Minggu, 19 Oktober 2008

Gerandong, Sebuah Benang Kusut

SATU lagi nyawa melayang sia-sia di jalan raya. Korbannya kali ini adalah Suryanto, 60, warga Dusun Sidomulyo, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Dia tewas dengan luka yang cukup parah saat dilarikan ke UGD Puskesmas Sumberberas. Motor Yamaha Alfa bernopol DK 4790 GD yang dinaikinya juga hancur.
Kecelakaan itu terjadi di jalan raya Dusun Tegalpare, Desa Wringin Putih, Muncar Rabu lalu (23/4). Sebuah kendaraan modifikasi bermesin diesel yang populer disebut gerandong, tiba-tiba menyeruduk motor Yamaha Alfa yang dinaiki korban.
Terlepas ada bermacam versi cerita yang mengakibatkan kecelakaan maut itu, yang jelas musibah itu terjadi di jalan raya. Padahal, setiap kendaraan bermotor yang melintasi jalan raya, harus selalu kendaraan yang lolos uji kelayakan (kir).
Dalam kasus ini, gerandong jelas tidak didukung dengan dokumen kelayakan kendaraan di jalan raya. Namanya saja kendaraan rakitan, jelas tidak pernah dan tidak punya mengikuti uji kelayakan jalan (kir) resmi.
Ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan gerandong, para korban kecelakaan sudah merasakan ketidakadilan. Terlepas siapa yang lalai, kalau kecelakaan terjadi di jalan raya, gerandong tetap tidak punya perlindungan hukum. Ini karena kendaraan rakitan itu tidak punya sertifikat uji kelayakan jalan. Selain itu, kendaraan roda empat rakitan itu juga tidak membayar pajak. Padahal, setiap pembayar pajak kendaraan selalu diikuti dengan asuransi jasa raharja.
Dari segi hukum negara, gerandong memang tidak punya kekuatan dan hak untuk berjalan di jalan raya. Keberadaanya di jalan raya jelas melanggar undang-undang lalu lintas. Namun faktanya, aparat yang berwenang di Banyuwangi tidak punya nyali untuk menertibkannya.
Sebab hingga kini, masih banyak gerandong yang beroperasi di jalan raya. Mungkin jumlahnya masih ribuan unit di segala penjuru Bumi Blambangan. Yang terakhir, sampai ada kejadian kecelakaan yang menewaskan Suryanto di Desa Sumberberas, Muncar itu.
Problem gerandong memang sangat pelik. Rumit, mbulet seperti lingkaran setan. Tidak pernah ada tindakan tegas dari aparat. Itu terjadi dengan bermacam alasan. Kalau sudah kepepet, selalu ada jurus jitu dengan mengeluarkan alasan klasik. Yang paling gampang adalah cuci tangan dan berdalih, maaf, saya belum tahu masalah ini. Maaf, saya pejabat baru di sini. Begitu seterusnya.
Seperti yang sudah-sudah, setelah diambangkan beberapa lama, gejolak masalah gerandong biasanya surut dengan sendirinya. Lama-lama problem gerandong pun hilang seperti ditelan bumi.
Sementara itu dari sisi produsen (perakit) gerandong, ada juga ketidakadilan. Para pemakai kendaraan rakitan itu juga merasakan hal yang sama. Alasannya, gerandong adalah karya anak negeri. Gerandong juga inovasi untuk menyiasati kerasnya himpitan ekonomi. Gerandong adalah karya brillian dan jalan keluar efisiensi.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa gerandong yang hemat dan bisa jadi sarana transportasi alternatif yang murah itu tidak dioptimalkan? Kalau memang perlu kelengkapan kelayakan jalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk diuji kelayakannya sekalian? Kalau hasilnya layak, kenapa tidak? Kalau itu memang karya anak negeri, kenapa tidak dipatenkan sekalian? Begitu seterusnya. Kalau memang hasil uji dinyatakan laik jalan, perlu juga dirancang sistem pembayaran pajak kendaraan tersebut.
Tetapi selama ini, sudahkan aparat kita tegas bertindak. Sudahkah pemerintah memberi kesempatan gerandong untuk diuji kelayakan jalan. Sudahkan wakil rakyat kita membuat peraturan untuk mengatur masalah ini?
Kita tidak berhak menjawab sederet pertanyaan sulit itu. Yang mampu menjawabnya adalah mereka-mereka yang berwenang. Masa depan semua persoalan ini berada di tangan mereka. Yang jelas semua komponen masyakat tetap berharap, agar problem ini tidak selalu dibiarkan berlarut-larut. Semoga.(*)

Tidak ada komentar: