Minggu, 19 Oktober 2008

Menengok Esensi Studi Banding

Studi banding ke luar daerah, bukan lagi monopoli pejabat atau kalangan wakil rakyat. Warga biasa juga bisa merasakan studi banding. Seperti yang sudah dilakukan Pemkab Situbondo saat menggiring para korban banjir ‘pelesir’ ke Kecamatan Panti, Jember. Dengan menyewa dua bus, mereka melihat kondisi perumahan relokasi korban longsor di Kecamatan Panti, Jember.
Langkah maju Pemkab Situbondo ini layak diapresiasi. Mereka memberi kesempatan para korban banjir untuk melihat langsung pemecahan problem di daerah lain. Inilah esensi inti dari studi banding. Apa yang bisa dipelajari di daerah lain, bisa diterapkan di daerahnya masing-masing. Apa yang baik, jangan malu untuk meniru dan menerapkan.Apalagi kalau semua itu bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
Kalau kita lihat selama ini, sudah jadi rahasia umum kalau kegiatan studi banding jadi ajang ‘pelesir’ kalangan pejabat negeri ini. Baik kalangan eksekutif, maupun kalangan legislatif. Studi banding dikemas sedemikian rupa, sehingga sejatinya lebih dominan menjadi praktik menghamburkan anggaran.
Lihat saja daerah-daerah di sekitar kawasan wisata. Banyuwangi yang berbatasan dengan Bali, termasuk daerah langganan tujuan studi banding pemerintah daerah atau DPRD. Ada yang datang dari dalam provinsi, luar Jatim maupun dari luar Jawa. Dalam setahun, jumlah rombongan kunjungan kerja pejabat pemkab/pemko maupun DPRD yang datang ke Banyuwangi mungkin saja bisa mencapai ratusan kali.
Praktiknya, mereka hanya berdialog paling lama beberapa jam dengan DPRD atau dinas terkait. Nah setelah itu, kegiatan kunker bisa dilanjutkan ke Bali. Ini yang mungkin waktunya jauh lebih lama. Termasuk, biaya yang dikeluarkan juga lebih besar.
Hal serupa juga sangat mungkin terjadi jika sasaran kunker itu di Batam atau di Kepulauan Riau misalnya (karena dekat Singapore). Sangat wajar kalau rakyat saat ini mudah curiga dan sangat sensitif kalau mendengar kabar studi banding atau kunker ke luar daerah. Terutama, kalau sasaran kunker itu daerah yang dekat dengan tempat-tempat pelesir ternama.
Kalau pejabat publik tidak mau dijauhi rakyat yang sensitif, sudah selayaknya mereka memberikan kesempatan kunker kepada rakyat. Terutama masyarakat yang menderita, seperti yang dilakukan Pemkab Situbondo dalam menjawab keraguan warga, terkait rencana relokasi dan pembangunan 1.000 unit rumah korban banjir. Meski warga korban banjir peserta studi banding itu tidak menginap di hotel berbintang, mereka bisa sedikit melek informasi sebagai bekal menyelesaikan problem di daerahnya. (*)

Tidak ada komentar: