Rabu, 11 Agustus 2010

Jalan Provinsi Paling Terjal

KAWAH Gunung Ijen memang diakui masih jadi pilihan favorit wisatawan mancanegara. Sudah dua bulan terakhir ini ratusan turis asing membanjiri lokasi wisata yang terletak di perbatasan Banyuwangi dan Bondowoso itu.

Kedatangan turis dari beberapa belahan bumi itu terlihat terus mengalir mulai pagi hingga sore. Setiap hari, puluhan turis asing sudah memadati wisata yang berada di ketinggian 2.380 meter di atas permukaan laut (dpl) itu.

Yang pasti, dalam sehari, jumlahnya mencapai puluhan orang. Mayoritas wisatawan yang datang berasal dari Prancis. Ada juga turis yang datang dari Belanda, Italia, Amerika, serta beberapa negara Eropa lain. Memang sudah jadi tradisi selama ini, kawah Gunung Ijen selalu ramai dikunjungi turis asing sejak bulan Juli hingga September. Masa tiga bulan tersebut merupakan peak season (masa puncak) kunjungan wisatawan asing di Kawah Ijen.

Selain itu, wisatawan lokal juga ikut membanjiri wisata yang memproduksi belerang secara tradisional tersebut. Warga dari beberapa kota besar di Indonesia pun rela berjalan kaki sejauh 3,5 kilometer menuju puncak gunung berapi tersebut.

Sayangnya, daya tarik Kawah Ijen belum diimbangi dengan perbaikan sarana dan prasarana jalan oleh pemerintah. Kondisi jalan menuju Ijen dari arah Kecamatan Licin, Banyuwangi, sangat rusak. Saat ini, tidak semua kendaraan bisa naik ke Kawah Ijen. Pengunjung bisa mencapai base camp di Paltuding jika menggunakan kendaraan khusus yang biasanya dilengkapi fasilitas four wheel drive (4WD).

Beberapa tahun silam, semua jenis kendaraan masih bisa mencapai camp Paltuding. Namun, sejak kerusakan jalan tidak kunjung diperbaiki, tidak semua jenis kendaraan mampu menaklukkan jalan terjal tersebut. Meski kondisi jalan rusak, tapi pengunjung masih banyak yang menggunakan kendaraan keluarga. Hanya, mereka masuk ke Kawah Ijen melalui Kecamatan Sempol, Bondowoso. Dari arah Bondowoso, jalannya juga mengalami kerusakan. Namun, kondisi kerusakannya tidak separah jalur dari arah Banyuwangi.

Jika ditilik dari sudut pandang geografis, jalur jalan tersebut menghubungkan langsung (direct) Kabupaten Banyuwangi dengan Kabupaten Situbondo. Artinya, jalan yang menghubungkan dua kabupaten itu merupakan kelas jalan provinsi. Pemeliharaan jalan tersebut, tentu saja menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Mungkin saja, inilah kelas jalan provinsi yang paling terjal di Jawa Timur. Padahal, ruas jalan tersebut memiliki peran sentral dalam pengembangan dunia pariwisata di provinsi ini. Ya, semoga saja jalan terjal itu segera berubah menjadi lebih baik, sehingga bisa setara dengan kelas jalan provinsi lainnya di Jatim. (*)

Banjir Kok Jadi Langganan

MASYARAKAT Lingkungan Pakis Rowo, Kelurahan Pakis, Kecamatan Banyuwangi sudah sering jadi langganan banjir. Hampir setiap tahun, kawasan tersebut sering tergenang air pada puncak musim hujan. Namun, skala banjir yang terjadi, biasanya tidak terlalu meresahkan warga.

Namun pada tahun ini, banjir yang melanda kawasan itu tergolong cukup parah. Pada pagi itu (3/8), puluhan rumah di Lingkungan Pakis Rowo terendam. Genangan air di kampung tersebut sudah mencapai ketinggian satu hingga 1,5 meter.

Banjir akibat hujan dan rob sekaligus itu pun merendam puluhan rumah di wilayah rukun warga (RW) II Pakis Rowo. Banjir juga merendam puluhan hektare sawah di kawasan tersebut. Bahkan, beberapa hektare tambak udang dan tambak bandeng milik warga juga tergenang. Para petani dan petambak pun merugi jutaan hingga puluhan juta rupiah. Banyak benih udang dan bandeng yang mati terseret arus banjir.

Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Peternakan Banyuwangi merilis bahwa lahan sawah yang terendam di Pakis Rowo sebanyak 80 hektare. Sawah tersebut milik lebih dari 60 petani.

Kalau kita cermati, Secara geografis posisi kampung Pakis Rowo memang kurang menguntungkan. Kampung itu termasuk di dataran rendah. Ketika hujan turun dengan derasnya, air sungai dan air hujan dari dataran yang lebih tinggi akhirnya selalu mengarah ke kampung tersebut.

Selain itu, kampung Pakis Rowo juga berdekatan dengan pantai. Pada saat banjir, secara kebetulan juga terjadi gelombang pasang permukaan air laut (rob). Kondisi ini kian memperparah banjir yang terjadi. Sehingga, banjir di Pakis Rowo kali ini merupakan yang terparah.

Pada kasus banjir ini, jangan hanya memandang air banjir itu merupakan kiriman dari daerah yang posisinya lebih tinggi.Apalagi jika semata-mata menyalahkan dataran yang lebih tinggi, yang mengirim air bah tersebut. Saling menyalahkan itu memang tak ada gunanya, juga bukan jalan keluar yang terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Yang diperlukan saat ini adalah kajian mendalam dari semua komponen, dengan niat yang tulus untuk mencari solusi mengatasi problem banjir tahunan ini. Selain itu, tak ada salahnya jika kita semua juga introspeksi. Sudah layakkah kita tinggal di tempat itu? Sudahkah kita belajar dari pengalaman banjir-banjir sebelumnya?

Kalau memang dalam kajian itu ternyata memunculkan wacana bahwa lokasi itu tak layak huni, mengapa tidak kita memikirkan upaya relokasi. Jika bersikukuh tak mau relokasi, setidaknya harus ada inovasi untuk mengantisipasi banjir. Yang jelas harus ada tindakan. Jangan hanya pasrah, apalagi berpangku tangan menerima keadaan. (*)

Sterilkan GOR, Selamatkan Pelajar

APARAT Polsek Giri, Banyuwangi, berhasil mengamankan sembilan pasangan pelajar, Rabu malam (28/7). Mereka kedapatan sedang asyik bermesraan di sekitar kompleks Gedung Olahraga (GOR) Tawangalun, Giri. Tak ayal, para remaja ingusan itu digiring polisi menuju mapolsek, yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari GOR.

Supaya tidak terlihat mencolok, polisi tidak mengendarai mobil patroli. Petugas pilih mengendarai mobil pribadi dan sepeda motor. Tak pelak, beberapa pasangan tidak menyadari kehadiran polisi. Mereka hanya bisa pasrah saat diamankan.

Sebenarnya, ada puluhan pasangan yang sedang memadu kasih di sekitar kompleks GOR. Namun, lokasi yang luas dan terbatasnya personel, membuat petugas kewalahan. Sebagian pasangan kekasih itu berhasil lolos dari razia. Apalagi, ada pasangan yang kabur sambil memberitahu adanya razia kepada pasangan lain.

Selain di sekitar GOR, polisi juga melakukan razia di sepanjang jalan Melati. Jalan yang hanya 300 meter itu memang menjadi salah satu tempat favorit bagi pelajar untuk berpacaran. Di lokasi tersebut, sedikitnya tiga pasangan pelajar yang sedang berduaan berhasil dijaring polisi.

Belasan pelajar yang terjaring razia menyambut bulan Ramadan itu digiring menuju Mapolsek Giri. Mereka dikumpulkan di ruangan. Selanjutnya satu per satu didata dan diberi pembinaan oleh kapolsek.

Memang, problem yang terkait dengan seksualitas di kalangan remaja itu ibaratnya fenomena gunung es. Barangkali, persitiwa heboh siswa melahirkan dan membuang dan mencekik bayinya di SMAN 12 Surabaya yang sedang mengemuka itu, boleh jadi merupakan puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan air laut.

Tidak dapat dipungkiri, badan gunung es yang tak terlihat di bawah permukaan air laut, mungkin sudah melebar dan meluas, seluas benua. Kita tidak tahu, seperti apa kondisi sebenarnya pergaulan para pelajar di Banyuwangi saat ini. Bukan mustahil, sebagian besar pelajar kita sudah terjebak pergaulan bebas. Karena itu, sudah selayaknya kita meningkatkan benteng pertahanan kita masing-masing. Tingkatkan pengawasan anak-anak dan generasi penerus kita. Yang paling penting, ajaklah mereka dialog dan biasakan bersikap terbuka agar tahu besarnya risiko jika terjebak pergaulan bebas. (*)

Mahalnya Memakai Mobil Tua

ISI koran Radar Banyuwangi edisi kemarin (20/7) masih didominasi dengan berita kejadian kecelakaan. Pada halaman utama, ada dua besar tentang berita kecelakaan lalu lintas.

Memang, dua kejadian laka lantas itu tidak sampai memakan korban jiwa. Namun, kedua kejadian itu berpotensi besar bisa mengakibatkan hilangnya nyawa orang dalam jumlah besar. Beruntung, dua kejadian laka lantas itu masih diwarnai dengan keajaiban.

Kejadian pertama terjadi di perempatan lampu merah Penataban, Kecamatan Giri. Truk tua bermuatan tebu terguling dan melintang di tengah jalan. Truk sarat muatan tebu yang melaju dari arah selatan itu lepas kendali setelah remnya blong. Truk itu juga nyaris menabrak sebuah warung. Secara kebetulan, tidak ada warga yang duduk di warung tersebut siang itu. Seandainya saja warung itu sedang banyak pengunjung seperti biasanya, bisa dibayangkan betapa mengerikan musibah yang terjadi.

Sementara itu kejadian kedua, adalah terjungkalnya mobil Sekolah Luar Biasa (SLB) Banjar, Kecamatan Licin. Sembilan siswa, satu wali murid dan seorang guru berhasil lolos dari maut. Meski mobil operasional sekolah yang ditumpangi nyungsep ke jurang, mereka semua selamat dan hanya mengalami luka ringan.

Memang kecelakaan mobil sekolah kali ini diwarnai banyak keberuntungan dan keajaiban. Ketika mobil melintasi tanjakan, tiba-tiba mesin mobil tersebut mati. Kendaraan pun mundur tak terkendali. Ketika sopir sudah banting setir dan posisi kepala mobil menghadap ke jurang, mesin mobil itu tiba-tiba hidup kemudian melaju dan akhirnya masuk jurang dengan posisi terjungkir.

Menilik dua kejadian tersebut, ada baiknya kita melihat lagi usia mobil. Kendaraan operasional SLB itu sudah berumur 19 tahun. Sedangkan, usia truk pengangkut tebu yang terguling itu lebih tua lagi, yakni lebih dari 20 tahun.

Harga mobil tua memang lebih murah. Tetapi bukan berarti memakai mobil tua itu juga murah dan hemat. Bahkan sebaliknya, bisa jadi penggunaan mobil tua lebih boros. Pengeluaran membengkak karena butuh BBM lebih banyak, harus sering servis karena mesin sering ngadat, juga banyak biaya pengeluaran tak terduga.

Bahkan mungkin juga, penggunanya terancam bangkrut jika kurang hati-hati. Karena lalai mengecek rem, truk tua itu akhirnya terguling. Pemilik mobil pun harus mengganti kerugian akibat kecelakaan. Nilai ganti rugi rusaknya prasarana umum akibat laka tersebut, mungkin jauh lebih besar dari nilai jual mobil itu sendiri. Nah, masihkah kita berpikir bahwa mengoperasikan mobil tua itu jauh lebih hemat? Semoga ini bisa jadi renungan kita bersama. (*)

Mengurai Benang Kusut Mutasi Guru

ATMOSFER dunia pendidikan di Situbondo cukup menghangat akhir-akhir ini. Tidak salah juga kalau ada yang mengatakan, tensi dunia pendidikan di Kota Santri itu sedang meninggi.

Persoalan yang mencuat ke permukaan seolah tak ada habisnya. Puncaknya terjadi kemarin (15/7), ketika seluruh pelajar SMAN 1 Panarukan melakukan aksi mogok. Mereka menggembok pintu gerbang sekolah. Sehingga, tak seorang pun bisa masuk ke dalam sekolah. Aksi mogok tersebut dipicu oleh tindakan Dinas Pendidikan (Dispendik) yang memutasi salah seorang guru sekolah setempat, Novi Kusbudianto.

Seluruh siswa berharap agar Novi tetap bertugas di SMAN 1 Panarukan. Alasannya, guru olahraga tersebut dinilai banyak membantu memajukan SMAN 1 Panarukan dengan membuat siswa berprestasi dalam bidang non-akademik. Mereka menolak kedatangan guru pengganti Novi.

Para siswa juga memadati jalan di halaman depan sekolahnya. Mereka bergerombol sambil duduk lesehan di depan pintu gerbang yang digembok. Sejumlah guru dan personel kepolisian yang merayu agar kunci gembok diserahkan, ternyata tak membuahkan hasil. Pintu gerbang baru terbuka, saat sejumlah pejabat dari Dispendik datang. Dengan dalih akan melakukan pembicaraan dengan perwakilan siswa, kunci gembok akhirnya diserahkan.

Aksi siswa itu juga membuat kalangan guru kewalahan. Guru tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah aksi mogok belajar siswa itu.

Sementara secara terpisah, Wakil Kepala SMAN 1 Kapongan, Sugiono Eksantoso nekat mengembalikan Surat Keputusan (SK) pemutasian dirinya. Sugiono tak beraksi seorang diri. Dia bersama enam orang guru lainnya juga mengembalikan SK mutasi tersebut ke kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kemarin (15/7).

Mereka menilai, mutasi yang dilakukan Dispendik itu tidak melalui prosedur yang seharusnya.

Kecurigaan tidak beresnya pelaksanaan mutasi kian besar, karena sejumlah guru yang dimutasi adalah mereka yang sehari-harinya vokal. Mereka banyak menentang kebijakan sekolah maupun Dispendik. Pejabat di BKD sempat menolak menerima penyerahan SK mutasi tersebut. Sebab, SK itu seharusnya dikembalikan ke Dispendik sebagai SKPD yang mengajukan. Sugiono juga mengadukan masalah itu ke Komisi IV DPRD. Dewan juga merespons dan akan segera menggelar rapat kerja dengan Dispendik.

Kejadian ini layak dicermati sekaligus jadi bahan renungan kita bersama. Pertama, tugas pelajar adalah belajar. Karena itu, jika pelajar melakukan aksi mogok belajar, lantas, dimana hakikat sebutan pelajar itu?

Yang kedua, kalangan guru pegawai negeri sipil sejatinya sudah disumpah saat diangkat menjadi abdi negara. Mereka sebagai pelayan negara, menyatakan siap bertugas dan ditempatkan di mana saja. Jika menolak dimutasi, apakah tidak bertentangan dengan sumpahnya?

Yang terakhir, kalangan pejabat yang punya kebijakan dan wewenang untuk melakukan mutasi pegawai. Jabatan dan wewenang itu sejatinya adalah amanah yang dibebankan di pundak kita. Apabila menjalankan wewenang itu tidak sesuai prosedur, ini artinya sudah mengingkari amanah yang telah dibabankan. Kalau pemimpin sudah tidak bisa menjaga amanah dan kepercayaan, apa jadinya negara ini?

Karena itu, benang kusut mutasi di dunia pendidikan di Kota Santri ini harus segera diurai. Semua pihak harus mawas diri dan kembali kepada rel dan tugas masing-masing. Siswa yang mogok harus kembali belajar. Guru harus siap mengajar di mana saja. Dan yang paling penting, pejabat harus bertindak sesuai prosedur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. (*)

Selamatkan Batik Lokal

BATIK lokal di Situbondo sebenarnya sudah bukan barang baru. Sejak zaman Belanda, warga Situbondo sudah aktif membatik. Misalnya saja batik cotto’an di Desa Peleyan, Kecamatan Kapongan. Karena terkendala berbagai faktor, sejak 1980-an, dunia batik di tempat tersebut mati suri.

Selain itu, pada 1995, Departemen Tenaga Kerja Situbondo sebenarnya sudah melakukan pelatihan desain batik di Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan. Namun, upaya tersebut putus. Untung, masih ada sejumlah warga bertahan dan terus beraktivitas. Nah, batik-batik itulah yang dijadikan salah satu referensi untuk menemukan batik khas Situbondo.

Asal muasal batik-batik tersebut sempat menjadi deretan daftar nama yang akan diberikan untuk batik khas Situbondo. Sempat muncul nama batik Lenteh, Selowogo, Banyuputih, dan Cotto’an. Namun pada akhirnya, disetujui nama Batik Situbondo. Kesepakatan menamai batik Situbondo itu tercetus setelah dilakukan pertemuan berbagai pihak yang terkait dengan masalah batik. Mulai dari Komisi IV DPRD hingga sejumlah pelaku produk batik. Materi yang dibahas adalah hasil lokakarya batik yang digelar awal Juli lalu. Dalam pertemuan tersebut, juga disepakati ikon batik Situbondo adalah kerang.

Pemkab memang sudah cukup apresiatif terhadap batik khas Situbondo. Pemkab siap-siap untuk mewajibkan seluruh siswa mulai dari tingkat SD, SMP, SLTA, dan PNS untuk mengenakan batik lokal Situbondo.

Meski begitu, upaya untuk melindungi batik lokal tak cukup sampai di situ. Tak cukup puas ketika seluruh komponen masyarakat Situbondo sudah mengenakan baju batik motif kerang. Sebenarnya, ada hal yang tak kalah urgent dalam perlindungan batik lokal.

Dari sisi hukum, hak atas kekayaan intelektual batik karya lokal itu harus dilindungi secara hukum. Karena itu, seluruh komponen masyarakat di Kota Santri harus ikut mewujudkan rasa aman karya masyarakat itu dari upaya plagiat dan pembajakan. Semua komponen harus sebaiknya segera mengambil langkah taktis untuk melalui tahapan diraihnya hak paten batik kerang tersebut. Kalau kita lengah dalam hal ini, jangan-jangan batik khas Situbondo itu nanti malah dicaplok dan diklaim sebagai karya negeri tetangga. Semoga hal itu tidak terjadi. (*)

Perlunya Filter untuk TKI

NASIB Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tak selamanya untung. Memang banyak TKI yang sukses dan berhasil meraup uang berlimpah dari hasil bekerja di negeri asing. Kesuksesan mereka biasanya cukup jadi gunjingan warga sekampungnya.
Sebaliknya, banyak juga TKI yang bernasib buruk. Berbagai macam penderitaan para TKI di luar negeri pun sering diberitakan media massa. Yang jelas, kabar tentang penderitaan TKI seolah tak ada habisnya.
Di Banyuwangi saja, sudah tak terhitung berapa banyak TKI yang jadi korban. Ada yang pulang tinggal nama, ada juga yang pulang membawa penderitaan seumur hidup. Bahkan, penderitaan sudah dirasakan warga saat akan menjadi calon TKI.

Seperti yang dialami tiga calon TKI asal Banyuwangi. Ketiga CTKW kurang beruntung itu adalah Komiati, 36, Enis, 45 dan Mariyam, 27, semuanya warga Kecamatan Bangorejo. Mereka kabur dari lokasi penampungan di Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang. Mereka mengaku trauma atas perlakuan bos sebuah PJTKI berinisial AP.

Saat kabur pada hari Rabu lalu (30/6), mereka berbarengan dengan 31 CTKW lain yang sama-sama berada di penampungan milik bos PJTKI tersebut. Sudah hampir empat bulan mereka berada di penampungan, tapi belum ada tanda-tanda hendak diberangkatkan.

Selama tinggal di penampungan, mereka tidak mendapat pelayanan semestinya. Bahkan, mereka sering makan nasi yang sudah basi.

Sialnya, mereka diancam jika dalam waktu tujuh hari tidak kembali lagi ke penampungan, maka akan diproses hukum. Mereka juga dipaksa mengembalikan uang Rp 13 juta jika menolak kembali ke penampungan.

Terlepas dari berita kaburnya tiga calon TKI itu, patutlah kita semua ikut memikirkan nasib para pahlawan devisa itu. Berbagai kisah pilu yang dialami TKI maupun calon TKI, ternyata tidak menyurutkan jumlah peminat untuk jadi TKI. Setiap tahun, jumlah TKI tak menjadi berkurang. Justru sebaliknya, jumlah TKI justru semakin meningkat setiap tahun.

Salah satu penyebabnya adalah karena persoalan minimnya lapangan kerja yang ada di dalam negeri. Dengan gaji lebih besar, seorang TKI merasa jaminan hidup yang diperolehnya lebih baik dibandingkan dengan kehidupannya di Indonesia.
Kesulitan lapangan pekerjaan memang menjadi salah satu sumber dari hengkangnya mereka dari Indonesia. Belum termasuk mereka yang miskin dan hidup di bawah standar.

Pemerintah boleh dibilang kurang berhasil membuka pintu pekerjaan di dalam negeri. Akibatnya, tawaran bekerja di luar negeri jadi iming-iming menggiurkan.

Yang membuat miris, banyak kasus calon TKI yang tertipu oleh pihak pengerah tenaga kerja yang tak bertanggung jawab. Karena itu, pemerintah harus melakukan sesuatu. Pemerintah harus membenahi sistem perekrutan TKI. Pemerintah harus selektif dalam mengirim TKI ke luar negeri. Upaya selektif ini bisa dilakukan sejak di level kabupaten. Dengan filter yang ketat, paling tidak ‘produk’ TKI yang akan dikirim ke luar negeri itu benar-benar tenaga kerja yang terampil, sehat, kuat, dan teruji.(*)

Memilih Sekolah

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2010-2011 secara serentak dimulai sejak 1 Juli 2010. Seluruh sekolah, mulai tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, mulai membuka pendaftaran. Kecuali sekolah yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), mereka telah menggelar tes lebih awal yakni beberapa bulan lalu.

Tahun ini, PPDB masih menggunakan sistem skor dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu prestasi akademik, prestasi non-akademik, dan beberapa komponen lain. Beberapa sekolah juga ada yang memberikan materi tes tambahan, seperti misalnya tes mengaji untuk sekolah madrasah negeri tertentu, ada juga tes keseimbangan seperti yang dilakukan beberapa SDN.

Pada hari pertama pendaftaran, hampir seluruh sekolah negeri tertentu dipadati pendaftar. Bahkan di beberapa sekolah, jumlah pendaftar telah melebihi jumlah kuota yang ditetapkan. Bahkan, pada sekolah-sekolah tertentu, pada hari pertama saja mereka sudah ‘membuang’ separo pendaftar yang skornya tak mampu bersaing.

Pada hari kedua kemarin (2/7), pendaftar yang tahu diri itu pun ramai-ramai mencabut berkas. Tak hanya peserta PPDB, para orang tua calon siswa baru itu pun ikut kelimpungan memikirkan nasib dan kelanjutan pendidikan anaknya.

Memang, orang tua mana pun tentu ingin memasukkan anaknya ke sekolah yang terbaik. Namun diakui atau tidak, sebagian masyarakat kita memang masih belum bisa lepas dari paradigma lama. Sebagian warga masih ada yang memberi label sekolah favorit pada sekolah tertentu.

Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dispendikpora saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Sehingga muncullah adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.

Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang sejatinya disebut sekolah bermutu. Pilih mana sekarang? (*)

Liburan, Waspada di Jalan

MUSIM liburan sekolah telah tiba. Banyak keluarga di Indonesia yang mengisi masa liburan sekolah tersebut dengan pelesir ke tempat wisata. Banyak juga rombongan sekolah yang melakukan wisata sambil belajar alias study tour.

Kondisi dan tradisi semacam ini juga terjadi di Banyuwangi dan Situbondo. Terlebih, posisi geografis dua kabupaten bertetangga ini sangat dekat dengan daerah tujuan wisata favorit, yakni Bali.

Tentu saja, dampak besar juga dirasakan dua kabupaten tersebut. Yang pasti, arus lalu lintas kendaraan antarkota meningkat di jalanan utama di Situbondo dan Banyuwangi. Kesibukan juga terlihat di penyeberangan Ketapang.

Jumlah penumpang feri meningkat tajam. Dalam beberapa hari terakhir ini, ribuan orang telah menyeberang ke Bali untuk menghabiskan masa liburan. Peningkatan penumpang didominasi kendaraan pribadi dan bus pariwisata. Peningkatan berkisar antara tujuh hingga sepuluh persen dari hari-hari sebelumnya.

Untuk penumpang dari kalangan pelajar, kepadatan terjadi mulai tengah malam hingga pagi. Banyaknya kendaraan penumpang, sesekali menyebabkan antrean kendaraan di pelabuhan.

Sebagian besar bus wisata yang datang, berpenumpang ditumpangi kalangan pelajar dari berbagai sekolah. Bahkan, di antara kepadatan bus wisata itu berasal dari beberapa sekolah di Jawa dan Sumatera. Selain berlibur, selama di Bali, mereka juga melakukan kegiatan mereka melaksanakan study tour.

Kepadatan penumpang penyeberangan itu semakin diperparah dengan maraknya kendaraan barang yang menyeberang melalui pelabuhan landing craft machine (LCM). Antrean kendaraan barang itu terjadi karena terjadi pengurangan kapal, ombak pantai besar, dan terjadi peningkatan kendaraan bermuatan lebih dari 20 ton

Semua kondisi ini layak kita waspadai. Kepadatan di pelabuhan penyeberangan dan kepadatan kendaraan di jalan raya. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan, risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas akan berpeluang lebih besar.

Bahkan, kecelakaan maut sudah terjadi di tikungan jembatan Kramasan, Desa Alasrejo, Kecamatan Wongsorejo dini hari kemarin (27/6). Kendaraan travel minibus Isuzu Elf warna silver dengan nopol DK 9075 E terbalik dan membuat satu penumpang meninggal dunia. Sedangkan tiga penumpang lainnya mengalami luka berat.

Karena itu, tak ada salahnya bagi kita untuk lebih waspada dalam berkendara di jalan raya. Semua pengendara sudah selayaknya mematuhi rambu yang ada. Jangan lagi keburu-buru dalam berkendara, mengingat jalanan lebih padat di musim liburan ini. Dengan begitu, semoga musim liburan ini bisa berjalan aman tanpa ada lagi kecelakaan lalu lintas. (*)

Miras Oplosan Musuh Bersama

NYAWA generasi penerus kita terus bergelimpangan. Mereka jatuh bersimbah darah, bukan karena berjuang mengabdikan diri demi kemajuan bangsa dan negara. Ironisnya, pemuda yang tewas itu akibat overdosis (OD) minuman keras yang dioplos dengan pil dextro dan mushroom (jamur feces sapi).

Seperti yang dialami Hadi Susilo alias Monyo, 20, warga Dusun Tegalsari, Desa Purwoasri; dan Galuh, 20, warga Desa Purwoagung, Kecamatan Tegaldlimo. Keduanya diduga over dosis miras oplosan.

Informasinya, pesta miras campur pil dextro itu dilakukan di sebuah rumah di Dusun Tegalsari, Desa Purwoasri. Sebanyak empat pemuda berpesta miras merek Topi Miring (TM) selama dua hari. Keempat pemuda itu hampir seharian pesta miras. Sampai akhirnya, tiba-tiba Monyo dan Galuh meraung kesakitan. Meski sudah dibawa ke balai kesehatan di Desa Tegaldlimo, nyawa mereka akhirnya tak dapat diselamatkan.

Memang, miras jika dicampur dengan dextro akan membahayakan keselamatan. Apalagi jika dikonsumsi melebihi dosis. Jika kita lihat lebih dalam, pil dextro sejatinya bukan termasuk obat-obatan berbahaya. Pemerintah sepertinya menggarisbawahi dengan hal itu. Sebab, pemerintah masih memperbolehkan beberapa jenis obat batuk dijual secara bebas.

Namun belakangan, sudah banyak pemuda yang meninggal dunia karena diduga mengonsumsi dextro melebihi ambang batas. Selain itu, ada juga yang mengonsumsi obat tersebut dengan campuran yang tidak lazim seperti miras berkadar alkohol tinggi.

Tentu saja, ini sudah melenceng dari kegunaan sebenarnya. Obat yang semestinya digunakan untuk menyembuhkan, justru disalahgunakan untuk merusak diri sendiri. Ternyata, bahaya yang ditimbulkan ternyata bukan berasal dari obat itu sendiri. Tetapi, faktor manusia sendiri yang menyalahgunakan obat tersebut untuk sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan.

Maraknya penyalahgunaan obat, tentu saja tidak bisa ditangani aparat kepolisian sendiri. Seluruh komponen masyarakat harus bahu membahu ikut mendukung upaya pemberantasan penyalahgunaan obat tersebut.

Selain itu, keluarga dan lingkungan bisa menjadi motor terdepan dalam pencegahan penyalahgunaan obat. Lingkungan masyarakat dan lingkup keluarga itu ibarat alat pendeteksi dini terjadinya penyalahgunaan obat. Melalui pendekatan kekeluargaan, serta menciptakan situasi yang kehidupan yang harmonis dalam keluarga, akan mencegah timbulnya problem pada masing-masing individu. Dengan begitu, setidaknya tindakan yang memicu penyalahgunaan obat akan bisa berkurang. (*)

Mahalnya Emas, Murahnya Nyawa

Penambangan liar di Gunung Tumpang Pitu kembali makan korban. Seorang penambang liar asal Manado ditemukan tewas di sumur tambang di Petak 77 A, RPH Kesilirbaru, BKPH Sukamade, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Dia ditemukan tewas di dalam sumur tambang sedalam 25 meter. Setelah dievakuasi dan dibawa ke RSUD Genteng, akhirnya jenazah penambang emas itu dimakamkan di rumah kerabatnya di Kecamatan Genteng.

Selain penambang asal Manado itu, ada satu orang lagi yang mengalami kecelakaan di sumur tersebut. Dia adalah seorang anggota Polres Banyuwangi yang berpangkat Brigadir Kepala (Bripka). Meski selamatkan, polisi itu harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Al-Huda, Kecamatan Gambiran. Anggota polisi itu diduga terkena gas beracun di sumur tambang emas liar tersebut.

Sebenarnya, kawasan hutan di lereng Gunung Tumpang Pitu tersebut sudah pernah dirazia aparat gabungan. Ribuan penambang liar pun akhirnya ngacir. Mereka meninggalkan ratusan sumur sedalam puluhan meter di hutan tersebut.

Setelah sekian lama tak ada kabar, rupanya bekas sumur-sumur penambang liar itu kini mulai beroperasi lagi. Para penambang itu kembali berburu emas di sana. Mereka menggali lagi sumur yang diduga memiliki kandungan emas. Mereka harus menggali dengan kedalaman rata-rata 40 sampai 50 meter. Padahal, risiko yang harus ditanggung setiap penambang liar sangatlah besar. Ancaman gas beracun bisa terus menghantui. Belum lagi ancaman tanah longsor dan tertimbun di dalam sumur.

Karena aktivitasnya tak berizin, maka segala risiko harus ditanggung sendiri oleh penambang. Seolah-olah, nyawa mereka sangatlah tak berharga. Risiko besar itu tak sebanding dengan apa yang didapatkan. Modal dan tenaga sudah jelas dikuras, tetapi hasilnya masih gambling. Jika memang beruntung, mereka bisa membawa bijih emas yang mahal. Tetapi kalau lagi buntung, mungkin pulang tinggal nama. Semoga tidak ada lagi korban. Karena itu, semua pihak terkait dan aparat harus peduli dan mencegah musibah itu terulang lagi. (*)

Ikhtiar Mengembalikan Uang Rakyat

PROSES hukum kasus korupsi dana kas daerah (Kasdagate) Situbondo memang sudah berlangsung. Mereka yang terlibat sudah dinyatakan bersalah dan sedang menjalani hukuman.

Akan tetapi, ada satu hal yang masih jadi ganjalan di benak masyarakat Kota Santri. Bagaimana dengan nasib dana kasda senilai Rp 43 miliar yang raib?

Dana sebesar itu memang tidaklah sedikit. Jika dana itu bisa kembali dan dimanfaatkan untuk pembangunan, tentu akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.

Karena itu, sudah selayaknya semua pihak mendukung upaya kalangan DPRD membentuk Panitia Khusus (pansus) pengembalian dana kasdagate tersebut. Tidak hanya eksekutif yang memberikan sambutan positif terhadap pembentukan Pansus tersebut.

Langkah pembentukan pansus itu dinilai sangat membantu eksekutif dalam menarik kembali dana kasda yang raib setelah terbelit kasus korupsi di masa pemerintahan Bupati Ismunarso tersebut.

Selama ini, Pemkab Situbondo sebenarnya tidak tinggal diam. Pemkab sudah melakukan usaha dengan maksimal demi kembalinya dana Rp 43 miliar itu ke kasda. Sebab, dana sebesar itu sangat berarti untuk pembangunan Situbondo.

Salah satu langkah yang sudah ditempuh pemkab adalah menggugat BNI melalui jalur perdata. Proses gugatan perdata tersebut masih berlangsung di tahap kasasi. Gugatan ini merupakan langkah yang benar-benar riil dan prosedural. Karena itu, kalangan eksekutif merasa optimistis uang rakyat itu akan kembali ke kasda Pemkab Situbondo.

Sementara itu, kalangan DPRD tampaknya juga beriktikad baik untuk membantu memperlancar pengembalian uang negara yang raib karena kasus kasdagate itu. Lembaga wakil rakyat itu memutuskan membentuk Pansus pengembalian dana kasda.

Meski metode dan langkah yang dilakukan berbeda, akan tetapi upaya yang dilakukan oleh kalangan eksekutif maupun upaya DPRD melalui pansus, semua layak kita apresiasi. Jangan jadikan perbedaan metode itu justru menimbulkan perpecahan. Yang penting tujuan dan niatnya sama baiknya, yakni ingin agar uang rakyat bisa kembali. Jika perlu, semua komponen masyarakat Situbondo juga kompak ikut membantu sesuai peran dan porsi masing-masing. Dengan upaya yang dilakukan bersama, semoga uang negara bisa segera kembali ke kasda. (*)