Selasa, 23 Maret 2010

Berguru pada Alam dan Sejarah

SETIAP datang musim hujan, bencana hampir dipastikan selalu menyertai. Ini bisa kita lihat dari catatan sejarah yang terjadi di Banyuwangi dan Situbondo.

Musibah yang datang di saat musim hujan itu, bisa dibilang bencana klasik. Bahkan, boleh juga dikatakan sebagai (maaf) ’musibah rutin’. Karena hampir setiap tahun, bencana berupa banjir itu nyaris selalu terjadi saat musim hujan.

Lihat saja yang terjadi di Situbondo. Banjir selalu melanda beberapa kawasan tertentu. Lokasi yang terkena luapan banjir, selalu tak jauh dari tempat-tempat yang itu-itu saja. Demikian juga seperti yang terjadi di Banyuwangi.

Kabar paling akhir, banjir nyaris menenggelamkan puluhan rumah warga Desa Labanasem, Kecamatan Kabat, Banyuwangi Minggu sore kemarin (31/1). Beberapa rumah warga tergenang akibat aliran sungai tidak mampu menampung debit air hujan.

Dampak banjir yang paling parah terjadi di tiga dusun. Yakni, Dusun Krajan Timur dan Krajan Barat, serta Dusun Labansukap. Di tiga dusun tersebut, beberapa rumah tergenang air setinggi satu meter.

Data sementara, rumah yang tergenang mencapai sekitar 17 unit. Walau tergenang, namun beberapa perabot rumah tangga berhasil diselamatkan. Ada juga beberapa perabotan seperti kulkas dan kursi yang tidak berhasil diselamatkan. Kerugian akibat banjir kali ini diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah.

Kalau kita menoleh lagi ke belakang, sebenarnya tiga dusun tersebut memang menjadi langganan banjir tahunan. Bahkan pada tahun 2009 lalu, banjir sempat terjadi hingga dua kali dalam tempo setahun. Untuk banjir kali ini, merupakan yang pertama pada tahun 2010.

Dari hasil kajian pemerintah desa setempat, banjir tersebut terjadi karena gorong-gorong di Dusun Krajan Timur terlalu kecil. Ketika turun hujan lebat, air tidak bisa tertampung lewat gorong-gorong itu. Akhirnya, air pun meluap ke beberapa rumah warga.

Bahkan, pemerintah desa menyatakan bahwa satu-satunya solusi mencegah terjadinya banjir adalah mengganti gorong-gorong jembatan itu dengan plat dekker.

Sebenarnya, hal ini cukup aneh dan mengejutkan. Jika kita sudah lama tahu solusi mencegah bencana itu, mengapa hal itu tidak dilakukan? Sungguh terlalu. Sebenarnya semua komponen masyarakat harus tanggap dan tak harus menunggu. Solusi sudah ada, tetapi tak kunjung dilaksanakan.

Dengan pola pikir yang sederhana, sejatinya kita harus belajar dari alam, secara naluriah untuk menghindari bencana. Kita juga perlu belajar dari sejarah catatan silam masa lalu, agar bencana banjir tak lagi menghampiri kita. Paling tidak, kita bisa mencegah musibah serupa agar tak terjadi lagi di masa mendatang. (*)

Tidak ada komentar: