Sabtu, 28 Februari 2009

Angpau Bukan untuk Politisi

SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, peringatan tahun baru imlek 2560 ini diwarnai dengan aksi dum-duman angpau. Amplop merah berisi duit itu dibagikan pada anak-anak di klenteng Tik Liong Tian di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.

Acara bagi-bagi angpau itu merupakan penutup acara usai sembahyang imlek. Anak-anak berjejer di depan klenteng untuk menerima angpau. Wajah mereka memancarkan keceriaan.

Kalangan masyarakat Tionghoa di Situbondo juga melakukan hal serupa. Mereka juga membagikan angpau pada saat pergantian tahun baru imlek. Dengan membagikan rezeki itu, mereka percaya akan makin membuka keberuntungan di tahun mendatang.

Kalangan tokoh masyarakat Tionghoa mengakui, bagi-bagi angpau saat Imlek sudah jadi tradisi turun temurun. Harapannya, rejeki maupun keberuntungan yang mereka terima di tahun mendatang, dapat berlimpah.

Selain itu, angpau tersebut biasanya diberikan kepada saudara atau sanak famili yang berusia lebih muda. Bahkan, amplop merah berisi duit itu lebih banyak diberikan kepada anak-anak. Para bocah itu sangat berbahagia setiap perayaan tahun baru imlek.

Sementara pada perkembangannya, angpau semakin berkembang dan tidak lagi menjadi tradisi warga Tionghoa. Beberapa kalangan juga menerapkan angpau untuk kepentingan lain. Apalagi, jika sudah menyangkut dengan kepentingan ekonomi, bisnis dan tentu saja kepentingan politik.

Tidak dapat kita pungkiri, menjelang pemilihan umum (pemilu) seperti saat ini, banyak politisi yang ingin mencari jalan pintas. Politisi yang berduit tebal, bisa saja mencari jalan pintas dengan menggalang dukungan pemilih lewat metode angpau. Mereka bisa saja bagi-bagi duit kepada publik, demi meraih suara sebanyak mungkin untuk menjadi anggota legislatif.

Cara-cara seperti itu tidak baik dan tidak mendidik masyarakat dalam berpolitik. Tradisi angpau pada tahun baru imlek itu lebih banyak diberikan kepada mereka yang muda, atau bahkan anak-anak. Kalau amplop berisi duit dibagikan kepada konstituen, itu sama artinya mengajari masyarakat untuk tidak dewasa dalam berpolitik. Sama artinya, politisi yang melakukan praktik money politics itu tidak mendidik konstituennya secara dewasa.

Terlebih lagi, jika posisi sang politisi itu sebagai penerima angpau. Bukannya memikirkan agar rakyat sejahtera di segala bidang, tetapi memikirkan menumpuk duit untuk diri sendiri. Kalau sudah begitu, berarti pola pemikiran politisi tersebut masih kekanak-kanakan. Karena sudah selayaknya, konstituen maupun para politisi selayaknya bercermin atas perilaku dan sikap diri masing-masing. Sudah saatnya kita meninggalkan sikap kekanakan dan menjadi dewasa. (*)

Tidak ada komentar: