Minggu, 19 Oktober 2008

Meniru Semangat Pasutri Tuna Netra

MATA merupakan indera yang penting bagi kehidupan manusia. Kita bisa melihat indahnya berbagai warna dalam kehidupan ini. Kita juga bisa bekerja secara normal, karena bantuan indera penglihatan ini.
Namun, ada sebagian saudara kita yang kurang beruntung. Banyak penyandang tuna netra di Bumi Blambangan. Mereka hanya bisa melihat satu macam warna. Hitam atau gelap. Itu saja.
Tetapi, tidak semua penyandang tuna netra itu pasrah dengan keadaan. Lihat saja pasangan suami istri (pasutri) Fauzi, 47, dan Sayuti, 42. Mereka adalah pasutri tuna netra, kini tinggal di Jalan S Parman. Namun, semangat mereka untuk hidup mandiri layak diacungi jempol.
Fauzi benar-benar berangkat dari nol. Sudah tak bisa melihat, tidak bisa sekolah umum, tak punya bakat dan keahlian apa pun. Orang tuanya juga hidup pas-pasan di desa.
Namun dengan tekat yang kuat, akhirnya dia bisa mengikuti kursus pijat tuna netra di Malang. Itu dilakukan hingga tiga kali. Tekat dan semangatnya itu mengubah jalan hidupnya.
Dia bisa sukses dalam percintaan, dengan menemukan Sayuti, sang belahan hati di tempat kursus itu. Setelah menikah dan pulang kampung, mereka membua jasa pijat. Dengan strategi khusus, setiap pasien dijatah pijat dua jam, usaha jasa tersebut menjadi sangat diminati. Secara ekonomi, usaha mereka boleh terbilang lumayan. Meski punya kekurangan, toh akhirnya mereka pun bisa hidup mandiri.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pasutri tuna netra ini. Dengan potensi terbatas, asal ada kemauan dan tekat yang kuat, kita pasti akan berhasil mencapai kemandirian. Kalau kita lihat sekeliling kita, masih banyak orang masih bergantung dengan orang lain.
Banyak orang bertubuh tegap yang mengemis di tepi jalan dan lampu merah. Ada juga yang mengais rupiah dengan cara mengamen di lampu merah. Meski tidak merasa terhibur, orang akhirnya terpaksa memberi uang receh. Seharusnya, mereka malu dengan pasutri Fauzi dan Sayuti. (*)

Tidak ada komentar: