Selasa, 01 Juni 2010

Mengoptimalkan Fungsi Rumah Aman

KALANGAN Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) masih menganggap, perlindungan terhadap korban kekerasan pada perempuan dan anak masih belum maksimal di Banyuwangi. Alasannya, masih banyak korban yang justru merasa tidak aman saat melaporkan pelecehan, penganiayaan, dan kekerasan, yang dialaminya.

Memang, ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya rasa tidak aman tersebut. Salah satunya, tidak ada pendampingan saat penanganan kasus mereka. Biasanya, pendampingan lebih banyak dilakukan ketika korban sudah menjadi saksi dan proses peradilan. Padahal idealnya, peran seorang pendamping sangat diperlukan sejak sejak korban melaporkan kejadian yang dialaminya.

Selain itu, tidak ada ”rumah aman” yang seharusnya disediakan pemerintah untuk saksi dan korban yang menimpa perempuan dan anak-anak. Untuk contoh kasus di beberapa kota besar, “rumah aman” untuk perempuan dan anak-anak korban kekerasan sudah bisa berjalan.

Sedangkan di Bumi Blambangan ini, sebenarnya fasilitas semacam itu sudah ada. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyuwangi sudah memiliki fasilitas “rumah aman” tersebut.

Namun, rumah itu baru sebatas digunakan untuk menampung anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Belum pernah muncul dalam berita, bahwa sarana ’’rumah aman’’ tersebut sudah menampung para perempuan atau pun anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Belum pernah juga diberitakan, bahwa ’’rumah aman’’ tersebut digunakan untuk menampung anak-anak yang jadi korban kasus trafficking.

Sementara itu berdasarkan data KPPA Banyuwangi, kasus-kasus kekerasan yang menimpa kalangan perempuan dan anak-anak di Banyuwangi sebenarnya cukup banyak. Pada tahun 2009 lalu saja, tercatat sudah ada sekitar 450 kasus yang mendera perempuan dan anak-anak di Bumi Blambangan. Bahkan bukan mustahil, kasus penindasan serta eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang terungkap semakin banyak pada tahun ini.

Oleh karena itu, perlu adanya pendampingan yang lebih terhadap para korban kekerasan tersebut. Dengan adanya pendampingan sejak dini, peluang munculnya trauma mendalam akan semakin terkikis. Upaya pendampingan ini akan lebih optimal jika didukung sarana ’’rumah aman’’ yang juga berfungsi optimal. Inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Semoga sarana ’’rumah aman’’ yang ada, bisa benar-benar menciptakan rasa aman bagi perempuan serta anak-anak yang jadi korban maupun saksi tindak kekerasan. (*)

Tidak ada komentar: