Rabu, 11 Agustus 2010

Banjir Kok Jadi Langganan

MASYARAKAT Lingkungan Pakis Rowo, Kelurahan Pakis, Kecamatan Banyuwangi sudah sering jadi langganan banjir. Hampir setiap tahun, kawasan tersebut sering tergenang air pada puncak musim hujan. Namun, skala banjir yang terjadi, biasanya tidak terlalu meresahkan warga.

Namun pada tahun ini, banjir yang melanda kawasan itu tergolong cukup parah. Pada pagi itu (3/8), puluhan rumah di Lingkungan Pakis Rowo terendam. Genangan air di kampung tersebut sudah mencapai ketinggian satu hingga 1,5 meter.

Banjir akibat hujan dan rob sekaligus itu pun merendam puluhan rumah di wilayah rukun warga (RW) II Pakis Rowo. Banjir juga merendam puluhan hektare sawah di kawasan tersebut. Bahkan, beberapa hektare tambak udang dan tambak bandeng milik warga juga tergenang. Para petani dan petambak pun merugi jutaan hingga puluhan juta rupiah. Banyak benih udang dan bandeng yang mati terseret arus banjir.

Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Peternakan Banyuwangi merilis bahwa lahan sawah yang terendam di Pakis Rowo sebanyak 80 hektare. Sawah tersebut milik lebih dari 60 petani.

Kalau kita cermati, Secara geografis posisi kampung Pakis Rowo memang kurang menguntungkan. Kampung itu termasuk di dataran rendah. Ketika hujan turun dengan derasnya, air sungai dan air hujan dari dataran yang lebih tinggi akhirnya selalu mengarah ke kampung tersebut.

Selain itu, kampung Pakis Rowo juga berdekatan dengan pantai. Pada saat banjir, secara kebetulan juga terjadi gelombang pasang permukaan air laut (rob). Kondisi ini kian memperparah banjir yang terjadi. Sehingga, banjir di Pakis Rowo kali ini merupakan yang terparah.

Pada kasus banjir ini, jangan hanya memandang air banjir itu merupakan kiriman dari daerah yang posisinya lebih tinggi.Apalagi jika semata-mata menyalahkan dataran yang lebih tinggi, yang mengirim air bah tersebut. Saling menyalahkan itu memang tak ada gunanya, juga bukan jalan keluar yang terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Yang diperlukan saat ini adalah kajian mendalam dari semua komponen, dengan niat yang tulus untuk mencari solusi mengatasi problem banjir tahunan ini. Selain itu, tak ada salahnya jika kita semua juga introspeksi. Sudah layakkah kita tinggal di tempat itu? Sudahkah kita belajar dari pengalaman banjir-banjir sebelumnya?

Kalau memang dalam kajian itu ternyata memunculkan wacana bahwa lokasi itu tak layak huni, mengapa tidak kita memikirkan upaya relokasi. Jika bersikukuh tak mau relokasi, setidaknya harus ada inovasi untuk mengantisipasi banjir. Yang jelas harus ada tindakan. Jangan hanya pasrah, apalagi berpangku tangan menerima keadaan. (*)

Tidak ada komentar: