Rabu, 11 Agustus 2010

Mengurai Benang Kusut Mutasi Guru

ATMOSFER dunia pendidikan di Situbondo cukup menghangat akhir-akhir ini. Tidak salah juga kalau ada yang mengatakan, tensi dunia pendidikan di Kota Santri itu sedang meninggi.

Persoalan yang mencuat ke permukaan seolah tak ada habisnya. Puncaknya terjadi kemarin (15/7), ketika seluruh pelajar SMAN 1 Panarukan melakukan aksi mogok. Mereka menggembok pintu gerbang sekolah. Sehingga, tak seorang pun bisa masuk ke dalam sekolah. Aksi mogok tersebut dipicu oleh tindakan Dinas Pendidikan (Dispendik) yang memutasi salah seorang guru sekolah setempat, Novi Kusbudianto.

Seluruh siswa berharap agar Novi tetap bertugas di SMAN 1 Panarukan. Alasannya, guru olahraga tersebut dinilai banyak membantu memajukan SMAN 1 Panarukan dengan membuat siswa berprestasi dalam bidang non-akademik. Mereka menolak kedatangan guru pengganti Novi.

Para siswa juga memadati jalan di halaman depan sekolahnya. Mereka bergerombol sambil duduk lesehan di depan pintu gerbang yang digembok. Sejumlah guru dan personel kepolisian yang merayu agar kunci gembok diserahkan, ternyata tak membuahkan hasil. Pintu gerbang baru terbuka, saat sejumlah pejabat dari Dispendik datang. Dengan dalih akan melakukan pembicaraan dengan perwakilan siswa, kunci gembok akhirnya diserahkan.

Aksi siswa itu juga membuat kalangan guru kewalahan. Guru tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah aksi mogok belajar siswa itu.

Sementara secara terpisah, Wakil Kepala SMAN 1 Kapongan, Sugiono Eksantoso nekat mengembalikan Surat Keputusan (SK) pemutasian dirinya. Sugiono tak beraksi seorang diri. Dia bersama enam orang guru lainnya juga mengembalikan SK mutasi tersebut ke kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) kemarin (15/7).

Mereka menilai, mutasi yang dilakukan Dispendik itu tidak melalui prosedur yang seharusnya.

Kecurigaan tidak beresnya pelaksanaan mutasi kian besar, karena sejumlah guru yang dimutasi adalah mereka yang sehari-harinya vokal. Mereka banyak menentang kebijakan sekolah maupun Dispendik. Pejabat di BKD sempat menolak menerima penyerahan SK mutasi tersebut. Sebab, SK itu seharusnya dikembalikan ke Dispendik sebagai SKPD yang mengajukan. Sugiono juga mengadukan masalah itu ke Komisi IV DPRD. Dewan juga merespons dan akan segera menggelar rapat kerja dengan Dispendik.

Kejadian ini layak dicermati sekaligus jadi bahan renungan kita bersama. Pertama, tugas pelajar adalah belajar. Karena itu, jika pelajar melakukan aksi mogok belajar, lantas, dimana hakikat sebutan pelajar itu?

Yang kedua, kalangan guru pegawai negeri sipil sejatinya sudah disumpah saat diangkat menjadi abdi negara. Mereka sebagai pelayan negara, menyatakan siap bertugas dan ditempatkan di mana saja. Jika menolak dimutasi, apakah tidak bertentangan dengan sumpahnya?

Yang terakhir, kalangan pejabat yang punya kebijakan dan wewenang untuk melakukan mutasi pegawai. Jabatan dan wewenang itu sejatinya adalah amanah yang dibebankan di pundak kita. Apabila menjalankan wewenang itu tidak sesuai prosedur, ini artinya sudah mengingkari amanah yang telah dibabankan. Kalau pemimpin sudah tidak bisa menjaga amanah dan kepercayaan, apa jadinya negara ini?

Karena itu, benang kusut mutasi di dunia pendidikan di Kota Santri ini harus segera diurai. Semua pihak harus mawas diri dan kembali kepada rel dan tugas masing-masing. Siswa yang mogok harus kembali belajar. Guru harus siap mengajar di mana saja. Dan yang paling penting, pejabat harus bertindak sesuai prosedur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. (*)

Tidak ada komentar: