Selasa, 15 Februari 2011

Merindukan Sirkuit Balap

UPAYA untuk memberantas aksi balap liar di jalanan seolah tak ada habisnya. Polisi seolah tak kenal lelah melakukan razia balap liar. Petugas juga tak henti melakukan upaya pembinaan. Semua cara sudah dicoba, mulai metode yang lunak hingga pendekatan yang agak keras.

Namun, semua upaya dan kerja keras aparat untuk memberantas balap liar itu seolah tak ada artinya. Para remaja tetap saja menggeber aksi adu balap motor di jalanan. Yang terakhir, sekelompok remaja menggelar balap liar di jalan raya depan Bandara Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi Senin sore kemarin (14/2).

Para pemuda pelaku balap liar di Jalan Raya Bandara Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi, akhirnya berhasil diamankan aparat kepolisian. Sebelumnya, beberapa kali para pelaku balap liar selalu berhasil lolos. Kali ini, mereka tepergok petugas sesaat sebelum melakukan adu kebut.

Sebenarnya, di lokasi balap liar itu ada puluhan pemuda yang menyaksikan. Namun, saat mengetahui aparat datang, mereka semburat melarikan diri. Lima orang di antaranya plus tiga unit sepeda motor protholan yang digunakan sebagai ajang adu nyali yang seringkali disertai taruhan itu berhasil dijaring petugas.

Seperti pengalaman-pengalaman razia sebelumnya, para pembalap liar itu hanya dikenakan sanksi pembinaan. Setelah mendengarkan ‘ceramah’, mereka pun diizinkan pulang ke rumah masing-masing.

Memang, ada peluang bahwa pendekatan yang dilakukan tidak kapok para remaja untuk terus melakukan kegiatan berbahaya itu di jalan umum. Kemungkinan yang kedua, hobi balap di jalan itu bisa jadi sudah mendarah daging di kalangan remaja. Tekanan sebesar apa pun, ternyata tidak mampu menyurutkan niat mereka untuk menghentikan aksi balap liar di jalan umum.

Jika kemungkinan kedua itu yang terjadi, tak ada salahnya untuk mengalihkan hobi mereka yang membahayakan pengendara di jalan umum, menjadi sebuah peluang untuk mendulang prestasi. Peluang mendulang prestasi inilah yang perlu dikaji lebih mendalam.

Hobi balap liar harus segera diarahkan. Mereka perlu dikawal agar bisa masuk dalam lingkaran prestasi ajang lomba balap dan dunia otomotif. Harus dipikirkan dan perlu digelar event kejuaraan balap motor, baik berupa road race, drag race, motocross, bahkan kalau perlu digelar kejuaraan freestyle. Agar semua itu terwujud, pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa kemudahan dalam perizinan kegiatan balap legal.

Jika perlu, pemerintah bisa saja membangun fasilitas sirkuit yang memadai untuk ajang balap warga. Sehingga, tak hanya menghapus balap liar, tetapi juga mencetak pembalap berprestasi yang bisa mengharumkan nama Banyuwangi. Inilah yang diharapkan semua pihak. (*)

Waspadai Makelar Proyek

SATU lagi kasus hukum jadi gunjingan di Situbondo. Kali ini, tindakan yang diduga melanggar hukum itu melibatkan oknum Pegawai negeri Sipil (PNS). Oknum tersebut adalah Umar Suyitno, 53, asal Desa Kettah, Kecamatan Suboh.

Oknum PNS tersebut ditangkap anggota Buser Polres Situbondo, setelah dilaporkan telah melakukan penipuan sebesar Rp 30 juta.

Untuk menjalani proses hukum, oknum PNS yang bekerja di kantor UPTD Dinas Pendidikan, Kecamatan Besuki itu diamankan di ruang tahanan polres. Dia menjanjikan korbannya bisa dapat proyek, dengan minta uang pelicin sebesar Rp 30 juta.

Akibat janji manis tersebut, Hj. Endang Sulistyowati, warga Jalan Basuki Rachmat, Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, merugi. Oleh tersangka, dia dijanjikan proyek di lingkungan dinas pendidikan dengan catatan memberi uang pelicin. Apalagi, oknum PNS itu mengaku bisa mengatur proyek di Dinas Pendidikan.

Tetapi, setelah korban menyerahkan uang Rp 30 juta, proyek yang dijanjikan itu tidak datang juga. Setelah ditunggu hingga beberapa tahun, korban tetap tidak mendapatkan paket proyek yang ada di lingkungan dinas pendidikan. Lantaran hanya diberi janji, korban akhirnya nekat melapor ke pihak berwajib.

Sekilas, kasus ini mungkin bisa masuk kategori kriminal murni. Inti persoalannya adalah penipuan. Korban diperdaya oleh janji manis akan diberikan proyek Dinas Pendidikan.

Tetapi ada hal yang patut kita dalami dalam kasus ini. Karena oknum tersangka kasus penipuan itu berstatus PNS yang bertugas di Dinas Pendidikan. Karena itu tidak menutup kemungkinan, yang bersangkutan paham betul akan proyek-proyek yang ada di dinas tersebut. Bukan mustahil pula, dia paham betul bermacam celah untuk mendapatkan proyek yang ada di lembaga tersebut.

Karena itu, fenomena ini bisa jadi gambaran awal dalam menyibak misteri kucuran proyek pemerintah. Begitu banyak hal yang patut dipantau dalam proses pengucuran proyek. Sebab, belum banyak lembaga atau instansi pemerintah yang mau buka-bukaan kepada publik. Mungkin saja, masih ada yang ingin proses pengucuran proyek itu berlangsung secara diam-diam.

Karena itu, semua elemen masyarakat harus mau menggugah kesadaran diri masing-masing, bersatu, dan merapatkan barisan. Semua perlu ikut memantau dan ikut membatasi ruang gerak makelar proyek di semua lini. Karena jika terlalu banyak kebocoran dalam pelaksanaan proyek pemerintah akibat ulah makelar, yang rugi adalah kita semua. (*)

Bahaya Susutnya Lahan Pertanian

BUMI Blambangan dikenal sebagai lumbung padi di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Secara nasional, Jatim termasuk salah satu pilar penting penyuplai padi untuk stok pangan nasional.

Melihat kenyataan tersebut, sudah bertahun-tahun Banyuwangi memiliki peran penting dalam urusan stok pangan nasional. Artinya, urusan perut untuk ribuan mungkin jutaan warga negeri ini, sedikit banyak akan dipengaruhi oleh produksi pertanian dari Banyuwangi.

Bahkan jauh sebelum itu, ada beberapa orang yang meyakini bahwa peran penting Banyuwangi dalam bidang pertanian dan stok pangan Nusantara itu diduga sudah terjadi sejak lama. Kabupaten di ujung timur pulau Jawa ini menurut sejarah, pernah berdiri sebuah kerajaan Macan Putih di Blambangan.

Nah, makna nama Blambangan itu sendiri ada banyak tafsir. Salah satunya, ada yang menyebut Blambangan berasal dari kata Belambangan. Kata Belambangan itu pun bisa berasal dari kata yang lebih simpel, Pelumbungan yang artinya banyak lumbung (penyimpanan padi) di daerah ini.

Terlepas benar atau tidaknya tafsir tersebut, ini adalah suatu gambaran betapa suburnya Bumi Blambangan. Betapa bagusnya produksi padi di Banyuwangi tercinta ini.

Namun kini, ada persoalan pelik yang bisa mengancam semua hal penting itu. Apa itu? Pesatnya pertumbuhan industri property di Banyuwangi. Perumahan tumbuh subur bak jamur yang bermunculan di musim hujan. Bisnis perumahan di Banyuwangi berkembang pesat mengalahkan pertumbuhan bisnis sejenis di daerah lain.

Banyak warga yang ikut merasakan manisnya perkembangan dunia property ini. Tak sedikit pula tenaga kerja yang terserap dari menggeliatnya industri perumahan tersebut. Artinya, sektor ini ikut memberikan andil yang lumayan baik bagi pertumbuhan ekonomi Banyuwangi.

Meski begitu, pertumbuhan sektor property ini juga mengancam sektor penting dalam bidang pertanian. Tak bisa kita pungkiri, bahwa sebagian pengembang sudah menyulap lahan pertanian yang subur menjadi perumahan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan ini pun lebih pesat dibandingkan dengan pembukaan sawah baru.

Artinya, lahan pertanian yang ada di Bumi Blambangan ini kian menyusut. Posisi Banyuwangi sebagai lumbung padi di Jatim maupun nasional, kini layak dipertanyakan lagi. Jika kondisi kawasan penyangga stok pangan nasional sudah goyah, lantas apa jadinya dengan masa depan pangan negeri ini.

Karena itu, sudah selayaknya dilakukan langkah strategis dalam menindaklanjuti krisis lahan pertanian ini, tanpa harus ’mematikan’ pertumbuhan sektor property. Perlu langkah tegas untuk kembali menegakkan pembangunan seusai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Semua harus kembali pada zona yang sudah ditetapkan, yakni industri, zona pendidikan, zona pertanian, dan zona lainya. Jika ada pelanggaran, misalnya zona pertanian digunakan untuk peruntukan lain yang dilakukan tak sesuai prosedur, solusi hukum adalah jawabannya. Beranikah kita melakukannya? (*)

Pelajaran dari Apesnya Penjahat

DUA hari terakhir ini, mungkin adalah hari-hari sial para penjahat jalanan. Dalam kurun dua hari berturut-turut itu pula, sudah ada dua kejadian tindak kejahatan yang berakhir tragis di Bumi Blambangan.

Yang pertama adalah kasus pencurian kendaraan bermotor di Kecamatan Pesanggaran. Lukman Hakim, 35, warga Kelurahan Gebang, Kecamatan Patrang, Jember ini tewas setelah dihajar massa saat tepergok mencuri motor milik warga Dusun Wringinmulyo, Desa Pesanggaran Sabtu kemarin (5/2).

Sore itu, korban baru saja memarkir motor Honda Kirana bernopol P 5405 YL di depan tokonya. Kebetulan, letak toko korban itu berdekatan dengan jalan raya. Usai memarkir motor, korban masuk ke dalam rumah. Gentong sengaja meninggalkan kunci motornya menggantung di motor miliknya, karena dia bermaksud kembali menggunakan motor tersebut.

Melihat kesempatan itu, pelaku pun mulai melancarkan aksinya membawa kabur motor korban. Saat dikejar, pelaku ngacir naik motor tersebut dengan kecepatan tinggi. Namun sial, karena kondisi jalan rusak, dia terjatuh setelah kejar-kejaran dengan warga sejauh 500 meter. Pelaku terjungkal dan ambruk di tengah jalan. Warga pun berhamburan untuk menyergap dan menghajarnya. Akhirnya, nyawanya tak bisa diselamatkan saat dirawat selama beberapa jam di RSUD Genteng.

Sementara itu kejadian kedua terjadi di Desa Ketapang Minggu malam kemarin (6/2). Dua penjambret beraksi di sebuah warung depan terminal bus Sri Tanjung, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, berakhir tragis sekitar pukul 19.30 Minggu malam kemarin (6/2). Dua pelaku yang kabur akhirnya tewas setelah motor yang dikendarai menabrak truk di depan PT. Ndaru Laut, Jalan Raya Situbondo, yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi penjambretan.

Satu tersangka tewas di lokasi tabrakan. Tersangka lain meninggal dunia di RSUD Blambangan sekitar empat jam kemudian. Tersangka yang mati di lokasi kecelakaan adalah Hari Prayitno, 23, warga Dusun Krajan, Desa Karang Harjo, Kecamatan Kalibaru. Tersangka yang mati di RSUD adalah Sukiran, 24, warga Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng.

Dengan rentetan dua kejadian ini, kita belum bisa sepenuhnya bernapas lega. Keoknya penjahat dalam dua kejadian itu murni karena faktor keberuntungan. Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari dua kejadian tersebut. Aksi kejahatan itu ternyata terjadi bukan semata karena ada niat dari pelakunya.

Ternyata, dua kejadian itu terjadi karena situasi yang memungkinkan. Pada kasus curanmor di Pesanggaran, korban ternyata meninggalkan motor berikut kunci kotaknya di depan tokonya. Sedangkan aksi penjambretan di Ketapang itu terjadi, karena situasi sangat sepi pada malam hari. Karena itu, dua penjahat itu dengan mudah menjambret perhiasan emas sang pemilik warung.

Karena itu, kita semua pasti tak ingin peristiwa itu terulang kembali. Hanya ada satu cara jitu untuk mengatasinya, yakni meningkatkan kewaspadaan. Jangan teledor dengan kendaraan kita, jangan pula memakai perhiasan berlebihan ketika situasi sekitar sepi dan gelap. Dengan begitu, peluang terjadinya tindak kejahatan akan semakin minim. (*)

Menjalankan Proyek dengan Bijak

BUKAN hanya sekali warga Kota Santri meradang gara-gara jalan. Sekitar sebulan lalu, warga Desa Curahkalak, Kecamatan Jangkar turun ke jalan. Mereka mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terkait sarana jalan yang rusak di kawasan tersebut. Padahal, jalur tersebut merupakan jalan provinsi yang punya makna penting bagi distribusi barang Jawa Timur dan Bali.

Nah, belum reda persoalan tersebut, kali ini gejolak serupa muncul di Desa Curahjeru, Kecamatan Panji. Proyek pengerukan sungai Salsat Kapongan memantik protes warga sekitar kemarin (2/2). Gara-garanya, tanah bekas pengerukan sungai tersebut dibuang di sekitar jalan.

Tumpukan tanah di tepi jalan raya itu meluber sampai badan jalan. Akibatnya, jalanan macet. Bahkan, tidak sedikit pengendara motor yang jatuh karena kondisi jalan licin. Intinya, tanah bekas pengerukan sungai telah mengganggu ketenangan warga.

Sejatinya, pengerukan sungai Salsat tersebut telah dianggarkan cukup besar oleh pemerintah pusat melalui dana APBN. Namun, pelaksanaan proyek tersebut cenderung kurang bijak. Indikasinya, tanah kerukan dari sungai itu dibuang di sekitar jalan.

Akibatnya, tumpukan tanah yang meluber ke badan tersebut dirasakan cukup mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Kondisi jalan menjadi licin, sehingga pengendara sepeda dan motor kerap terpeleset. Artinya, dampak kegiatan proyek tersebut ternyata berpotensi membahayakan keselamatan warga.

Dampak yang kedua, proyek tersebut juga berpotensi membuat sarana umum berupa jalan yang ada menjadi rusak. Padahal, jalan di kawasan tersebut relatif baru. Banyaknya dump truk pengangkut tanah yang melintas, berpotensi membuat jalan tersebut rusak.

Melihat potensi yang muncul sebagai dampak proyek tersebut, sebenarnya membuka peluang bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan class action. Warga yang sudah terjatuh dan terpeleset di jalan tersebut, bisa bersama-sama mengajukan gugatan. Terlebih, jika memang nanti terbukti jalan itu rusak karena aktivitas proyek pengerukan sungai tersebut.

Meski begitu, gugatan bukanlah satu-satunya solusi bijak dalam menuntaskan kasus tersebut. Karena bagaimanapun juga, proyek pengerukan sungai itu juga bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat. Jika warga sudah mau mengerti dan lebih arif untuk tidak mengajukan gugatan, alangkah adilnya pula bila pelaksana proyek tersebut juga mengambil langkah bijak.

Yang jelas, proyek sebaiknya dikelola dengan baik dengan cara meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Seluruh stakeholder juga perlu ikut mawas diri, dengan cara menciptakan perencanaan pembangunan yang lebih matang. Jangan sampai membangun jalan baru, kemudian ada proyek lain yang berpotensi merusak jalan baru tersebut. Dengan begitu, kejadian yang merugikan warga seperti itu tak terulang lagi di masa mendatang. (*)

Pentingnya Harmoni Eksekutif-Legislatif

PEMBAHASAN Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2011 di Kabupaten Situbondo masih belum kelar. Hingga kemarin (28/1), tahapan yang dilalui masih seputar KUA PPAS (Kebijakan Umum Anggaran Perencanaan Plafon Sementara).

Bahkan, DPRD mengembalikan KUA PPAS yang diserahkan oleh eksekutif dengan alasan draf tersebut tidak lengkap. Tahapan ini sejatinya sudah sangat jauh terlambat. Bahkan sesuai Permendagri No. 13, eksekutif seharusnya sudah menyerahkan pada bulan Juni atau Juli tahun sebelumnya.

Meski begitu, berlarut-larutnya pembahasan RAPBD ini juga sempat diwarnai aroma tak sedap hubungan eksekutif dengan legislatif dengan latar belakang Pemilukada lalu.

Nah, harus disadari bahwa begitu seseorang terpilih menjadi pejabat publik, dia harus memosisikan diri sebagai milik seluruh rakyat. Meski berangkat dari jalur politik, seorang pejabat publik harusnya mengabdikan diri sepenuhnya untuk rakyat. Dia harus mampu menanggalkan semua kepentingan politik, kepentingan pribadi, kepentingan golongan dan kelompoknya.

Kepentingan yang diutamakan adalah kepentingan seluruh rakyat. Bupati – Wakil Bupati merupakan pejabat publik dan representasi sebagai pucuk pimpinan eksekutif. Sedangkan para wakil rakyat di DPRD itu juga pejabat publik. Mereka adalah representasi dari legislatif.

Idealnya, antara eksekutif dan legislatif harus satu visi dalam menyusun dan menuntaskan APBD. Sebab, APBD ini terkait dengan kepentingan rakyat banyak. Eksekutif harus bekerja dengan cepat, cermat, serta tepat dalam bekerja menyusun rancangan APBD sesuai dengan prosedur. Demikian pula dengan pihak legislatif. Para wakil rakyat ini juga idealnya tetap kritis dan bijak dalam proses pengesahan APBD. Intinya, semua harus mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat Situbondo.

Jangan sampai, pembahasan RAPBD terus molor dan tak kunjung tuntas. Jika hal itu terus berlarut-larut, yang rugi adalah rakyat Situbondo sendiri. Pembangunan akan terhambat, seluruh kegiatan ekonomi masyarakat juga akan terkena dampaknya secara langsung atau tidak langsung.

Karena itu, perlu adanya kompromi-kompromi antara eksekutif dengan legislatif. Semua itu dilakukan demi kepentingan rakyat banyak. Jika dua kutub itu sudah berjalan serasi selaras dan seimbang, tentu saja daerah akan semakin tumbuh dan maju. Ini yang jadi cita-cita dan harapan seluruh rakyat. Yang paling penting, keterlambatan ini harus jadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali di masa mendatang. (*)

Kebersamaan, Musuh Utama Balap Liar

ACUNGAN jempol layak diberikan kepada aparat kepolisian dalam upaya mencegah terjadinya aksi balap liar di Bumi Blambangan. Hampir setiap malam -terutama pada malam Minggu-, polisi rutin melakukan patroli dan melakukan razia. Salah satu sasarannya adalah para pelaku aksi balap liar.

Patroli itu digelar pada jam-jam ‘rawan’ yakni pada malam hari. Pada saat itulah, biasanya remaja dan pemuda yang terlibat balapan liar mulai beraksi. Namun perkembangan terbaru, mereka ternyata tetap menggeber adu balap motor di jalan raya ketika polisi selesai melakukan patroli. Seperti yang terjadi di Jalan A Yani Banyuwangi sekitar pukul 04.00 dini hari kemarin (23/1). Beberapa kelompok anak muda menggelar balap motor di ruas jalan tersebut menjelang Subuh.

Rupanya, maraknya razia polisi itu tidak menciutkan nyali penggemar penunggang kuda besi ini. Nyatanya, penggila adu adrenalin di jalan raya ini tidak pernah kapok dan mencari celah lengahnya petugas.

Mereka tetap menggelar balapan di jalanan umum dengan menggunakan motor yang telah dimodifikasi. Mereka ngebut di atas motor tanpa mengenakan alat pengaman seperti helm. Aksi yang dipertontonkan mereka. tentu saja tak hanya membahayakan keselamatan diri sendiri.

Ngebut di jalanan bisa menimbulkan akibat fatal tidak hanya bagi pelakunya tetapi juga orang lain yang ada di sekelilingnya. Terlebih, motor balap liar biasanya tidak memakai lampu. Balapan itu juga sarat dengan aroma perjudian. Nominal yang dipertaruhkan pun lumayan besar untuk ukuran remaja.

Tentu saja, balap liar lebih banyak mengandung unsur negatif dalam perkembangan dan masa depan remaja kita. Untuk itu, kerja keras polisi saja tak cukup dalam mengeliminasi atraksi balap di jalanan tersebut. Butuh peran serta seluruh elemen masyarakat dalam mengatasi persoalan ini. Seperti yang sudah pernah dilakukan di kawasan Jalan Gajah Mada di Kecamatan Giri. Seluruh komponen warga ikut berpartisipasi melawan balap liar. Mereka menutup gang masing-masing, sehingga polisi leluasa mengamankan pelaku balap liar saat razia berlangsung. Semoga ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua dalam menyadarkan para remaja penggila balap liar tersebut. (*)

Pengolah Limbah Demi Anak Cucu

BERITA tentang kerusakan lingkungan di perairan Muncar semakin parah, sejatinya bukan kabar baru. Sudah beberapa kali, pemerintah pusat mengangkat tema kerusakan lingkungan laut tersebut.

Sudah banyak pihak yang berkompeten terkait masalah lingkungan, yang mengangkat isu tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Menteri Lingkungan Hidup (LH) yang waktu itu dijabat oleh Rachmat Witoelar pernah datang ke Bumi Blambangan. Kedatangan Menteri beberapa tahun lalu seolah membawa angin segar. Betapa tidak, ketika itu seolah sudah terbangun komitmen untuk bertindak tegas demi menyelamatkan kawasan Muncar dari kerusakan lingkungan.

Namun apa yang terjadi? Setelah sekian tahun berjalan, ternyata belum ada tindakan riil dalam persoalan itu. Belum pernah kita dengar sebelumnya, misalnya industri yang ’nakal’ di Muncar ditutup oleh pemerintah karena membuang limbah dan membuat kerusakan lingkungan.

Kini, isu serupa kembali mengemuka di Bumi Blambangan tercinta. Kali ini, ada paparan hasil penelitian terbaru yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Yang memberikan paparan adalah auditor dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Jakarta. Dalam penelitian itu terungkap, tingkat pencemaran di Muncar sudah menjangkau kawasan perairan sejauh 200 meter hingga 350 meter dari bibir pantai.

Memang, tak dapat kita pungkiri bahwa masalah limbah industri di Muncar itu adalah problem tahunan. Masalah ini sudah terjadi puluhan tahun tanpa ada perubahan ke arah yang lebih baik. Penyelesaian kasus perusakan lingkungan di kawasan tersebut, seolah juga tak pernah selesai secara tuntas hingga tercabut ke akar-akarnya. Yang terjadi, seolah persoalan itu akan hilang secara perlahan seperti ditelan bumi. Seiring perjalanan waktu, masalah kerusakan lingkungan dan pencemaran akan tertutupi dan kalah oleh isu-isu lain.

Padahal, isu pencemaran lingkungan ini sejatinya merupakan problem krusial yang mampu menyentuh banyak sendi kehidupan di masa mendatang. Anak cucu kita dan generasi yang akan datanglah yang akan merasakan langsung dampaknya. Karena itu, penyelesaian masalah pencemaran harus dilakukan secara serius. Jangan pula silau dengan iming-iming dari pabrik yang akan menghalangi upaya penyelamatan lingkungan. Semua itu dilakukan dengan tegas, atas dasar niat yang kuat untuk menyelamatkan generasi penerus kita di masa mendatang.

Satu hal lagi, jangan pernah takut miskin, untuk membuat sarana pengolah limbah. Sebab jika dihitung, sedikitnya 90 pabrik sudah beroperasi menghasilkan rupiah entah berapa miliar atau bahkan triliun, selama puluhan tahun beroperasi di Muncar. Demi anak cucu kita serta bumi yang kita tinggali, tak akan rugi membuat sarana pengolah limbah mulai dari sekarang. (*)

Narkoba Murah Lebih Berbahaya

SETIAP jenis tindak kejahatan selalu mengalami pasang surut di suatu daerah. Demikian halnya seperti dalam kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Bumi Blambangan ini.

Beberapa tahun terakhir, aparat cukup keras memburu dan memberantas peredaran narkoba jenis sabu-sabu (SS), ganja (cimeng), serta putaw. Namun saat ini, ada kecenderungan pergeseran kasus penyalahgunaan narkoba.

Kasus penggunaan SS, ganja, dan putaw memang masih ditemukan di Banyuwangi. Namun jika dibandingkan dengan kasus penyalahgunaan narkoba secara umum, kasus-kasus tersebut masih kalah jauh dibandingkan dengan penyalahgunaan obat daftar G.

Dalam ekspose yang dihelat Polres Banyuwangi kemarin (14/1), terungkap bahwa kasus penyalahgunaan pil-pil yang bikin koplo itu cenderung meningkat. Dalam sepekan terakhir, Satnarkoba Polres Banyuwangi telah menciduk sepuluh tersangka dengan barang bukti sekitar 10.000 butir trex dan dextro.

Polisi juga mengakui, penyalahgunaan narkoba saat ini sudah merambah ke masyarakat lapisan bawah. Dalam temuan polisi tersebut juga terkuak, bahwa pelaku penyalahgunaan obat daftar G tersebut ternyata memiliki latar belakang profesi yang lebih beraneka ragam. Beberapa di antara mereka ada yang dikenal sebagai oknum pengamen.

Sementara itu, kalau kita simak lebih dalam, obat daftar G yang disalahgunakan itu sejatinya adalah obat untuk para penderita penyakit jiwa. Efek penggunaannya mirip penggunaan narkoba yang lain. Untuk mendapatkan jenis obat-obatan tersebut, seseorang harus memperoleh berdasar resep dokter. Penggunaannya tentu saja juga harus di bawah pengawasan dokter.

Namun yang terjadi saat ini, obat daftar G tersebut ternyata dapat dibeli secara bebas. Terlebih, pil-pil yang bisa bikin koplo itu dijual oleh para pengedar dengan harga murah. Tidak heran kebanyakan pelaku berasal dari lapisan masyarakat menengah ke bawah.

Fenomena ini bisa jadi bom waktu yang akan ’meledak’ di kemudian hari. Karena serangan pil koplo tersebut adalah generasi muda dari kalangan menengah ke bawah. Padahal, kaum muda tersebut adalah generasi penerus dan para calon pemimpin bangsa di masa mendatang.

Nah, bagaimana masa depan negeri ini, ketika generasi penerusnya sudah tidak ’nyambung’ karena syaraf pikiran mereka sudah ’putus’ dihajar ganasnya pil koplo. Karena itu, masalah penyalahgunaan obat daftar G murah tersebut sudah layak jadi musuh bersama. Karena fenomena ini tak hanya merugikan pemakainya, namun secara lebih luas, hal ini bisa berdampak pada kelangsungan dan masa depan bangsa. Hukum berat pengedarnya, tingkatkan pengawasan dan perbaiki distribusi obatnya. Jika perlu, libatkan semua komponen bangsa untuk ikut mengawasinya. (*)

Jauhi Narkoba, Sayangi Keluarga

HARI ini, ada dua berita tentang kasus penyalahgunaan narkoba. Yang pertama, Sulistiono, mantan kepala sekolah (kasek) sebuah sekolah dasar negeri di Kecamatan Kalibaru, dijatuhi vonis lima tahun penjara kemarin (10/1). Selain itu, Sulis juga wajib membayar denda sebesar Rp 800 juta subsidair tiga bulan kurungan.

Bukan kali ini saja warga Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore itu tersandung kasus narkoba. Setidaknya, sudah tiga kali dia terjerat kasus kepemilikan sabu-sabu. Namun dalam kasus-kasus sebelumnya, majelis hakim masih memberikan hukuman ringan kepadanya.

Namun kali ini, hukuman lima tahun dan denda Rp 800 juga terasa sangat berat. Dengan hukuman itu, diharapkan ada efek jera agar dia insyaf dan tidak mengulangi perbuatannya.

Terlepas dari bagaimana ending perkara ini, ada satu hal yang menarik dalam kasus tersebut. Ternyata, Sulis juga menyeret keluarga dalam kasus ini. Salah satu menantunya yakni Beni Aris Setiawan, ikut terseret kasus tersebut. Beni dilibatkan sebagai kurir dalam bisnis transaksi barang haram tersebut. Bahkan, penangkapan Beni pula yang akhirnya mengungkap nama Sulis sebagai pemasok SS tersebut.

Sementara itu, kejadian yang hampir sama juga terjadi di Kecamatan Banyuwangi. Kali ini, dalam berita kedua tentang narkoba edisi hari ini ditulis tentang penangkapan Maryono. Dia sudah masuk daftar pencarian orang (DPO) Polres Banyuwangi sekitar tiga bulan. Lelaki asal Dusun Wonojati, Desa Wonojati, Kecamatan Jenggawah, Jember, itu diduga mendalangi peredaran narkotika jenis ganja di Banyuwangi.

Hampir sama seperti kasus SS milik Sulis, kasus ganja Maryono ini juga ikut menyeret keluarga. Penangkapan DPO pemasok ganja itu berawal dari tertangkapnya Andriyani Ekawati, 28, warga Jalan Susuit Tubun, Gang Pulbana, Kelurahan Kepatihan, 29 November 2010 lalu. Ekawati mengaku mendapatkan barang haram tersebut dari bapak kandungnya, Maryono.

Berkaca dari dua kejadian berbeda tersebut, ada beberapa hal yang patut jadi renungan. Salah satunya, dampak penyalahgunaan narkoba tidak hanya merusak diri sendiri. Narkoba juga bisa merusak semua sendi kehidupan pemakainya. Yang paling penting, ternyata orang terdekat dan keluarga kita bisa terseret dalam penderitaan yang teramat menyakitkan. Karena itu kalau sayang keluarga, berpikirlah sepuluh kali sebelum mencoba-coba narkoba. (*)

Perempuan Tak Sekadar Pendorong

SELAMAT atas dilantiknya Pengurus Cabang (PC) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi periode 2010 – 2015. Setelah resmi dilantik di Pendapa Sabha Swagata Blambangan kemarin (9/1), mereka tidak bisa nyantai atau berleha-leha.

Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Pengurus baru Muslimat tersebut dituntut untuk memprioritaskan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, diperlukan langkah-langkah pemberdayaan ekonomi masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Bahkan, PW Muslimat Jawa Timur menegaskan agar pengurus yang baru dilantik itu bisa memiliki home industry yang dikelola bersama di masing-masing desa atau kelurahan. Setelah home industri tersebut terbentuk, seluruh pengurusnya juga ditegaskan utnuk mampu memberi pembinaan agar kualitas hasil produksi home industry tersebut bisa ditingkatkan.

Memang, menggerakkan sektor ekonomi ini sangatlah berat. Banyak tantangan yang akan mereka hadapi dalam memajukan ekonomi masyarakat. Selain tantangan yang datang dari luar, banyak pula tantangan dari dalam diri sendiri. Tantangan dari dalam itu juga tak kalah beratnya. Karena hal ini terkait dengan niat dalam hati dan kemauan untuk berkorban demi masyarakat.

Misalnya saja, untuk membuat home industry itu bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak sarana untuk mewujudkannya. Mulai dari lokasi, tentu saja modal, serta adanya orang-orang yang menjalankannya. Jika saja semua keperluan itu yakni modal, lokasi dan tenaga kerja sudah tercukupi, masih diperlukan kemampuan untuk mengelola agar home industry yang dijalankan bisa meraup untung.

Karena kerja keras untuk mewujudkan suatu proses produksi itu bisa saja akan sia-sia, jika saja semua itu tidak mendapatkan profit. Kalau membuat industri tetapi ujung-ujungnya merugi, kan sama saja tidak mencapai tujuan awal, yakni mencapai kesejahteraan.

Karena itu, dibutuhkan bimbingan serta arahan yang cukup intens dalam mewujudkan tujuan mulia tersebut. Inilah yang membutuhkan sentuhan tangan-tangan para ahli di bidangnya masing-masing. Jika ini benar-benar berjalan sesuai rencana, Muslimat NU tak hanya menunjukkan kiprah perempuan sebagai pendorong pembangunan semi mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun lebih dari itu, mereka tak hanya selalu berada di belakang sebagai pendorong. Perempuan juga mampu tampil sebagai yang terdepan menjadi salah satu motor penggerak roda pembangunan. Semoga. (*)

Mengkritisi Bantuan Pemerintah

TIDAK semua orang mau dibantu. Bahkan, ada warga yang menolak bantuan. Seperti yang terjadi di Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Situbondo.

Bantuan alat tangkap ikan dari Gubernur Jatim Soekarwo melalui program Jalin Kesra, ditolak oleh para nelayan Desa Klatakan. Mereka menilai, alat tangkap yang diserahkan itu kurang lengkap dan tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya.

Dalam masalah ini, sebanyak sembilan paket alat tangkap yang akan diberikan kepada 20 nelayan Desa Klatak. Nilai bantuan peralatan tersebut adalah Rp 2,5 juta untuk masing-masing nelayan.

Tetapi setelah bantuan itu tiba, ternyata alat tangkap tersebut dianggap tak sesuai dengan nilainya. Menurut estimasi para nelayan, nilai alat tangkap tersebut sebenarnya tak lebih dari Rp 500 ribu. Karena tidak puas, mereka ramai-ramai mengembalikan bantuan alat tangkap tersebut.

Melihat fakta ini, ada fenomena ketidakpuasan dari kalangan para nelayan. Sekilas, memang sepertinya terlalu naif jika kita serta merta menolak bantuan. Seolah-olah, betapa sombongnya jika kita telah menolak bantuan. Apalagi, bantuan itu berasal dari pemerintah dengan tujuan untuk menyejahterakan kaum nelayan.

Secara konseptual, pemberian bantuan berupa alat kerja memang sangat bagus untuk masyarakat. Dengan bantuan itu, masyarakat diharapkan lebih giat bekerja demi meraih penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Bantuan yang dikucurkan tidak hanya berupa uang atau bahan konsumtif yang cepat habis. Dengan begitu, bantuan berupa alat kerja juga akan menjauhkan masyarakat dari mental pengemis. Masyarakat dididik menjadi pekerja tangguh yang ulet dan mau berubah.

Namun di sisi lain, jika memang dalam proses pengucuran bantuan itu kuat aroma ketidakberesan, semua pihak layak ikut mengawasi dan mengontrol. Dengan adanya kejadian penolakan bantuan itu, mungkin saja karena masyarakat nelayan setempat sudah jengah karena selalu diposisikan sebagai objek bancaan uang negara. Mungkin saja, bantuan-bantuan yang diduga sarat dengan sunatan sehingga nilai ekonominya habis seperti itu, bisa saja sudah kerap dirasakan para nelayan.

Jika memang kecurigaan para nelayan itu benar, sungguh celaka para operator yang bertugas mengatur dan mendistribusikan bantuan itu. Kalau memang mengendus aroma dugaan korupsi atau penyunatan duit bantuan itu, ini sudah menjadi ranah aparat penegak hukum. Informasi seperti itu sudah layak untuk diinvestigasi. Siapa tahu, tengara yang dirasakan para nelayan ada benarnya.

Karena itu, harus ada langkah nyata untuk menindaklanjuti tengara para nelayan itu. Polisi dan Kejaksaan tak perlu sungkan untuk mengusutnya, jika memang indikasi penyunatan nilai bantuan itu cukup kuat. Kalau terbukti, ’tikus’ oknum yang melakukan penyunatan harus dihukum berat. Sebaliknya, jika seandainya nanti dugaan penyunatan itu tidak terbukti, nama lembaga dan para personel pengelola serta penyalur bantuan itu harus dibersihkan. Nelayan juga harus legawa jika nanti ternyata terbukti bantuan itu sudah disalurkan secara prosedural. (*)

Mendukung Penegakan UU Baru

SETIAP akhir tahun, aparat penegak hukum biasanya menggelar evaluasi kinerja tahunan. Tidak terkecuali, evaluasi kinerja tersebut sudah dilakukan oleh jajaran Polres Banyuwangi.

Keterbukaan Polres Banyuwangi dalam membeberkan data kinerja tersebut kepada publik, tentu layak kita apresiasi. Artinya, aparat penegak hukum saat ini sudah semakin dewasa. Membeberkan data kepada publik, tentu saja akan berpotensi mengundang reaksi berupa masukan dan kritik dari masyarakat.

Harus kita akui, belum banyak orang maupun lembaga yang siap untuk dikritik. Dengan membuka diri seperti yang dilakukan oleh Polres tersebut, menunjukkan bahwa kepolisian saat ini sudah siap menerima kritik dengan tangan terbuka. Tentu saja, semua berharap agar semua masukan tersebut nantinya bisa membangun lembaga penegak hukum itu menjadi lebih baik. Semoga.

Nah, salah satu data hasil evaluasi yang cukup membuat kita ikut waspada adalah meningkatnya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan (narkoba). Selama tahun 2010 lalu, polisi berhasil mengungkap 91 kasus peredaran dan kepemilikan narkoba di Bumi Blambangan. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan pengungkapan di tahun 2009 lalu, yang hanya sebesar 63 kasus. Dengan begitu, tingkat peredaran narkoba di Banyuwangi naik sekitar 44 persen pada tahun 2010.

Dari keseluruhan kasus yang berhasil diungkap tersebut, jajaran Polres Banyuwangi berhasil mengamankan berbagai macam barang bukti (BB). Di antaranya, sabu-sabu (SS) seberat 42,66 gram, ganja kering seberat 68,9 gram, dan putaw seberat 3,56 gram.

Selain itu, petugas juga berhasil mengamankan ekstasi sebanyak 232 butir, Dextro sebanyak 20.582 butir, dan psikotropika golongan empat sebanyak 2.034 butir.

Fenomena peningkatan kasus narkoba tersebut cukup mencengangkan. Karena penerapan undang-undang (UU) baru tentang narkotika, ternyata tidak berdampak dalam memberi efek jera terhadap para pelaku peredaran narkoba.

Padahal, UU yang baru tersebut disertai dengan ancaman hukuman kurungan yang jauh lebih berat daripada UU sebelumnya. Bahkan, UU yang baru tersebut juga disertai ancaman hukuman denda yang luar biasa besarnya. Nominal dendanya mulai dari ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah.

Ini layak jadi kajian bagi seluruh komponen masyarakat. Hukuman yang berat, ternyata tidak menyurutkan para pelaku untuk terlibat peredaran narkoba. Seluruh pihak yang terkait masalah ini harus introspeksi. Apakah pasal-pasal UU baru tersebut sudah diterapkan di setiap tahap penyelesaian hukum kasus narkoba? Saatnya semua duduk bersama, tidak perlu saling menyalahkan. Tidak perlu pula masing-masing merasa paling benar sendiri. Yang jelas, memasuki tahun yang baru, harus dimulai dengan lembaran baru dan tekad yang baru pula. Ganyang peredaran narkoba dari bumi kita! (*)