Rabu, 11 Agustus 2010

Memilih Sekolah

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2010-2011 secara serentak dimulai sejak 1 Juli 2010. Seluruh sekolah, mulai tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, mulai membuka pendaftaran. Kecuali sekolah yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), mereka telah menggelar tes lebih awal yakni beberapa bulan lalu.

Tahun ini, PPDB masih menggunakan sistem skor dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu prestasi akademik, prestasi non-akademik, dan beberapa komponen lain. Beberapa sekolah juga ada yang memberikan materi tes tambahan, seperti misalnya tes mengaji untuk sekolah madrasah negeri tertentu, ada juga tes keseimbangan seperti yang dilakukan beberapa SDN.

Pada hari pertama pendaftaran, hampir seluruh sekolah negeri tertentu dipadati pendaftar. Bahkan di beberapa sekolah, jumlah pendaftar telah melebihi jumlah kuota yang ditetapkan. Bahkan, pada sekolah-sekolah tertentu, pada hari pertama saja mereka sudah ‘membuang’ separo pendaftar yang skornya tak mampu bersaing.

Pada hari kedua kemarin (2/7), pendaftar yang tahu diri itu pun ramai-ramai mencabut berkas. Tak hanya peserta PPDB, para orang tua calon siswa baru itu pun ikut kelimpungan memikirkan nasib dan kelanjutan pendidikan anaknya.

Memang, orang tua mana pun tentu ingin memasukkan anaknya ke sekolah yang terbaik. Namun diakui atau tidak, sebagian masyarakat kita memang masih belum bisa lepas dari paradigma lama. Sebagian warga masih ada yang memberi label sekolah favorit pada sekolah tertentu.

Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dispendikpora saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Sehingga muncullah adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.

Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang sejatinya disebut sekolah bermutu. Pilih mana sekarang? (*)

Tidak ada komentar: