Minggu, 06 Desember 2009

Menjadi Petani yang Tidak Egois

BEBERAPA daerah di Jawa Timur mulai resah dengan adanya serangan hama wereng. Para petani di beberapa kota-kabupaten merasa kelimpungan dengan hama tersebut. Tidak sedikit petani yang mengalami gagal panen pada masa pancaroba (peralihan musim) seperti ini.

Keresahan yang sama juga dirasakan kalangan petani di Bumi Blambangan. Meski daerahnya dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur, petani di Banyuwangi juga ikut resah dengan serangan hama wereng.

Petani di empat kecamatan di Banyuwangi sudah mengaku mengalami gagal panen. Meski pemkab tidak sepenuhnya ‘mengakui’ mewabahnya serangan wereng ini, tetapi fenomena serangan hama kali ini tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena jika tidak ditangani secara serius, serangan wereng ini bisa menjadi musibah besar bagi kesejahteraan rakyat Bumi Blambangan, khususnya para petani.

Memang, hama wereng sebenarnya punya musuh alami. Musuh alami tersebut bisa berupa predator, parasit maupun bakteri patogen. Akan tetapi, kita tidak bisa ‘mengkondisikan’ para musuh alami itu agar bergerak bersama-sama memerangi wereng di suatu daerah.

Yang bisa dikendalikan oleh petani adalah dengan cara melakukan pembasmian dengan obat-obatan dan bahan kimia. Tetapi langkah ini sangat memerlukan biaya. Artinya, petani harus berhitung kembali pengeluaran untuk pembasmian hama dengan penghasilan dari panen yang akan diperoleh. Jika salah mengelola, bisa-bisa petani akan merugi.

Yang paling penting adalah menciptakan petani yang tidak egois dalam upaya pemberantasan hama. Aksi pemberantasan hama ini harus dilakukan secara serentak. Sebab dengan pemberantasan wereng secara serentak, hasilnya akan lebih efektif. Kalau pemberantasan wereng dilakukan sendiri-sendiri, hama tersebut akan pindah ke tempat lain.

Langkah pemberantasan hama secara serentak sudah dilakukan oleh para petani di Desa Bedewang, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Mereka telah memberikan teladan yang baik kepada petani di daerah lain. Karena untuk membasmi hama, petani harus kompak satu kata dan satu langkah.

Selain itu, petani juga harus memperhatikan pola tanam. Mereka sebaikany tidak lagi terjebak dengan rutinitas yang cenderung menanam padi secara monoton. Sebaiknya, petani menyusun jadwal penanaman dengan sistem selang seling. Misalnya tiga musim ditanami padi, satu musim tanam lainnya ditanami palawija. Dengan begitu, kesuburan tanah akan tetap terjaga serta tanaman akan lebih aman dari serangan hama. (*)

Serukan Damai Sejak Dini

Ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) Banyuwangi 2010 akan semakin ramai. Setidaknya sudah muncul beberapa kubu yang siap bersaing dalam perebutan kursi Bupati Banyuwangi periode 2010-2015.

Perkembangan politik terkini menunjukkan, setidaknya berpeluang muncul lima kelompok yang akan mengajukan cabup. Empat kelompok sudah memenuhi ketentuan Undang-Undang untuk mengajukan calon bupati (cabup).

Yang pertama adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perolehan suara partai berlogo banteng kekar ini dalam pemilu legislatif 2009, sudah mencukupi untuk mengajukan cabup. Yang kedua adalah Partai Demokrat. Perolehan suara partai ini juga memenuhi syarat untuk mengajukan cabup sendiri.

Kelompok ketiga adalah koalisi yang digalang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menjelang Pilkada 2010, PKB menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP), dan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK). Akumulasi suara koalisi parpol ini dalam pemilu legislatif lalu sudah melebihi 15 persen dari suara sah. Dengan demikian, koalisi PKB sudah berhak mengusung cabup sendiri.

Kelompok keempat adalah koalisi lima parpol di parlemen. Koalisi ini terdiri atas Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nusantara (PAN), dan Partai Republik Nusantara (RepublikaN). Perolehan kursi lima parpol itu sudah melebihi 15 persen kursi di DPRD. Karena itu, koalisi lima parpol ini juga berhak mengusung cabup sendiri.

Sementara itu, ada kelompok terakhir yang berpeluang memunculkan cabup sendiri. Kubu ini bisa dimotori oleh Partai Golkar (PG) yang mendapatkan 7 kursi di DPRD. Untuk mengajukan cabup sendiri, PG harus berkoalisi dengan partai lain. PG hanya butuh tambahan 1 kursi koalisi parpol di parlemen untuk memenuhi syarat tersebut. Atau bisa juga, PG menggandeng beberapa parpol kecil untuk memperoleh minimal 15 suara sah dalam pemilu legislatif.

Yang perlu jadi catatan adalah posisi PKNU. Partai yang punya beberapa kursi di DPRD ini memang belum menyatakan sikap hingga Senin kemarin (30/11). Meski sudah ada kecenderungan untuk bergabung dengan aliansi lima parpol parlemen, PKNU masih tampak wait and see.

Terlepas dari semua itu, ada baiknya kita kembali melihat ke belakang, yakni Pilkada 2005 silam. Pada waktu itu, ada lima kandidat yang mengusung cabup. Kondisi ini hampir sama seperti yang terjadi saat ini. Menjelang Pilkada 2010, sudah ada lima kubu yang berpeluang mengusung cabup masing-masing.

Semakin banyak kubu, potensi konflik politik di seputar penyelenggaraan pilkada akan semakin besar pula. Karena itu, jika sekarang sudah mulai digagas bagaimana mengupayakan pilkada yang damai, fair, dan cerdas adalah langkah bijaksana. Selagi masih ada waktu, kiranya potensi yang ada itu diramu dan diberdayakan semaksimal mungkin, untuk meminimalisasi setiap potensi konflik. (*)

Satu Orang Satu Pohon, Seribu Terowongan

DAMPAK kerusakan hutan akibat penambangan emas liar di hutan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sungguh luar biasa. Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Selatan yang mengelola kawasan hutan tersebut mengklaim, kerusakan lingkungan yang terjadi di tempat itu lebih parah dari pada dampak penjarahan masal yang pernah terjadi tahun 1994 silam.

Aksi penambangan liar yang dibiarkan marak selama beberapa bulan, ternyata tidak hanya merusak pohon jati yang di pegunungan itu. Aksi penambangan masal tersebut juga mengakibatkan tanah dan lingkungan alam di kawasan tersebut.

Kejadian ini layak jadi perhatian semua kalangan di Bumi Blambangan. Memang, kerusakan pohon jati di lokasi tersebut masih bisa dihitung oleh pihak Perhutani. Selaku pengelola hutan kawasan tersebut, Perhutani juga bisa berusaha untuk menanam kembali tanaman jati yang rusak akibat penambangan ilegal secara masal tersebut. Terlebih, Perhutani sudah siap menjalankan program one man, one tree (satu orang tanam satu pohon) seperti yang sudah dicanangkan pemerintah.

Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah upaya itu cukup untuk mengembalikan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Apakah penanaman kembali (reboisasi) itu mampu memperbaiki lagi struktur tanah yang ada di pegunungan tersebut.

Kalau kita menoleh lagi ke belakang, sekitar 15 tahun silam pernah terjadi tragedi lingkungan di lokasi yang sama. Massa menjarah tanaman jati di hutan tersebut karena berbagai alasan yang cukup kompleks. Seiring perjalanan waktu, Perhutani memang berhasil menghijaukan lagi hutan tersebut setelah pohon jati yang ada dibabat massa.

Namun yang terjadi saat ini, sepertinya akan sulit dikontrol. Kerusakan lahan hutan tersebut sudah memasuki tahap akut alias kritis. Tanaman jati yang rusak memang bisa ditanami kembali. Perjalanan waktu memang akan menumbuhkan lagi pucuk jati muda, menjadi tanaman yang tegak dan kokoh.

Tetapi lahan hutan itu kini dipenuhi sedikitnya seribu terowongan. Tidak tanggung-tanggung, setiap terowongan itu bisa mencapai kedalaman 40 meter. Inilah cikal bakal terowongan menuju bencana alias neraka dunia.

Memang, petugas sudah berusaha menutup seribu lubang terowongan tersebut. Tetapi setelah beberapa bekerja keras, mereka baru mampu menutup sekitar 70 terowongan tambang. Kalau pun nantinya –entah kapan-, seribu lebih terowongan itu bisa ditutup, struktur dan kepadatan tanah tak akan pulih seperti sedia kala.

Terlebih, masa sekarang sudah memasuki musim hujan. Seandainya saja kawasan itu diguyur hujan terus menerus selama beberapa hari saja, lalu seribu terowongan sedalam 40 meter itu dipenuhi air, entah apa jadinya kawasan itu. Apalagi, lokasi tersebut berada di pegunungan yang mungkin saja terdapat beberapa perkampungan di bawahnya. Kalau sudah begini, kita semua hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi tanah longsor di kawasan tersebut.

Memang, kerusakan pohon jati masih bisa dihitung dan diperbaiki. Yang perlu digarisbawahi, kerusakan lingkungan ternyata tidak bisa dinilai dengan angka. Lingkungan sejatinya juga bukan milik kita, tetapi itu adalah warisan untuk anak cucu kita di masa mendatang. Karena itu sudah sepantasnya, jika kita semua sebisa mungkin ikut berpartisipasi melestarikan lingkungan alam di sekitar kita. (*)

Mengepras, Mengeruk dan Mengikat

CUACA Kota Gandrung dan sekitarnya diprediksi kurang bersahabat beberapa hari mendatang. Hujan disertai angin kencang besar berpeluang terjadi di daerah ini. Tidak hanya itu, ketinggian ombak juga patut menjadi perhatian bagi nelayan dan operator pelayaran.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Banyuwangi mencatat ada peningkatan kecepatan angin dalam beberapa hari terakhir. Situasi ini akan berdampak pada gelombang permukaan air laut. Di Selat Bali, ketinggian ombak mencapai 0,3 meter hingga 2 meter. Untuk di Samudera Indonesia, tinggi ombak bisa mencapai 2,5 meter.

Sementara itu, belum semua warga layak disebut sebagai masyarakat yang tanggap cuaca. Karena itu, semua komponen warga perlu terlibat dalam sosialisasi untuk menciptakan masyarakat yang tanggap cuaca. Langkah ini bisa diawali dengan upaya sosialisasi melalui slogan yang mudah diingat.

Seperti yang sudah terjadi Pada bidang kesehatan, yang memiliki banyak slogan dalam melakukan sosialisasi kepada publik. Misalnya ada istilah 3M untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah yang menular lewat nyamuk. Istilah 3M tersebut artinya menguras bak mandi, menutup tempat air, dan Mengubur sampah yang ditempati genangan air.

Bidang finansial juga punya slogan. Seperti yang dipopulerkan Bank Indonesia (BI) untuk mencegah peredaran uang palsu (upal). Mereka menyuarakan slogan 3D (dilihat, diraba, dan diterawang ).

Nah, tidak ada salahnya jika slogan serupa juga dipopulerkan untuk bidang klimatologi (iklim) yang terkait masalah cuaca. Untuk mengantisipasi dampak cuaca buruk, masyarakat harus tanggap dengan lingkungan sekitarnya.

Tidak ada salahnya mengadopsi istilah 3M seperti yang sudah populer untuk melawan penyakit demam berdarah. Tanggap cuaca itu, juga bisa dilakukan dengan cara 3M (mengepras, mengeruk dan mengikat).

Mengepras artinya memotong ranting dan dahan pohon yang sudah tua. Dengan begitu, jika ada angin kencang, pohon tidak lagi membahayakan keselamatan.

Mengeruk artinya mengambil semua lumpur dan sampah di saluran air dan selokan. Dengan begitu, diharapkan peningkatan debit air saat musim hujan, tidak lagi mengakibatkan genangan dan banjir.

Mengikat artinya memasang tali semua kapal dan perahu nelayan. Jika cuaca buruk terjadi, nelayan dan operator pelayaran harus rela menghentikan aktivitas pelayaran demi keselamatan. Jika slogan ini sudah populer, masyarakat tentu akan lebih tanggap terhadap cuaca buruk. (*)

Pembuangan Orang Gila dan Anjing Gila

POSISI Banyuwangi secara geografis bisa dibilang cukup strategis. Bumi Blambangan ini berada di ujung timur Pulau Jawa, yang berbatasan langsung dengan Bali. Banyuwangi merupakan pintu masuk jalur darat menuju Pulau Dewata.

Selain itu, pada sisi utara terdapat hutan Taman Nasional Baluran yang berbatasan dengan Kabupaten Situbondo. Pada sisi barat, terdapat hutan Gunung Ijen yang berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso. Di sisi selatan, ada hutan Gunung Kumitir yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Jember.

Seluruh penjuru arah perbatasan Banyuwangi itu, seolah merupakan pagar yang dibentuk olah alam. Ada yang berupa hutan-gunung, dan ada juga laut (Selat Bali) di sisi timur. Dengan kondisi seperti itu, pemantauan yang ada di kawasan perbatasan tersebut sangat sulit dilakukan.

Tidak dapat dipungkiri, kondisi ini kerap juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Mereka ingin membersihkan daerahnya dari segala macam gangguan ketertiban yang meresahkan masyarakat di wilayahnya.

Sudah menjadi rahasia umum, Banyuwangi sering dijadikan sasaran lokasi pembuangan penyakit masyarakat oleh daerah lain. Gelandangan, pengemis, dan orang gila (orgil) dalam jumlah besar, sesekali sengaja dibuang ke Banyuwangi. Kejadian seperti ini diakui oleh Dinas Sosial (Dinsos) Banyuwangi. Dinsos juga pernah mengirim surat pengaduan ke Dinsos Provinsi Jawa Timur, karena gerah daerahnya selalu dijadikan tempat pembuangan orgil oleh daerah lain.

Yang lebih parah, Banyuwangi ternyata juga dijadikan sebagai lokasi pembuangan anjing gila yang terinfeksi penyakit rabies. Polisi telah menguak pengiriman 40 ekor anjing gila dari Bali di pelabuhan di Pelabuhan Landing Craft Machine (LCM) Ketapang Senin dini hari kemarin (16/11). Dari hasil pemeriksaan klinis Instalasi Karantina Hewan Ketapang di Desa Bengkak, Kecamatan Wongsorejo, sekitar 99 persen anjing yang dikirim tersebut positif mengidap rabies.

Nah, jika dibandingkan dengan pembuangan penyakit masyarakat (baca: orgil), pengiriman anjing berpenyakit rabies ini lebih berbahaya. Karena penyakit masyarakat (orgil) itu tidak menular secara langsung pada masyarakat Banyuwangi. Sebaliknya, pengiriman penyakit anjing gila itu cukup meresahkan. Karena rabies termasuk penyakit yang menular pada manusia (zoonosa).

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya dan ditakuti, serta mengganggu ketenteraman hidup manusia. Apabila sekali gejala klinis penyakit rabies timbul, maka biasanya akan diakhiri dengan kematian. Virus rabies selain terdapat di susunan syaraf pusat, juga terdapat di air liur hewan penderita rabies. Jika manusia tergigit oleh anjing tersebut, bisa fatal akibatnya.

Melihat besarnya potensi bahaya yang ditimbulkan, sudah selayaknya kita semua ikut waspada. Tanggung jawab untuk mengamankan Banyuwangi dari serbuan rabies, tidak mungkin dibebankan kepada polisi dan aparat karantina hewan di pelabuhan. Dengan kondisi kawasan perbatasan Banyuwangi yang seperti itu, pengawasan dan pengamanan lalu lintas kawasan perbatasan sangat perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat. Dengan begitu, semoga Banyuwangi tak lagi menjadi pembuangan orang gila dan anjing gila. (*)

Problem Lingkungan Vs Masalah Sosial

KABAR maraknya penambangan tradisional di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, cukup mengagetkan kita semua. Betapa tidak, daerah yang dulunya merupakan hutan, kini telah berubah menjadi kawasan penambangan. Petak 78 dan Petak 79 di Kampung 56, kawasan Perhutani Banyuwangi Selatan, kini benar-benar ramai. Diperkirakan jumlah penambang tradisional yang hidup di situ sudah mencapai 12 ribu orang.

Lokasi penambangan emas tradisional yang masuk Dusun Ringinagung, Desa/Kecamatan Pesanggaran itu sudah bukan seperti hutan belantara. Para penambang itu berburu emas di hutan jati tersebut. Mereka menggali setiap lokasi yang diduga memiliki kandungan emas.

Untuk membuat galian, butuh usaha yang sangat keras. Penambang harus menggali dengan kedalaman rata-rata 40 sampai 50 meter. Satu lubang galian rata-rata dikerjakan oleh 12 sampai 15 orang. Saat ini, jumlah lubang galian di areal pegunungan tersebut diperkirakan mencapai seribu lebih. Belasan ribu orang itu mengaku sudah mendapatkan emas dari hasil pekerjaannya. Namun, mereka enggan menyebutkan seberapa berat emas yang telah diperoleh.

Kondisi ini membuat problem yang ada di kawasan tersebut menjadi semakin rumit. Dari sudut pandang ekologi, adanya penambangan tradisional secara masal itu merupakan satu kejadian luar biasa. Kawasan hutan yang seharusnya dipertahankan demi keseimbangan lingkungan, kini telah rusak.

Perilaku tersebut sedikit banyak ikut menyumbang terjadinya pemanasan global. Perilaku perusakan hutan, tentu akan berpengaruh terhadap berkurangnya proses fotosintesis, sehingga jumlah oksigen berkurang. Belum lagi ancaman populasi yang besar dengan berbagai aktivitas yang beragam, yang banyak menyumbangkan karbon dioksida.

Seribu lubang galian juga mengakibatkan kerusakan lapisan tanah di kawasan tersebut. Sedikit banyak, hal ini akan mempengaruhi sediaan serta kemurnian air tanah di kawasan itu.

Namun di sisi lain, masalah penambangan tradisional juga sarat dengan problem sosial. Mereka adalah warga negeri ini yang membutuhkan penghasilan demi kehidupan keluarganya. Jumlah 12 ribu orang penambang tradisional bukanlah angka yang kecil. Mereka termasuk masyarakat kita yang butuh pekerjaan dan penghasilan untuk bertahan hidup.

Memang, kejadian yang terjadi di kawasan selatan Bumi Blambangan ini, ibarat makan buah simalakama. Akankah kita mementingkan kondisi alam serta hutan, yang berdampak pada kelangsungan hidup dan pelestarian planet bumi rumah kita ini? Atau akankah kita lebih mementingkan nasib belasan ribu warga serta keluarganya, yang butuh makan dari hasil tambang emas tradisional?

Yang jelas, persoalan lingkungan dan masalah sosial itu harus segera dicari solusinya. Jangan sampai kedua masalah itu semakin berlarut-larut tanpa ada solusi. Karena semua ini sudah selayaknya menjadi tanggung jawab kolektif semua komponen di Banyuwangi. Kalangan eksekutif, legislatif, akademisi, aparat penegak hukum serta semua masyarakat, sebaiknya sudah harus memikirkan solusinya mulai sekarang. (*)

Penghematan yang Tepat Sasaran

Sejumlah mobil dinas (mobdin) milik Pemkab Banyuwangi dibiarkan tidak terpakai di Pendapa Shaba Swagata Blambangan.

Pemandangan yang terjadi di pendapa itu, kontras dengan pemandangan di kantor DPRD. Selama ini, para wakil rakyat kesulitan mendapatkan mobil operasional untuk kelancaran kegiatan.

Bahkan beberapa waktu lalu, para wakil rakyat harus menggunakan sepeda motor untuk kegiatan kunjungan kerja mereka. Itu terjadi setelah mobil operasional untuk Komisi-Komisi DPRD jenis Mitsubishi L300 ditarik oleh eksekutif tanpa ada alasan yang jelas.

Pemkab menyatakan bahwa, kendaraan yang ada di Pendapa tersebut tidak mangkrak. Kondisinya masih bisa digunakan untuk kegiatan pemerintahan. Sejumlah kendaraan dinas itu merupakan kendaraan operasional di beberapa dinas. Untuk sementara waktu, Pemkab membatasi kendaraan dinas yang ada.

Pembatasan mobdin tersebut terkait penghematan bahan bakar minyak (BBM). Agar penggunaan bahan bakar tidak boros, maka sejumlah kendaraan di dinas ditarik ke Pemkab.

Untuk sementara waktu, dinas dibatasi dua kendaraan dinas. Yang satu untuk kendaraan operasional kepada dinas, sedangkan yang satunya untuk operasional dinas sehari-hari.

Program hemat BBM ini memang layak didukung semua pihak. Tidak ada yang salah dalam program tersebut. Karena menghemat pengeluaran uang rakyat, merupakan tindakan yang mulia. Terlebih, jika hasil penghematan itu nantinya digunakan untuk keperluan yang langsung menyentuh kepentingan rakyat. Misalnya, untuk pembangunan atau perbaikan jalan rusak di pedesaan.

Tetapi, apakah faktanya sudah demikian? Ternyata, masih banyak jalan di Bumi Blambangan ini yang masih rusak parah. Lihat saja aksi warga Desa Sembulung, Kecamatan Cluring. Mereka nekat memblokade jalan, karena sudah lebih 15 tahun terakhir ini, pemerintah membiarkan jalan di desa itu rusak parah. Belum lagi beberapa daerah lainnya yang mengalami nasib yang sama.

Di sisi lain, DPRD juga mengaku mengalami kesulitan karena ditariknya beberapa mobil operasional komisi. Bahkan, para wakil rakyat terpaksa ramai-ramai naik sepeda motor pribadi untuk melakukan inspeksi mendadak.

Melihat kejadian ini, dampak positif penghematan BBM itu memang belum dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, program mulia penghematan itu, ternyata cukup mengganggu kinerja wakil rakyat.

Dengan begitu, sudah selayaknya kita semua mengkaji kembali kebijakan tersebut. Rakyat memang harus mendukung inisiatif pemkab dalam melakukan gerakan dan program hemat BBM mobdin. Tetapi ingat, jangan sampai penghematan itu mengganggu kinerja dan layanan untuk publik. Yang lebih penting, hasil penghematan BBM itu harus bisa dirasakan dan menyentuh kepentingan seluruh masyarakat. (*)