Kamis, 21 Januari 2010

Berhitung Sebelum Banding

SUDAH banyak perkara korupsi yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Mulai dari kasus dengan kerugian kecil, hingga perkara korupsi dengan kerugian negara besar dan melibatkan banyak orang.

Sebut saja kasus korupsi Jalan Lingkar Ketapang (JLK), kasus korupsi pengadaan Kapal LCT Sri Tanjung serta kasus dok apung. Ada lagi kasus korupsi bantuan hukum (bankum) APBD, kasus pembebasan lahan lapangan terbang (lapter) serta beberapa kasus korupsi lainnya.

PN Banyuwangi juga sudah menjatuhkan vonis yang setimpal bagi para terdakwa kasus korupsi tersebut. Belajar dari sejarah kasus-kasus tersebut, mayoritas terdakwa kasus korupsi itu umumnya selalu melawan. Sebagian besar terdakwa biasanya langsung menyatakan banding, ketika majelis hakim PN Banyuwangi menjatuhkan vonis.

Tetapi langkah perlawanan melalui jalur banding ke Pengadilan Tinggi (PT), ternyata tidak dilakukan oleh Mahmud Sidik, warga Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng. Terpidana kasus korupsi dana bantuan Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) itu seolah tak mengikuti ‘tradisi’ banding para terdakwa kasus korupsi.

Melalui kuasa hukumnya, dia menyatakan menerima vonis empat tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim PN Banyuwangi Senin kemarin (18/1). Bahkan, Mahmud menyatakan menolak membayar hukuman denda sebesar Rp 200 juta dengan alasan tak punya uang sebanyak itu. Dia justru memilih mengganti denda itu dengan hukuman kurungan selama satu bulan. Meski begitu, dia tetap mau membayar hukuman uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 3 juta.

Secara logika, menerima vonis yang dijatuhkan PN Banyuwangi memang dianggap lebih ‘menguntungkan’. Karena hukuman empat tahun penjara itu, sejatinya merupakan hukuman minimal untuk kasus korupsi. Karena itu, walau menempuh upaya hukum atau banding di Pengadilan Tinggi, terdakwa pesimistis akan mendapat keringanan hukuman.

Penjelasan yang lebih sederhana, dari pada berpeluang hukumannya ditambah, lebih baik menerima vonis hakim PN Banyuwangi. Apalagi, banyak catatan yang menyebutkan, bahwa terdakwa korupsi justru mendapat hukuman lebih berat di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Yang tak kalah pentingnya adalah tinjauan kasus ini dari sudut pandang spiritual. Sebagai manusia, kita memang selalu tak luput dari kesalahan. Tindak pidana korupsi itu terjadi, tak lepas dari kekhilafan pelakunya. Nah, yang paling penting adalah bagaimana pelaku korupsi itu mau bertobat. Mau serta ikhlas menerima dan menjalani hukuman, serta menjadikan hukuman sebagai cambuk, itu sudah termasuk sebuah langkah maju. Terlebih, jika semua itu dilakukan dengan tujuan agar kesalahan serupa tak terulang di masa mendatang. (*)

Tidak ada komentar: