Senin, 02 November 2009

Ujian Loyalitas Demi Negeri

VONIS Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi atas kasus rekayasa kenaikan pangkat beberapa pejabat Pemkab ternyata belum berakhir. Pada pertengahan Juni 2009 lalu, mantan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Banyuwangi, Suryanto sudah divonis 1,8 tahun penjara oleh PN Banyuwangi.

Vonis yang sama juga diberikan pada mantan Kasubag Mutasi BKD Banyuwangi, Sunaryanto. Ketika itu, majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 50 juta subsider kurungan satu bulan penjara.

Majelis hakim menilai, kedua terdakwa terbukti secara bersama-sama bersalah menyalahgunakan wewenang saat menjabat sebagai kepala BKD dan Kasubag Mutasi BKD. Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 2,264 miliar.

Kedua mantan pejabat BKD tersebut bertanggung jawab atas beberapa rekayasa pangkat pejabat pemkab. Kebijakan itu membuat banyak pejabat tersebut menerima tunjangan jabatan (tunjab), yang tidak seharusnya mereka terima.

Atas praktik seperti itu, kerugian negara mencapai Rp 2,264 miliar. Rinciannya, Rp 435 juta merupakan kerugian negara langsung. Sisanya, Rp 1,892 miliar akibat pemberian tunjab yang salah alamat.

Kasus rekayasa kenaikan pangkat pejabat pemkab itu memang terjadi sekitar tahun 2001 lalu. Waktu itu, sedang diberlakukan otonomi daerah. Karena ada aturan tentang eselon yang dinaikkan, ratusan pejabat Pemkab tidak memenuhi syarat untuk tetap menduduki jabatan yang diduduki sebelumnya. Di sinilah, peran dua mantan pejabat BKD tersebut. Mereka diduga terlibat langsung dalam proses rekayasa kenaikan pangkat agar para pejabat itu tetap bisa menempati posnya.

Dengan kenaikan pangkat fiktif itu, tunjangan ratusan pejabat itu ikut dinaikkan. Negara dirugikan, karena banyak pejabat yang menerima tunjab tersebut. Secara pribadi, mungkin Suryanto tidak ’makan’ miliaran rupiah uang kerugian negara tersebut. Uang tunjab tersebut justru mengalir dan dinikmati banyak pegawai di pemkab.

Kini, nasib uang tunjab miliaran rupiah yang telanjur diberikan pada banyak pegawai itu, kembali diungkit. Enam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan beberapa pejabat yang diduga menerima tunjab tersebut ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Mereka mendesak agar penerima tunjab tersebut ditindak dan diproses secara hukum.

Sementara itu, sebagian pejabat penerima tunjab yang dilaporkan itu merespons kejadian ini dengan langkah bijak. Jika memang tunjab yang mereka terima itu adalah fiktif, mereka siap ramai-ramai mengembalikan tunjab yang diterima delapan tahun lalu itu.

Iktikad baik sebagian pejabat itu layak diacungi jempol. Karena faktanya, sebagian dari mereka memang tidak tahu bahwa tunjab itu ternyata bukan hak mereka. Apalagi sebelumnya, sebagian dari mereka ternyata tidak pernah meminta tunjab tersebut.

Dengan adanya niat baik untuk mengembalikan tunjab, hal itu sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pegawai yang loyal pada negara. Ya, mungkin peristiwa ini menjadi semacam ujian ulang terkait loyalitas pegawai di masa sulit sekarang. (*)

Membendung Pornografi Ponsel

BEBERAPA hari terakhir ini, muncul berita yang membuat kalangan orang tua jadi miris. Belum reda masalah peredaran video syur, kali ini sudah beredar foto adegan hot. Dalam gambar yang beredar lewat telepon seluler (ponsel) itu, santer disebut bahwa foto itu dilakukan oleh oknum pelajar putri di sebuah sekolah menengah tingkat pertama di Kabupaten Banyuwangi.

Informasinya, foto tersebut diduga juga beredar di kalangan pelajar di Bumi Blambangan. Untuk mendapatkannya, bisa dilakukan dengan layanan bluetooth (salah satu fasilitas pemindahan data) pada ponsel.

Gambar yang beredar itu memiliki beberapa adegan yang berbeda. Tiga gambar, misalnya, menunjukkan seorang perempuan dan pria sedang beradegan mesra sambil berciuman. Sisanya, ada yang berpelukan sambil tidur. Selain itu, ada gambar yang menunjukkan keduanya sedang berenang di sebuah kolam renang.

Adapun ciri-ciri perempuan dalam foto tersebut, di antaranya berkulit kuning, mata agak sipit, dan berambut lurus. Sedangkan si pria, berperawakan agak gemuk dan ada tato di lengannya. Selain itu, beberapa sesi pengambilan foto, keduanya sempat mengenakan kacamata.

Siapa pun aktor yang ada dalam gambar hot tersebut, siapa pula yang menyebarkan gambar tersebut, sebenarnya tidak terlalu penting bagi para orang tua. Karena urusan tersebut sudah menjadi tanggung jawab pihak aparat yang berwajib.

Dari sudut pandang orang tua, ada hal yang lebih mengkhawatirkan. Dengan adanya peredaran video dan gambar tak senonoh itu, dampaknya akan dirasakan kalangan pelajar. Sedikit atau banyak, dampak negatif itu akan dirasakan oleh kalangan remaja.

Terlebih lagi, usia kalangan pelajar SMP merupakan masa yang paling penting. Mereka sedang dalam masa pencarian identitas dan jati diri. Sehingga, ada kecenderungan untuk menirukan sesuatu yang baru. Apalagi, jika sesuatu ini mereka anggap cukup hebat.

Dengan beredarnya video dan foto porno di kalangan pelajar, betapa negerinya jika muncul cenderung pada mereka untuk meniru adegan tersebut.

Memang, hadirnya teknologi ponsel merupakan hal yang patut disyukuri. Dengan sentuhan teknologi, berbagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi lebih mudah. Akan tetapi, jika hasil capaian teknologi kemudian disalahgunakan, maka yang muncul adalah beragam dampak buruk. Tidak hanya tujuan utama dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak tercapai, namun penyalahgunaan teknologi itu sendiri akan membuat hidup manusia semakin sulit.

Dampak negatif teknologi ponsel sudah terasa dengan beredarnya video dan gambar porno di kalangan pelajar. Ini sama sekali tidak mendidik dan cenderung merusak masa depan generasi muda. Karena itu, sudah saatnya kita semua untuk ikut mengawasi penyalahgunaan teknologi ponsel terutama di kalangan pelajar. Dengan pengawasan semua pihak, paling tidak bisa membendung peredaran pornografi di kalangan pelajar.(*)

Sumpah yang Membawa Kedamaian

KASUS-KASUS yang menyentuh dunia supranatural kembali mengemuka di Bumi Blambangan. Yang terakhir, terkait berita heboh pelaksanaan sumpah pocong masal di Dusun Gragajan Pantai, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.

Secara bergantian, enam orang warga melakukan sumpah pocong di musala setempat. Sumpah pocong dilaksanakan tiga kali. Setiap kali penyumpahan, ada dua orang yang menyatakan sumpahnya di hadapan warga, ulama, polisi dan tentara yang hadir.

Kejadian ini sebenarnya bermula dari Paiman, 55, yang merasa tidak terima dituding sebagai tukang santet. Dia dan istrinya, Suwanah, 45, bersumpah tak punya ilmu hitam tersebut (23/10). Mereka juga bersumpah tidak menyantet tetangganya yang bernama Miswati, 50.

Akhirnya, sumpah pocong juga dijalani Miswati dan suaminya, Suyud, 65. Keduanya juga bersumpah bahwa mereka tidak pernah menuduh Paiman dan istrinya memiliki ilmu santet. Mereka juga bersumpah tidak pernah menuduh Paiman dan istrinya mengirim ilmu santet pada Miswati.

Ternyata itu belum cukup. Masih ada dua warga lainnya yang menjalani sumpah pocong di lokasi yang sama. Mereka adalah Supriyanto dan Sumiyati, dua tetangga yang sempat dicurigai sebagai penyebar kasak-kusuk ilmu santet tersebut. Dalam sumpah pocong tersebut, mereka berjanji tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah santet.

Kejadian ini memang terasa cukup unik. Bukan hanya karena masyarakat setempat menganggap sumpah pocong sebagai kegiatan yang cukup sakral. Tetapi, kejadian itu juga menarik karena ada tiga kubu yang berbeda yang menjalani sumpah pocong itu. Semuanya rela melakukan kegiatan sumpah yang dianggap sakral tersebut, demi menciptakan kedamaian dan ketenteraman di kampung itu.

Kalau kita kaji lebih dalam, sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi serta dilakukan di rumah ibadah (masjid/musala). Di dalam hukum Islam, sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan layaknya jenazah seperti itu. Sumpah dengan tata cara seperti ini, merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan, atau kasus-kasus yang minim bukti.

Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta. Untuk kasus di Grajagan, dengan selesainya pengucapan sumpah tersebut, masing-masing pihak akan merasa lega. Lega karena sudah tak lagi dituding punya ilmu santet. Lega karena sudah tak lagi dituding menyebarkan isu santet. Dan terakhir, masyarakat ikut lega karena kampungnya bebas dari isu-isu yang menyesatkan. (*)

Memutus Rantai Mafia Kabel

AKSI pencurian kabel kembali marak. Pencurian sarana publik tersebut tidak hanya terjadi di Banyuwangi. Kejahatan serupa juga sering melanda Situbondo.

Dalam tempo sehari (19/10), dua kejadian pencurian kabel berhasil terungkap. Satu kasus terjadi Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Satu lagi, kasus serupa juga terjadi di Desa Kesambirampak, Kecamatan Kapongan, Situbondo.

Di Banyuwangi, polisi membekuk Dadang Hermanto, 23, warga Lingkungan Karangasem, Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah. Dia tertangkap saat mencuri kabel telepon di Lingkungan Watu Ulo, Kelurahan Bakungan.

Dadang tidak beraksi sendirian. Dia dibantu dua temannya yang saat ini masih dalam pencarian. Dari tangan Dadang, polisi mengamankan barang bukti berupa kabel telepon sepanjang 150 meter.

Sementara itu di Situbondo, komplotan “tikus kabel” beraksi di Desa Kesambirampak, Kecamatan Kapongan. Sekali beraksi, kawanan pelaku menggondol tiga jenis kabel udara sekaligus. Masing-masing kabel itu berkapasitas 20, 30, dan kapasitas 40.

Setiap kabel amblas itu panjangnya 150 meter. Berarti tiga kabel total panjang mencapai 450 meter.

Akibat aksi pencurian tersebut, bukan hanya para pelanggan Telkom saja yang merengut gara-gara telepon di rumahnya mati mendadak. PT Telkom Situbondo juga menderita kerugian Rp 20,847 juta.

Malam sebelumnya, kawanan curwatpon itu juga beraksi di Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan. Di tempat ini, mereka menggasak kabel telepon kapasitas 80 meter. Panjang kabel amblas mencapai 150 meter. Dari kejadian tersebut, kerugian PT Telkom ditaksir senilai Rp 16,322 juta.

Modus pencurian yang dijalankan pelaku tetap sama. Pelaku lebih dulu memanjat tiang telepon. Begitu sampai di atas, pelaku memotong kabel telepon dengan cara digergaji. Setelah terjatuh, kabel langsung diseret ke area persawahan di sekitar lokasi kejadian.

Aparat keamanan dan Telkom tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam mencegah aksi penjarahan kabel saran umum tersebut. Langkah yang paling jitu, sebenarnya adalah pencegahan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan pencerahan kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya keberadaan kabel tersebut. Jika masyarakat sudah merasa ikut memiliki saran umum tersebut, tentu mereka akan ikut menjaga kabel tersebut.

Yang tidak kalah pentingnya, aparat juga perlu memutus rantai perdagangan gelap kabel tersebut. Pelaku pencurian kabel tentu tidak akan memakan hasil jarahannya dalam bentuk asli. Mereka tentu akan menjual lagi kabel tersebut kepada para penadah logam tembaga. Karena itu, sudah saatnya ditingkatkan pengawasan peredaran tembaga di pasaran. Asal usul barang tersebut harus jelas dan terdaftar. Bahkan jika perlu, dilakukan razia besar-besaran terhadap simpul-simpul perdagangan kabel tembaga. Jika terbukti menjadi penadah kabel curian, harus ditindak tegas dan diproses hukum.(*)

Selamat Ultah, Situbondo!

UNTUK pertama kali, masyarakat Situbondo dihibur dengan kirab andong hias (15/10). Barisan dokar hias itu membawa seluruh pejabat Pemkab Situbondo. Wakil Bupati Suroso beserta istri mengendarai andong yang dihias layaknya kereta kencana. Disusul Sekkab Koespratomowarso serta pejabat yang lain.

Selain andong hias pejabat, kirab juga diisi tiga grup drum band. Kakang dan Embug Situbondo tahun 2009 juga ikut diarak. Rombongan sepeda motor dinas meramaikan barisan belakang.

Kirab itu dimulai di Gedung Serba Guna Baluran di Jalan PB. Soedirman, Situbondo, dan finish di depan Pendapa Kabupaten. Di tempat itu, rombongan disambut kalangan Muspida Situbondo. Saat bersamaan, tari-tarian panyongsong khas Situbondo ikut meramaikan suasana.

Ada juga pengguntingan pita tanda dimulainya rangkaian kegiatan Hari Jadi Situbondo yang ke-37. Peringatan perdana Hari Jadi Situbondo ini diramaikan bermacam kegiatan. Ada acara keagamaan berupa istighotsah, hingga ziarah kubur para sesepuh Situbondo di pesarean Bantungan, makam Ki Pate Alos, hingga ke makam mantan Adipati Wiraraja di Besuki.

Ada juga burung perkutut, festival anak jalanan, jalan santai, triatlon, kontes kucing, hingga kontes ternak. Rangkaian kegiatan itu juga diisi dengan pameran atau expo, ajang kreasi penyuluh pertanian, temu wicara dan sarasehan petani, ruwatan, dan aneka hiburan lain; seperti gambus, kerte, ludruk, wayang kulit, dan pameran Situbondo Fair.

Tahun-tahun sebelumnya, gebyar perayaan seperti itu tidak pernah terjadi di Kota Santri. Karena tahun-tahun sebelumnya, Hari jadi Situbondo memang belum ditetapkan. Penentuan hari bersejarah itu masih menjadi perdebatan, sejarah Kedemangan Besuki, Panarukan, atau Kabupaten Situbondo terkini. Dan setelah melalui bermacam perdebatan, akhirnya pemkab telah menetapkan hari jadinya.

Sama seperti daerah lainnya, penetapan hari jadi suatu daerah memang selayaknya disambut dengan suka cita. Jangan lagi menoleh perbedaan pendapat yang sudah terjadi. Biarlah yang lalu terus berlalu. Kita menatap lagi masa depan, untuk menjadi yang lebih baik. Dengan event peringatan hari jadi ini, sudah banyak masyarakat yang merasakan berkahnya. Dengan adanya pawai, lomba, pameran dan kegiatan lainnya, diharapkan bisa ikut mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil. Semoga di tahun-tahun mendatang, dampak positif Hari Jadi Situbondo bisa dirasakan seluruh komponen masyarakat. Selamat Ultah, Situbondo!(*)

Mencoba Tak Bergantung pada Pupuk

PROBLEM distribusi pupuk di Bumi Blambangan seolah selalu ada setiap tahun. Hampir setiap musim tanam, petani selalu disibukkan dengan sulitnya mendapatkan pupuk.

Sebagian petani selalu mengaku sulit mendapatkan pupuk. Sebaliknya, pihak yang berwenang menyatakan pasokan kebutuhan pupuk untuk daerah ini mencukupi. Entah siapa yang paling benar dalam masalah ini. Bahkan, bukan mustahil kalau kedua pihak bisa sama-sama benarnya.

Pemerintah sudah mengatur persediaan pupuk yang cukup di setiap daerah. Bahkan, distribusinya juga diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kendala.

Tetapi dalam beberapa kasus, masih ditemukan juga dugaan pelanggaran dalam proses distribusi pupuk bersubsidi. Seperti kasus yang diungkap Polsek Gambiran. Polisi berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 7,5 ton urea bersubsidi ke luar daerah. Truk pengangkut pupuk itu menggunakan kamuflase tutup jerami, layaknya yang biasa digunakan truk bermuatan semangka. Begitu tutup jerami dibuka, ternyata isinya adalah ratusan sak pupuk urea bersubsidi.

Setelah kasus ini dikembangkan lebih lanjut, ada yang mencengangkan dari pengakuan ternyata tersangka Taufiq Ismail. Kepada polisi, dia mengaku bahwa sebelumnya sudah menjual pupuk bersubsidi untuk dua kali pengiriman ke luar daerah. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pupuk bersubsidi yang sudah diselundupkan ternyata sekitar 14 ton.

Kasus-kasus seperti ini memang bisa mengganggu distribusi pupuk bersubsidi di daerah ini. Pupuk yang seharusnya cukup untuk lahan petani di daerah itu, akhirnya menjadi minus stok. Karena barang sedikit, petani pun kelimpungan mencarinya. Akhirnya, masalah klasik terkait distribusi pupuk kembali terulang.

Sebenarnya, langkah Menteri Pertanian mengubah distribusi pupuk bersubsidi dari sistem terbuka menjadi sistem tertutup sudah patut diacungi jempol. Dengan sistem tertutup, pemerintah pusat atau dinas pertanian di daerah hanya memberikan pupuk bersubsidi langsung kepada kelompok petani dengan beberapa syarat.

Secanggih apa pun sistem distribusi yang diterapkan, ternyata masih saja bisa dibobol. Dalam kasus di Banyuwangi, tersangka justru memborong pupuk dari beberapa kelompok tani. Dia berdalih sedang menanam jagung di lahan babatan bekas hutan.

Terlepas dari semua problem tersebut, sebenarnya ada hal yang lebih mendasar. Coba kita renungkan sekali lagi. Mampukah petani kita menjadi petani yang tangguh, dan tidak bergantung pada pupuk urea? Apakah kita tidak bisa melirik pada pupuk alami? Jawabannya akan membutuhkan kerja keras dari semua komponen negeri ini. Nah, inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. (*)

Mencetak Warga Tanggap Bencana

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah manyatakan, bahwa Banyuwangi termasuk salah satu daerah yang berpotensi besar dilanda bencana gempa. Hingga saat ini, belum ada alat yang mampu mendeteksi kapan datangnya gempa tersebut.

Teknologi yang ada, masih sebatas mengukur dan mengamati gejala gempa dan pendeteksi gelombang tsunami.

Belum ada alat yang bisa memprediksi kapan datangnya gempa, membuat masyarakat harus senantiasa tanggap bencana. Caranya, mengetahui tata cara penyelamatan bencana gempa. Ketika bencana itu benar-benar datang, masyarakat sebaiknya sudah tahu apa saja yang harus dilakukan.

Meski daerah ini termasuk kawasan rawan bencana, fakta yang ada selama ini, masih banyak warga yang tidak mengerti apa itu gempa bumi, tsunami, dan bencana gunung api. Ini terjadi, karena paradigma penanggulangan bencana saat ini masih konvensional. Selain itu, bencana selalu dianggap urusan pusat. Baru setelah jatuh korban jiwa, harta benda, sarana, prasarana, dan kerusakan lingkungan, orang sering menyalahkan pemerintah.

Pascabencana, dana akan mengalir dari pemerintah pusat.

Tetapi apakah sudah cukup demikian? Sudah saatnya, bangsa ini belajar bersahabat dengan bencana. Istilah lain, menjadi bangsa yang tanggap bencana. Dana bantuan mestinya tidak seluruhnya disumbangkan kepada korban, tetapi disisakan guna pendidikan bencana atau kegiatan sosialisasi pencegahan bencana.

Belajar dari pengalaman, peringatan awal adanya bencana mengurangi lebih banyak korban, ketimbang tidak adanya peringatan sama sekali. Ketika tsunami menerjang pantai selatan Pulau Jawa di daerah Pangandaran, warga yang selamat umumnya berlari menyelamatkan diri ke pegunungan. Ini dilakukan, karena warga setempat mendapat pelajaran dari musibah Tsunami Aceh.

Artinya, pelajaran yang berulang-ulang lewat media massa itu dapat efektif mengubah prilaku warga. Warga pesisir yang telah mendapat pelajaran lewat media massa, tidak akan berlari ke tengah laut, saat laut surut secara mendadak. Padahal, banyak sekali ikan yang menggelepar ketika air laut surut secara tiba-tiba sehabis terjadi gempa.

Kegiatan penanggulangan bencana memang sudah seharusnya dilalui secara bertahap. Tahapan itu bisa berupa upaya pencegahan dan kesiagaan sebelum terjadinya bencana. Inilah yang lazim disebut sebagai masyarakat tanggap bencana.

Ketika bencana tak terelakkan terjadi, langkah yang ditempuh adalah langkah cepat penyelamatan para korban. Setelah semua itu berlalu, langkah terakhir adalah rehabilitasi dan rekonstruksi setelah terjadi bencana. Upaya penyelamatan korban dan langkah rehabilitasi sudah biasa dilakukan pemerintah saat terjadi bencana. Yang masih terasa kurang gaungnya, adalah upaya pencegahan dan kesiagaan sebelum terjadinya bencana. Karena itu tak ada salahnya, pendidikan tanggap bencana mulai didilakukan pada seluruh masyarakat secara merata sejak sekarang. (*)

Utang Laptop kepada Negara

ANGGOTA DPRD Situbondo periode 2009–2014 sedang mendapat jatah pembagian laptop. Namun, tidak semua wakil rakyat itu bisa mendapatkan fasilitas dinas berupa komputer jinjing tersebut.

Sebanyak tiga wakil rakyat harus rela tidak kebagian laptop tersebut. Penyebabnya, tiga unit laptop dari anggota DPRD periode sebelumnya, ternyata belum kembali ke Sekretariat DPRD Situbondo.

Tiga mantan anggota DPRD Situbondo melaporkan, bahwa laptop yang mereka gunakan tersebut hilang. Mereka yang mengaku kehilangan laptop dinas tersebut adalah Umami (PDIP), Rizki Muslim (PKB), dan H. Fahmi Amien (PKB). Padahal sejak kemarin, Sekwan sudah mulai mendistribusikan laptop kepada anggota DPRD.

Sekretariat DPRD sempat dibuat kelabakan terkait hilangnya tiga unit laptop tersebut. Akhirnya disepakati, ada tiga anggota DPRD yang harus mengalah untuk sementara tidak kebagian laptop dinas. Tiga parpol besar harus merelakan satu anggotanya tidak kebagian jatah laptop. Tiga parpol pemilik jumlah kursi terbesar yang harus mengalah jatah satu laptop-nya tertunda adalah PPP, PKNU, dan Partai Demokrat.

Sejatinya, laptop maupun mobil dinas adalah fasilitas yang diberikan negara untuk keperluan dinas. Kasus laptop anggota dewan yang hilang, sebenarnya harus diperlakukan sama seperti kasus kendaraan dinas yang hilang.

Selama ini, pemerintah dengan tegas menyatakan bahwa pegawai yang menghilangkan fasilitas dinas seperti mobil dinas, harus mengganti dengan yang baru. Bahkan, ada pemerintah daerah yang menerapkan masalah penggantian inventaris berupa mobil dinas secara tegas dan disiplin. Misalnya, ketika mobil dinas yang hilang adalah kendaraan keluaran tahun 2000, maka pegawai yang menghilangkan kendaraan itu, harus mengganti dengan mobil keluaran terbaru tahun 2009.

Memang, tidak perlu sekeras itu dalam menuntaskan kasus tiga laptop anggota DPRD Situbondo yang hilang itu. Yang jelas, kalau inventaris negara itu hilang, seharusnya memang diganti oleh yang menghilangkan. Utang kepada manusia saja, tetap dicatat sebagai utang hingga akhirat. Apalagi utang inventaris kepada negara dan rakyat. (*)

Cara Aman Bermain Ombak

GAYA pelesir warga Bumi Blambangan di saat libur Lebaran kali ini memang cukup membuat miris. Coba saja lihat yang terjadi di Wana Wisata Grajagan (WWG) di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi. Banyak warga menghabiskan waktunya untuk mandi di pantai Laut Selatan Jawa tersebut (23/9). Padahal, kegiatan mandi di pantai tersebut sebenarnya sangat berbahaya.

Sekadar diketahui, ketinggian ombak di perairan Grajagan dan sekitarnya bisa mencapai sembilan feet atau sekitar 3,5 meter. Ombak setinggi itu tentu sangat rawan bagi keselamatan manusia.

Namun faktanya, ratusan warga sengaja mandi di pantai Gragajan. Bahkan, banyak yang tampak dengan sengaja bermain-main dengan ombak yang tinggi itu. Yang lebih miris lagi, sebagian besar yang mandi di pantai tersebut adalah anak-anak.

Pihak terkait bukannya menutup mata dengan kenyataan tersebut. Pengelola WWG sudah lama memasang beberapa papan pengumuman yang berisi peringatan bahaya mandi di laut. Tetapi, papan peringatan itu tidak digubris. Bahkan, sebagian papan peringatan tersebut sudah tercabut dan raib dari tempatnya. Memang, cukup susah menghalau ratusan warga yang sedang bermain ombak.

Sementara itu, kegiatan menantang maut bermain ombak seperti itu sebenarnya adalah hal yang lumrah di kalangan surfer. Para pecinta olahraga surfing justru sangat haus akan ombak besar. Mereka rela menempuh perjalanan ribuan mil, demi mendapatkan lokasi pantai dengan ombak yang tinggi.

Mereka memang sudah terlatih dan paham betul dengan karakter ombak. Mereka memang mengisi hidupnya dengan bermain ombak. Bedanya dengan warga Banyuwangi yang bermain ombak, para surfer itu selalu bermain dengan aman. Nah, untuk menghindari terjadinya musibah, tidak ada salahnya agar warga Bumi Blambangan mendapat pendidikan dasar tentang surfing. (*)

Pergeseran Pola Arus Balik

PROBLEM kepadatan arus mudik dan arus balik Lebaran seolah sudah menjadi rutinitas setiap tahun. Saking seringnya, aparat terkait sudah hafal betul bagaimana ritme dan pola kepadatan arus mudik dan arus balik.

Namun yang terjadi saat ini, tren yang terjadi menunjukkan ada sedikit pergeseran dalam pola kepadatan arus mudik dan arus balik yang terjadi di Jawa Timur, khususnya Banyuwangi dan Situbondo. Termasuk tren penumpang penyeberangan Ketapang-Gilimanuk.

Pada arus mudik lalu, puncak kepadatan penumpang diprediksi terjadi pada H-3 Lebaran. Ternyata, puncak arus mudik di penyeberangan Jawa-Bali justru terjadi mulai H-2. Pola pergeseran penumpang juga terjadi pada arus balik Lebaran. Tanda-tandanya sudah terlihat pada situasi di pelabuhan Ketapang pada H+1 kemarin (21/9).

Rupanya, pada H+1 nyaris tidak terlihat antrean kendaraan yang akan menyeberang ke Bali di Pelabuhan Ketapang. Pemandangan ini sangat kontras dengan situasi arus balik Lebaran tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 lalu, sejak H-1 hingga H+1 lebaran, ribuan kendaraan para wisatawan sudah memadati area parkir PT Indonesia Fery ASDP Ketapang.

Tahun ini, ternyata tidak ada antrean panjang kendaraan wisatawan yang sedang liburan. Antrean hanya terjadi saat kapal melakukan bongkar muat. Bahkan, arus wisatawan dari Jawa ke Bali pada liburan Idul Fitri tahun ini cenderung mengalami penurunan sekitar delapan persen.

Nah, kondisi arus balik saat ini sepertinya memang lebih sulit ditebak. Karena itu, ada baiknya pada pemudik yang akan balik ke tempat kerjanya menyiapkan strategi khusus agar tidak terjebak macet. Salah satu strateginya adalah dengan jalan mengelola pemudik agar tidak bersamaan kembali ke tempat kerjanya. Jika bisa diatur seperti itu, kepadatan dan penumpukan kendaraan di jalan serta di pelabuhan, bisa dikurangi.

Yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran dan pengorbanan para pemudik. Jika ingin perjalanan balik bisa dilalui dengan lancar, serta tidak terjebak kemacetan, mereka harus rela berkorban. Misalnya dengan sengaja berangkat lebih awal, tanpa harus menunggu masa liburan habis.

Satu lagi kata kunci sukses dalam melakukan perjalanan arus balik lebaran, yakni mencari informasi yang tepat dan akurat. Sebelum berangkat, jangan sungkan menelpon pengelola pelabuhan atau aparat terkait, untuk menanyakan informasi terkini situasi pelabuhan serta jalan yang akan anda lalui. (*)

Saatnya Saling Memaafkan

HARI Raya Idul Fitri adalah hari yang dinantikan oleh seluruh umat Islam. Setelah sebulan berpuasa, setiap muslim dijanjikan oleh Allah SWT kembali suci, seperti bayi yang baru lahir. Semua orang saling memaafkan dan menjadikan hari itu sebagai hari kemenangan.

Tali silaturahmi yang sempat terputus, bisa kembali tersambung. Idulfitri memang hari yang benar-benar menyimpan kebahagiaan, kegembiraan yang melebihi hari-hari kegembiraan lainnya sepanjang tahun.

Karena itu Idul fitri merupakan saat yang tepat untuk menghapus semua permusuhan, kesalahan dan kekhilafan, tanpa harus melalui perantara orang atau lembaga. Semuanya, seperti digerakkan oleh kekuatan luar biasa ikhlas memaafkan kesalahan orang lain.

Terkadang, kesalahan itu bisa terjadi seolah menggelinding begitu saja. Sesuatu yang kita lakukan, baik perbuatan maupun perkataan, tanpa disadari bisa saja menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, hal itu bisa juga membuat orang lain marah, benci dan bahkan muak kepada diri kita.

Selain perbuatan dan perkataan, sangat mungkin pula tulisan kita juga tanpa disadari bisa membuat orang lain tersinggung, kecewa dan marah. Apalagi, salah satu fungsi dan peran media massa adalah menjadi lembaga kontrol sosial yang bersinggungan dengan orang banyak.

Apa pun peran yang kita jalani di dunia ini, pada hakikatnya masing-masing adalah merupakan individu yang memiliki perasaan. Musisi pernah bilang, rocker itu juga manusia, yang punya hati dan punya cinta.

Sama seperti rocker, redaksi koran ini juga manusia. Kadang juga lupa, alpa serta khilaf. Memang, tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Apalagi, kalau kita menoleh lagi perjalanan setahun ke belakang, masih banyak kekurangan dan kesalahan yang telah kami perbuat. Termasuk kesalahan yang tidak disengaja yang seolah mengalir begitu saja.

Karena itu, melalui momen Idul Fitri yang suci ini, ada baiknya kita bercermin kembali. Sebab, kita pasti tidak luput dari berbuat salah. Dengan ini, kami beranikan diri dengan tulus mengawali dan memohon kepada seluruh pembaca, untuk mengucapkan Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir batin. (*)

Untung Rugi Mudik Naik Mobdin

Pemkab Banyuwangi mengizinkan pejabat menggunakan mobdin untuk mudik Lebaran. Alasannya, demi memberi kelonggaran pegawai yang pulang kampung, agar lebih nyaman dan kinerjanya tidak terhambat.

Kabag Humas Pemkab, Arief Setyawan beralasan, daripada pegawai naik angkutan umum berjubel, pulangnya bisa terlambat. Karena itu, pegawai diberi izin untuk menggunakan mobdin untuk mudik Lebaran.

Memang, selama ini belum ada aturan yang melarang penggunaan mobdin untuk mudik Lebaran. Karena itu, penggunaan mobdin untuk mudik lebaran disikapi berbeda di beberapa daerah di Indonesia. Ada yang membolehkan, ada juga kepala daerah yang melarang pegawai memakai mobdin untuk mudik Lebaran.

Yang paling lantang melarang penggunaan mobdin untuk mudik adalah Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Awang Faroek. Awang melarang para pejabat menggunakan mobdin untuk kepentingan di luar kedinasan, termasuk kegiatan mudik Lebaran atau berlibur.

Menurut Awang, mobdin diberikan kepada pejabat itu untuk membantu kelancaran tugas kedinasannya. Selebihnya atau yang bukan tugas dinas, mobdin tak dibenarkan untuk digunakan. Apalagi keperluan pribadi termasuk mudik dan liburan selama Lebaran.

Sebaliknya, Pemkot dan Pemkab Probolinggo merestui jika mobdin dipakai PNS untuk acara mudik Lebaran. Yang menarik, masyarakat sering menyaksikan, banyak mobdin yang mulai berganti warna plat. Yang awalnya plat merah berganti warna menjadi plat hitam. Dan untuk mengaburkan penggantian warna tersebut, plat mobil itu ditutup dengan plastik mika warna biru tua.

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi di berbagai daerah itu, ada baiknya kita menghitung lagi untung rugi menggunakan mobdin untuk mudik Lebaran. Sekilas, memakai mobdin untuk Lebaran memang terkesan enak. Tetapi ternyata, risiko yang harus ditanggung juga sangat besar. Risiko pertama yang dihadapi adalah kerusakan kendaraan, lantaran menempuh perjalanan jarak jauh. Jika mobdin mengalami kerusakan, tentu pegawai yang membawa mobil itu berkewajiban memperbaikinya.

Selain itu, arus lalu-lintas selama mudik lebaran sampai arus balik lebaran sangat padat. Kondisi ini memperbesar peluang terjadinya kecelakaan lalu lintas. Nah, risiko kedua adalah ketika mobdin terlibat kecelakaan. Jika hal ini terjadi, pengguna harus memperbaiki mobdin tersebut sampai pulih seperti sedia kala.

Risiko ketiga adalah, jika kendaraan dinas itu hilang, maka mobdin itu harus diganti. Ini mungkin risiko yang paling berat. Karena ada pemerintah daerah di Jatim yang memberlakukan sanksi tegas bagi pegawai yang menghilangkan mobdin. Contohnya, jika mobdin hilang dalam perjalanan pribadi itu adalah kendaraan keluaran tahun 2000-an, dia harus mengganti dengan mobil keluaran terbaru tahun 2009.

Nah, ternyata banyak juga risiko yang ditanggung jika menggunakan mobdin untuk mudik lebaran. Namun pada akhirnya, keputusan akan berpulang diri kita masing-masing. Karena itu, sungguh bijak jika kita berhitung kembali sebelum mengambil keputusan. Mana yang lebih banyak, mudlarat-nya atau manfaatnya? (*)

Trend Belanja Tengah Malam

BELANJA baju atau sepatu di mal menjelang tengah malam. Ah, sepertinya kok kurang kerjaan. Karena lazimnya, sebagian masyarakat Indonesia sedang istirahat dan tidur pada tengah malam.

Namun akhir-akhir ini, belanja alias shopping tengah malam justru menjadi trend baru di mal-mal di kota besar. Ada yang menyebutnya sebagai program midnight sale, midnight shopping, night shopping, late night shopping dan sejenisnya.

Pusat perbelanjaan di mancanegara sudah biasa melakukan hal seperti itu. Sebut saja mal-mal di negeri tetangga Singapura, yang memang kerap menggelontor program wisata belanja untuk mengeruk duit para pelancong yang datang.

Mal-mal besar di Jakarta juga sudah pernah menggelar program semacam itu. Biasanya, superblok atau mal raksasa tersebut menawarkan diskon untuk aneka ragam barang-barangnya. Tidak jarang, mal-mal besar itu memberikan diskon yang gila-gilaan.

Biasanya, mal di Metropolitan memberi label diskon besar untuk barang branded mewah buatan desainer internasional. Kalau untuk barang ritel, diskon yang diberikan biasanya juga lumayan.

Nah, respons warga metropolitan dengan program belanja malam hari itu cukup luar biasa. Warga sudah mulai berdatangan ke mal menjelang pukul 22.00. Semakin malam, biasanya jumlah pengunjungnya mulai membeludak.

Sementara itu, gaya hidup belanja tengah malam itu juga sudah merembet ke Bumi Blambangan. Mal di Kota Gandrung sudah menerapkan program late night shopping selama bulan Ramadan kali ini. Metode yang diterapkan juga sama seperti yang dilakukan mal-mal besar di metropolitan. Mereka memberikan diskon gila-gilaan setiap menjelang tengah malam.

Ternyata, respons publik Kota Gandrung juga cukup luar biasa. Warga Banyuwangi dan sekitarnya cukup antusias dengan program belanja tengah malam itu. Entah, gejala apakah ini. Karena ternyata, berbisnis di tengah malam itu ternyata cukup menghasilkan. Animo konsumen untuk melakukan transaksi pada malam hari itu cukup besar. Perputaran uang yang terjadi juga cukup tinggi.

Pada sisi lain, geliat ekonomi rakyat di Banyuwangi, sebenarnya juga sudah dimulai pada tengah malam. Para petani dan produsen sayur dan hasil bumi dari pedesaan, sudah mulai bertransaksi dengan pedagang di pasar-pasar tradisional dini hari.

Memang, sepertinya tak ada kaitan antara trend belanja malam di mal dengan tradisi perdagangan malam hari di pasar tradisional. Tetapi, semangat denyut ekonomi yang dirasakan keduanya akan terasa sama napasnya. Siapa yang bekerja atau berdagang dengan durasi lebih lama (hingga malam hari), tentu akan mendapat peluang sukses lebih besar. (*)

Stiker untuk Mobil Dinas

INSTRUKSI Gubernur Jawa Timur Soekarwo di masa Lebaran ini layak diapresiasi. Gubernur melarang seluruh kepala daerah di Jawa Timur meninggalkan daerah yang dipimpinnya selama masa Lebaran. Selain itu, mobil dinas (mobdin) pun dilarang lalu lalang ke luar kota.

Berdasarkan aturan, sebenarnya masalah mobdin ini sudah jelas. Namanya saja mobil dinas, bukan mobil pribadi. Mobdin hanya untuk operasional penunjang pekerjaan.

Karena itu, jangan sekali-sekali menggunakan mobil plat merah itu selain untuk keperluan dinas, apalagi untuk pelesir ke Bali. Apalagi, Polsek Kesatuan Pelaksana, Pengamanan, Pelabuhan (KPPP) Tanjung Wangi akan merazia setiap mobil plat merah yang akan menyeberang ke Pulau Dewata, terutama pada hari libur dan akhir pekan.

Berdasarkan temuan Polsek KPPP Tanjung Wangi selama sebulan terakhir, ternyata masih banyak mobil plat merah yang menyeberang ke Bali tanpa dilengkapi surat tugas dan surat jalan. Itu artinya, banyak mobdin yang digunakan untuk pelesir dan di luar kepentingan dinas.

Karena itu, petugas Polsek KPPP Tanjung Wangi langsung memberikan peringatan pada mobil plat merah yang digunakan untuk pelesir ke Bali. Bahkan, tiga bulan ke depan, petugas tidak segan memberikan sanksi berupa tindak pidana ringan (tipiring) pada oknum yang membawa mobdin untuk pelesir.

Langkah tindak lanjut Polsek KPPP Tanjung Wangi ini juga layak diapresiasi. Mereka rela bertugas memantau pelabuhan, demi menegakkan disiplin penggunaan fasilitas negara sesuai peruntukannya.

Namun terlepas dari itu semua, bentuk pelanggaran disiplin terkait penggunaan mobdin itu tak bisa lepas dari moral oknum pegawai yang bersangkutan. Semua pelanggaran disiplin itu memungkinkan terjadi, karena ada niat dari dalam diri oknum pegawai negeri yang bersangkutan.

Langkah petugas dengan melakukan merazia mobdin, sebenarnya adalah upaya terakhir untuk mengerem bentuk pelanggaran tersebut. Sebenarnya, ada juga langkah antisipasi yang masih memungkinkan dilakukan oleh pemkab untuk mencegah penyalahgunaan mobdin. Misalnya dengan cara memasang stiker atau cat permanen bertuliskan ‘Pemkab Banyuwangi’ pada lambung mobdin tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan tahu kalau itu mobil plat merah, meskipun nopolnya telah diganti. (*)