Minggu, 09 Agustus 2009

Kepanikan Akan Mitan

WARGA Banyuwangi dan Situbondo semakin sulit mendapatkan minyak tanah (mitan). Selama beberapa pekan terakhir ini, bahan bakar minyak jenis tersebut seperti mulai hilang dari peredaran.

Banyak pangkalan mitan yang mengeluh tidak mendapat kiriman dari agen. Akibatnya, warga yang menjadi pelanggan di pangkalan mitan tersebut pun ikut resah.

Sebaliknya, Pertamina selalu menyatakan bahwa tidak ada pengurangan pasokan mitan ke agen atau pangkalan. Bahkan, jatah pasokan mitan sudah melebihi kebutuhan normal.

Memang, persoalan kelangkaan mitan ini seolah sudah menjadi problem klasik di masyarakat. Beberapa tahun lalu, problem ini biasanya dipicu dengan rencana kenaikan harga BBM. Tetapi, yang terjadi saat ini bisa dikatakan jauh lebih kompleks. Penyebab raibnya mitan dari peredaran pun semakin rumit.

Selain itu, ada kesimpulan menarik dari Tim Pemantauan dan Pembinaan Distribusi Migas (TPPDM) Kabupaten Situbondo. Wakapolres Situbondo, Kompol Akik Subki mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan TPPDM terungkap, kelangkaan mitan terjadi karena ada kepanikan masyarakat. Warga panik menjelang penerapan konversi mitan ke gas elpiji.

Tidak sedikit warga yang sengaja melakukan penimbunan mitan. Ini terjadi karena mereka termakan kabar bahwa mitan akan habis. Kalaupun ada, harga mitan nantinya akan tiga kali lipat dari harga sekarang. Karena itu, begitu pangkalan atau toko buka, warga pasti berebut membeli. Sampai antre berlama-lama. Semua membeli dalam jumlah besar. Bahkan, ada satu warga yang nekat membeli mitan lebih dari satu kali. Usai membeli, mereka kembali lagi untuk membeli mitan dengan menyuruh orang lain. Sehingga pasokan mitan yang biasanya cukup, menjadi tidak cukup.

Karena itu, TPPDM memandang perlu untuk dilakukan penertiban mulai penjualan hingga pembelian mitan. Seluruh pangkalan mitan di Situbondo akan didata. Pangkalan diminta untuk membatasi pembelian. Setiap warga dijatah hanya boleh membeli sepuluh liter mitan sekali transaksi. Dengan begitu, mitan bisa dinikmati secara merata oleh warga yang membutuhkan.

Selain itu, para penjual mitan di pinggir jalan juga akan ditertibkan. Nah, persoalan penjual mitan di tepi jalan ini layak dicermati lebih mendalam. Sudah bukan rahasia lagi, sepanjang jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) marak ditemui penjual BBM oplosan yang biasa disebut dengan nama Ireks.

BBM oplosan itu tidak hanya dimanfaatkan oleh kendaraan besar bermesin disel. Banyak perahu nelayan yang juga memanfaatkan Ireks sebagai bahan bakar pengganti solar. Terlepas dari persoalan bagaimana dampak Ireks terhadap mesin kendaraan, tindakan mengoplos BBM tersebut juga merugikan masyarakat.

Selama ini, mitan dijual pemerintah dengan harga subsidi untuk keperluan rakyat sebagai bakan bakar untuk rumah tangga. Jika pasokan mitan banyak yang digunakan untuk oplosan BBM kendaraan, tentu peruntukannya sudah tidak sesuai dengan tujuan semula. Karena itu, sudah selayaknya peredaran BBM oplosan tersebut segera ditertibkan. Sebab siapa tahu, pasokan mitan untuk masyarakat selama ini, ternyata juga tersedot untuk kebutuhan BBM oplosan tersebut. (*)

Kamis, 06 Agustus 2009

Dilema Banteng Turun Gunung

DUSUN Sukomukti, Desa Sukorejo, Kecamatan Bangorejo, Banyuwangi diblokade untuk sementara waktu. Penutupan dusun itu terpaksa dilakukan, karena ada banteng (Bos javanicus) yang nekat masuk kampung tersebut selama empat hari terakhir. Bahkan, binatang yang dilindungi itu sudah melukai dua warga.

Blokade kampung itu dilakukan oleh petugas Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Ada juga petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Hayati (KSDA), dan Taman Safari II Prigen, Pasuruan. Aparat tersebut berjaga di semua jalan menuju ke dusun tersebut.

Penutupan dusun tersebut merupakan langkah strategis untuk menangkap banteng tersebut hidup-hidup. Selain itu, dengan kondisi kampung yang steril tanpa adanya aktivitas warga, diharapkan tidak ada lagi warga yang jadi korban amukan banteng tersebut.

Kejadian banteng turun gunung dan akhirnya masuk perkampungan memang cukup dilematis. Di satu sisi, kehadiran binatang bertanduk itu di perkampungan memang sangat mengganggu aktivitas warga. Bahkan bisa dibilang, banteng masuk kampung itu cukup membahayakan keselamatan warga.

Pada sudut pandang lainnya, banteng termasuk salah satu satwa yang dilindungi. Keberadaannya dilindungi Undang-Undang. Barang siapa yang membunuh satwa tersebut, tentu mereka akan berurusan dengan aparat penegak hukum.

Sehingga posisi warga kampung tersebut menjadi serba salah. Warga merasa, kehadiran banteng di kampung itu cukup membahayakan keselamatan keluarga dan anak-anak mereka. Tetapi warga tidak bisa berbuat banyak untuk menghapuskan bahaya yang mengancam tersebut. Sebab, warga dilarang melukai atau membunuh satwa tersebut. Jika warga nekat membunuhnya, mereka mungkin akan ganti masuk ke dalam penjara, karena telah melanggar hukum.

Posisi sulit warga kampung itu, membuat mereka layak disebut sebagai korban. Mereka berada dalam keadaan yang tidak berdaya. Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu hasil kerja keras petugas dalam menangkap banteng itu hidup-hidup.

Ya, warga yang hidup di sekitar hutan saat ini memang menjadi korban. Tetapi tidak ada salahnya, kalau kita menoleh lagi ke belakang yakni pada lokakarya pengelolaan habitat dan populasi banteng di taman nasional di Jawa Timur tahun 2004 silam. Dalam acara itu terungkap, populasi satwa langka banteng di dunia, telah menurun hingga 80 persen dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Penurunan populasi banteng ini terjadi akibat kerusakan habitat, dan dimungkinkan juga oleh perburuan liar. Kerusakan habitat dan perburuan juga menyebabkan mereka melakukan migrasi dari habitat aslinya.

Meski begitu, sangatlah tidak bijak jika kita menyalahkan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Dengan kejadian ini, ada beberapa hal yang bisa kita petik menjadi pelajaran berharga. Agar kejadian itu tak terulang lagi, mari kita semua ikut menjaga habitat satwa tersebut dari kerusakan. Awasi juga upaya perburuan liar, dan jangan sekalipun ikut tergoda untuk terlibat dalam kegiatan perburuan. Dengan begitu, semoga lingkungan tempat tinggal anak cucu kita bisa aman dari gangguan satwa yang turun gunung. (*)