Selasa, 01 Juni 2010

Prostitusi dan Perda Pelacuran

PRAKTIK prostitusi di Situbondo ternyata tak hanya berlangsung pada malam hari. Pada siang bolong pun, transaksi seks juga marak terjadi di daerah yang dijuluki sebagai Kota Santri itu.

Setidaknya, hal ini sudah terbukti lewat razia yang dilakukan aparat Satpol PP Situbondo pada Kamis lalu (29/4). Obrakan yang digelar waktu itu berhasil menjaring 8 orang perempuan pekerja seks.

Wanita nakal sebanyak itu terjaring dari beberapa tempat, yang kerap menjadi dijadikan ajang esek-esek. Mulai dari deretan warung remang di pinggir jalan raya Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo. Ada juga yang terjaring di kawasan persawahan Burnik, Situbondo. Ada juga digaruk di eks lokalisasi Bandengan, di Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan.

Petugas sengaja melakukan razia di siang hari, karena banyak PSK yang masih nekat beroperasi. Razia dadakan di siang bolong itu memang mengejutkan para penjaja bisnis esek-esek. Awalnya, aparat Satpol PP bergerak menuju kawasan Desa Kotakan. Di tempat itu, mereka memergoki beberapa PSK yang sedang mangkal di warung remang-remang pinggir jalan. Tanpa banyak kata, mereka langsung ditangkap. Di lokasi tersebut, empat perempuan nakal berhasil diciduk. Ada seorang perempuan asal Ngopak, Pasuruan, ada juga yang mengaku dari Lumajang. Dua orang wanita nakal lainnya mengaku berasal dari Batulinggo, Bondowoso.

Dari situ, petugas bergeser menuju persawahan Burnik. Di lokasi pelacuran tengah sawah itu, Satpol PP menggaruk dua perempuan nakal yang mengaku berasal dari Bondowoso. Hasil serupa didapatkan Satpol PP saat mengobrak-abrik eks lokalisasi Bandengan, di Panarukan. Entah kenapa, setibanya di Bandengan banyak wisma dan kamar yang sudah tertutup. Hasilnya, hanya dua perempuan nakal asal Suboh dan asal Madura yang dijaring.

Delapan wanita itu langsung digiring menuju kantor Satpol PP Situbondo. Di tempat ini, mereka didata dan diberi pembinaan. Para PSK itu juga diminta menuliskan surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Berita menggaruk wanita nakal sudah jadi langganan pembaca koran ini di Situbondo. Hampir setiap bulan, selalu ada pelacur yang kena razia di Kota Santri. Padahal, Situbondo sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 27 tahun 2004, yang mengatur tentang larangan pelacuran di Situbondo.

Kabupaten/kota lain di sekitar Situbondo, belum tentu memiliki Perda ‘khas’ seperti ini. Meski begitu, adanya peraturan tersebut terbukti tak mampu memberantas tuntas bisnis prostitusi di Kota Santri.

Memang, upaya memberantas prostitusi tak cukup hanya mengandalkan Perda sebagai payung hukum. Karena prostitusi itu pada hakikatnya adalah sebuah penyakit masyarakat. Untuk mengobati penyakit masyarakat ini, perlu penyelesaian yang sangat rumit dan kompleks. Penuntasan penyakit ini tak hanya bisa dilakukan dari satu sudut pandang hukum semata (baca : Perda).

Untuk mengatasi penyakit masyarakat, dibutuhkan penyelesaian di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kependudukan, serta berbagai bidang lainnya. Misalnya saja, mereka terpaksa melacur karena ternyata tingkat pendidikannya sangat rendah. Ada juga yang terpaksa mejual diri karena himpitan faktor ekonomi. Ada juga yang terpaksa ’berdagang’, karena ternyata ’pembelinya’ juga banyak. Serta banyak faktor penyebab maraknya prostitusi.

Karena itu, jika ingin menuntaskan masalah ini, jangan selalu menyalahkan Perda yang sudah ada. Alangkah lebih bijak, jika yang disampaikan adalah solusi untuk mengatasi problem penyakit masyarakat tersebut. Jika perlu, ada bermacam Perda di berbagai bidang lain yang bisa mendukung upaya penuntasan penyakit masyarakat itu. Misalnya yang mengatur tentang pendidikan, peningkatan ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Sehingga dengan begitu, diharapkan seluruh masyakat bisa lebih maju dan sejahtera. (*)

Tidak ada komentar: