ganas menjadi seperti mainan.

Sebenarnya, fakta tersebut merupakan potensi besar bagi Banyuwangi untuk mendulang prestasi di bidang olahraga. Mereka bisa dipoles menjadi surfer (peselancar) berprestasi. Apalagi, untuk meraih prestasi internasional di cabang surfing, Banyuwangi tak perlu menghabiskan dana miliaran rupiah untuk membangun gedung olahraga atau stadion. Karena Bumi Blambangan punya banyak pantai yang memiliki ombak berkelas dunia. (*)

Lebaran, Narkoba, dan Mi Instan

Lebaran Idul Fitri merupakan momen yang penting bagi umat Islam. Tidak terkecuali seluruh muslim di Bumi Blambangan. Setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, mereka kembali kepada fitrah. Semua berharap agar dosanya diampuni oleh Allah SWT.

Sementara itu, Lebaran semakin lengkap dengan saling meminta maaf kepada sesama. Ini agar dosa sesama manusia bisa terhapus, dan bisa memulai lembaran baru yang bersih dan penuh harapan.

Bukan semestinya, momen Lebaran diisi dengan kegiatan mengumbar hawa nafsu. Setelah sebulan berpuasa, jarang makan mi instan, lantas jangan makan mi instan secara berlebihan saat Lebaran. Semua yang dilakukan secara berlebihan, itu tentu tidak baik.

Segala sesuatu yang berlebihan saja tidak dianjurkan untuk dilakukan selama Lebaran, apalagi melakukan hal berbau maksiat. Tetapi yang terjadi di Bumi Blambangan ini cukup membuat kita semua miris. Betapa tidak, di masa Lebaran ini, masih ada saja yang nekat bergulat dengan maksiat.

Seperti yang dilakukan Sugianto, 40, warga Dusun Wadung Dolah, Desa Kaligondo, Kecamatan Genteng ini. Dia bersama Suratno, 40. warga Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar melakukan transaksi barang haram berupa sabu-sabu (SS).

Barang haram itu diselundupkan lewat paket kiriman barang, dengan cara disisipkan ke dalam bungkus mi instan. Orang tidak akan mengira, bahwa mi instan itu berisi serbuk memabukkan dan membuat penggunanya kecanduan. Tentu saja, peredaran SS itu bisa merusak generasi bangsa. Mereka akan mendapat kenikmatan instan, yang sebenarnya hanyalah ilusi.

Karena itu, masa Lebaran ini masih belum terlambat untuk melakukan introspeksi diri. Justru saat Lebaran inilah, kita semua harus bisa memulai segala sesuatu dengan hati dan niat yang bersih.

Seberapa besar penghasilan dari bisnis haram itu, tetaplah tidak bisa memberikan berkah pada pelakunya. Jika sudah terendus polisi seperti yang dialami Suratno dan Sugianto, pelaku bisnis haram hanya akan merasakan nikmat untuk secara instan. Selanjutnya, yang tersisa hanyalah penyesalan. Semoga dengan berlebaran di dalam sela tahanan, ada hikmah yang bisa dipetik jadi pelajaran untuk semua. Kenikmatan narkoba itu hanyalah instan, bukan kenikmatan abadi. Mari kita bersama jauhi narkoba. (*)

Cegah Difteri dengan Imunisasi

PENYAKIT difteri kini menghantui warga di Desa Tamansari, Kecamatan Sumbermalang. Hingga kini, sedikitnya sudah ada empat bocah setempat yang terserang penyakit tersebut. Penyakit ini menyerang bagian pernapasan. Tak heran, satu di antara empat penderita tersebut harus kehilangan nyawanya. Bocah malang itu adalah Yusroniah, warga Desa Tamansari, Sumbermalang. Anak berumur 11 tahun itu meninggal dunia, karena terlambat mendapatkan penanganan medis.

Selain itu, ada tiga pasien bocah lain yang masih dirawat di ruang isolasi UPF Anak RSU dr Abdoer Rahem Situbondo. Seluruh pasien itu berasal dari satu lingkungan dengan Yusroniah, di Desa Tamansari. Salah satunya, Fajri, 2, malah masih adik Yusroniah. Dua lainnya, adalah Anam, 11; dan Sugik, 12.

Penyakit difteri tersebut disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Sasaran awalnya adalah saluran pernafasan. Namun, jika tidak segera tertangani penyakit itu akan menyebar ke seluruh jaringan sel tubuh sehingga bisa sangat mematikan.

Kuman difteri ini sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam tinggi dan tampak adanya selaput putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan cepat meluas dan menutupi jalan napas. Selain itu racun yang dihasilkan kuman difteri dapat menyerang otot jantung, ginjal, dan beberapa serabut saraf. Racun dari kuman tetanus merusak sel saraf pusat tulang belakang, mengakibatkan kejang dan kaku seluruh tubuh. Pertusis (batuk 100 hari) cukup parah bila menyerang anak balita, bahkan penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
Sebenarnya, difteri dapat diantisipasi sejak dini.
Caranya dengan melakukan imunisasi pada bayi saat kondisinya sedang sehat. Biasanya, vaksin difteri tersebut dikemas satu paket dengan vaksin pertusis, dan tetanus. Gabungan tiga vaksin itu populer dengan nama vaksin DPT (difteri, pertusi, tetanus).

Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali, yaitu sejak bayi berumur dua bulan dengan selang waktu penyuntikan minimal selama empat minggu. Suntikan pertama tidak memberikan perlindungan apa-apa, itu sebabnya suntikan ini harus diberikan sebanyak 3 kali.

Reaksi yang terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan nyeri di tempat suntikan selama beberapa hari. Imunisasi ini tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan yang menderita kejang demam kompleks.

Upaya pencegahan ini sangatlah penting. Agar serangan penyakit difteri tak lagi terulang di masa mendatang, seluruh komponen masyarakat perlu untuk menggiatkan kembali gerakan imunisasi pada setiap generasi yang baru lahir.

Memang, kadang kalangan ibu-ibu merasa enggan ‘repot’ jika bayinya diimunisasi. Bayi itu akan demam ringan selama beberapa hari. Tetapi perlu diingat, dengan sedikit ’berkorban’ merawat anak demam ringan, manfaatnya anak menjadi lebih kebal (imun) terhadap penyakit berbahaya.(*)

Jarak Tempat Kerja dan Mutasi Guru

DINAS Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dispendikpora) melakukan mutasi ratusan guru sekolah dasar (SD) Sabtu lalu (14/8). Namun, dua hari kemudian (16/8), mutasi masal itu dibatalkan secara mendadak tanpa ada penjelasan kepada guru yang terkena mutasi.

Jumlah guru yang terkena mutasi kali ini mencapai sekitar 237 orang. Surat keputusan (SK) mutasi itu juga sudah diberikan kepada masing-masing guru pada akhir pekan lalu. Setelah mengantongi SK mutasi, mereka mendatangi sekolah tempat tugas barunya untuk laporan dan perkenalan. Namun, pada saat mereka datang ke sekolah tempat tujuan, ternyata mereka ditolak.

Kondisi ini membuat resah kalangan guru, terutama yang terkena mutasi. Pihak Dispendikpora Banyuwangi menyatakan kalau pelaksanaan mutasi itu ditunda karena masih perlu ada revisi. Meski begitu, Dispendikpora menyatakan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, mutasi ratusan guru segera dilakukan.

Situasi ini membuat kalangan guru merasa tertekan. Sebagai manusia biasa, mereka tentu sangat memikirkan kejelasan nasibnya. Selama memikirkan nasib menunggu mutasi yang akan segera bergulir, tentu pikiran mereka tidak bisa fokus seratus persen saat mengajar. Diakui atau tidak, kondisi ini tentu akan mempengaruhi efektivitas mengajar para guru.

Memang, efektivitas mengajar guru dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Termasuk faktor situasi dan kondisi guru yang bersangkutan, murid yang belajar, materi yang diajarkan, sumber belajar di sekolah, dan juga faktor jarak antara sekolah dengan rumah.

Sekali lagi, guru adalah manusia biasa. Mereka juga punya rasa takut, rasa waswas. Sebagai manusia biasa pula, guru juga ingin merasakan sejahtera lahir dan batin. Dari segi pendapatan, mungkin kehidupan guru zaman sekarang tak lagi seperti yang digambarkan penyanyi Iwan Fals sebagai era lama guru Oemar Bakri.

Selain kesejahteraan dari segi materi, mereka tentu juga mendambakan ketenteraman secara batin. Misalnya saja, mereka selalu ingin bisa mengajar dengan tenang. Tentu saja, cukup manusiawi jika mereka berharap agar lokasi mengajar yang lebih dekat dari rumah. Dengan begitu, jarak yang dekat akan meminimalisasi risiko kecelakaan di jalan.

Ada pula kalangan guru yang berpandangan, jarak ideal antara rumah guru dengan sekolah maksimal 15 kilometer. Hal ini dilakukan, karena konsentrasi seseorang akan berkurang jika energinya terkuras saat menempuh perjalanan yang memakan waktu lebih dari 45 menit.

Dengan kondisi lalu lintas yang semakin padat pada jam sibuk di masa sekarang, jarak yang jauh tentu akan semakin lama ditempuh oleh guru saat berangkat kerja dan pulang kerja. Selain itu, risiko kecelakaan juga semakin besar, jika jarak rumah dengan tempat kerja semakin jauh. Melihat sederet fakta tersebut, sudah sepantasnya kalau faktor jarak tempat tinggal guru dengan sekolah jadi pertimbangan sebelum melakukan mutasi. (*)