Senin, 20 Oktober 2008

Helm untuk Balita

Belasan sepeda motor terjaring razia di Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi Jumat (30/5) kemarin. Seluruh pengendara motor tersebut adalah kalangan pelajar. Ada yang masih sekolah di SMP, ada juga yang berstatus pelajar SMA.
Mereka umumnya melakukan pelanggaran lalu lintas. Ada yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi. Ada juga yang tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor (STNK). Yang paling penting, sebagian besar pelajar itu berkendara tanpa menggunakan helm pengaman.
Memang, razia itu endingnya cukup melegakan bagi siswa. Sebanyak 13 sepeda motor itu akhirnya dilepas lagi. Ini setelah para orang tua (ortu) pelajar yang melanggar lalu lintas itu dipanggil ke mapolsek.
Upaya polisi ini layak diacungi jempol. Aparat mencoba menerapkan budaya malu, agar para pelajar itu tidak lagi mengulangi bertingkah ugal-ugalan di jalan raya. Ini hanya sebagian kecil yang perlu ditata dalam ‘kehidupan’ di jalan raya.
Polisi merasa memanggil ortu para pelajar itu. Diharapkan, ortu bisa nuturi anaknya untuk lebih menyayangi dirinya sendiri. Mereka perlu menjelaskan, betapa pentingnya menjaga keselamatan di jalan raya. Kalau ugal-ugalan di jalan, itu sama artinya membahayakan keselamatan diri dan orang lain.
Namun kenyataan yang terjadi di negeri ini, ortu selalu kesulitan meyakinkan remaja serta pelajar agar selalu menggunakan helm pengaman saat berkendara. Entah apanya yang salah. Yang jelas, remaja kita saat ini umumnya ‘ogah’ memakai helm.
Namun kita tidak bisa seratus persen menyalahkan kalangan pelajar dan remaja. Ortu sebaiknya juga perlu mawas diri dan koreksi. Sudahkah kita memberi contoh yang baik dan benar? Sudahkah kita menjadi orang tua yang tidak egois?
Lihat saja pemandangan di jalan raya. Lazim kita temui suami, istri dan anak mengendarai sepeda motor. Suami memakai helm standar. Demikian juga dengan sang istri. Mereka sudah sadar dengan pentingnya keselamatan dirinya masing-masing. Namun, tidak jarang si anak yang masih kecil justru tidak memakai helm. Demikian juga dengan bayi dan balita yang sepeda motor bersama orang tuanya. Mereka jarang sekali memakai helm. Padahal, balita dan anak-anak lebih terancam keselamatannya saat benturan kepala ketika terjadi kecelakaan. Kalau tidak mau dikatakan sebagai ortu egois, belikan helm untuk anak balita Anda.*

Mengail Tunai di Air Keruh

KABAR dugaan adanya praktik pungutan terhadap para penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) semakin merebak. Modus-modus pemotongan BLT juga kian bervariasi. Wilayah terjadinya pungutan bantuan kompensasi kenaikan harga BBM itu juga semakin meluas.
Nama beberapa daerah di Banyuwangi mulai disebut-sebut terjadi riak-riak distribusi. Mulai Desa Bayu di Kecamatan Songgon) dan Desa Wonosobo di Kecamatan Srono. Masih ada beberapa desa yang juga terjadi pernik-pernik pembagian BLT.
Bukan mustahil, pemotongan BLT menimpa banyak ratusan atau bahkan ribuan gakin. Tetapi hingga kini, belum ada gakin yang bersuara lantang memprotes pemotongan tersebut. Kalaupun ada yang lapor, semata karena ada lembaga atau aktivis pendamping yang memandu mereka.
Fenomena ini menunjukkan gambaran umum watak, sikap dan kondisi para gakin. Mereka tidak hanya kaum yang lemah. Rupanya, para gakin itu juga termasuk kaum yang pasrah. Mendapat uang tunai seolah rezeki jatuh dari langit, mereka pasrah. Bantuannya dipotong, mereka juga pasrah.
Rupanya, para perangkat terdekat sangat paham dengan karakter para gakin. Yang paling paham tentang mereka, tentu saja adalah ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Selain itu, para perangkat pemerintah desa juga mengenal watak dan sikap para gakin tersebut.
Pencairan BLT itu cukup membuat hati dan perasaan para gakin menjadi jernih. Tanpa harus bekerja keras, mereka bisa dapat kocek lumayan. Sekali lagi, uang Rp 300 ribu seolah jatuh dari langit.
Namun kejernihan hati para gakin itu, bisa saja mendadak dikeruhkan dengan adanya potongan alias pungutan liar. Dengan berbagai dalih, oknum perangkat setempat bisa dengan leluasa memungut kucuran BLT yang baru saja diterima gakin. Yang paling manjur, tentu saja dengan alasan pemerataan. Banyak warga lain yang miskin tetapi tidak kebagian BLT.
Karena merasa uang itu jatuh dari langit, si Gakin akhirnya menurut saja ketika dimintai jatah pungutan. Apalagi, alasan pungutan tersebut untuk dibagikan pada gakin lain yang tidak kebagian BLT.
Dalam kondisi seperti ini, gakin berada dalam posisi tidak berdaya. Kalau menolak pungutan tersebut, mungkin mereka takut kualat dengan gakin lainnya yang tak kebagian duit dari langit itu. Kalau mau membayar pungutan itu, berarti mereka mengiyakan tindakan yang melanggar ketentuan. Maka, keruhkan hati dan pikiran mereka menghadapi problem ini. Dan situasi yang keruh ini sudah dipahami betul oleh perangkat setempat.
Sudah selayaknya, para perangkat tidak lagi mengail uang tunai di situasi hati gakin yang sedang keruh itu. Berikanlah BLT langsung kepada sesama kita yang benar-benar layak dan memerlukannya secara adil dan beradab. Dan tentu saja, bukan untuk dikorupsi secara pongah, licik dan keji.(*)

Beda Tempat, Beda Nasib

Pemkab Banyuwangi masih punya satu ‘urusan’ dengan PT Asuransi Jiwa Bakrie (AJB). Pemkab pernah ‘memarkir’ dana APBD sebesar Rp 6,3 miliar pada tahun 2004 dan 2005. Uang sebanyak itu digunakan untuk membayar premi asuransi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pemkab.
Pada perkembangan selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Banyuwangi. Intinya, pemkab diminta segera menarik dana APBD tersebut dari perusahaan asuransi tersebut.
BPK ingin dana APBD sebesar Rp 6,3 miliar itu harus kembali 100 persen ke kas daerah. Terjadilah negosiasi pemkab dengan PT AJB. Pemkab pun memberi deadline, dana tersebut sudah harus dikembalikan akhir 2007.
Namun hingga batas waktu yang ditetapkan terlewati, uang milik rakyat itu belum juga kembali. PT AJB hanya mau mengembalikan dana premi asuransi tersebut senilai Rp 5,1 miliar (bukan Rp 6,3 miliar seperti tercatat di APBD).
Alasannya, perusahaan itu meneken kontrak dengan pemkab senilai Rp 5,1 miliar. Itupun, dana sesuai kontrak tersebut masih harus dikurangi Rp 129 juta. Karena sebelumnya, perusahaan itu telanjur mencairkan klaim premi asuransi 100 PNS pemkab. Itu pun, mereka baru sanggup mengembalikan dana tersebut pada akhir tahun 2011.
Lalu, ke mana sisa uangnya? Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus bertanggung jawab? Hingga kini, semuanya belum terjawab jelas dan gamblang.
Sementara itu, kasus serupa juga pernah terjadi di kabupaten tetangga. Pemkab Situbondo juga pernah menganggarkan asuransi untuk PNS. Karena seluruh PNS telah dilindungi askes oleh pemerintah pusat. Ketika mereka diasuransikan lagi melalui APBD, berarti terjadi double anggaran. Negara pun dirugikan.
Meledaklah kasus asuransigate di Situbondo. Kasus tersebut menyeret beberapa mantan pejabat penting pemkab ke ranah hukum. Ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, ada juga pejabat penting yang masuk penjara dalam kasus tersebut.
Situasi yang terjadi di dua daerah itu memang hampir sama. Sama-sama menggunakan dana APBD untuk asuransi PNS. Bedanya, ditemukan kerugian negara pada kasus asuransigate di Situbondo. Ini karena aparat penegak hukum bertindak cepat merespons reaksi masyarakat yang getol menyoal persoalan itu.
Sedangkan di Banyuwangi, situasinya sangat kontras dengan Situbondo. Ini karena di Banyuwangi belum diketahui, apakah ada kerugian negara atau tidak. Selain itu, rakyatnya ‘belum’ terlalu kritis menyikapi persoalan itu. Kalau rakyatnya adem ayem, apakah aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan) juga ikut adem ayem menyikapi persoalan ini. Ayo, siapa yang berani lebih dulu menjemput bola? *

Kondom, Pengamen dan Keperawanan

Isi berita Radar Banyuwangi edisi 28 Februari 2008 cukup membuat miris. Ada seorang siswi berumur 17 tahun di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi yang nekat menjual keperawanannya.
Masih di halaman yang sama, ada juga berita razia siswa yang mebolos di Kota Gandrung. Empat pelajar SMA digaruk karena nongkrong di tempat umum pada jam sekolah. Yang mengejutkan, saat digeladah, seorang siswa tersebut kedapatan membawa kondom. Alat kontrasepsi pencegah kehamilan itu ditemukan di dompet pelajar itu.
Berita lainnya adalah enam pengamen terjaring di lampu merah perempatan Karangente Banyuwangi. Semua penyanyi jalanan masih berusia muda itu harus menjalani sidang tindak pidana ringan (tipiring) di pengadilan.
Inikah potret buram generasi muda kita? Yang perempuan menjual keperawanan demi rupiah. Yang laki-laki membawa alat kontrasepsi agar bebas mengumbar nafsu syahwat. Yang tidak sekolah, memilih hidup meminta-minta sambil menyanyi (mengamen) di jalanan.
Kenyataan itu memang jadi catatan buruk bagi generasi muda Bumi Blambangan. Fakta tersebut memang tidak dapat dipungkiri. Sisi negatif itu memang ada di lingkungan sekitar kita. Karenanya, kita patut berharap agar sisi negatif itu tidak semakin berkembang mendominasi isi otak generasi muda Indonesia.
Harus diakui, pesan moral yang disampaikan Konsulat Jenderal (Konjen) Shoji Sato kepada kalangan pelajar SMA di Kecamatan Genteng selasa (26/2) lalu itu terbilang cukup jitu. Digambarkan jelas bahwa Jepang dulunya porak poranda setelah kena bom atom tahun 1945. Semua segi kehidupan hancur, lebih parah dari kondisi bangsa kita saat ini.
Yang layak dicontoh, Jepang bisa bangkit lagi dan bahkan mampu tampil sebagai negara maju. Padahal, sumber daya alam yang mereka miliki jauh lebih terbatas dibandingkan melimpahnya kekayaan alam Indonesia.
Semua itu ternyata kuncinya adalah berhasilnya menciptakan generasi muda yang berkualitas secara fisik dan mental. Siswa sebagai generasi anak bangsa, berani dan mampu melawan masuknya budaya asing yang merusak. Jepang sukses membangun bangsa, karena siswanya sangat giat belajar.
Karenanya, membangun pelajar dan generasi muda sudah menjadi harga mati bagi bangsa ini. Tidak perlu ditunda lagi, harus dimulai dari sekarang. Sudah selayaknya masalah ini menjadi tanggung jawab kita bersama. (*)

Kontrol Sosial Peredam Kejahatan

Tindak kejahatan sudah tidak pandang bulu di sekitar kita. Aksi perampokan berlangsung pukul 11.00 siang hari sudah merambah Situbondo. Seperti yang dialami Syarif Habib, siswa SMA Negeri di Kota Santri dua hari lalu.
Remaja 16 tahun itu tak berdaya, setelah perutnya ditusuk sangkur oleh pelaku. Sepeda motor Honda Mega Pro nopol P 5778 EK milik Syarif diembat berikut STNK-nya. Ponsel HP Nokia 6600, helm, bahkan tas sekolah dan buku pelajaran juga diembatnya. Kejadian itu berlangsung di tempat ramai.
Memang, ulah pelaku ini memang keterlaluan. Korbannya pelajar, masih berseragam pula. Yang disikat pun termasuk buku dan tas sekolah korban. Barangkali, si perampok itu juga butuh sekolah lagi.
Terlepas dari semua kesadisan dan nekatnya pelaku, kejadian itu bukan semata kesalahan pelaku. Karena berdasarkan teori kriminologi, tindak kejahatan itu terjadi bukan karena niat si pelaku. Bang Napi juga berpesan, bahwa kejahatan itu bisa juga terjadi karena ada kesempatan.
Berbicara masalah peluang ini, kejadian perampokan tidak mungkin terjadi kalau korban tidak membawa sepeda motor kinyis-kinyis. Motor sport itu mungkin sangat menggoda hati pelaku untuk memilikinya. Demikian juga ponsel Nokia 6600 yang dibawa korban. Seandainya korban naik sepeda pancal atau skuter butut, sepertinya tidak mungkin pelaku merampasnya.
Namun, sangat tidak bijak kalau problem itu diakhiri dengan saling menyalahkan. Pelaku jelas salah, bertindak nekat terbujuk rayuan setan. Korban juga harus mawas diri, dengan tidak membuka kesempatan terjadinya tindak kejahatan. Dan yang paling penting, masyarakat tidak bisa melepas perannya begitu saja. Kontrol sosial sangat diperlukan dalam meredam semua gejolak di masyarakat.
Kepedulian terhadap lingkungan sekitar harus ditingkatkan. Ketika ada kejadian, masyarakat bisa langsung sigap merespons. Kalau sudah tercipta lingkungan dengan kontrol sosial yang kuat, penjahat akan berpikir tujuh kali sebelum beraksi di daerah itu.(*)

Minggu, 19 Oktober 2008

Kemerdekaan Ala Anak Punk

Untuk kali kedua, polisi merazia komunitas Anak Punk di Bumi Blambangan. Pada periode pertama bulan lalu, Polres Banyuwangi menggaruk puluhan Pungkers yang biasa mangkal di lampu merah perempatan Lateng. Mereka diinapkan di Mapolres, besoknya langsung digiring ke Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.
Mereka dikenakan pasal tindak pidana ringan dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Akhirnya, kumpulan anak muda berdandan nyeleneh itu harus pulang ke daerah masing-masing. Jika mereka kembali lagi ke Kota Gandrung, mereka akan kembali berhadapan dengan aparat keamanan.
Rupanya, pelajaran bulan lalu itu tidak berlaku bagi komunitas Pungkers. Polisi telah menutup pintu bagi mereka untuk masuk Bumi Blambangan. Namun ternyata, semua itu tidak membuat anak Punk kapok. Mereka malah kembali berdatangan di Banyuwangi.
Kali ini, kedatangan mereka bertepatan dengan bulan Agustus. Bulan di mana bangsa ini sedang gegap gempita merayakan hari kemerdekaan, puluhan anak Punk dari berbagai daerah di Indonesia kumpul di Kecamatan Genteng. Mungkin, mereka akan menggelar acara musik di kota kecamatan tersebut. Bukan mustahil, acara yang akan mereka gelar itu masih terkait dengan peringatan kemerdekaan republik tercinta ini. Tentu saja, peringatan tersebut dilakukan dengan cara dan gaya khas anak Punk.
Polisi langsung bertindak cepat dengan menggelar razia. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara polisi dengan puluhan remaja berpakaian nyleneh yang berusaha kabur. Berkat kesigapan petugas, sebanyak 45 anak Punk berhasil dijaring. Mereka dinaikkan ke atas bak truk dan mobil pikap yang sudah disiapkan polisi, lalu dibawa ke Mapolsek Genteng.
Setelah didata, ternyata mereka berasal dari Medan, Jakarta, Tegal, Mojokerto, Malang, Jember, Bali, Lumajang, dan Banyuwangi. Sebanyak enam anak Punk berjenis kelamin perempuan. Setelah didata, mereka diberi pembinaan agar berkeliaran di sembarang tempat dan meresahkan masyarakat.
Berkaca dari hal tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Yang pertama, Banyuwangi ternyata jadi jujugan penggemar aliran musik Punk se Indonesia. Sudah dua kali, Kota Gandrung ‘diserbu’ komunitas punk. Mereka tidak kapok dengan pendekatan aparat di Bumi Blambangan ini.
Yang kedua, meski penampilan nyeleneh, ternyata jalinan komunikasi anak Punk cukup kuat. Mereka bisa kompak datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Mereka ternyata juga terus menggali info agenda acara musik Punk lewat SMS ponsel dan bahkan via e-mail! Ini menunjukkan kalau anak Punk tak gagap teknologi. Sebagian dari mereka juga berduit.
Sudah selayaknya, kita warga Banyuwangi mengubah pendekatan kekerasan terhadap anak Punk. Mereka adalah aset berharga. Mengapa tidak kita legalkan saja pertunjukan musik Punk semacam itu, tentu saja dengan seleksi dan aturan super ketat. Kalau datang, mereka harus bertindak layaknya turis yang mau nonton pertunjukkan musik. Biar saja penampilan morat-marit, asalakan mereka harus menginap di hotel, harus bertiket, harus berduit dan sebagainya. Dengan begitu, mereka bisa bahagia dan rakyat Banyuwangi bisa lebih sejahtera. (*)

Hulu Miras Tak Terkuras

PERINGATAN Hari Antinarkoba Internasional diperingati di seluruh kota. Hampir setiap kabupaten melakukan aksi nyata. Banyuwangi menggilas ribuan botol miras dan membakar bermacam jenis narkoba.
Bupati dan para pejabat secara simbolis ikut memusnahkan barang haram itu. Pemusnahan dilakukan di tempat umum, tepi lapangan Taman Blambangan. Masyarakat ikut menyaksikan pemusnahan benda terlarang tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten, kepolisian dan semua unsur aparat di Bumi Blambangan serius memerangi miras dan narkoba.
Kegiatan pemusnahan miras dan narkoba itu pun seolah jadi tradisi tahunan. Hampir setiap tahun, selalu ada saja ribuan botol miras dimusnahkan. Setiap tahun digilas, tak kunjung tuntas. Di pasaran, minuman beralkohol itu ad libitum (selalu tersedia, tak pernah habis).
Rupanya, rantai distribusi miras itu masih terus terjalin rapi. Industri miras masih tetap beroperasi dan memroduksi ribuan atau bahkan jutaan botol miras setiap tahun. Bukan mustahil, industri tersebut mungkin juga telah memberi kontribusi (pajak) yang tidak sedikit.
Memang, yang sering muncul di publik adalah informasi tentang pemusnahan miras. Tetapi jarang sekali ada berita tentang industri miras ditutup oleh pemerintah. Tanpa pemusnahan pabrik miras, aksi pemusnahan miras di daerah-daerah setiap tahun akan terkesan sia-sia. Kalau mau tuntas, sudah selayaknya kita menyumbat miras dari hulunya, bukan mengais miras di hilir yang terus mengalir. *

Swadaya Yes, Mengemis No!

SALUT untuk perjuangan warga Dusun Lidah, Desa Gambiran, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Ketika mereka sangat membutuhkan jembatan, warga tidak merengek kepada pemerintah untuk mendapat kucuran Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).
Dengan kesadaran sendiri, warga Lidah membangun sendiri jembatan di kampungnya mulai kemarin. Padahal, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Jembatan yang menghubungkan kampung Lidah Timur dan kampung Lidah Barat itu setidaknya butuh dana Rp 270 juta.
Seandainya seluruh warga Indonesia punya semangat kemandirian seperti warga Dusun Lidah, pasti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan ditolak ramai-ramai oleh seluruh komponen masyarakat.
Memang, sejauh ini di Banyuwangi sudah kencang suara penolakan program BLT. Namun, esensi dari penolakan itu bukan mendasar pada penolakan duitnya. Yang getol menolak, utamanya adalah para perangkat desa.
Mereka menolak karena takut berbenturan dengan masyarakat. Sebab, data yang jadi acuan oleh pemerintah dalam menyalurkan BLT dinilai sudah kadaluarsa. Banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. dari pada berpotensi bentrok dan dikejar-kejar keluarga miskin yang tak kebagian BLT, lebih baik perangkat desa menolak. Alasan itu memang cukup manusiawi.
Tetapi pada dasarnya, mereka tetap mau menerima uang tunai dari pemerintah sebagai kompensasi dicabutnya subsidi bahan bakar minyak. Substansinya, masyarakat masih menikmati kucuran duit segar itu sambil menengadahkan tangan ke atas.
Bantuan tunai itu memang menyegarkan. Tetapi kalau kita gunakan ‘semangat kemandirian’ seperti yang dilakukan warga Dusun Lidah dalam membangun jembatan, bantuan tunai itu tak ada artinya. Kita tak bisa menepuk dada, karena menerima uang hasil welas kasih pemerintah.
Lebih bangga jika bisa membangun jembatan bambu dari hasil keringat sendiri. Lebih bangga jika bisa mendapat uang receh dari hasil jualan koran di lampu merah. Malu, kalau dapat uang receh dari hasil mengemis di lampu merah. Ingin pintar dan dapat segudang info dari koran serta membantu perekonomian loper, atau ingin meninabobokan pengemis, silakan direnungi dan diputuskan kalau berhentu di lampu merah. (*)

Riak, Gelombang, Lalu Tsunami

Riak kecil mulai menerpa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banyuwangi. Seorang nara pidana (napi) terlibat baku hantam dengan sesama napi di blok F 9 senin (24/3) dini hari lalu.
Beruntung, petugas lapas (sipir) bertindak sigap dan mengamankan dua napi tersebut.
Masalah perkelahian memang kelihatan sepele. Namun, jika yang terlibat perkelahian itu adalah napi, dampaknya bisa luar biasa. Setiap kericuhan di dalam penjara, bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan. Karena banyak pihak yang berkepentingan ketika timbulnya kerusuhan di dalam lapas. Kalau ada peluang, tentu saja penghuni penjara bisa nekat melakukan apa saja agar bisa kabur.
Kalau perkelahian itu adalah riak, kerusuhan dalam penjara bisa disebut gelombang. Nah, kalau seandainya situasi tak terkendali, lalau para penghuni penjara yang jumlahnya ratusan orang itu kabur, ini yang bisa disebut Tsunami.
Musibah seperti ini pernah terjadi di sebuah lapas di Kalimantan dan sebuah Nusa Tenggara Barat beberapa tahun lalu. Ratusan napi yang kabur itu membuat situasi mencekam. Warga pun menjadi ketakutan. Padahal, apa saja yang bisa menimbulkan rasa takut di masyarakat bisa diartikan sebagai tindak terorisme.
Terlepas dari semua ‘bayang-bayang’ ketakutan itu, sudah selayaknya kita semua ikut mencegah berkembangnya riak perkelahian antarnapi. Kita wajib mencegah terjadinya gelombang besar kerusuhan dalam penjara, apalagi sampai terjadinya Tsunami berupa teror ketakutan di masyarakat. Salah satunya caranya, mungkin dengan memanusiakan para penghuni lapas.
Tetapi lihat saja, bagaimana kondisi ‘hidup’ mereka di dalam Lapas saat ini? Kapasistas ideal Lapas Banyuwangi sejatinya hanya cukup untuk menampung 260 orang. Namun saat ini, tempat tersebut sudah dihuni 852 orang (data Januari 2008).
Mumpung belum terjadi gelombang besar kerusuhan serta Tsunami ketakutan warga, sudah sepatutnya kita semua memikirkan solusinya. Alternatifnya, bisa saja para napi dilayar (dipindah) ke lapas lain. Atau solusi lainnya membangun lapas baru yang lebih representatif. Tak ada ruginya membangun lapas baru, toh lembaga itu berfungsi membina warga masyarakat yang khilaf. (*)

Memahami Karakter Selat Bali

MAHKAMAH Pelayaran (Mahpel) menorehkan sejarah di Bumi Blambangan. Untuk kali pertama, Mahpel menggelar sidang di Banyuwangi.
Mereka menyidangkan kasus tabrakan kapal yang terjadi di Selat Bali tanggal 10 Maret 2008 lalu. Tugboat Delta Ayu-5 menarik tongkang Bosowa-12 melintas di dekat Pelabuhan Tanjung Wangi. Rangkaian tongkang tersebut menabrak tanker MT Mundu milik Pertamina yang sedang lego jangkar.
Akibat tabrakan itu, tongkang Bosowa-12 nyaris tenggelam. Setelah bekerja keras untuk menepi, tongkang bermuatan semen itu akhirnya dikandaskan tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Wangi.
Kasus ini akhirnya ditangani Mahpel. Untuk memudahkan menghadirkan para saksi, Mahpel yang berkantor di Jakarta mengalah dengan menggelar sidang di dekat lokasi kejadian. Akhirnya, ruang tunggu penumpang pelabuhan Tanjung Wangi akhirnya disulap jadi arena sidang profesi pelayaran.
Setelah mengikuti sidang profesi itu, ada hal yang patut dicermati. Mahpel mengambil kesimpulan sementara, tabrakan tersebut akibat faktor human error. Nakhoda tugboat dianggap tidak punya kecakapan karena menabrak tanker yang sedang lego jangkar.Nakhoda tugboat itu juga dianggap tidak menguasai kondisi Selat Bali.
Kalau kita melihat lagi ke belakang, tabrakan kapal itu terjadi karena arus Selat Bali sedang keras-kerasnya. Memang, nama Selat Bali sudah kondang di kalangan pelaut. Selat tersebut dikenal dengan karakter arusnya yang khas. Selain arus keras, arahnya dan polanya juga dikenal cukup unik. Ada arus atas dan ada juga arus bawah laut yang konon luar biasa kecepatannya.
Selama ini, sudah ada beberapa kali kejadian kapal tenggelam di Selat Bali dan sekitarnya. Musibah pernah menimpa kapal feri, kapal jenis landing craft machine hingga tugboat penarik tongkang batu bara saat melintas di perairan ini. Selama ini pula, kabar kejadian kapal tenggelam tidak pernah punya ending yang melegakan. Semua berita tentang kapal tenggelam di Selat Bali selalu berakhir dengan misteri. Selalu tersisa satu pertanyaan besar, di mana bangkai kapal-kapal yang tenggelam itu?
Rasanya, belum pernah ada bangkai kapal tenggelam yang berhasil diangkat dari Selat Bali. Apakah ini karena arus bawah yang kuat, sehingga menyeret bangkai kapal itu entah ke mana. Ataukah, bangkai kapal itu tak kuat ditarik dengan alasan biaya yang luar biasa mahalnya. Ya, ini mungkin satu lagi karakter Selat Bali yang khas. Selat Bali, selat di mana kapal tenggelam tak pernah kembali.(*)

Tunjangan BK (Boker & Kesenjangan)

BERBAHAGIALAH menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Banyuwangi. Terutama PNS yang bukan termasuk kelompok fungsional.
Mereka yang punya jabatan struktural, mulai Sekretaris Kabupaten (Sekkab), hingga pejabat setingkat Sekretaris Kelurahan (Seklur) akan mendapat tunjangan Beban Kerja (BK). Bahkan, staf yang tidak punya jabatan juga mendapat berkah manisnya tunjangan BK ini.
Yang lebih manis, tunjangan BK ini cair menjelang lebaran. Lebih nyimut lagi, tunjangan itu dirapel sekaligus selama sembilan bulan. Terhitung sejak Januari 2008 hingga September 2008. Ya, meski PNS tak dapat Tunjangan Hari Raya (THR), mereka justru mendapatkan picis lebih.
Bayangkan, Sekkab saja dapat rapelan Rp 9 juta. Kadis dapat rapelan Rp 7,65 juta, Camat dapat rapelan Rp 6,75 juta, Kasubag dapat rapelan Rp 5,4 juta. Rapelan untuk Kepala Kelurahan Rp 3,6 juta, Seklur dapat rapelan Rp 3 juta. Sedangkan staf golongan II, III dan IV akan menerima rapelan 1,8 juta. PNS golongan satu akan menerima rapelan Rp 1,35 juta.
Bandingkan dengan THR pegawai swasta. Dengan nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang tak lebih dari Rp 700 ribu perbulan, berarti rata-rata pekerja di Banyuwangi dapat THR kurang lebih Rp 700 ribu.
Tapi itu tak seberapa jika membandingkan dengan nasib tenaga Borong Kerja (BK) dan honorer. Tahun ini, pemkab tidak memberikan THR untuk tenaga borong kerja (BK). Meski namanya tunjangan BK (Beban Kerja), bukan berarti itu kabar baik bagi kalangan tenaga BK (Borong Kerja). Ini malah menciptakan BK (Beban Kesenjangan) baru. Apalagi untuk wilayah Jawa Timur, sepertinya tunjangan BK itu hanya ditemui di Banyuwangi. Kita harapkan, tunjangan BK ini tak menjadi Biang Kerok (BK) yang jadi pemicu keruwetan politik di Bumi Blambangan. (*)

Gerandong, Sebuah Benang Kusut

SATU lagi nyawa melayang sia-sia di jalan raya. Korbannya kali ini adalah Suryanto, 60, warga Dusun Sidomulyo, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Dia tewas dengan luka yang cukup parah saat dilarikan ke UGD Puskesmas Sumberberas. Motor Yamaha Alfa bernopol DK 4790 GD yang dinaikinya juga hancur.
Kecelakaan itu terjadi di jalan raya Dusun Tegalpare, Desa Wringin Putih, Muncar Rabu lalu (23/4). Sebuah kendaraan modifikasi bermesin diesel yang populer disebut gerandong, tiba-tiba menyeruduk motor Yamaha Alfa yang dinaiki korban.
Terlepas ada bermacam versi cerita yang mengakibatkan kecelakaan maut itu, yang jelas musibah itu terjadi di jalan raya. Padahal, setiap kendaraan bermotor yang melintasi jalan raya, harus selalu kendaraan yang lolos uji kelayakan (kir).
Dalam kasus ini, gerandong jelas tidak didukung dengan dokumen kelayakan kendaraan di jalan raya. Namanya saja kendaraan rakitan, jelas tidak pernah dan tidak punya mengikuti uji kelayakan jalan (kir) resmi.
Ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan gerandong, para korban kecelakaan sudah merasakan ketidakadilan. Terlepas siapa yang lalai, kalau kecelakaan terjadi di jalan raya, gerandong tetap tidak punya perlindungan hukum. Ini karena kendaraan rakitan itu tidak punya sertifikat uji kelayakan jalan. Selain itu, kendaraan roda empat rakitan itu juga tidak membayar pajak. Padahal, setiap pembayar pajak kendaraan selalu diikuti dengan asuransi jasa raharja.
Dari segi hukum negara, gerandong memang tidak punya kekuatan dan hak untuk berjalan di jalan raya. Keberadaanya di jalan raya jelas melanggar undang-undang lalu lintas. Namun faktanya, aparat yang berwenang di Banyuwangi tidak punya nyali untuk menertibkannya.
Sebab hingga kini, masih banyak gerandong yang beroperasi di jalan raya. Mungkin jumlahnya masih ribuan unit di segala penjuru Bumi Blambangan. Yang terakhir, sampai ada kejadian kecelakaan yang menewaskan Suryanto di Desa Sumberberas, Muncar itu.
Problem gerandong memang sangat pelik. Rumit, mbulet seperti lingkaran setan. Tidak pernah ada tindakan tegas dari aparat. Itu terjadi dengan bermacam alasan. Kalau sudah kepepet, selalu ada jurus jitu dengan mengeluarkan alasan klasik. Yang paling gampang adalah cuci tangan dan berdalih, maaf, saya belum tahu masalah ini. Maaf, saya pejabat baru di sini. Begitu seterusnya.
Seperti yang sudah-sudah, setelah diambangkan beberapa lama, gejolak masalah gerandong biasanya surut dengan sendirinya. Lama-lama problem gerandong pun hilang seperti ditelan bumi.
Sementara itu dari sisi produsen (perakit) gerandong, ada juga ketidakadilan. Para pemakai kendaraan rakitan itu juga merasakan hal yang sama. Alasannya, gerandong adalah karya anak negeri. Gerandong juga inovasi untuk menyiasati kerasnya himpitan ekonomi. Gerandong adalah karya brillian dan jalan keluar efisiensi.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa gerandong yang hemat dan bisa jadi sarana transportasi alternatif yang murah itu tidak dioptimalkan? Kalau memang perlu kelengkapan kelayakan jalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk diuji kelayakannya sekalian? Kalau hasilnya layak, kenapa tidak? Kalau itu memang karya anak negeri, kenapa tidak dipatenkan sekalian? Begitu seterusnya. Kalau memang hasil uji dinyatakan laik jalan, perlu juga dirancang sistem pembayaran pajak kendaraan tersebut.
Tetapi selama ini, sudahkan aparat kita tegas bertindak. Sudahkah pemerintah memberi kesempatan gerandong untuk diuji kelayakan jalan. Sudahkan wakil rakyat kita membuat peraturan untuk mengatur masalah ini?
Kita tidak berhak menjawab sederet pertanyaan sulit itu. Yang mampu menjawabnya adalah mereka-mereka yang berwenang. Masa depan semua persoalan ini berada di tangan mereka. Yang jelas semua komponen masyakat tetap berharap, agar problem ini tidak selalu dibiarkan berlarut-larut. Semoga.(*)

Pilih Favorit atau Bermutu?

HASIL Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UAS-BN) tingkat sekolah dasar tahun ini sangat berarti bagi perkembangan pendidikan di Bumi Blambangan. Nilai tertinggi UAS BN ternyata didominasi siswa sekolah ‘ndeso’.
Lima besar nilai tertinggi UAS BN diraih siswa sekolah di kecamatan yang jauh dari ibukota kabupetan. Ada Frizal dari SDN 1 Jajag, Kecamatan Gambiran dengan nilai 29,30. Berikutnya ada Alwi Sina dari SDN 1 Tegalsari, Kecamatan Tegalsari dengan nilai 29,25. Peringkat tiga diraih Aji Sapta, siswa SDN 1 Cluring Kecamatan Cluring dengan nilai 29,10. Peringkat empat dan lima diraih siswa SDN 1 Temuasri, Kecamatan Sempu.
Hasil UAS BN tersebut menunjukkan bahwa sekolah di daerah ternyata bisa menghasilkan siswa berprestasi. Faktanya memang demikian. Meski begitu, sekolah yang mampu menghasilkan output bermutu, belum tentu otomatis langsung jadi sekolah favorit di mata masyarakat.
Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dinas pendidikan saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Pada perkembangan selanjutnya, muncul adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.
Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang disebut sekolah bermutu. Nah, sekarang kembali pada kita semua, pilih yang bermutu atau pilih bermerk favorit. (*)

Mimpi Menikmati Manisnya Duit Investor

Ada gula ada semut. Ada investor Pabrik Gula Terpadu (PGT), semut rakyat Banyuwangi pasti bergembira. Investor memang membawa duit yang rasanya manis. Manisnya duit investor itu, mungkin jauh lebih manis dari gula tebu.
Bayangkan kalau nanti PGT itu sudah berdiri di Bumi Blambangan ini. Pabrik gula canggih berteknologi tinggi itu, pasti akan sangat diperhitungkan industri gula nasional. PGT akan jadi pabrik terbesar di Pulau Jawa.
Dengan teknologi terkini, pabrik itu diperkirakan ‘hanya’ akan menampung 300 hingga 400 karyawan pabrik. Ini akan mengurangi sedikit jumlah pengangguran di Banyuwangi.
Tetapi, efek domino yang dihasilkan akan luar biasa. Belasan ribu warga Banyuwangi akan ikut merasakan denyut kehidupan yang dipompa pabrik tersebut. Akan ada banyak orang yang terlibat kegiatan ekonomi dari aktivitas industri tersebut.
Ratusan karyawan itu akan membutuhkan banyak kegiatan. Mereka butuh rumah, makan, pendidikan dan kesehatan serta bermacam kebutuhan lainnya untuk keluarganya.
Berarti ada peluang pembangunan perumahan untuk mereka. Akan ada banyak pekerja bidang bangunan yang mendapat job. Akan ada banyak warung dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan makan karyawan dan keluarganya. Akan butuh jalan bagus, jembatan dan infrastuktur lainnya. Akan butuh pasar sayur, butuh sekolah untuk pendidikan anak karyawan pabrik gula. Dan seterusnya, akan banyak kebutuhan dan butuh melibatkan banyak orang. Jika dihitung, akan ada ribuan orang yang bisa meraup manisnya duit investor.
Yang paling penting adalah akan ada banyak petani yang akan ikut menikmati manisnya duit investor. Ratusan pemilik lahan yang menanam tebu akan ikut berperan. Ribuan petani penggarap tebu akan mendapat pekerjaan. Ratusan sopir truk pengangkut tebu tidak lagi menganggur. Dan kalau diteruskan, jumlah orang yang terlibat kegiatan ekonomi ini akan sangat luar biasa.
Namun sayang, semua itu hanya mimpi. Sudah dua tahun warga Bumi Blambangan terbuai mimpi panjang tanpa jadi kenyataan. Padahal, konsorsium investor industri gula terpadu sudah siap sejak lama. Mereka mengaku sudah menyiapkan modal, menyiapkan mesin dan segala perlengkapannya. Namun mereka tak bisa mewujudkan mimpi itu karena terganjal masalah lahan. Duit sudah ada, tapi lahan belum tersedia.
Pada perkembangan terkini, Wakil Presiden RI seolah tak sabar sehingga perlu mengutus timnya untuk mengecek masalah ini. Namun, ini belum menjamin masalah lahan bisa teratasi. Haruskah rakyat dibiarkan bermimpi lebih lama lagi? (*)

Menuju Muspida Perempuan

Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan di Banyuwangi tidak mau kalah dengan anggota legislatif. Mereka menuntut Bupati Ratna Ani Lestari untuk memberikan porsi 30 persen komposisi pejabat, agar diisi oleh kaum hawa.
Ini satu langkah maju bagi PNS perempuan di Bumi Blambangan. Paling tidak, mereka sudah berani bersuara menuntut persamaan dalam masalah jabatan.
Sementara itu, sejatinya Banyuwangi sudah selangkah lebih maju dari pada beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur. Karena, daerah ini dipimpin oleh kaum perempuan (sama seperti Kabupaten Tuban). Bahkan, bukan mustahil kalau nanti Ketua DPRD Banyuwangi juga akan dijabat oleh perempuan.
Dalam waktu dekat, wakil rakyat akan menggelar pilihan Ketua DPRD Banyuwangi. Sesuai hasil konsultasi dengan Menteri Dalam Negeri RI, jatah Ketua DPRD Banyuwangi harus berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nah, partai berlambang bola dunia dan sembilan bintang itu mengajukan dua kandidat.
Kandidat yang pertama adalah Zainal Arifin Salam yang juga digadang-gadang kalangan ormas di Banyuwangi. PKB juga berusaha merapatkan barisan, agar Zainal bisa terpilih jadi orang nomor satu di gedung DPRD Banyuwangi.
Sedangkan kandidat kedua adalah Emi Hidayati yang termasuk salah satu Kartini di gedung wakil rakyat Banyuwangi. Mantan Ketua Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama Banyuwangi itu bisa jadi kuda hitam dalam bursa pemilihan ketua DPRD.
Bahkan, peluang Emi untuk maju menjadi ketua dewan sama besarnya dengan kans yang dimiliki Zainal Arifin Salam. Karena yang punya hak pilih adalah 45 orang anggota dewan. Meski PKB tampaknya berusaha meng-gol-kan Zainal sebagai pemenang, tetapi keputusan tetap berada di tangan 45 anggota dewan. Selain Fraksi Kebangkitan Bangsa, masih ada Fraksi PPP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat dan Fraksi PDIP. Di tangan fraksi-fraksi itulah, keputusan akan ditetapkan. Bagaimana kedua kandidat bisa merangkul suara-suara fraksi itu.
Terlepas dari pertarungan politik itu, seandainya Emi menang, ini tentu akan jadi kemenangan kaum Kartini di Banyuwangi. Karena Bupatinya sudah perempuan, Ketua DPRD-nya juga perempuan. Nah, kalau duet kepemimpinan dipegang kaum perempuan, bukan mustahil Kapolda Jatim akan menunjuk perwira perempuan sebagai Kapolres Banyuwangi. Demikian juga dengan Kajati jatim, Pangdam V Brawijaya dan Pangarmatim. Ada juga kemungkinan (meski sangat tipis), mereka menunjuk Kejari perempuan, Dandim dan Danlanal perempuan.
Kalau itu benar-benar dilakukan, tentu bisa disebut sebagai kemenangan Kartini di Bumi Blambangan. Tinggal mereka yang akan membuktikan, apakah prestasi kinerjanya bisa setara atau bahkan melebihi kinerja yang telah dicapai Muspida laki-laki. Kalau mereka bisa membuktikan kinerja bagus, tentu rakyat tidak lagi menyoal masalah gender. (*)

Ikan Lele Menjaga Sungai

Untuk kali pertama, para penganut Budha di Vihara Dhamma Harja Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi menggelar upacara Fang Sen. Mereka melepas satwa ke alam setelah melaksanakan detik-detik puja bakti Tri Suci Waisak.
Ketua Dayaka Sabha Vihara Dhamma Harja, Sugito melepas lele dan belut ke sebuah sungai di Desa Yosomulyo. Sebelum satwa itu dilepas, mereka sempat menggelar upacara kecil dengan melakukan doa bersama di tepi sungai.
Upacara Fang Sen ini termasuk salah satu ajaran dari sang guru Sidarta Budha Gautama dalam membantu makhluk. Dalam sejarah, ritual ini berawal saat Dewa Data memanah angsa hingga terluka. Oleh Sidarta Budha Gautama, angsa itu dirawat dan sembuh. Lalu angsa itu dilepas ke alam.
Fang Sen ternyata jarang dilakukan. Vihara Dhamma Harja juga baru kali ini menggelar kegiatan tersebut. Yang dilepas ke alam bisa semua satwa. Terutama yang jiwanya terancam. Mereka memilih lele dan belut, karena kedua jenis satwa yang sering dijual di pasaran itu sedang terancam dibunuh oleh penjual atau makhluk lain.
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita semua menghormati upaya umat Budha. Kalau mereka melepas lele ke sungai, sudah sepantasnya kita turut menjaga satwa tersebut. Kalau mereka melepas satwa, lalu warga yang lain memanennya, tentu sangat tidak patut.
Dari sudut pandang ekologi, keberadaan ikan di sungai cukup membantu keseimbangan lingkungan sungai tersebut. Paling tidak, ikan bisa jadi indikator hidup dalam mendeteksi pencemaran lingkungan di sungai tersebut.
Lebih jauh kita bisa berkaca pada kondisi sungai Chao Praya yang membelah metropolitan Bangkok, ibukota Thailand. Aliran sungai Chao Praya memang jadi maskot sungai wisata di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Ternyata sungai tersebut jadi habitat ribuan atau mungkin jutaan ikan patin (sejenis lele atau catfish dengan ukuran tubuh lebih besar).
Ikan patin tersebut hidup nyaman tanpa gangguan di sungai Chao Praya. Karena warga Thailand tidak berani mengusik hidup mereka. Jangankan mengkonsumsi, untuk mengambil saja, masyarakat Negeri Gajah Putih itu tidak berani.
Padahal, pemerintah Thailand tidak pernah melarang warganya untuk mengkonsumsi ikan patin di sungai tersebut. Masyarakat juga tidak pernah melarang siapa saja mengambil ikan itu. Namun anehnya, warga tidak berani melakukannya. Ini dilakukan, karena mereka sudah lama meyakini kalau ikan patin itu adalah penjaga sungai Chao Praya. Apalagi, aliran sungai tersebut dimanfaatkan dan menghidupi jutaan warga.
Terlepas dari beda keyakinan serta lokasi yang berbeda, upaya perlindungan kelestarian ekosistem sungai yang dilakukan umat Budha dan warga negara tetangga itu layak diteladani. Walau dengan pendekatan berbeda, mereka bisa menjadikan sungai sebagai lingkungan yang bersih dan sehat. Dampaknya akan dirasakan seluruh masyarakat. Kalau mereka mampu melakukan, Banyuwangi pasti bisa. Apalagi Bumi Blambangan ini memiliki puluhan aliran sungai besar dan kecil. Kalau semua aset dan sumber daya itu terjaga, pasti akan hebat. Apalagi kalau bisa dikelola dang menghidupi warga sekitarnya, jelas akan luar biasa.(*)

Nyawa Disambung Kompresor

PADA masa perang kemerdekaan, para pejuang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk bertempur melawan penjajah. Mereka rela kehilangan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan untuk bangsanya, negaranya, tanah airnya, diri dan keluarga, serta untuk kemerdekaan anak cucunya.
Memasuki bulan Agustus mendatang, sudah 63 tahun proklamasi kemerdekaan berjalan. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup panjang. Setelah sekian lama, nasib dan sosok pejuang di era kemerdekaan masih tetap menyala di mana-mana.
Di Banyuwangi saja, masih banyak pejuang yang harus bertempur dan bertaruh nyawa demi memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga. Untuk lingkup yang lebih kecil, misalnya di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, banyak pejuang masa kini.
Sedikitnya 450 warga desa pesisir ini bertaruh nyawa setiap hari demi menghidupi keluarga. Mereka adalah para penyelam tradisional pencari ikan hias. Melihat beratnya perjuangan hidup yang dihadapi, mereka sangat layak mendapat predikat sebagai pejuang masa kini.
Ratusan warga desa itu bekerja tanpa mengenal rasa takut. Mereka menyelam dengan alat seadanya. Padahal, risiko maut mengancam setiap saat. Mereka menyelam di kedalaman laut untuk mencari ikan hias. Lokasi yang jadi favorit mereka terletak pada kedalaman laut mulai lima meter hingga 65 meter.
Sedangkan peralatan yang mereka bawa hanya seadanya. Mereka hanya mengenakan kaca mata untuk memudahkan penglihatan di bawah air. Sedangkan alat bantu pernafasan hanya mengandalkan selang dan kompresor.
Padahal, kompresor yang mereka bawa di atas perahu itu bisa saja ngadat sewaktu-waktu. Kompresor macet, artinya mereka tidak bisa bernafas di dasar laut. Tidak bisa bernafas beberapa menit saja, sama halnya dengan nyawa melayang. Ya, hidup mereka hanya bergantung pada kompresor saat menyelam mencari ikan.
Betapa besar risiko menjadi penyelam tradisional. Demi menghidupi keluarga, ratusan warga desa itu masih menggeluti pekerjaan berbahaya itu. Apalagi, pengetahuan penyelam tradisional itu juga pas-pasan. Mereka hanya belajar dari pengalaman.
Niat mereka bekerja memang sangat mulia. Terlebih, mereka sepakat tidak menggunakan potasium untuk mencari ikan. Ditambah lagi, semua ikan hias hasil tangkapan mereka lebih banyak diperuntukkan pasar ekspor. Artinya, kerja mereka pada akhirnya mampu menyumbang devisa bagi negara. Secara tidak langsung, mereka bisa masuk golongan para pahlawan devisa.
Namun hingga kini, mereka merasa belum mendapat sentuhan perhatian pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah bekal ilmu tentang kegiatan penangkapan ikan yang tidak melanggar hukum.
Yang tak kalah penting, jangan sampai mereka dijadikan sapi perahan atas kekurangpahaman mereka dalam masalah hukum. Sudah sepatutnya, kita semua menggiring para pahlawan devisa itu untuk menjadi sejahtera. (*)

Waspada Penyusupan Warga Asing

Aparat keamanan di Banyuwangi menangkap seorang warga negara Tiongkok di pasar Wongsorejo Rabu (20/2) lalu. Lelaki bernama Yang Jinhuo itu, tertangkap saat berjualan batu mulia di pasar tradisional itu.
Ini sebenarnya cukup menggelikan. Jinhuo sama sekali tidak paham Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun, dia tidak mengerti. Tetapi, dia bisa leluasa berdagang cincin di pasar tradisional. Tanpa hambatan, dia berjualan dan berbaur melakukan kegiatan ekonomi di negeri kita.
Padahal, Jinhuo hanya berbekal paspor dan visa turis. Artinya, lelaki asal Fujian, Tiongkok itu datang ke Indonesia untuk pelesir. Dia datang bukan untuk keperluan berbisnis atau kepentingan lainnya.
Sementara bulan sebelumnya, dua pemuda Myanmar ditangkap Polsek Muncar. Mereka adalah Tatai, 24 tahun, asal distrik Suesiyo, Provinsi Kotao dan satu lagi bernama Mintu, 23 tahun, warga distrik Molemyak, Provinsi Tiditmie, Myanmar.
Tatai dan Mintu tinggal dan berbaur dengan warga Desa Kedungringin, Muncar. Awalnya, mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun setelah berbaur beberapa bulan lamanya, keduanya mulai lancar berbahasa Indonesia meski logatnya masih kaku. Mereka juga sering bekerja mencari ikan di laut bersama warga setempat. Bedanya, mereka tidak punya dokumen baik paspor maupun visa.
Seandainya dua kejadian itu tidak terungkap, warga negara asing itu akan semakin leluasa melakukan kegiatan ekonomi di negeri ini. Ketika mereka sudah lancar berbahasa Indonesia, mereka akan dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain.
Di kota yang baru mereka datangi, mereka bisa dengan mudah mengaku sebagai warga dari kota lain. Lalu setelah tinggal beberapa lama, mereka bisa memalsukan identitasnya. Kemudian mereka bisa ‘nembak’ mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan sistem yang kita miliki, sulit untuk mengetahui bahwa mereka sejatinya warga negara asing.
Setelah punya KTP, mereka bisa pindah ke kota lain. Lalu mengurus KTP yang baru lagi. Bukan mustahil, allien yang sudah ber-KTP itu nanti bisa berhasil dalam bisnis. Mereka lantas punya banyak aset berharga. Ketika ada persoalan, aset yang banyak itu kemudian dibawa lari ke negara asalnya. Nah, kalau sudah begini bangsa dan rakyat ini yang gigit jari karena banyak banyak aset negara yang dilarikan ke luar negeri. Karena sudah jelas warga asing itu patut diragukan nasionalismenya.
Yang sudah jelas status kewarganegaraannya (koruptor kakap Indonesia) saja, banyak yang melarikan aset ke luar negeri. Apalagi, mereka yang semula warga asing lalu menyusup jadi warga Indonesia? Atau jangan-jangan, para koruptor kakap yang melarikan aset itu punya sejarah seperti petualangan Yang Jinhuo yang tertangkap di pasar Wongsorejo ya? Wallahu ‘alam.
Karenanya, sudah selayaknya kita semua waspada. Seluruh warga harus peduli dengan warga asing di sekitar kita. Karena itulah saringan yang paling manjur untuk menjaga pertahanan negeri ini. (*)

Merazia Mesum dengan Ombak

ACUNGAN jempol untuk aparat kepolisian. Mereka cukup sigap menyambut bulan Ramadan. Sejumlah lokalisasi dan tempat maksiat digerebek. Para pekerja seks dan pasangan mesum digiring ke pengadilan untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Memang tidak ada kata terlambat untuk memberantas kemaksiatan. Membersihkan penyakit masyarakat juga tidak harus menunggu momen-momen tertentu. Apalagi, kalau momentum tersebut sangat pas karena menyambut bulan puasa, bulan Ramadan yang penuh dengan berkah.
Pada sisi lain, alam sebenarnya sudah lama mengingatkan manusia untuk bertindak secara bijak. Alam juga punya cara tersendiri untuk bertindak melawan maksiat. Alam tidak pernah terlambat dan tidak harus menunggu momentum yang pas untuk bertindak.
Sepekan terakhir, ombak Selat Bali mulai mengganas. Ketinggian ombak yang lebih dari tiga meter, memaksa Syahbandar Ketapang beberap kali menutup pelabuhan penyeberangan. Ombak besar juga sempat membuat belasan warung di tepi pantai Watudodol porak-poranda.
Memang, tidak ada korelasi yang jelas antara maksiat dan ganasnya ombak. Namun, inilah yang layak kita renungi bersama. Tidak selamanya maksiat itu terjadi di lokalisasi. Karena tidak selamanya, aksi mesum itu berlangsung di kamar-kamar hotel atau losmen.
Bukan mustahil, tindakan maksiat itu bisa terjadi di kawasan tepi pantai. Bukan lagi rahasia umum, bahwa kaum muda kini banyak yang memilih kencan di tepi pantai. Pergaulan bebas bisa menjurus kepada gaya pacaran yang kebablasan. Ini bisa membuat kencan di pantai bisa berujung pada tindakan maksiat.
Nah, jangan salahkan kalau ombak mulai menggerus kawasan pantai yang jadi ikon wisata di Bumi Blambangan. Seperti yang dikatakan kalangan orang tua, pantai Boom dulu sangat asri dan terjaga kelestariannya. Kini, kondisinya sudah sedemikian rusak. Jangan salahkan kalau mereka (para orang tua itu) lantas menyatakan, pantai rusak karena alam tidak menerima adanya tindakan maksiat. (*)

Jangan Sampai Muncul Geng Prejengan Jilid II

NAMA Geng Prejengan mendadak mencuat di bumi Blambangan. Sayangnya, mereka populer bukan karena prestasinya. Bukan juga karena terkenal karena mampu mengharumkan nama daerahnya.
Sebaliknya, tiga warga Dusun Prejengan, Desa Rogojampi, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi itu justru terkenal karena perbuatannya yang merugikan warga. Kakak-adik Slamet Budiono dan Sukarto, serta tetangga mereka Suyanto dikenal sebagai anggota komplotan spesialis pencurian kendaraan bermotor (curanmor).
Dari catatan polisi, Geng Prejengan itu sudah mengembat puluhan sepeda motor milik warga. Mereka diperkirakan telah beraksi di 25 lokasi. Sasaran mereka tersebar mulai dari Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Gambiran hingga Kecamatan Pesanggaran di ujung selatan Bumi Blambangan.
Geng Prejengan biasanya memilih sasaran sepeda motor di kawasan perumahan dan tempat-tempat keramaian. Mereka lebih sering beraksi mencuri motor pada malam hari. Mereka juga tak segan masuk ke dalam rumah korbannya untuk mengambil sepeda motor.
Mereka ternyata masih mengandalkan cara lama untuk mengambil motor korbannya. Mereka sering membandrek kunci kontak motor dengan kunci besi tajam berbentuk huruf ‘T’. Selanjutnya, motor curian tersebut dijual dengan harga Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta setiap unitnya.
Di mata polisi. track record Geng Prejengan ini tergolong parah. Pantas saja aparat ikut hanyut dan langsung ‘mendidih’ begitu buruannya yang sudah lama diincar itu tertangkap. Para eksekutor komplotan itu dihadiahi timah panas di kakinya.
Dari kejadian ini, sudah selayaknya kita semua ikut mengambil hikmahnya. Rangkaian kejadian yang membuat Geng Prejengan terus survive, bukanlah karena faktor kepiawaian komplotan itu semata. Kalau melihat modus dan metodenya yang masih konvensional, masyarakat kita ternyata juga ikut berperan dalam memperpanjang nafas komplotan curanmor itu. Sekali lagi, aksi kejahatan itu terjadi bukan semata karena ada niat para pelakunya. Mereka bisa bertindak seperti itu, juga karena ada faktor peluang dan kesempatan.
Ya, jangan sampai ada lagi Geng Prejengan lainnya. Jangan sampai beri kesempatan muncul lagi Geng Prejengan Jilid II dan seterusnya. Seluruh masyarakat harus ikut menjaga dan berperan membantu aparat keamanan menciptakan kondisi yang kondusif. Salah satu caranya, minimalkan peluang terjadinya tindak kejahatan curanmor. Jangan sembarangan memarkir sepeda motor tanda menguncinya terlebih dahulu. Pasanglah kunci ganda untuk memperkecil peluang terjadinya tindak kriminal. Bahkan jika perlu, pasanglah alarm di kendaraan Anda masing-masing. Kalau seluruh masyarakat Banyuwangi sudah melakukan antisipasi seperti itu, akan kecil kemungkinan komplotan curanmor akan bisa bernafas di daerah ini. (*)

Meniru Semangat Pasutri Tuna Netra

MATA merupakan indera yang penting bagi kehidupan manusia. Kita bisa melihat indahnya berbagai warna dalam kehidupan ini. Kita juga bisa bekerja secara normal, karena bantuan indera penglihatan ini.
Namun, ada sebagian saudara kita yang kurang beruntung. Banyak penyandang tuna netra di Bumi Blambangan. Mereka hanya bisa melihat satu macam warna. Hitam atau gelap. Itu saja.
Tetapi, tidak semua penyandang tuna netra itu pasrah dengan keadaan. Lihat saja pasangan suami istri (pasutri) Fauzi, 47, dan Sayuti, 42. Mereka adalah pasutri tuna netra, kini tinggal di Jalan S Parman. Namun, semangat mereka untuk hidup mandiri layak diacungi jempol.
Fauzi benar-benar berangkat dari nol. Sudah tak bisa melihat, tidak bisa sekolah umum, tak punya bakat dan keahlian apa pun. Orang tuanya juga hidup pas-pasan di desa.
Namun dengan tekat yang kuat, akhirnya dia bisa mengikuti kursus pijat tuna netra di Malang. Itu dilakukan hingga tiga kali. Tekat dan semangatnya itu mengubah jalan hidupnya.
Dia bisa sukses dalam percintaan, dengan menemukan Sayuti, sang belahan hati di tempat kursus itu. Setelah menikah dan pulang kampung, mereka membua jasa pijat. Dengan strategi khusus, setiap pasien dijatah pijat dua jam, usaha jasa tersebut menjadi sangat diminati. Secara ekonomi, usaha mereka boleh terbilang lumayan. Meski punya kekurangan, toh akhirnya mereka pun bisa hidup mandiri.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pasutri tuna netra ini. Dengan potensi terbatas, asal ada kemauan dan tekat yang kuat, kita pasti akan berhasil mencapai kemandirian. Kalau kita lihat sekeliling kita, masih banyak orang masih bergantung dengan orang lain.
Banyak orang bertubuh tegap yang mengemis di tepi jalan dan lampu merah. Ada juga yang mengais rupiah dengan cara mengamen di lampu merah. Meski tidak merasa terhibur, orang akhirnya terpaksa memberi uang receh. Seharusnya, mereka malu dengan pasutri Fauzi dan Sayuti. (*)

Meniru Pola Pikir Negara Maju

SAAT INI, para pakar negara-negara maju sudah memikirkan apa yang bisa jadi kapital di masa mendatang. Barang-barang yang bakal jadi trend di Indonesia sepuluh atau bahkan 20 tahun lagi, sudah mereka pikirkan mulai sekarang.
Jenis mobil terbaru yang beredar di jalanan Banyuwangi dan Situbondo saat ini, mungkin sudah dipikirkan para pakar otomotif Jepang sepuluh tahun silam. Demikian juga motor gres yang jadi tongkrongan kawula muda di Bumi Blambangan dan Kota Santri. Semua detilnya sudah dirancang cukup lama oleh pakar otomotif tersebut.
Ini jadi pelajaran penting, bahwa kita idealnya berpikir visioner. Jauh menatap masa depan. Bukan sebaliknya, jangan sampai pikiran kita terkungkung pandangan sempit mistisme zaman dulu (zadul) dan tidak berkembang. Apalagi kalau selalu berpandangan mundur jauh ke belakang.
Tetapi, itulah fakta yang terjadi dan dialami oleh sebagian masyarakat kita. Lihat saja yang terjadi di Dusun Krajan, Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi Senin (17/3) kemarin. Warga setempat ramai-ramai membunuh seekor babi. Mereka menduga, binatang tersebut adalah babi jadi-jadian. Babi tersebut mati di sungai setelah digebuki massa. Ini semua lantaran, warga mengaku sering kehilangan uang dan sejumlah barang. Mereka menduga, hilangnya uang dan barang tersebut lantaran babi jadi-jadian itu.
Beruntung, babi itu tidak paham hukum dan hukum pidana hanya berlaku untuk manusia. Tetapi sudah selayaknya kita bisa berpikir lebih jernih. Memandang semua persoalan dilandasi dengan akal sehat. Sudah bagus kalau kita bisa memasuki tahapan ‘berpikir jernih sejernih akal sehat’. Alangkah bagus lagi kalau kita bisa masuk tahapan berpikir progresif dan visioner jauh memandang demi masa depan. Semoga. (*)

Bakar Tebu, Terorisme Gaya Baru

PETANI kita tetap saja jadi bulan-bulanan penderitaan. Yang terbaru adalah ancaman keresahan yang dirasakan para petani tebu.
Sekadar diketahui, banyak petani Situbondo yang menggantungkan hidupnya dari bertani tebu. Sebagian petani Banyuwangi juga ikut mencoba peruntungan dengan bercocok tanam tebu.
Namun belakangan, para petani tebu resah. Musuh mereka saat ini adalah kejadian terbakarnya kebun tebu yang sudah siap panen. Beberapa kejadian sudah terjadi di Desa Bantal, Kecamatan Asembagus. Di daerah ini, kebakaran tebu sering terjadi. Diduga kuat, peristiwa kebakaran tersebut bukan kecelakaan murni. Tapi kebakaran puluhan hektare kebun tebu itu diduga ada pihak yang sengaja melakukannya.
Di mata Tuhan, siapa pun pelaku pembakar kebun tebu itu memang tentu diganjar hukuman berat. Karena mereka menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan petani.
Kalau kebun tebu sudah kobong sia-sia, petani akan merugi ratusan juta rupiah. Belum lagi kerugian nonmateri berupa rasa was-was, rasa takut dan tertekan. Bahkan bukan mustahil, kejadian itu akan membuat petani stres lalu bertindak kalap.
Beruntung, masyarakat petani kita sudah meningkat kesadaran hukumnya. Di Asembagus, petani tebu sudah lapor polisi. Bahkan, mereka juga memberi informasi kepada aparat tentang nama-nama yang diduga terlibat aksi pembakaran tersebut.
Nah, ini akan menjadi pekerjaan besar aparat kepolisian. Sudah selayaknya polisi bekerja ektra keras menuntaskan problem tersebut. Harapannya, keresahan di kalangan petani itu tidak menimbulkan efek yang lebih besar. Karena kalau sudah begitu, keresahan petani yang tak kunjung terobati bisa menimbulkan efek domino luar biasa. Ujung-ujungnya, keamanan dan ketertiban masyarakat ikut terganggu.
Apapun motifnya, maraknya pembakaran kebun tebu itu harus dicegah dan diberantas. Akan sangat setimpal, kalau pelakunya nanti diganjar hukuman yang berat. Memupuskan harapan dan menghancurkan hasil kerja keras petani tebu selama sekian bulan, itu sangat kejam. Selain itu, tindakan menimbulkan keresahan masyarakat bisa disamakan dengan menebar terorisme. Ya, menebar asap dan api dari kebun tebu itu memang terorisme gaya baru. (*)

Kita Kaya Tapi Miskin

TAK diragukan lagi, Banyuwangi memiliki kekayaan alam luar biasa. Sumber daya air di Bumi Blambangan ini cukup melimpah. Dari catatan Dinas Pengairan, sedikitnya tujuh puluh aliran sungai mengalir di kabupaten terluas di Jawa Timur ini.
Lebih spesifik lagi, Banyuwangi memiliki potensi besar obyek wisata air. Puluhan air terjun tersebar di kawasan ini. Sebut saja air terjun Lider di Kecamatan Songgon, air terjun Tirta Kemanten di Kecamatan Kalibaru, air terjun Antogan di Kecamatan Kabat, air terjun Kalibendo di Kecamatan Licin, air terjun Kalongan di Desa Pesucen dan masih banyak yang lainnya.
Namun, sebagian besar wisata alam tersebut kurang tergarap secara profesional. Paling banter, kawasan wisata alam itu dikelola pemerintah desa setempat. Jangan heran, kalau kontribusi yang hasil pengelolaan kawasan wisata alam tersebut kurang ‘terasa’ bagi masyarakat. Jangankan untuk memakmurkan warga, untuk mengisi kas desa saja, hasil pengelolaan wisata alam air terjun tersebut kurang memadai.
Kurang profesionalnya pengelolaan itu kian diperparah dengan minimnya dukungan sarana infrastruktur. Jalan menuju lokasi wisata air terjun di Banyuwangi, umumnya kurang layak dan bahkan banyak yang jalannya rusak berat.
Ini memang kenyataan cukup pahit bagi kita yang punya kekayaan alam melimpah. Namun kita tak perlu berkecil hati. Kekayaan alam bukanlah satu-satunya hal yang menjadi suatu negara menjadi kaya atau miskin. Lihat saja negara Jepang yang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80 persen berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan.
Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara ‘industri terapung’ yang besar sekali. Mereka mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia, lalu mampu mengekspor barang jadinya.
Demikian juga dengan negara Swiss yang tidak mempunyai perkebunan coklat. Tetapi Swiss dikenal sebagai sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami.
• Mengapa mereka bisa, sedangkan negara kita yang punya kekayaan alam melimpah, hingga kini masih terpuruk. Ternyata, perilaku masyarakat mereka telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Penduduk negara maju itu mematuhi etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga masyarakat yang tepat waktu, bekrja keras, bertanggungjawab, jujur dan berintegritas. Hormat pada aturan dan hukum, menghormati hak orang lain dan cinta pada pekerjaan. Warga negara maju juga berusaha keras menabung dan berinvestasi.Sedangkan masyarakat negara miskin hanya sebagian kecil yang mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut.
Ya, kita bukan miskin karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita miskin karena perilaku kita yang kurang baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara. (*)

Warning dari Kawanan Anjing

Begitu ada 15 ekor kambing mati mendadak, warga Lingkungan Gang Lancing, Kelurahan Penataban, Kecamatan Giri, Banyuwangi heboh. Perut kambing itu terburai. Tubuhnya juga terdapat luka bekas gigitan dan cakaran.
Peristiwa ini juga membuat warga setempat resah. Ada warga yang berspekulasi, pelakunya adalah makhluk halus atau serigala jadi-jadian. Ada peternak yang melakukan antisipasi dengan mengecat warna merah di leher kambingnya. Harapannya, ketika serigala jadi-jadian itu datang, kambing berleher merah itu dikira sudah mati.
Sementara itu, Dinas Peternakan Banyuwangi ternyata menemukan jawaban yang rasional. Setelah dilakukan penelitian, kambing tersebut mati akibat gigitan anjing liar. Tidak ada indikasi penyakit yang mencurigakan. Komunitas anjing liar itu berada di sekitar daerah tersebut. Setelah diselidiki, ada sekitar 10 ekor anjing yang bermukim tempat itu.
Apalagi, domba termasuk hewan yang kurang kuat. Waktu diserang binatang buas, domba (terutama dalam kandang) tidak bisa memberikan perlawanan.
Fenomena ini cukup menarik perhatian. Sebagian warga masih percaya dengan dunia klenik. Sebagian lainnya lebih condong dengan alasan rasional yang dikemukakan Dinas Peternakan.
Terlepas dari semua itu, peristiwa ini harus selalu diambil hikmahnya. Yang jelas, warga lebih rajin begadang untuk menjaga ternaknya. Kegiatan poskamling pun kembali bergairah. Dengan adanya penjagaan masyarakat, suasana kampung menjadi lebih kondusif. Kegiatan bisa mencegah munculnya aksi kejahatan yang jauh lebih berbahaya dari serangan terhadap belasan kambing itu.
Kalau mau menoleh tahun 2007 lalu, kejadian pencurian ternak semakin marak. Banyak kejadian pencurian sapi di Banyuwangi dan Situbondo. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan juta kerugian ditimbulkan akibat terjadinya pencurian sapi. Korbannya adalah rakyat kecil, aset para petani/peternak di beberapa daerah.
Bergairahnya kembali gerakan poskamling memang sangat bermanfaat membantu menciptakan suasana kondusif dan aman. Sudah seharusnya, tanpa harus diwarning kawanan anjing (asli ataupun siluman), poskamling tetap harus digiatkan. Meski secara tidak langsung, manfaatnya tetap akan dirasakan oleh peternak. *

Teladan Tilang Masal

Pengadilan Negeri Situbondo mencatatkan rekor baru. Dalam sehari, lembaga tersebut harus menyelesaikan 200 sidang hanya dalam tempo sehari.
Kasus yang disidangkan adalah tindak pidana ringan (tipiring), berupa pelanggaran para pengendara terhadap peraturan lalu lintas. Ada yang tidak mengenakan helm, tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi, tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan, atau karena kelengkapan aksesoris sepeda motornya seperti kaca spion atau lampu sein yang tidak lengkap.
Proses sidang itu memang tidak makan waktu lama. Tidak sampai lima menit, vonis sudah dijatuhkan. Hakim hanya menanyakan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat terdakwa. Setelah itu, hakim langsung menetapkan denda sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Peristiwa tersebut kelihatannya cukup sepele. Namun sejatinya, hal yang sepertu mempunyai banyak manfaat. Yang pertama, tentu saja bisa mengurangi kolusi. Sudah jadi rahasia umum, kalau pelanggaran lalu lintas (pada era dulu) sering diselesaikan secara damai. Dari sisi pelanggar, mereka tetap mengeluarkan duit untuk ‘denda damai’.
Tetapi uang ‘denda damai’ tersebut tidak pernah masuk ke negara. Meski sedikit, tetapi kalau dikumpulkan se Indonesia, jumlahnya bisa banyak juga. Karena faktanya, dalam sehari saja untuk ukuran kota semungil Situbondo, pelanggar lalu lintas dalam sehari saja bisa mencapai 200 kasus. Itu pun, hanya hasil razia di jantung kota.
Nah, seandainya pelanggaran lalu lintas di Indonesia, mungkin jumlahnya bisa puluhan ribu atau bahkan mungkin jutaan kasus setiap hari. Kalau satu kasus didenda puluhan ribu rupiah saja, sudah berapa miliar potensi pundi yang bisa mengalir ke kas negara. Hasilnya, kan bisa digunakan kembali untuk memperbaiki sarana lalu lintas di negeri ini.
Selain itu, manfaat lainnya adalah mendidik masyarakat lebih disiplin di jalan raya. Dan yang lebih penting, tertib berlalu lintas bisa mengurangi jumlah nyawa melayang sia-sia di jalan. Selama ini, entah sudah berapa ribu korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di negeri ini setiap tahunnya.
Memang sidang masal Situbondo itu ternyata membawa efek domino luar biasa. Sudah sangat layak ditiru daerah lainnya, terutama Banyuwangi sebagai tetangga dekatnya. (*)

Besarnya Pasak Pelabuhan Boom

BUMI BLAMBANGAN punya aset pelabuhan rakyat. Namanya pelabuhan Boom atau masyarakat menyebutnya pantai THR Boom. Hingga saat ini, puluhan nelayan memanfaatkan pelabuhan ini untuk melakukan aktivitas ekonomi.
Kapal-kapal kecil antarpulau milik warga Raas, Sepudi, Kangean, Pagerungan dan kepulauan lainnya di timur Madura juga sering sandar di pelabuhan Boom.
Meski begitu, volume kapal keluar masuk itu tidak seperti dulu. Lalu lintas kapal nelayan masih jauh lebih ramai di pantai Muncar, Grajagan dan Pancer. Demikian juga dengan kapal antarpulau. Banyuwangi punya pelabuhan Tanjung Wangi yang lebih representatif.
Tapi entahlah, mengapa pemerintah tetap mengucurkan dana Rp 7,297 miliar untuk proyek pengembangan Boom. Pelabuhan itu dibangun dermaga. Kawasan sekitar dermaga yang baru itu, diuruk agar susai dan aman. Namun pada akhirnya, pengurukan pelabuhan tradisional itu akhirnya benar-benar mangkrak. Gara-garanya, ada pemangkasan anggaran APBN 2008 karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Nilai proyek pengembangan pelabuhan Boom itu pun tinggal Rp 4,8 miliar. Karena tidak tuntas, rakyat belum bisa menikmati hasil pembanguan proyek tersebut.
Terlebih tahun lalu, pemerintah juga mengucurkan dana sekitar Rp 4 miliar untuk mengeruk muara pantai Boom. Tapi, lagi-lagi proyek ini tak bisa dinikmati masyarakat sekitar. Baru empat bulan berjalan, muara kembali tertutup pasir dan tak bisa dilewati perahu.
Sangat ironis dan super mubazir. Duit miliaran rupiah muspro dalam waktu singkat. Hasilnya tak bisa dirasakan rakyat sekitarnya.
Entah, ada apa lagi dengan pelabuhan Boom. Seolah, pemerintah pusat begitu mudah mengucurkan uang negara untuk membangun kawasan itu. Padahal, hasil pembangunannya belum tentu dinikmati rakyat kecil di sekitar pantai Boom.
Kalau mau jeli, sebenarnya ada banyak hal yang lebih urgen diperhatikan. Jalan raya sekitar pantai Boom banyak yang bolong dan rusak. Itu sudah terjadi selama berapa tahun lamanya. Seandainya uang negara Rp 4 miliar untuk mengeruk muara itu dibikin untuk membangun jalan pantai Boom, pasti sudah mulus lus lus..!(*)

Pilih Tiket Neraka atau Surga

Pasangan suami istri (pasutri) di Dusun Gontoran, Desa Rejosari, Kecamatan Glagah disidang tindak pidana ringan (tipiring) oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Mereka dikenakan denda dan sebelumnya sempat menginap di Mapolsek Glagah.
Gara-garanya, pasutri itu menjual minuman keras (miras) dan diduga menyediakan tempat untuk mabuk-mabukan Anak Baru Gede (ABG). Menurut warga sekitar, warung tersebut sering dijadikan sebagai tempat transaksi seksual. Setelah mabuk berat, para cewek ABG di sana disabet pria hidung belang.
Terlepas benar atau tidaknya informasi warga itu, pada akhirnya sang pasutri harus menderita. Selain terpaksa menginap di mapolsek yang tidak nyaman, mereka juga harus duduk di kursi pesakitan pengadilan untuk menjalani sidang tipiring. Mungkin mereka juga harus menanggung malu menjalani semua itu. Belum lagi kerugian secara ekonomi, yakni membayar denda dan miras barang dagangan yang disita aparat.
Ongkos yang harus mereka bayar memang cukup mahal. Semua itu hanya gara-gara menjual miras. Apalagi, warga menuding kalau warung itu juga sering jadi tempat transaksi seksual. Dari sudut pandang agama, praktik seperti itu sama halnya dengan menjual tiket menuju neraka.
Di dunia saja, mereka harus menanggung kesusahan. Sederet penderitaan sudah dialami. Padahal, praktik mesum yang ditudingkan warga belum terbukti. Betapa susahnya penderitaan yang akan mereka hadapi di akhirat nanti. Sudah menderita, ongkosnya mahal pula.
Demikian halnya dengan klub-klub mesum yang menyajikan tontonan striptease (penari telanjang). Sudah tiketnya mahal, dampaknya juga buruk pada kesehatan serta kejiwaan konsumen. Belum lagi ancaman bubrahnya keharmonisan rumah tangga.
Akan sangat jauh berbeda, jika kita membeli tiket ke surga. Pintu-pintu tempat ibadah selalu terbuka lebar. Belum pernah ada yang menarik tiket masuk untuk beribadah ke masjid, gereja, pura, vihara atau tempat ibadah yang lainnya. Semuanya murah dan tidak dipungut biaya untuk meraih tiket menuju surga.
Memang hidup ini memberi kita banyak pilihan. Mau jalan sulit, atau jalan yang mudah. Pilih cara mahal atau cara bebas biaya, pilih menderita atau bahagia, pilih neraka atau surga dan seterusnya. Mau pilih jalan yang mana, semua kembali lagi pada diri kita masing-masing. (*)

Baik, Tapi Belum Lazim

RAMAI-ramai pejabat Pemkab Banyuwangi berniat mundur meninggalkan jabatannya, memang cukup menarik perhatian publik.
Lazimnya di Indonesia, kursi jabatan selalu jadi rebutan. Kalau perlu, segala cara akan dilakukan. Lihat saja arena pilkada di beberapa daerah. Kalah menang, yang jelas tidak jarang terjadi bentrokan fisik. Kalau sudah menduduki suatu jabatan, akan dipertahankan. Kalau perlu, juga dilakukan dengan segala cara.
Makanya, ketika sosok Joko Santoso mundur dari jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Banyuwangi. Dia rela meninggalkan kursi empuknya dan memilih menjadi staf biasa di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM).
Sebelumnya, Bambang Wahyudi juga meminta mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi (Dishubkom) Banyuwangi. Dia merasa lebih enjoy menjadi staf di Badan Pengawas Kabupaten (Banwaskab). Padahal, Bambang dikenal sebagai sosok yang cakap. Tidak sedikit pula yang memujinya sebagai figur yang jenius dan punya masa depan karir yang cemerlang.
Menyusul berikutnya, Abdul Kadir berniat mundur dari jabatannya sebagai Kabaghumas Pemkab. Sekretaris DPRD (Sekwan) Juliana Sugiati juga menyatakan keinginan mundur dari jabatannya. Kadir dan Juliana masih dalam proses mengajukan pengunduran diri.
Langkah mundur dari jabatannya adalah hal yang biasa. Di negara maju seperti Jepang, sudah lumrah pejabat mundur. Bahkan tingkatannya sudah selevel Menteri atau Perdana Menteri. Kalau merasa tidak berhasil bekerja atau melakukan kesalahan, mereka malu kepada rakyat dan langsung menyatakan mundur.
Ini merupakan budaya yang baik dan layak ditiru. Keputusan mundur adalah hal yang lumrah di sana. Tak perlu kecewa, juga tak perlu sakit hati. Apalagi stress kehilangan jabatan, lalu stroke dan akhirnya mati karena menanggung beban pikiran yang berat setelah kehilangan jabatan.
Kalau mundur dengan legawa karena melakukan kesalahan, rakyat akan memberi acungan jempol. Itu menunjukkan sikap pejabata atau pemimpin yang sportif dan gentle. Apalagi, kalau mereka mundur atas kesadaran sendiri dan bukan karena melakukan kesalahan atau tidak berhasil dalam bekerja. Rakyat akan semakin memberi acungan dua jempol. Kalau perlu, jika seluruh jari jempol semua, sepuluh jari akan diacungkan. Sebaliknya, kalau ada figur yang membuat pejabat tidak bisa berkreasi, acungkan jempol ke bawah kepadanya. (*)

Yang Murah Menghasilkan, Yang Mahal Dijarah

SORE itu, ketenangan Taman Sritanjung Banyuwangi mendadak terusik. Seorang pemuda asal Nganjuk bertindak nekat. Lelaki berusia 22 itu masuk ke dalam proyek mal pemkab Banyuwangi. Dia mencuri kabel di bangunan berlantai tiga tersebut sekitar pukul 16.00 Minggu (11/5) kemarin.
Rupanya, aksi pencurian tersebut dilakukan di tengah keramaian. Warga sekitar tengah asyik bermain layang-layang di lokasi itu. Melihat gelagat mencurigakan di dalam bangunan, kumpulan bocah yang bermain layang-layang itu segera lapor kepada warga sekitar. Warga kemudian menyerbu masuk ke bangunan mal yang memang tidak terjaga itu.
Benar saja, saat warga masuk pencuri kitu tengah asyik memilin kabel tembaga jarahannya. Warga yang emosi sempat nyaris memukul pemuda ini. Beruntung polisi berhasil meredam amuk warga dan mengamankan pelaku. Pemuda apes itu kemudian diperiksa secara intesif di ruang pemeriksaan Mapolsek Banyuwangi.
Berita ini cukup menggelitik kita. Bukan masalah pencurinya atau emosi warga yang menangkapnya. Ternyata proyek mal yang sudah hampir rampung itu sudah enam bulan tidak ada penjaganya. Tidak mengherankan kalau beberapa aset proyek itu jadi incaran maling. Tidak hanya kabel, kaca bangunan tersebut juga nyaris dipreteli orang iseng.
Kalau kita melihat lagi jauh ke belakang, proyek mal tersebut sudah menghabiskan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belasan miliar rupiah. Proses pembangunannya juga makan waktu beberapa tahun lamanya.
Ini yang patut disesali. Sudah lama, mahal pula. Pakai uang rakyat lagi. Yang lebih menyedihkan, mal semegah itu ternyata belum memberi manfaat besar pada masyarakat.
Pasti ada yang salah dalam persoalan mal ini. Tapi, saling menyalahkan tidak akan menuntaskan masalah. Bahkan bisa jadi akan menambah problem baru.
Akan lebih bijak kalau kita belajar pada sektor swasta. Sepuluh tahun lalu, Kota Gandrung masih sepi. Selain terkendala aturan, investor yang membangun mal belum ada. Tapi kini, bermunculan pusat perbelanjaan, mal, grosir di Bumi Blambangan. Bahkan, ada yang masih dalam proses pembangunan.
Kalau para investor mal swasta itu mau blak-blakan, tentu akan membuat rakyat semakin sakit hati. Karena bukan mustahil kalau biaya pembangunan mal swasta itu sama dengan biaya pembangunan mal oleh pemkab. Bahkan bisa jadi, beberapa mal yang beroperasi saat ini, dulunya dibangun dengan biaya lebih murah dari pada biaya mal yang dibangun pemkab yang kini mangkrak itu.
Faktanya sekarang, mal yang menghabiskan belasan miliar uang rakyat itu mangkrak. Sudah mahal, dijarah pula. Sedangkan mal swasta malah menghasilkan banyak duit dan menyerap banyak tenaga kerja.
Namun sejauh ini, belum pernah ada berita yang menyatakan bahwa, pihak berwenang atas proyek itu yang merasa malu dengan mangkraknya proyek mal Banyuwangi. Juga belum pernah ada pihak berwenang yang merasa gerah dan tertampar, atas ‘kegagalan’ proyek mal. Kalau mereka tidak malu dan merasa tidak tertampar, berarti mereka cukup bangga dan bisa berdalih mal itu bermanfaat. Ya, paling tidak, mal itu kini sangat bermanfaat sebagai sasaran penjarahan kabel dan kaca bangunan. (*)

Menguji Kesabaran dengan Gantole

KITA semua, warga Bumi Blambangan menyadari, betapa pentingnya peran sebuah lapangan terbang (lapter). Fasilitas ini akan menjadi pintu pembuka bagi daerah kita. Dengan adanya lapter, potensi daerah kita akan terkuak.
Ketika potensi itu dapat diolah menjadi sumber ekonomi, tentu dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Harapannya, akan banyak investor berdatangan ke Banyuwangi. Mereka bisa berinvestasi di daerah ini setelah melihat potensinya yang luar biasa kaya. Dengan begitu, akan banyak tenaga kerja yang terserap.
Kalau melihat efek dominonya, geliat ekonomi masyarakat akan ikut terdongkrak. Ujung-ujungnya, kesejahteraan yang kita impikan akan lebih mudah terwujud.
Tapi kalau melihat kondisi sekarang, apa mungkin ada investor mau datang? Misalnya saja, orang berduit dari Singapore, Jakarta, Malaysia, Kalimantan atau daerah lainnya. Ketika mereka tertarik untuk berinvestasi, mereka akan mikir dua kali untuk datang langsung ke Banyuwangi.
Untuk menuju Kota Gandrung, mereka cukup menempuh penerbangan paling lama dua jam dari daerah asalnya ke Surabaya atau Denpasar. Tapi dari Surabaya, mereka masih butuh perjalanan darat tujuh jam menuju Banyuwangi. Itupun, masih diwarnai dengan jalan rusak dan kemacetan. Namun semua kendala itu akan teratasi kalau lapter kebanggan kita bisa beroperasi.
Tetapi setelah menunggu sekian lama, lapter itu tak kunjung beroperasi. Saking lamanya tak beroperasi, lokasi itu kini malah dijadikan ajang latihan gantole oleh tim PON Jatim. Alasannya, mereka tak perlu sabar antre dengan pesawat lain saat berlatih di sini. Sebaliknya, kalau warga Banyuwangi tidak sabar lagi menunggu beroperasinya lapter, bisa-bisa mereka ramai-ramai beli gantole. Kalau ke Surabaya, cukup naik gantole. Lumayan untuk mengurangi stres akibat jalan rusak, sekalian memacu adrenalin. (*)

Lebih Baik Menolong daripada Menonton

Banjir besar yang menimpa Situbondo menyisakan penderitaan dan kepedihan. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Mereka juga kehilangan harta benda. Bahkan ada juga yang kehilangan nyawa kerabat maupun sana familinya.
Ancaman yang dihadapi warga pascabanjir juga semakin berat. Mulai dari masalah kekurangan pangan, problem gagal panen bidang pertanian, kesehatan, penyakit menular hingga masalah kejiwaan.
Tanda-tanda adanya gangguan kejiwaan itu sudah terlihat sejak Senin (11/2) kemarin. Banyak orang yang duduk termenung dengan tatapan kosong. Belum lagi emosi para korban banjir yang mudah meninggi.
Ini ditandai dengan aksi warga memblokade Jalan Mawar Situbondo pada Ahad (10/2) lalu. Saat warga sibuk membersihkan rumah dan perabotan dari lumpur, ada warga luar daerah yang melintas sekadar melihat-lihat aktivitas korban banjir. Akhirnya, lalu lalang kendaraan ‘penonton’ banjir itu membuat jengah warga. Mereka pun nekat menutup jalan agar tidak lagi terganggu dengan ‘wisatawan banjir’ itu.
Pada hari yang sama. rombongan ‘turis dadakan’ itu juga sempat memadati Jalan Merak. Ratusan sepeda motor berjubel mengakibatkan kemacetan. Mereka ingin melihat kondisi lokasi yang lumat digerus air bah. Kemacetan turis dadakan ini cukup merepotkan para relawan yang ingin mendistribusikan bantuan.
Memang wajar, setiap insan selalu berhasrat untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Ingin tahu lokasi banjir, ingin tahu aktivitas korban banjir dan seterusnya. Tetapi, apakah rasa ingin tahu itu sudah mengalahkan rasa kemanusiaan? Apakah kita sudah bebal dan mati rasa dengan penderitaan sesama?
Kita patut berharap, warga Indonesia khususnya masyarakat Situbondo dan sekitarnya masih punya nurani. Lebih baik menolong semampunya, daripada menonton penderitaan sesama. Ayo mulai dari diri sendiri, jangan lagi mau jadi ‘turis dadakan’ di daerah bencana. (*)

Sekolah Baru Butuh Orang Bijak

Dinas Pendidikan (Dispendik) Situbondo siap membangun SMAN 1 Besuki. Tentu saja, tujuan membangun sekolah negeri itu sangat mulia.
Kalau dinalar dengan logika, semakin banyak sekolah diharapkan semakin banyak masyarakat menjadi terdidik. Semakin banyak dicetak orang pintar dan terlatih. Dengan demikian, dalam jangka panjang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Namun logika umum itu tidak berlaku di Situbondo. Rencana pembangunan SMAN 1 Besuki ternyata malah mengundang protes sejumlah kalangan.
Reaksi penolakan itu dilontarkan dengan berbagai alasan. Ada kelompok yang menolak sekolah baru itu dengan alasan mengancam aset bersejarah. Sebab, lokasi pembangunan SMAN tersebut berada di di gedung eks Pendapa Kawedanan Besuki. Gedung tua tersebut merupakan bangunan bersejarah yang harus dilindungi.
Ada juga yang menolak pembangunan SMAN 1 Besuki dengan alasan lain. Kali ini, sekolah negeri itu ditolak dengan alasan menjadi ancaman bagi kelangsungan sekolah-sekolah swasta di sekitarnya. Sebab selama ini, perkembangan sekolah swasta di Kecamatan Besuki sudah cukup bagus. Dengan keberadaan SMAN 1 Besuki itu, dikhawatirkan sekolah swasta yang sudah berjuang lama untuk hidup itu akan ditinggalkan masyarakat. Sekolah swasta khawatir bakal tergusur.
Rasa waswas itu tetap ada meski Kepala Dispendik Situbondo menjamin bahwa keberadaan SMAN 1 Besuki itu tidak akan membunuh sekolah-sekolah swasta. Karena daya tampung SMA dan SMK di Situbondo masih cenderung rendah. Dari kebutuhan 7.000 siswa lebih pertahun, ternyata daya tampung yang tersedia kurang dari 4.000 siswa.
Kembali ke inti persoalan, rencana pembangunan sekolah baru itu memang perlu dilakukan secara bijak semua pihak. Sudah selayaknya, Dispendik memilih lokasi pembangunan yang ideal. Harus dipikirkan agar tidak mengganggu cagar budaya dan situs sejarah.
Masyarakat juga harus bijak dan mau menerima pembaharuan demi kemajuan bersama di masa mendatang. Para pengelola sekolah juga harus mawas diri dan bijak. Pengelola sekolah swasta juga harus optimistis dan siap menciptakan iklim bersaing secara sehat. Karena berkaca di Banyuwangi, banyak sekolah swasta yang berprestasi. Mereka siap bersaing sehat dengan sekolah negeri untuk menciptakan generasi yang berprestasi. Kalau merasa punya nilai lebih di keseimbangan ilmu umum dan agama, buat apa takut dengan sekolah negeri? Apalagi, sekolah itu masih baru akan berdiri.*

Subsidi Penggugah Kesadaran Wali Murid

Sekolah swasta di Banyuwangi kini dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah tunduk pada pemkab dengan tidak memungut Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dari siswa. Sebagai imbalannya, mereka akan mendapat kucuran subsidi dari pemkab.
Besarnya subsidi tergantung dari jumlah siswa sekolah yang bersangkutan. Kalau jumlah siswa banyak, subsidi yang diterima sekolah juga semakin gede. Gambaran rincinya, SMA swasta dapat subsidi Rp 50 ribu untuk masing-masing siswa perbulan. Sedangkan subsidi SMK swasta disubsidi Rp 65 ribu setiap siswa perbulan.
Misalnya, sebuah SMA swasta memiliki seribu orang siswa. Jika dia menerima pilihan pertama itu, maka sekolah itu akan menerima kucuran dana Rp 50.000 x 1.000 = Rp 50 juta perbulan. Namun jika sebuah SMA swasta punya siswa hanya 20 orang, tentu yang mereka dapatkan hanya Rp 1 juta.
Subsidi tersebut memang bisa membantu kegiatan operasional sekolah. Cukup atau tidak cukup, banyak atau sedikit, semua bergantung kembali ke sekolah masing-masing.
Namun di sisi lain, pengelola sekolah swasta di Banyuwangi merasa subsidi itu masih kurang. Selama ini, mereka tidak hanya butuh dana operasional untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Namun, pengelola sekolah swasta juga butuh membayar gaji guru. Kalau sekadar operasional KBM, mereka mengaku cukup karena di sekolah negeri dana BOS sebanyak itu cukup. Bedanya, guru sekolah negeri sudah digaji oleh pemerintah.
Sementara itu, pilihan kedua adalah menolak subsidi pemkab tersebut. Tetapi dengan begitu, pengelola sekolah swasta bisa tetap merdeka memungut SPP dari siswa. Berapapun besarnya SPP yang dipungut, tidak akan ada lagi yang menyoal. Namun harga ‘kemerdekaan’ memungut SPP itu harus dibayar mahal. Kucuran pundi subsidi dari APBD bakal hangus, sekolah yang bersangkutan ngaplo.
Memang, dua pilihan menolak atau menerima subsidi itu bukan masalah menang atau kalah. Apalagi masalah gengsi atau martabat. Semua bergantung kembali pada semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di Bumi Blambangan. Kembali pada niat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya generasi penerus di tlatah Blambangan ini.
Yang menyikapi tidak harus pengelola sekolah swasta. Wali murid juga harus bijak menyikapi pilihan ini. Kemajuan pendidikan (sekolah swasta) akan tercapai, kalau didukung dengan kesadaran wali murid. Bagaimana bentuk supportnya, itu yang perlu direnungi mendalam oleh wali murid sendiri. Yang jelas, kita semua tinggal di Jawa Timur yang dikenal puunya motto Jer Basuki Mawa Bea.

Mimpi Merdeka dari Jalan Rusak

Setelah 62 tahun merdeka, jalan rusak tetap ditemui di mana-mana. Di setiap penjuru wilayah desa dan kota. Tidak terkecuali di Banyuwangi dan Situbondo.
Perkembangan terakhir, jalan utama jurusan Jember – Banyuwangi rusak berat. Lubang besar menganga dekat jembatan kecil di Desa Tegalharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Saking parahnya, jalan itu tidak bisa dilewati kendaraan berat. Truk besar bermuatan lebih 30 ton terpaksa dialihkan ke jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) pada Rabu (9/4) kemarin.
Ini baru satu contoh kasus, betapa lemahnya kemampuan kita mengurus jalan. Belum lagi kasus Jalan Hayam Wuruk, Jalan Argopuro Banyuwangi yang termasuk jalur utama. Dan tidak bisa disebutkan satu persatu jalan kabupaten, jalan kecamatan hingga jalan desa yang rusak parah di Bumi Blambangan ini.
Lagi-lagi, setelah 62 tahun bangsa ini merdeka, pemerintah kita belum juga mampu mengurus jalan dengan baik. Apalagi sebentar lagi, 20 mei mendatang, sudah 100 tahun bangsa ini memperingati kebangkitan nasional. Tetapi untuk bangkit mengurus jalan dengan baik dan benar saja belum mampu sepenuhnya.
Tentu saja, pembeberan fakta kegagalan kita dalam mengurus jalan raya seperti ini, tidak bisa menyelesai persoalan. Kalau ingin berhasil mengurus jalan, jangan malu kita meniru negara lain. Sebut saja Malaysia, Singapore atau bahkan yang nyata-nyata sukses membangun dan mengelola jalan raya adalah pemerintah Tiongkok.
Entah bagaimana cara negara-negara itu, sehingga mereka cukup piawai mengelola dan membangun jalan raya. Dengan terbukanya akses jalan raya yang bagus, roda serta geliat perekonomian masyarakat akan ikut terangkat secara makro dan mikro. Kalau sudah begitu, kemakmuran masyarakat yang diidam-idamkan kita semua, otomatis akan cepat tercapai.
Melihat begitu pentingnya peran jalan bagi kemakmuran masyarakat, sudah selayaknya kita perlu mencoba langkah ektrim. Misalnya, seandainya pemerintah provinsi (karena yang banyak dikeluhkan itu jalan provinsi) tidak lagi mengurus banyak hal tetek bengek yang tidak perlu. Mereka cukup mengurus, membangun dan mengembangkan jalan raya secara baik dan benar. Kalau pekerjaan pemerintah fokus pada satu hal, maka hasilnya akan kelihatan lebih nyata. Demikian pula anggaran yang begitu besar (APBD provinsi), kalau difokuskan pada satu proyek jalan saja, tentu akan mudah terrealisasi.
Dengan begitu, bukan mustahil provinsi ini akan punya jalan bagus double track yang menghubungkan seluruh kabupaten. Bahkan bukan mustahil, akan terwujud jalan tol pantura Surabaya-Banyuwangi, tol lintas selatan Pacitan Banyuwangi, jembatan Suramadu, tol tengah Banyuwangi-Jember-Malang-Madiun serta jalur-jalur penting lainnya.
Kalau Jalan mulus menghubungkan semua kabupaten, peningkatan ekonomi serta kesejahteraan rakyat akan lebih mudah terwujud.
Namun sayang, semua itu angan-angan dan mimpi yang sangat ektrim. Tidak mungkin mimpi indah itu terwujud kalau tidak ada goodwill dari gubernur (yang sebentar lagi dipilih), serta para legislator di provinsi tercinta ini. Ayo, siapa yang mau mendukung wujudkan mimpi ektrim ini? (*)

Meriam Karbit Pembawa Bencana

SUDAH jadi kebiasaan, warga Banyuwangi dan Situbondo kerap bermain petasan setiap bulan puasa. Ini memang tradisi yang buruk. Kebiasaan yang tidak layak dicontoh. Selain bisa membuat perasaan orang lain tidak tenang, petasan juga membahayakan keselamatan. Baik keselamatan warga, serta keselamatan diri sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, aparat melarang peredaran semua jenis petasan. Semua yang terkait dengan barang yang meledak itu ditindak. Mulai pembuat dan penjual dikenakan sanksi hukum. Mereka bisa diancam hukuman pidana tentang bahan peledak.
Era selanjutnya adalah era kembang api. Kalau ditilik lebih dalam, kembang api sejatinya sama bahayanya dengan petasan. Apalagi, kembang api masa kini sudah dimodifikasi sedemikian macam bentuk dan rupa. Memang tidak ada lagi suara dar... der... dor... yang memekakkan telinga seperti yang dihasilkan petasan. Yang ada kini adalah suara ses..., ewes-ewes..., kretek-kretek.... dan sebagainya.
Pada dasarnya, kembang api tetaplah api. Lontaran api secara sembarangan bisa berpotensi bahaya. Bisa terjadi luka bakar, atau bahkan bisa menyulut kebakaran. Kini, aparat mulai bertindak tegas terhadap aneka jenis kembang api. Beberapa toko, kios hingga mini market di Banyuwangi dan Situbondo dirazia. Polisi berhasil mengamankan ribuan pack kembang api berbagai jenis. Petasan dan aneka macam kembang api pun tak beredar lagi di pasaran. Kalau pun ada, jumlahnya hanya satu dua di kios-kios tertentu.
Namun kenyataannya, suara dar der dor masih saja sesekali terdengar mengganggu kekusyukan orang berpuasa. Rupanya, anak-anak mulai melirik meriam karbit. Mereka berkreasi dengan menggunakan bambu, gundukan tanah berlubang, kaleng hingga botol plastik untuk membuat meriam karbit. Suara ledakan disertai kepulan asap dan sesekali ada juga lidah api yang menjulur.
Mereka bermain di kebun, tepi sungai dan juga kawasan perumahan. Halaman rumah kosong di perumahan jadi lokasi favorit permainan ini. Rupanya, aparat keamanan juga belum pernah menindak mainan meriam karbit ini. Padahal, meriam karbit itu tidak kalah bahaya. Jilatan api sangat berpotensi menimbulkan kebakaran. Apalagi, jika lokasi mainan ini dilakukan di kawasan perumahan padat penduduk.
Sudah saatnya kita semua memikirkan solusi mengantisipasi bahaya meriam karbit ini. Polisi tidak mungkin bisa memantau semua kegiatan permainan ledakan berbuah api ini. Masyarakat juga harus melakukan kontrol sosial terhadap fenomena ini. Yang paling dekat, peran orang tua dan keluarga sangat penting sebagai pencegah pertama maraknya meriam karbit. Ini sangat penting untuk menyelamatkan generasi penerus kita, sekaligus mengamankan kampung dari bahaya kebakaran. Ingat, jangan sekali-kali bermain api. Karena api kecil bisa jadi sahabat yang bermanfaat, tetapi kalau api sudah membesar, itu akan melahap kita semua. (*)

Waspada Teror Premanisme Keblinger

FENOMENA menarik terjadi di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Para pemilik toko daerah itu resah, menyusul beredarnya selebaran gelap berisi permintaan upeti. Selebaran itu beredar dalam dua pekan terakhir ini.
Peneror minta upeti Rp 200 ribu kepada para pemilik toko. Uang itu harus diserahkan setiap bulan. Selebaran itu juga disertai nomor telepon selluler (ponsel) dan foto si preman yang minta upeti.
Aparat kepolisian pun menerjunkan tim intelijen. Sayang, hasil penyelidikan aparat masih sumir. Tidak jelas bagaimana hasilnya, siapa preman peneror itu, apa motifnya, semuanya belum terungkap jelas.
Namun kalau dipikir secara logika, sangat tidak masuk akal seorang preman mengirim surat ancaman dengan mencantumkan identitasnya secara detil. Ada nomor ponsel, lengkap pula dengan fotonya. Sangat konyol dan keblinger, kalau seorang preman pemeras sengaja memunculkan identitasnya kepada publik. Logikanya, aparat akan dengan mudah meringkusnya.
Bukan mustahil, peneror sengaja mengirim surat ancaman itu dengan menyertakan foto orang lain. Ada juga kemungkinan, peneror mencatut nomor ponsel orang lain. Kalau seperti ini yang terjadi, maka orang yang fotonya dicatut sangatlah dirugikan. Demikian juga orang yang dicatut nomor ponselnya.
Berarti, misi peneror menyebar ketakutan sudah berhasil. Orang yang dicatut namanya tentu kalang kabut. Demikian juga para pedagang yang menerima surat ancaman dari peneror itu.
Apapun motifnya, yang jelas beredarnya surat itu menimbulkan keresahan bagi banyak kalangan. Karenanya, sudah selayaknya kita semua waspada dan peduli dengan lingkungan sekitar kita. Dengan sikap peduli itu, antaranggota masyarakat pasti akan saling menjaga. Ketika yang mengirim surat ancaman, paling tidak tetangga kiri kanan depan belakang melihat siapa pengirimnya. Saatnya kita tingkatkan peduli lingkungan. (*)

Hukuman Bagi Pengkhianat Devisa

Ada dua macam potret Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Yang pertama adalah potret cemerlang suksesnya meraup uang berlimpah dari hasil bekerja di negeri asing. Kesuksesan mereka biasanya cukup jadi gunjingan warga sekampungnya.
Yang berikutnya adalah potret buram para TKI. Nah, penderitaan mereka banyak diberitakan dan jadi gunjingan warga se Indonesia. Yang jelas, kabar tentang penderitaan TKI seolah tak ada habisnya.
Di Banyuwangi saja, sudah tak terhitung berapa banyak TKI yang jadi korban. Ada yang pulang tinggal nama, ada juga yang pulang membawa penderitaan seumur hidup.
Kabar terakhir, Reny Suryani, TKI berumur 21 tahun asal Kecamatan Muncar nyaris diperkosa keponakan majikannya. Dia juga terpaksa bekerja 19 bulan di Arab Saudi tanpa menerima gaji. Nasib sedih juga dialami Sri Wahyuni, TKI asal Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng. Perempuan berumur 20 tahun itu mengalami koma hampir sebulan lamanya di Negeri Jiran.
Belum lagi nasib Tatik dan Rini, dua TKI asal Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi. Mereka dijual sebagai wanita penghibur di Malaysia Timur. Beruntung, mereka bisa lolos setelah berhasil menghubungi saudara. Mereka bisa menelpon keluarga, setelah berjuang menyembunyikan telepon selluler di celana dalamnya.
Kalau ditelisik lebih dalam, ternyata penderitaan para TKI itu tidak lepas dari peran oknum pengerah tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab. Padahal, para TKI tersebut layak disebut sebagai pahlawan devisa bagi negeri ini.
Jika kita kembali ke masa perjuangan merebut kemerdekaan, oknum pengerah tenaga kerja yang tak bertanggung jawab seperti itu layak disebut sebagai pengkhianat bangsa. Apalagi, ulah mereka sangat keji menjerumuskan calon pahlawan devisa.
Kalau dalam perkara ini digunakan logika matematika, bisa muncul pernyataan seperti ini. Kalau ada pahlawan bangsa, ada juga pahlawan devisa. Berati kalau ada pengkhianat bangsa, ada juga pengkhianat devisa. Kalau zaman dulu pengkhianat bangsa layak dihukum mati, pengkhianat devisa ini berarti juga layak dihukum sangat berat layaknya hukuman pengkhianat bangsa. (*)

Kita Punya Banyak Stadion Kelas Dunia

ASYIKNYA melihat anak-anak nelayan di pantai Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi. Kecil-kecil, ternyata mereka sudah mahir dalam bermain surfing. Ombak besar di pesisir laut selatan Jawa itu dimanfaatkan untuk arena main selancar.
Seperti yang dilakukan Angga dan Bima. Siswa kelas enam Sekolah dasar itu termasuk yang piawai berselancar. Selama liburan lebaran ini, dua bocah masih berusia sebelas tahun itu bermain surfing di pantai Wana Wisata Grajagan (WWG) rutin hampir setiap hari.Meski hanya berani main ombak kecil, aksi mereka mampu berdiri di atas papan sambil meluncur mengikuti ombak.
Pantai Grajagan juga sudah menyediakan penyewaan alat perlengkapan surfing. Sayangnya, peminat olahraga adventure ini masih terlalu minim. Jumlah surfer sangat jauh dan tak sebanding dengan jumlah penduduk. Hanya segelintir orang saja (dari sekitar 1,5 juta penduduk Banyuwangi) yang sudah merasakan nikmatnya bermain surfing.
Mayoritas warga Bumi Blambangan hanya jadi penonton. Itupun, statusnya hanya penonton pasif kemudian langsung melupakannya begitu saja. Mereka lebih fanatik pada olahraga yang sudah merakyat seperti sepakbola. Padahal, prestasi tim sepakbola kita ya segitu-gitu saja. Jangankan tingkat lokal Banyuwangi, tim nasional Indonesia saja tak pernah berjaya di level Piala Dunia.
Ironisnya, uang rakyat yang digunakan untuk membiayai olahraga tersebut sudah luar biasa. Banyak tim sepakbola liga Indonesia yang menggunakan dana APBD untuk operasionalnya. Belum lagi pengeluaran dana APBD untuk pembangunan stadion sepakbola.
Di Banyuwangi saja, sudah miliaran rupiah uang APBD mengalir untuk pembangunan stadion sepakbola. Ya, itu memang sah-sah saja. Toh, eksekutif di pemkab setuju, wakil rakyat di DPRD juga setuju, kemudian rakyat penggila bola juga terhibur dengan stadion yang layak.
Namun kembali pada sudut pandang kalangan surfer, Banyuwangi sebenarnya punya banyak ‘stadion’ kelas dunia. Kita punya Plengkung dan G-land yang ombaknya sangat ektrim. Para surfer kelas dunia bilang, Plengkung termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan, ombak sepanjang pantai selatan Jawa Timur ini sangat layak untuk surfing. Mulai pantai di Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang Selatan, Lumajang, Jember hingga Banyuwangi. Semuanya termasuk pantai kelas dunia untuk surfing.
Ibaratnya sepakbola, pantai-pantai itu ibaratnya stadion Yokohama Dome di Jepang), stadion antigempa di Sansiro (Italia), stadion markas Bayern Muenchen Allianz Arena (Jerman) hingga stadion Old Trafford (Inggris).
Selain itu, kalangan surfer punya jaringan dan ikatan komunitas yang kuat seluruh dunia. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Yang menguntungkan, pusat komunitas itu berada di Kuta, Bali yang masih dekat dengan Banyuwangi.
Tentu ini pelajaran berharga bagi kita warga Banyuwangi. Jangan lagi kita jadi penonton pasif. Kita punya banyak ‘stadion’ surfing berkelas dunia. Tahun 2002 lalu, pemkab sudah pernah menggelar event surfing internasional di Plengkung. Tapi setelah itu, enam tahun berlalu begitu saja. Ya, sudah terlalu lama kita membiarkan ‘stadion’ berkelas itu menganggur. (*)

Antara Kesenjangan, Seragam dan Rapelan

KATA kesenjangan biasanya identik dengan masyarakat miskin, warga pinggiran, kaum buruh kasar dan sebagainya. Mereka yang paling paham dengan makna mendalam kata kesenjangan itu.
Namun sekarang, kesenjangan juga dirasakan mereka yang mengenakan seragam dalam bekerja. Ada petugas kebersihan yang lazim disebut pasukan kuning, karena mereka biasanya berseragam kuning saat bekerja (kini seragamnya ungu).
Ada juga ribuan guru bantu yang tentu saja berseragam guru saat bekerja. Tidak ketinggalan para tenaga honorer atau tenaga borong kerja (tenaga boker), yang saat bekerja mengenakan seragam sama persis seperti yang dipakai para pegawai negeri sipil (PNS).
Yang membedakan mereka semua dengan PNS, tentu saja yang utama adalah status dan pendapatannya. Gaji PNS jauh lebih besar dari boker dan honorer.
Kabar terbaru menyebutkan, ribuan PNS Banyuwangi menerima rapelan kenaikan gaji selama empat bulan sejak Selasa (6/5) kemarin. Rapelan kenaikan gaji sebesar 20 persen itu terhitung sejak Januari hingga April 2008. Besarnya rapelan yang diterima PNS itu antara Rp 250.000 hingga Rp 400.000 setiap bulan. Tentu saja, besaran kenaikan gaji pokok itu targantung golongan, pangkat dan masa kerja masing-masing.
Bagi kalangan PNS, cairnya rapelan kenaikan gaji itu adalah kabar gembira. Sebaliknya, bagi tenaga honorer, boker, guru bantu dan pasukan kuning, berita itu sangat mungkin bisa jadi kabar pembenaran tentang kesenjangan kaum berseragam.
Begitu indahnya pencairan rapel kenaikan gaji PNS. Begitu susahnya ditakdirkan hidup menjadi boker maupun guru bantu. Jangankan membayangkan dapat rapel kenaikan gaji, honor yang seharusnya menjadi hak dan diterima setiap bulan, malah belum tak kunjung muncul hingga kini. Untuk PNS saja bisa cair, mengapa honor mereka tak kunjung bisa dicairkan.
Terlepas dari kendala teknis, kendala aturan hukum, serta kendala apa pun namanya, fakta tersebut jelas memperkuat adanya kesenjangan di lingkungan kerja pemerintahan daerah kita.
Yang lebih penting sejatinya adalah adanya satu pemahaman para pengambil kebijakan. Namanya saja pemegang kebijakan, harus mampu mengambil kebijaksaan. Bijaksana bisa juga punya makna baik untuk semua kalangan. Kalau sudah begitu, harus ada kompromi. Karenanya, pertimbangan yang dijadikan acuan tidak harus bertumpu pada persoalan teknis, aturan baku dan sejenisnya. Pengambil kebijakan harus juga mempertimbangkan masalah nurani. Ini yang patut kita renungkan bersama. Agama juga mengajarkan, bayarlah upah sebelum keringat pekerja itu kering. Sudahkah kita melakukannya?(*)

Memainkan Perasaan dengan Sumbangan

HARI ini, Bantuan Langsung Tunai (BLT) mulai dicairkan di Banyuwangi. Rencananya, pencairan tersebut akan berlangsung hingga tanggal 19 Juli 2008.
Meski bantuan belum cair, praktik pungutan liar (pungli) sudah marak. Seperti yang dikeluhkan warga miskin penerima BLT di Desa Grogol, Kecamatan Giri.
Sebelum mendapatkan kartu BLT, mereka mengaku ditarik Rp 10 ribu. Seperti yang dialami Masturoh, warga Dusun Krajan, Desa Grogol. Dia mengaku heran, mau mendapat bantuan kok malah dimintai uang.
Karena sangat mengharapkan BLT, mereka menurut saja apapun yang diperintahkan perangkat desa. Seperti diberitakan kemarin (7/7), sudah ada 134 gakin yang menyetorkan uang pungutan Rp 10 ribu tersebut.
Bagian Kesejahteraan Masyarakat Desa Grogol Gozali membantah, kalau pungutan itu sebagai prasyarat pengambilan kartu BLT. Dijelaskan, uang Rp 10 ribu itu akan digunakan untuk selamatan desa. Selamatan seperti itu memang rutin dilakukan setiap setahun.
Dari sudut pandang pemerintah desa, uang tersebut bukan merupakan pungutan BLT. Karena uang Rp 10 ribu tersebut ternyata merupakan sumbangan. Namanya saja sumbangan, sifatnya tentu sukarela. Yang mau menyumbang boleh, tetapi yang tidak mau juga tidak apa-apa.
Sedangkan dari sudut pandang penerima BLT, uang Rp 10 ribu itu juga merupakan sumbangan. Namun, mereka tetap berada pada posisi tawar yang lemah. Mereka sulit menolak untuk membayar sumbangan itu.
Sebagai manusia biasa, mereka juga punya rasa takut. Perasaan seperti memang cukup manusiawi. Karena suatu saat, mereka pasti akan tetap berhubungan dengan pemerintah desa setempat. Mau membikin KTP misalnya, atau surat keterangan untuk mengurus akta kelahiran, mau menikah, bahkan untuk mengurus surat kematian, mereka tetap akan berurusan dengan pemerintah desa setempat.
Ketika ada sumbangan Rp 10 ribu, mereka tidak akan berkutik. Mau tidak mau, rela tidak rela, ikhlas atau kurang ihklas, mereka akan membayar. Apalagi, sebentar lagi mereka dapat kucuran BLT senilai ratusan ribu rupiah.
Ya, perasaan mereka diaduk-aduk. Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam ada rasa keberatan. Tetapi kalau mengedepankan logika dan akal sehat, mereka siap membayar demi kelancaran semua urusan di masa mendatang. Lagi-lagi, perasaan mereka dipermainkan dan emosi diaduk-aduk.
Kondisi serupa juga akan dialami para orang tua di musim Penerimaan Siswa Baru (PSB) seperti saat ini. Posisi tawar mereka juga lemah. Sama lemahnya dengan posisi tawar para penerima gakin. Emosi mereka juga diaduk-aduk.
Masuk sekolah negeri di Banyuwangi memang gratis saat ini. Sekolah dilakukan menarik pungutan. Namun di sisi lain, pihak sekolah boleh menerima sumbangan. Tentu saja, sumbangan semacam itu harus seizin para orang tua wali murid. Nah, orang tua akan berat menolak sumbangan ketika rapat bersama. Kalau menolak atau terlalu vokal, mereka tentu takut berdampak pada anaknya. Bagaimana perasaan kita, kalau teman sekolah menggunjingkan anak kita gara-gara orang tuanya menolak sumbangan pendidikan. (*)