Selasa, 15 Februari 2011

Mengkritisi Bantuan Pemerintah

TIDAK semua orang mau dibantu. Bahkan, ada warga yang menolak bantuan. Seperti yang terjadi di Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Situbondo.

Bantuan alat tangkap ikan dari Gubernur Jatim Soekarwo melalui program Jalin Kesra, ditolak oleh para nelayan Desa Klatakan. Mereka menilai, alat tangkap yang diserahkan itu kurang lengkap dan tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya.

Dalam masalah ini, sebanyak sembilan paket alat tangkap yang akan diberikan kepada 20 nelayan Desa Klatak. Nilai bantuan peralatan tersebut adalah Rp 2,5 juta untuk masing-masing nelayan.

Tetapi setelah bantuan itu tiba, ternyata alat tangkap tersebut dianggap tak sesuai dengan nilainya. Menurut estimasi para nelayan, nilai alat tangkap tersebut sebenarnya tak lebih dari Rp 500 ribu. Karena tidak puas, mereka ramai-ramai mengembalikan bantuan alat tangkap tersebut.

Melihat fakta ini, ada fenomena ketidakpuasan dari kalangan para nelayan. Sekilas, memang sepertinya terlalu naif jika kita serta merta menolak bantuan. Seolah-olah, betapa sombongnya jika kita telah menolak bantuan. Apalagi, bantuan itu berasal dari pemerintah dengan tujuan untuk menyejahterakan kaum nelayan.

Secara konseptual, pemberian bantuan berupa alat kerja memang sangat bagus untuk masyarakat. Dengan bantuan itu, masyarakat diharapkan lebih giat bekerja demi meraih penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Bantuan yang dikucurkan tidak hanya berupa uang atau bahan konsumtif yang cepat habis. Dengan begitu, bantuan berupa alat kerja juga akan menjauhkan masyarakat dari mental pengemis. Masyarakat dididik menjadi pekerja tangguh yang ulet dan mau berubah.

Namun di sisi lain, jika memang dalam proses pengucuran bantuan itu kuat aroma ketidakberesan, semua pihak layak ikut mengawasi dan mengontrol. Dengan adanya kejadian penolakan bantuan itu, mungkin saja karena masyarakat nelayan setempat sudah jengah karena selalu diposisikan sebagai objek bancaan uang negara. Mungkin saja, bantuan-bantuan yang diduga sarat dengan sunatan sehingga nilai ekonominya habis seperti itu, bisa saja sudah kerap dirasakan para nelayan.

Jika memang kecurigaan para nelayan itu benar, sungguh celaka para operator yang bertugas mengatur dan mendistribusikan bantuan itu. Kalau memang mengendus aroma dugaan korupsi atau penyunatan duit bantuan itu, ini sudah menjadi ranah aparat penegak hukum. Informasi seperti itu sudah layak untuk diinvestigasi. Siapa tahu, tengara yang dirasakan para nelayan ada benarnya.

Karena itu, harus ada langkah nyata untuk menindaklanjuti tengara para nelayan itu. Polisi dan Kejaksaan tak perlu sungkan untuk mengusutnya, jika memang indikasi penyunatan nilai bantuan itu cukup kuat. Kalau terbukti, ’tikus’ oknum yang melakukan penyunatan harus dihukum berat. Sebaliknya, jika seandainya nanti dugaan penyunatan itu tidak terbukti, nama lembaga dan para personel pengelola serta penyalur bantuan itu harus dibersihkan. Nelayan juga harus legawa jika nanti ternyata terbukti bantuan itu sudah disalurkan secara prosedural. (*)

Tidak ada komentar: