Minggu, 19 Oktober 2008

Antara Kesenjangan, Seragam dan Rapelan

KATA kesenjangan biasanya identik dengan masyarakat miskin, warga pinggiran, kaum buruh kasar dan sebagainya. Mereka yang paling paham dengan makna mendalam kata kesenjangan itu.
Namun sekarang, kesenjangan juga dirasakan mereka yang mengenakan seragam dalam bekerja. Ada petugas kebersihan yang lazim disebut pasukan kuning, karena mereka biasanya berseragam kuning saat bekerja (kini seragamnya ungu).
Ada juga ribuan guru bantu yang tentu saja berseragam guru saat bekerja. Tidak ketinggalan para tenaga honorer atau tenaga borong kerja (tenaga boker), yang saat bekerja mengenakan seragam sama persis seperti yang dipakai para pegawai negeri sipil (PNS).
Yang membedakan mereka semua dengan PNS, tentu saja yang utama adalah status dan pendapatannya. Gaji PNS jauh lebih besar dari boker dan honorer.
Kabar terbaru menyebutkan, ribuan PNS Banyuwangi menerima rapelan kenaikan gaji selama empat bulan sejak Selasa (6/5) kemarin. Rapelan kenaikan gaji sebesar 20 persen itu terhitung sejak Januari hingga April 2008. Besarnya rapelan yang diterima PNS itu antara Rp 250.000 hingga Rp 400.000 setiap bulan. Tentu saja, besaran kenaikan gaji pokok itu targantung golongan, pangkat dan masa kerja masing-masing.
Bagi kalangan PNS, cairnya rapelan kenaikan gaji itu adalah kabar gembira. Sebaliknya, bagi tenaga honorer, boker, guru bantu dan pasukan kuning, berita itu sangat mungkin bisa jadi kabar pembenaran tentang kesenjangan kaum berseragam.
Begitu indahnya pencairan rapel kenaikan gaji PNS. Begitu susahnya ditakdirkan hidup menjadi boker maupun guru bantu. Jangankan membayangkan dapat rapel kenaikan gaji, honor yang seharusnya menjadi hak dan diterima setiap bulan, malah belum tak kunjung muncul hingga kini. Untuk PNS saja bisa cair, mengapa honor mereka tak kunjung bisa dicairkan.
Terlepas dari kendala teknis, kendala aturan hukum, serta kendala apa pun namanya, fakta tersebut jelas memperkuat adanya kesenjangan di lingkungan kerja pemerintahan daerah kita.
Yang lebih penting sejatinya adalah adanya satu pemahaman para pengambil kebijakan. Namanya saja pemegang kebijakan, harus mampu mengambil kebijaksaan. Bijaksana bisa juga punya makna baik untuk semua kalangan. Kalau sudah begitu, harus ada kompromi. Karenanya, pertimbangan yang dijadikan acuan tidak harus bertumpu pada persoalan teknis, aturan baku dan sejenisnya. Pengambil kebijakan harus juga mempertimbangkan masalah nurani. Ini yang patut kita renungkan bersama. Agama juga mengajarkan, bayarlah upah sebelum keringat pekerja itu kering. Sudahkah kita melakukannya?(*)

Tidak ada komentar: