Sabtu, 28 Februari 2009

Parkir Berlangganan dan Keterbukaan Informasi

KEBIJAKAN parkir berlangganan berpotensi menimbulkan polemik. Bukan hanya tahun ini, parkir berlangganan mengundang reaksi pro dan kontra. Tahun 2002 lalu, pro dan kontra sudah pernah terjadi. Bahkan, pihak yang menolak penerapan retribusi parkir berlangganan sempat menggelar aksi massa besar-besaran ketika itu.

Kini, reaksi penolakan parkir berlangganan memang tidak sekeras tujuh tahun lalu. Namun, bibit-bibit kalau isu ini akan menggelinding menjadi bola liar dan menjadi komoditas politik, sudah mulai terasa. Dua fraksi di DPRD mulai melemparkan umpan panas kebijakan parkir berlangganan tersebut.

Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) mendesak eksekutif melakukan evaluasi ulang, terhadap kebijakan parkir berlangganan tersebut.

Alasan FPDIP, kebijakan tersebut pernah menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. Kalau sekarang kembali diterapkan, dikhawatirkan akan muncul persoalan baru lagi. Karena itu, pemkab sebaiknya terlebih dahulu melakukan penertiban terhadap keberadaan parkir liar di sejumlah tempat strategis. Sebab selama ini, sering ada pungutan uang parkir di beberapa lokasi. Namun, pendapatannya tidak jelas jluntrung-nya.

Sedangkan FPPP menyoal masalah target yang dipatok pemkab dalam retribusi parkir berlangganan. Pemkab hanya mematok angka Rp 3 miliar untuk hasil kebijakan parkir berlangganan. Ini sangat tidak sesuai dengan jumlah kendaraan yang ada di Banyuwangi.

Bermacam kritik wakil rakyat itu memang cukup realistis dan layak diperdalam. Sekadar diketahui, jumlah kendaraan roda dua di Bumi Blambangan sedikitnya 274 ribu unit. Sedangkan jumlah kendaraan roda empat lebih dari 30 ribu unit. Sedangkan pemkab hanya menargetkan menjaring stiker parkir untuk 105 ribu unit motor dan 22,5 ribu unit mobil. Artinya, target yang ditetapkan itu hanya setengah dari populasi kendaraan yang ada di Bumi Blambangan. Dengan target yang ‘minim’ ini, satuan kerja yang membidangi masalah parkir itu tak perlu kerja keras untuk memenuhi target. Bahkan, akan sangat besar peluangnya untuk meraih kelebihan dana dari target yang ditetapkan.

Berbicara tentang kelebihan dana perolehan parkir berlangganan, akan menjadi sangat sensitif. Publik tidak akan tahu, apakah semua dana kelebihan itu dengan lancar bisa masuk ke kas daerah. Aliran dana dari pengelola retribusi parkir berlangganan menuju kasda, selama ini tidak bisa diakses secara bebas oleh publik. Siapa yang akan memantau? Siapa juga yang ’mampu’ memantau aliran dana tersebut?

Yang jelas, publik belum punya kuasa penuh untuk melihat -apalagi memelototi- aliran dana setoran perolehan retribusi parkir berlangganan ke kasda. Paling-paling, kalau perolehannya melebihi target, masyarakat akan diam. Padahal, persoalan aliran dana yang sulit diawasi publik ini, bisa sangat rawan disalahgunakan. Kalau tidak mau dikatakan hal ini rawan korupsi, solusinya hanya satu: keterbukaan informasi pada publik. (*)

Demam Dukun Tiban

NAMA Ponari mendadak populer. Setelah menemukan batu petir, siswa sekolah dasar di Balongsari, Jombang itu langsung jadi dukun tiban. Setiap hari, ribuan orang mendatanginya. Mereka berharap kesembuhan dari segala penyakit, setelah minum air yang telah dicelupkan batu petir milik Ponari.

Setiap warga yang datang, membayar uang karcis Rp 2.000 kepada panitia. Kini, uang karcis itu malah melonjak sampai Rp 5.000 per orang. Kabarnya, uang yang terkumpul itu sudah melebihi angka Rp 1 miliar.

Fenomena dukun tiban akhirnya kian meluas. Warga Jombang lainnya juga dikabarkan membuka praktik serupa. Slamet yang juga ayah Dewi Setiawati, warga Brodot, Jombang juga membuka praktik pengobatan serupa. Metodenya kurang lebih mirip dengan Ponari, yakni lewat air yang diberi bacaan tertentu. Meski akhirnya ditutup, pengobatan ini sempat menarik perhatian publik secara nasional. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai pesaing dukun tiban Ponari.

Sementara di Banyuwangi, warga juga sudah ramai-ramai mendatangi rumah Ahmad Ihsanuji alias Cak Mad, 32, di Kampung Bango, Dusun Kebondalem, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo. Cak Mad juga dikabarkan memiliki batu petir sepertinya halnya Ponari.

Pasien yang datang untuk berobat pada Cak Mad sudah mulai membeludak. Untuk bisa dilayani oleh Cak Mad, warga harus rela antre hingga selama beberapa jam.

Sementara itu di Bangkalan, Madura juga muncul bocah dukun tiban. Bocah itu adalah Irfan Maulana, 6, asal Kampung Baru, Desa Kamal, Bangkalan. Dia mengaku bermimpi kedatangan tiga pria memakai surban. Di dalam mimpi itu, seorang bersurban memberikan uang Rp 1.000 untuk membeli air mineral. Namun, uang yang diterima dalam mimpinya berubah menjadi batu hitam, dan pria dalam mimpinya itu berpesan agar batu itu dijadikan media untuk pengobatan segala macam penyakit. Irfan terbangun, di genggaman tangan kanan terdapat batu hitam. Cara pengobatan yang dilakukan oleh Irfan ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Ponari.

Kabar tentang dukun tiban dengan metode batu ini, telah jadi tren di masyarakat. Semuanya menggunakan metode yang hampir sama. Semuanya juga muncul menjelang dihelatnya pemilihan umum. Topik pembicaraan warga di warung-warung, di pasar dan jalanan tak lagi membincangkan partai dan caleg. Topik diskusi mereka kian ramai membahas pro-kontra keberadaan para dukun tiban tersebut. Lebih jauh kalau kita kembali ke era Orde Baru, isu-isu semacam itu yang kadang mengusik pemikiran rasional kita, sering muncul menjelang pemilu. Entah, apakah isu dukun tiban kali ini ada kaitannya dengan pemilu atau tidak, yang jelas kita tetap harus berfikir rasional. Keluarga Ponari saja secara sadar dan rasional mengkarciskan pengobatan batu petir itu, sehingga mereka bisa mengumpulkan duit lebih dari Rp 1 miliar. (*)

Memajukan Desa Lewat Konser

SIAPA bilang masyarakat desa tidak mengenal konser? Memang, konser musik sejatinya bukan barang baru bagi masyarakat pedesaan. Sudah banyak konser yang dihelat di pedesaan. Bukan hanya desa yang sudah maju, warga desa pelosok pun sudah paham tentang konser musik sejak dulu.

Misalnya ketika ada hajatan pernikahan warga, khitanan, atau bahkan acara tujuh belasan setiap bulan Agustus. Pasti, suatu desa di Bumi Blambangan ini pernah menghelat konser musik. Apakah konser yang digelar itu memainkan jenis musik pop, rock, dangdut, keroncong atau bahkan musik gambus dengan irama padang pasir sekali pun.

Yang jelas, apa pun jenis musiknya, suatu desa di daerah ini hampir dipastikan sudah pernah jadi tempat konser musik. Tidak memandang level penyanyinya itu kelas nasional atau kelas tenda biru, yang pasti setiap desa hampir pasti pernah ada pentas musik semacam itu.

Nah, berbicara masalah pergelaran konser di desa, yang jadi gunjingan kali ini adalah Desa Karangbendo di Kecamatan Rogojampi. Desa tersebut menjadi tuan rumah pergelaran konser grup musik papan atas nasional. Band D’Massive tampil di Agrowisata Alam Indah Lestari (AIL) di Desa Karangbendo (15/2).

Band yang diawaki Rian Ekky Pradipta (vokal), Dwikky Aditya Marsall (gitar), Nurul Damar Ramadhan (gitar), Rayyi Kurniawan I.D (bass), Robby (keyboard), dan Wahyu Piadji (drum) mampu tampil memukau ribuan penggemarnya. Penonton yang didominasi kaum remaja itu datang dari berbagai penjuru kecamatan.

Demi menyaksikan band idola, mereka rela mendatangi Desa Karangbendo. Padahal, posisi desa tersebut tidak berada di ruas jalan poros antarkabupaten. Penonton konser harus melintasi jalan desa dengan kawasan pertanian sejauh beberapa kilometer.

Even semacam ini cukup berdampak pada warga sekitar. Tentu saja, dampaknya bisa positif dan ada juga dampak negatifnya. Paling tidak, ruas jalan menuju desa tersebut semakin ramai dilalui orang dan kendaraan. Kalau sudah ramai, jalan yang berkualitas seadanya itu, akan lebih cepat meningkat kelasnya.

Kalau sering dilewati orang, aspal jalan yang kerap mengelupas bisa saja segera diperhatikan pihak berwenang, lalu meningkat jadi hotmix. Dengan ramai orang lewat, kegiatan ekonomi warga juga bisa meningkat. Taraf ekonomi temilik warung, bengkel, toko, tambal ban, dan usaha rumah tangga lainnya sepanjang jalan itu akan lebih menggeliat.

Selain bermacam dampak positif, masyarakat sekitar juga perlu mewaspadai dampak negatif keramaian seperti itu. Banyaknya kendaraan yang melintas di kawasan sepi, juga berpotensi menimbulkan kerawanan keamanan. Selain itu, yang juga penting diperhatikan adalah pengaruh hura-hura dampak konser, terhadap mental spiritual generasi penerus. (*)

Kendaraan Besar Belum Tentu Salah

JALANAN di Bumi Blambangan sudah cukup lama dirasa aman. Namun pada Sabtu malam lalu (7/2), tiga nyawa melayang di jalan raya Desa Sempu, Kecamatan Sempu, Banyuwangi. Ini sudah termasuk kejadian kecelakaan besar dalam dunia lalu lintas jalan raya.

Tabrakan beruntun kali ini melibatkan dua sepeda motor dan satu truk gandeng Mitsubishi Fuso. Pengendara Honda Supra Fit mendahului truk gandeng. Dari arah depan, melaju motor Yamaha Jupiter. Terjadilah tabrakan dua motor itu. Sialnya, motor Supra Fit terguling dan dilindas truk gandeng.

Ketiga korban tewas dalam kecelakaan itu adalah Wahyu Candra, 17, warga Dusun Telogosari, Desa Jambewangi. Dua korban tewas lainnya adalah Nasir, 35, dan Nisam, 25; keduanya warga Dusun Panjen, Desa Jambewangi. Nasir dan Nisam tewas setelah dilindas roda truk gandeng di lokasi kejadian. Sedangkan Wahyu meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit Al Huda di Kecamatan Gambiran.

Korban lain yang luka berat adalah Hadi, 25, warga Dusun Panjen, Desa Jambewangi. Dia mengalami patah tulang di kedua kakinya.

Polisi terus menyelidiki penyebab kecelakaan maut tersebut. Dugaan sementara, kecelakaan itu akibat kelalaian pengendara motor Supra Fit. Ada saksi yang menyatakan, motor itu dinaiki tiga orang. Tiga orang penumpang motor tidak memakai helm. Bahkan, motor tersebut diduga melaju dengan kencang pada malam hari, tanpa menyalakan lampu.

Jika semua dugaan itu benar, berarti telah terjadi kelalaian pengendara motor. Melaju kencang, bonceng tiga tanpa helm, tanpa menyalakan lampu pada malam hari, mendahului truk gandeng.

Dalam masalah ini, kelalaian tersebut ternyata justru mengakibatkan diri pengendara motor itu sendiri yang celaka. Selain itu, dua penumpang yang dibawanya juga meninggal dan terluka. Pemuda yang mengendarai motor dari arah depan juga meninggal dunia.

Semua itu masih belum cukup, pengemudi truk gandeng juga ikut terseret persoalan besar. Sopir truk gandeng, Supriyanto, 34, warga Dusun Telogosari, Desa Jambewangi itu ikut dikirim ke Mapolres Banyuwangi. Dia menjalani proses pemeriksaan oleh polisi. Sebab secara tidak langsung, roda truk gandeng yang dikemudikannya melindas motor Supra Fit serta dua orang penumpang motor tersebut. Akibat dilindas roda kendaraan berat itu, dua orang meninggal dunia.

Kalau dilihat dari sisi sopir truk, dia sudah mengemudi sesuai jalur. Kecepatannya juga biasa saja. Cara mengemudinya juga lurus dan tidak zigzag. Tetapi pada akhirnya, dia terseret persoalan besar. Dia menderita rugi waktu, tenaga, biaya dan pikiran.

Sopir itu itu menjadi tidak tenang lahir batin, karena terseret persoalan itu. Meski biasanya setiap sopir selalu menyatakan, bahwa kejadian seperti itu adalah bagian dari risiko pekerjaan. Memang, kendaraan berukuran besar kerap jadi tumpuan kesalahan setiap terjadi kecelakaan. Tetapi dalam kasus ini, semoga saja kasus ini bisa selesai dengan seadil-adilnya.(*)

Tidak PeDe dengan Jamu

BUMI BLAMBANGAN dikenal sebagai salah satu gudangnya pabrik jamu tradisional. Banyak produk jamu asal Kota Gandrung, yang sudah beredar luas secara nasional. Ada puluhan merk dagang jamu, dengan bermacam jenis dan bentuk produk yang dipasarkan.

Namun akhir-akhir ini, para peracik jamu mulai menyimpang dari pakem resep warisan leluhur. Jamu yang dulunya dikenal sangat dekat dengan alam, kini sudah banyak terkontaminasi. Bahan-bahan herbal serta aneka tumbuhan dari alam, mulai ditinggalkan oleh industri jamu di Bumi Blambangan.

Banyak bahan kimia yang digunakan sebagai campuran dalam meracik jamu. Obat-obatan juga banyak berperan dalam pembuatan jamu tersebut. Padahal, penggunaan zat adiktif, obat-obatan serta bahan kimia, sejatinya sudah diatur ketat oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI.

Dugaan terjadinya banyak pelanggaran aturan Depkes itu ternyata nyata adanya. Seperti yang terjadi saat petugas Satnarkoba Polres Banyuwangi menggerebek sebuah pabrik jamu di Dusun Sambirejo, Desa Sambimulyo, Kecamatan Purwoharjo Kamis lalu (5/2).

Dari lokasi tersebut, polisi mengamankan sedikitnya 11 dus jamu untuk penyakit flu tulang, 6 dus jamu asam urat dan segebok label jamu. Polisi juga menyita ratusan obat berbentuk pil dan obat cair. Pil dan cairan bahan kimia yang masuk daftar G itu, diduga sebagai bahan pembuat jamu. Bila ditaksir, omzet jamu yang mengandung obat daftar G tersebut mencapai nominal jutaan rupiah.

Pengungkapan masalah jamu tersebut bukan yang pertama dalam bulan ini. Sebelumnya, polisi juga berhasil mengamankan obat yang relatif sama dari seorang pedagang jamu di Kelurahan Panderejo, Kecamatan Banyuwangi.

Fenomena jamu campur obat yang muncul ini, mungkin hanya sebagian kecil yang tampak di permukaan. Ibarat fenomena gunung es, dasar gunung yang jauh lebih besar masih tidak tampak. Namun yang terjadi di masyarakat, mungkin sudah sedemikian banyaknya warga yang mengonsumsi jamu campur obat seperti ini.

Kondisi ini memang sangat memprihatinkan. Yang dirugikan bukan hanya kesehatan ribuan warga yang mengonsumsi jamu campur obat itu. Kenyataan ini akan membuat warga menjadi tidak percaya diri (pede) dengan jamu. Warga menjadi alergi dan ogah dengan jamu. Dengan begitu, dampaknya juga akan dirasakan pedagang jamu keliling. Selain itu, jamu sebagai warisan budaya adiluhung leluhur kita, juga terancam punah. (*)

Keseimbangan Alam untuk Kabat-Rogojampi

SEBAGIAN masyarakat Desa Labanasem, Kecamatan Kabat sudah sering jadi langganan banjir. Hampir setiap tahun, kawasan tersebut sering tergenang air pada puncak musim hujan. Namun, skala banjir yang terjadi tidak terlalu meresahkan warga.

Namun pada tahun ini, banjir yang melanda kawasan itu tergolong cukup parah. Pada sore itu (31/1), sedikitnya 25 rumah warga terendam setelah diguyur hujan selama beberapa jam. Pada beberapa titik lokasi, ketinggian air bisa mencapai 1,5 meter.

Para penghuni rumah yang terendam langsung mengungsikan barang-barangnya di masjid setempat. Begitu hujan mulai mereda, mereka langsung menguras air yang menggenangi rumah mereka.

Tidak hanya kawasan permukiman penduduk yang terendam banjir. Areal persawahan juga terendam air. Bahkan, lintasan rel kereta api di daerah tersebut juga ikut terendam banjir.

Ruas jalan raya Kecamatan Kabat ikut tergenang. Kondisi ini sempat mengakibatkan kemacetan kendaraan di jalur utama jurusan Banyuwangi-Rogojampi itu. Antrean kendaraan diperkirakan mencapai dua kilometer. Badan jalan di sekitar Polsek Kabat itu tergenang selama beberapa saat.

Pemerintah Kecamatan Kabat menduga, banjir tersebut merupakan luapan air dari daerah Benelan Lor yang berada di sisi barat Labanasem. Kondisi ini diperparah dengan menumpuknya sampah di sekitar jembatan Labanasem. Akibatnya, saluran di jembatan tersebut tidak mampu menampung aliran air yang cukup deras.

Meski tidak ada korban jiwa, musibah banjir itu mengakibatkan masyarakat merugi ratusan juta rupiah. Selain itu, banyak sawah yang rusak dan terancam gagal panen.

Pada saat bersamaan, banjir juga melanda sebagian wilayah Kecamatan Rogojampi. Genangan terparah terjadi di lingkungan Gang Sawo di Desa Rogojampi.

Apa pun yang terjadi di Kabat dan Rogojampi, sudah selayaknya kita renungi. Sebab, Tuhan menciptakan alam ini dengan penuh keseimbangan dan keselarasan. Ketika ada faktor atau sisi yang kurang, hal ini akan berdampak pada reaksi alam.

Banjir terjadi bukan karena curah hujan yang turun terlalu tinggi. Tetapi sangat besar peluangnya, banjir terjadi karena daya serap tanah terhadap air sudah berkurang. Pada kasus banjir di Kabat dan Rogojampi, jangan hanya memandang air bah itu merupakan kiriman dari desa yang posisinya lebih tinggi.

Sudah selayaknya kita melihat kondisi lingkungan alam yang lebih tinggi dari kawasan pengirim air bah tersebut. Lihat saja pegunungan di sisi barat Kecamatan Kabat dan Rogojampi. Sudah berapa banyak pohon yang ditebang di pegunungan itu? Sudah berapa tahun kita menebang, tanpa mengganti dengan tanaman baru di gunung itu?

Ke mana saja larinya kayu hasil penebangan di gunung tersebut? Sudahkah kita memikirkan hingga sejauh itu? Berapa banyak pula pertumbuhan penggergajian kayu di kawasan itu? Apakah kondisi saluran air di daerah kita masih utuh seperti dulu? Berapa banyak tumbuh bangunan di atas saluran air di kawasan itu? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang belum terjawab. Kalau tidak ingin banjir terulang lagi, jawabannya hanya satu yakni alam butuh keseimbangan. Tak perlu saling menyalahkan, kalau merasa mengurangi keseimbangan alam, harus dengan sadar dari hati nurani yang terdalam mau memperbaiki kesalahan. (*)

Angpau Bukan untuk Politisi

SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, peringatan tahun baru imlek 2560 ini diwarnai dengan aksi dum-duman angpau. Amplop merah berisi duit itu dibagikan pada anak-anak di klenteng Tik Liong Tian di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.

Acara bagi-bagi angpau itu merupakan penutup acara usai sembahyang imlek. Anak-anak berjejer di depan klenteng untuk menerima angpau. Wajah mereka memancarkan keceriaan.

Kalangan masyarakat Tionghoa di Situbondo juga melakukan hal serupa. Mereka juga membagikan angpau pada saat pergantian tahun baru imlek. Dengan membagikan rezeki itu, mereka percaya akan makin membuka keberuntungan di tahun mendatang.

Kalangan tokoh masyarakat Tionghoa mengakui, bagi-bagi angpau saat Imlek sudah jadi tradisi turun temurun. Harapannya, rejeki maupun keberuntungan yang mereka terima di tahun mendatang, dapat berlimpah.

Selain itu, angpau tersebut biasanya diberikan kepada saudara atau sanak famili yang berusia lebih muda. Bahkan, amplop merah berisi duit itu lebih banyak diberikan kepada anak-anak. Para bocah itu sangat berbahagia setiap perayaan tahun baru imlek.

Sementara pada perkembangannya, angpau semakin berkembang dan tidak lagi menjadi tradisi warga Tionghoa. Beberapa kalangan juga menerapkan angpau untuk kepentingan lain. Apalagi, jika sudah menyangkut dengan kepentingan ekonomi, bisnis dan tentu saja kepentingan politik.

Tidak dapat kita pungkiri, menjelang pemilihan umum (pemilu) seperti saat ini, banyak politisi yang ingin mencari jalan pintas. Politisi yang berduit tebal, bisa saja mencari jalan pintas dengan menggalang dukungan pemilih lewat metode angpau. Mereka bisa saja bagi-bagi duit kepada publik, demi meraih suara sebanyak mungkin untuk menjadi anggota legislatif.

Cara-cara seperti itu tidak baik dan tidak mendidik masyarakat dalam berpolitik. Tradisi angpau pada tahun baru imlek itu lebih banyak diberikan kepada mereka yang muda, atau bahkan anak-anak. Kalau amplop berisi duit dibagikan kepada konstituen, itu sama artinya mengajari masyarakat untuk tidak dewasa dalam berpolitik. Sama artinya, politisi yang melakukan praktik money politics itu tidak mendidik konstituennya secara dewasa.

Terlebih lagi, jika posisi sang politisi itu sebagai penerima angpau. Bukannya memikirkan agar rakyat sejahtera di segala bidang, tetapi memikirkan menumpuk duit untuk diri sendiri. Kalau sudah begitu, berarti pola pemikiran politisi tersebut masih kekanak-kanakan. Karena sudah selayaknya, konstituen maupun para politisi selayaknya bercermin atas perilaku dan sikap diri masing-masing. Sudah saatnya kita meninggalkan sikap kekanakan dan menjadi dewasa. (*)