Kamis, 03 September 2009

Ujian Untuk Pengelola Uji Kir

SEMUA kendaraan mobil penumpang umum (MPU) yang akan digunakan sebagai angkutan Lebaran, wajib melakukan uji kelayakan kendaraan (kir). Kendaraan yang lulus uji kir, akan dinyatakan laik jalan sebagai angkutan Lebaran.

Namun fakta yang terjadi di Banyuwangi cukup membuat kita miris. Ternyata, kendaraan jenis MPU yang melakukan uji kir tahun ini menurun drastis. Sekitar 35 persen MPU di Banyuwangi belum melakukan uji kendaraan.

Sesuai data Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo), jumlah MPU di Banyuwangi mencapai 726 unit. Itu terdiri dari mikrolet, taksi argo, bus kecil dan besar. Dengan demikian, MPU yang sudah dinyatakan laik jalan hanya sekitar 254 unit. Ini benar-benar perbandingan yang belum ideal. Secara umum bisa dikatakan, kondisi kelayakan sebagian besar angkutan umum di Bumi Blambangan ini masih meragukan.

Tak dapat kita pungkiri, banyaknya MPU yang tidak uji kir tersebut disebabkan berbagai hal. Salah satunya, biaya operasional MPU yang semakin tinggi. Ditambah lagi, kondisi kendaraan yang sudah menua. Terlebih lagi, kondisi penumpang semakin sepi akhir-akhir ini. Sepinya penumpang itu, juga dipengaruhi oleh pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. Di Banyuwangi saja, pertumbuhan sepeda motor baru mencapai 3.000 unit setiap bulan. Itu masih ditambah dengan angka pertumbuhan mobil baru di Banyuwangi.

Situasi ini membuat posisi pengelola dan awak MPU semakin terjepit. Tak jarang, mereka akhirnya lalau dalam melakukan hal yang urgen seperti mengikuti uji kelayakan kendaraan. Apalagi, uji kelaikan kendaraan bermotor itu juga disertai dengan biaya yang tidak sedikit.

Biaya uji kir meliputi biaya pendaftaran, biaya jenis kendaraan, tanda uji atau plat uji, penggantian buku uji baru, penggantian buku uji rusak, buku uji hilang, penggantian plat uji, dan rekomendasi mutasi. Jumlah total biaya yang dikeluarkan awak MPU untuk mengikuti uji kir sekitar Rp 121 ribu.

Uji kir memang penting untuk kenyamanan dan keselamatan penumpang. Selain itu, secara tidak langsung bisa menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Dalam hal ini, pemerintah harus bijak dalam pengelolaan uji kelayakan kendaraan. Pemerintah tidak bisa melihat persoalan ini, hanya dari satu sudut pandang yakni masalah keselamatan penumpang.

Sebaiknya, pemerintah juga memang persoalan uji kir ini dari sudut pandang awak MPU. Logikanya, awak MPU tidak mungkin memaksakan diri untuk melakukan uji kir tersebut jika penghasilannya tidak mencukupi. Pendapatan mereka yang pas-pasan akibat sepinya penumpang, sudah tersedot besar untuk operasional kendaraan.

Karena itu, tidak berlebihan jika pemerintah melihat kalangan awak MPU sebagai rakyat yang harus dibantu. Caranya pun tidak serta merta memberikan bantuan berupa uang.

Kita bisa saja mencontoh program insentif pengemudi angkutan umum yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta sejak Maret 2009 lalu. Pengemudi yang akan melakukan uji kelayakan, tidak lagi dipungut bayaran sesuai peraturan baru Gubernur DKI Jakarta. Jika biasanya uji kir di Ujung Menteng, Jakarta dipungut biaya Rp 40 ribu, kini gratis. Nah, bukan mustahil insentif serupa diterapkan di Bumi Blambangan. Sopir tidak terbebani, masyarakat pengguna jasa MPU pun tidak lagi was-was dengan kondisi kendaraan yang sudah laik jalan.(*)

Mau Pakai Baju Bekas Impor?

KANTOR Bea Cukai Wilayah Jatim II membongkar pengiriman pakaian bekas impor di Pelabuhan Tanjung Wangi Banyuwangi Rabu sore kemarin (26/8). Pakaian bekas yang sering disebut babebo (baju bekas bos) itu diangkut kapal layar Motor (KLM) Jhonson. Ribuan bal pakaian bekas diamankan dari kapal tersebut.

Dari dokumen yang ada, kapal dan barang tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Pihak Bea Cukai menyatakan, jaringan penyelundup pakaian bekas impor itu kerap menggunakan modus pengiriman antarpulau.

Sementara itu, pemilik pakaian bekas tersebut justru melaporkan penggerebekan yang dilakukan petugas kantor Bea dan Cukai itu ke Polsek KPPP Tanjung Wangi. Pemilik merasa dirugikan dengan penggerebekan tersebut. Pemilik merasa, seluruh dokumen barang tersebut sah dan barang bukan berasal dari luar negeri.

Kedua belah pihak (baik Bea Cukai maupun sang pemilik babebo), merasa pihaknyalah yang paling benar. Namun, kita tidak perlu membahas, pihak mana yang paling benar dalam kejadian tersebut. Yang patut kita kaji mendalam adalah keberadaan barang bekas tersebut yang sedang singgah di Banyuwangi.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa produk pakaian bekas impor itu adalah komoditas yang dijual dengan harga sangat murah. Sasarannya adalah pangsa pasar masyarakat kelas bawah atau sedikit kelas menengah. Kehadiran babebo dari mancanegara sungguh menarik bagi kalangan bawah.
Namun, permasalahan yang terpenting bukan sekadar pakaian impor bekas itu sendiri. Tetapi efek berganda atas kehadirannya yang dapat menimbulkan dampak sangat negatif dan merugikan bagi perekonomian nasional.

Maraknya perdagangan pakaian bekas berharga murah, dapat mengancam kelangsungan usaha pedagang pakaian skala kecil dan menengah. Kenyataan ini berdampak buruk terhadap perekonomian nasional, karena mengganggu produktivitas industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri. Apalagi, jenis industri pakaian itu merupakan perusahaan yang padat karya. Ribuan atau bahkan ratusan ribu pekerja akan sangat bergantung pada industri ini.

Sehingga industri tekstil terancam mengalami pengurangan produksi. Pendapatan karyawan akan menurun karena pengurangan jam kerja. Bahkan, bukan mustahil terjadi pemutusan hubungan kerja. Lebih jauh, para pemodal yang sudah beroperasi di Indonesia, akan lari ke negara lain yang biaya produksinya lebih kompetitif.

Sementara pasar di dalam negeri yang kosong, segera dibanjiri oleh produk impor harganya lebih murah. Terlebih, pakaian bekas dapat dijual dengan harga murah, karena masuk tanpa membayar pajak Bea Masuk.
Selain itu, impor pakaian bekas sangat berpotensi menimbulkan problem kesehatan masyarakat.
Sebab, baju bekas itu berpotensi menjadi media penularan berbagai jenis virus penyakit. Tentu kita tidak tahu, siapa yang memakai baju itu sebelumnya. Apakah dia sehat ataukah dia menderita penyakit berbahaya. Karena itu, semua akan kembali pada diri kita masing-masing. Jika ingin perekonomian negeri ini terpuruk, dan kita tak peduli kesehatan diri sendiri, silakan pakai babebo sesuka Anda. (*)

Jangan Bermain Api, Apalagi Menjualnya

ADA peribahasa yang menyatakan, bermain air basah, bermain api terbakar. Artinya kurang lebih, setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan ada akibatnya.

Memasuki awal Ramadan seperti ini, peribahasa itu ada benarnya. Bahkan peribahasa tersebut sangat memungkinkan menjadi kenyataan. Karena itu, jangan sampai bermain api. Apalagi menjual api yang berbentuk aneka mainan kembang api sebagai komoditas bisnis.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Muncar, Banyuwangi kemarin (23/8). Aparat Polsek Muncar berhasil menyita ribuan kembang api beraneka jenis. Kembang api yang dibungkus dalam 362 dus itu disita dari lima toko di wilayah Kecamatan Muncar.

Kenyataan pahit harus dirasakan lima toko tersebut. Maunya berbisnis secara legal, tetapi apa daya, dagangannya berupa aneka jenis mainan kembang api terpaksa disita polisi. Bahkan, ada toko yang sama sekali belum membukukan penjualan atas komoditas tersebut. Karena barang itu baru datang malam hari, ternyata pada pagi hari sudah disita polisi.

Polisi menegaskan bahwa meski yang dijual itu hanya kembang api, tetapi barang itu juga tergolong membahayakan. Apalagi, ada jenis kembang api tertentu yang bisa meledak. Karena itu, polisi akan terus melakukan razia kembang api dan petasan selama bulan Ramadan. Tujuannya untuk menciptakan situasi yang kondusif selama bulan puasa ini.

Kalau kita berkaca pada kasus yang sama, ternyata di daerah lain masih ada beberapa jenis kembang api yang tetap diizinkan peredarannya oleh polisi. Tetapi, peredaran kembang api jenis tertentu itu disertai dengan sederet persyaratan yang cukup ketat. Salah satu syaratnya adalah, jenis kembang api tersebut tidak menimbulkan ledakan. Selain itu, kembang api itu tidak boleh dipakai sembarangan oleh setiap orang. Pemakainya juga harus tetap berizin. Biasanya, yang mendapat izin menyalakan kembang api tersebut adalah untuk kegiatan seremonial.

Sedangkan untuk distributor kembang api jenis tertentu itu juga harus resmi dan terdaftar. Bahkan dalam praktiknya, distributor kembang api seperti itu wajib melaporkan stok barang yang tersisa setiap pekan. Dengan demikian, laporan mingguan itu semakin tidak memungkinkan terjadi penyelewengan jumlah kembang api yang disalurkan.

Nah, hal itu sangat kontras dengan kenyataan yang terjadi di Bumi Blambangan. Di setiap pasar, cukup banyak pedagang yang menjual bermacam jenis kembang api. Hampir dipastikan, mayoritas pedagang itu tidak memiliki izin distribusi kembang api. Karena itu, langkah cepat Polsek Muncar merazia kembang api di tingkat agen dan distributor layak diacungi jempol.

Karena jika kembang api sudah beredar di tingkat pengecer, kondisinya akan menjadi lebih dilematis. Karena pengecer adalah masyarakat kecil yang butuh penghasilan untuk kehidupan keluarganya. Jika barang dagangannya disita karena ternyata tidak berizin, hal itu akan berdampak pada perekonomian mereka. Sebelum semua telanjur melebar, perlu ada pemahaman secara menyeluruh bahwa kembang api ternyata bukan komoditas yang boleh diperjualbelikan secara bebas.(*)

Perempuan Tak Sekadar Objek Kekerasan

KASUS perampokan toko emas Indah Jaya di Kecamatan Muncar bisa dikatakan spektakuler. Yang pertama, aksi kejahatan bersenjata itu terjadi pada siang hari. Yang kedua, pelakunya cukup sadis dan tega menembak perut pemilik toko. Yang ketiga, jumlah kerugiannya besar yakni sebanyak 2,4 kilogram emas atau sekitar Rp 350 juta.

Yang lebih mencengangkan lagi, muncul dugaan bahwa salah satu pelaku perampokan itu adalah seorang perempuan. Kapolres Banyuwangi, AKBP Rachmat Mulyana juga mengakui munculnya dugaan bahwa salah satu pelaku adalah kaum perempuan. Untuk memastikan dugaan itu, pihaknya melakukan pemeriksaan secara intensif terhadap beberapa saksi yang mengetahui kejadian itu.

Terlepas apakah hal itu sesuai fakta yang sebenarnya atau tidak, munculnya dugaan tersebut cukup membuat kita semua miris. Akan muncul banyak pertanyaan dalam benak kita. Betulkah dugaan itu? Dari sudut pandang mana munculnya dugaan atau analisis semacam itu? Apakah perempuan zaman sekarang sudah setega itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Memang, antara kekerasan dan perempuan itu bisa ditarik benang merah. Hanya selama ini, posisi perempuan nyaris selalu menjadi objek atau korban tindak kekerasan dan kejahatan. Sangat jarang perempuan menjadi subjek dalam dunia kriminalitas.

Kita juga perlu berkaca pada kasus penyerangan rombongan regu gerak jalan tradisional Larosmania yang terjadi di Kecamatan Rogojampi. Rombongan itu mendadak diserang puluhan orang tak dikenal. Bahkan menurut saksi korban, salah satu oknum penyerang diidentifikasi sebagai seorang perempuan.

Ini menunjukkan bahwa meskipun sangat jarang terjadi, seorang perempuan juga bisa menjadi subjek dalam kasus kriminalitas. Seperti pula yang pernah terjadi di Bekasi September tahun 2008 lalu. Seorang pekerja garmen nekat merampok taksi dengan cara memukul sopir dengan martil.

Tetapi setelah ditelusuri lebih jauh, dia terpaksa melakukan tindak kriminalitas karena pusing ditagih utang menjelang Lebaran. Sehingga bisa dikatakan, keterlibatan perempuan sebagai subjek dalam tindak kriminalitas itu tak bisa lepas dari unsur keterpaksaan. Ada suatu kondisi yang terpaksa membuat mereka melakukan tindakan nekat.

Nah, bukan mustahil pula, jika kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan kaum Hawa di Bumi Blambangan ini juga berlatar belakang sama. Ada suatu faktor tertentu, yang akhirnya membuat mereka terpaksa bertindak nekat. Apalagi, naluri perempuan sebagai seorang ibu, akan mengantar semua tindakan mereka untuk selalu melindungi anak dan keluarga.

Karena itu, jika semua dugaan keterlibatan perempuan dalam kasus kriminal di Banyuwangi itu benar, petugas haruslah bijak. Proses penyidikannya akan sangat ideal, jika disertai dengan latar belakang yang lengkap atas keterlibatan figur perempuan itu. Karena dengan melampirkan latar belakang persoalan hingga mereka berbuat nekat, majelis hakim akan punya pertimbangan untuk meringankan hukuman bagi mereka. Apalagi, sejatinya perempuan itu merupakan salah satu golongan mulia serta kandidat penghuni surga. Ingat, surga berada di bawah telapak kaki ibu.(*)

Pengawasan Rel Rakyat Semesta

MENTERI Perhubungan (Menhub) Jusman Syafi’i Djamal sempat melakukan pengecekan rel kereta api (KA) jalur Banyuwangi-Surabaya. Menhub menumpang KA khusus dari Stasiun Banyuwangi Baru.

Inspeksi ini dilakukan sebagai persiapan menjelang Lebaran tahun ini. Dephub memprediksi, jumlah arus mudik Lebaran akan meningkat dari 15 juta orang pada tahun 2008, menjadi 16 juta pemudik tahun ini. Salah satu angkutan umum yang murah dan digemari masyarakat adalah KA.

Karena itu, semua persiapan angkutan Lebaran sudah direncanakan sejak jauh hari sebelumnya. Dephub juga sudah mengeluarkan instruksi, agar perusahaan angkutan menyusun jadwal perawatan armadanya. Tujuannya, agar pada pelaksanaan angkutan Lebaran nanti, semua armada sudah siap dioperasikan. Tidak terkecuali PT KAI sudah mempersiapkan sekitar 400 gerbong KA untuk angkutan Lebaran tahun ini.

Terkait persiapan Lebaran itu, tidak ada salahnya kita berkaca pada kejadian tergulingnya KA Mutiara Timur di Pasuruan. Musibah itu memang masih sedang dalam penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Namun hasil kesimpulan sementara, penyebabnya tergulingnya KA tersebut adalah karena adanya rel patah. Namun, penyebab patahnya rel tersebut belum diketahui secara jelas.

Kemungkinan pertama, rel mengalami aus atau terjadi kelelahan logam yang akhirnya menyebabkan putus. Atau penyebab kedua, karena banyak hal di luar teknis.

Memang, Dephub sudah me-warning PT KAI untuk mendisiplinkan petugas juru penunjuk jalan (JPJ). Seorang JPJ memiliki tugas mengecek kesiapan rel KA setiap saat. Dalam setiap 60 kilometer, ada satu orang petugas JPJ yang berjalan kaki melakukan pengecekan dan memeriksa kondisi rel.

Namun, pemberdayaan petugas JPJ itu tidaklah cukup untuk mengawasi ribuan kilometer jalur rel KA di Pulau Jawa saja. Karena banyak peluang terjadinya faktor ‘non teknis’ yang mengakibatkan musibah tergulingnya KA.

Kalau kita mau realistis, ribuan rel KA tersebut termasuk salah satu sarana vital yang penting bagi publik. Keberadaannya juga sangat dibutuhkan banyak orang. Karena itu, sudah selayaknya rel KA dilindungi dengan perangkat dan produk aturan hukum yang memadai. Intinya, siapa saja dilarang mengganggu rel KA. Barang siapa yang merusak atau menyabotase rel KA, haruslah dihukum berat. Bahkan kalau perlu, penyabot rel KA itu pantas diberi label dengan stigma teroris.

Senyampang belum terjadi musibah, lebih baik kita semua ikut mencegah hal itu terjadi. Selain memperberat ancaman hukuman, masyarakat juga harus ikut menjaga sarana publik tersebut. Bukan hanya sistem pertahanan negara yang melibatkan rakyat semesta. Pengawasan terhadap rel KA sepertinya juga membutuhkan hal yang sama. (*)