Selasa, 01 Juni 2010

Memahami Kembali UU Pers

PERISTIWA demo, unjuk rasa atau aksi massa lainnya sudah bukan menjadi hal yang baru. Peristiwa semacam itu sudah terjadi di banyak daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di Banyuwangi, aksi massa semacam itu juga kerap terjadi. Isu yang dibawa juga berbagai macam. Mulai dari kasus besar yang menyangkut orang besar, hingga kasus kecil yang berdampak pada beberapa orang.

Seperti kasus demo yang terjadi di depan gerbang PT Kaliklatak, sebuah perkebunan di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi kemarin. Aksi demo ini sebenarnya tak jauh beda dengan aksi massa yang terjadi di daerah lain.

Ceritanya, warga memprotes kebijakan yang dilakukan pihak perkebunan. Gara-garanya, lapangan sepak bola di dalam area perkebunan itu diubah menjadi lahan produksi. Karena terjadi kebuntuan komunikasi, akhirnya warga menggelar aksi demo. Tak hanya berhenti sampai di situ, warga juga nekat memblokade jalan di depan pintu masuk perkebunan itu.

Banyak persoalan yang dilontarkan oleh warga. Tentu saja, pernyataan warga itu hampir seluruhnya menyudutkan pihak perkebunan. Mulai dari isu larangan warga membawa mobil masuk perkebunan, soal isu feodalisme, isu tentang kesewenang-wenangan, isu tentang larangan masuk bagi kendaraan bantuan beras untuk warga miskin (raskin), hingga isu soal status lahan Hak Guna Usaha (HGU) dan bukan lahan hak milik yang dikelola perkebunan itu.

Sementara itu, dalam menampilkan fakta tentang aksi massa tersebut, Redaksi sebenarnya ingin menyajikan berita yang berimbang. Idealnya, berita yang ditampilkan bisa muncul dengan covering both side (memuat secara berimbang dari kedua belah pihak). Dalam hal ini, berita idealnya harus berimbang dari kubu warga yang demo dan juga dari manajemen perusahaan perkebunan yang didemo.

Tetapi sungguh sayang seribu sayang. Fakta di lapangan sangat tidak memungkinkan bagi jurnalis untuk bisa menyajikan berita yang berimbang. Kalangan wartawan media cetak dan media elektronik sulit mendapatkan konfirmasi dari pihak perkebunan. Para satpam di gerbang PT Kaliklatak melarang para jurnalis untuk masuk dan meminta konfirmasi dari pihak perkebunan.

Dalam hal ini, profesionalisme jurnalis diuji. Di satu sisi, media dituntut untuk menyajikan berita yang berimbang. Tetapi di sisi lain, ada hambatan yang menghalangi para wartawan untuk mendapatkan informasi.

Andai saja semua pihak paham tentang Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tentu para satpam perkebunan itu akan berpikir seribu kali untuk menghalangi wartawan dalam mendapatkan informasi. Seperti pada pasal 18 UU Pers disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nah, masih berani menghalangi? Semoga saja hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. (*)

Tidak ada komentar: