Minggu, 19 Oktober 2008

Berebut Gundukan Bebas Retribusi

Proyek lapangan terbang (lapter) di perbatasan Desa Blimbingsari (Rogojampi) dan Desa Badean (Kabat) memang selalu jadi sorotan. Entah sorotan positif, terkait pantauan tahapan pembangunan prasarana transportasi udara itu.
Atau mungkin juga sorotan negatif, terkait pernik-pernik dugaan penyimpangan dana pembebasan lahan yang pernah digarap Polda Jatim. Belum lagi heboh masalah hasil audit BPK terkait kerugian negara kasus lahan lapter itu.
Kali ini, satu problem lagi jadi sorotan di arena lapter yang tak kunjung diresmikan itu. Entah siapa yang menyuruh, belasan truk dengan leluasa mengeruk gundukan tanah di sisi selatan landasan pacu lapter Blimbingsari.
Para sopir truk yang mengangkut tanah tersebut juga menggunakan jurus bungkam. Mereka tidak mau berterus terang, ke mana tanah itu akan diangkut. Yang jelas, mereka membawa tanah kerukan bekas gundukan itu keluar dari kawaan proyek lapter.
Ternyata, aktivitas penambangan gundukan tanah tersebut tanpa sepengetahuan pemkab. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan Banyuwangi, Ketut Kencana mengaku tidak tahuada aktivitas pengerukan tanah gundukan di proyek lapter.
Sementara itu, proyek lapter sejatinya masih butuh tanah untuk pengurukan kawasan tersebut. Pemerintah pusat mengisyaratkan pelaksana proyek harus meratakan tanah sekitar lapter secepatnya.
Sangat ironis memang. Lapter butuh material tanah untuk pengurukan lokasi. Namun, gundukan bekas pengerukan runway justru dijarah secara terorganisasi. Penjarahan material tanah untuk pengurukan itu justru dibiarkan.
Padahal terjadinya di tempat umum pada siang hari. Banyak juga masyarakat yang melihatnya. Apalagi, yang mengeruk tanah itu melibatkan banyak armada truk dan alat berat. Benar-benar hebat. Sangat luar biasa kalau pemkab sampai (mengaku) tidak tahu.
Yang lebih menyakitkan lagi, kalau seandainya material tanah tersebut digunakan untuk menguruk bangunan. Tentu pengeruk tanah itu akan mendapat keuntungan.
Kalau dibandingkan dengan penambangan pasir, batu dan sejenisnya (bahan galian C), ini jelas tidak adil. Pengusaha tambang pasir harus mengurus bermacam izin. Proses ini jelas menyedot biaya yang tidak sedikit. Begitu izin ada, mereka juga harus membayar retribusi setiap kali menambang pasir. Belum lagi bermacam risiko lain yang dihadapi pengusaha tambang galian C.
Mengaca peristiwa ini, betapa berharganya gundukan tanah di lokasi proyek lapter ini. Mereka bebas beroperasi izin penambangan, bebas retribusi, bebas mengambil kapan saja tanpa pamit kepada pemkab sebagai pemilik lokasi. Mereka juga akan semakin bebas merdeka segala-galanya, kalau tidak ada kepedulian dari kita semua.(*)

Tidak ada komentar: