Minggu, 06 Desember 2009

Satu Orang Satu Pohon, Seribu Terowongan

DAMPAK kerusakan hutan akibat penambangan emas liar di hutan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sungguh luar biasa. Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Banyuwangi Selatan yang mengelola kawasan hutan tersebut mengklaim, kerusakan lingkungan yang terjadi di tempat itu lebih parah dari pada dampak penjarahan masal yang pernah terjadi tahun 1994 silam.

Aksi penambangan liar yang dibiarkan marak selama beberapa bulan, ternyata tidak hanya merusak pohon jati yang di pegunungan itu. Aksi penambangan masal tersebut juga mengakibatkan tanah dan lingkungan alam di kawasan tersebut.

Kejadian ini layak jadi perhatian semua kalangan di Bumi Blambangan. Memang, kerusakan pohon jati di lokasi tersebut masih bisa dihitung oleh pihak Perhutani. Selaku pengelola hutan kawasan tersebut, Perhutani juga bisa berusaha untuk menanam kembali tanaman jati yang rusak akibat penambangan ilegal secara masal tersebut. Terlebih, Perhutani sudah siap menjalankan program one man, one tree (satu orang tanam satu pohon) seperti yang sudah dicanangkan pemerintah.

Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah upaya itu cukup untuk mengembalikan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi. Apakah penanaman kembali (reboisasi) itu mampu memperbaiki lagi struktur tanah yang ada di pegunungan tersebut.

Kalau kita menoleh lagi ke belakang, sekitar 15 tahun silam pernah terjadi tragedi lingkungan di lokasi yang sama. Massa menjarah tanaman jati di hutan tersebut karena berbagai alasan yang cukup kompleks. Seiring perjalanan waktu, Perhutani memang berhasil menghijaukan lagi hutan tersebut setelah pohon jati yang ada dibabat massa.

Namun yang terjadi saat ini, sepertinya akan sulit dikontrol. Kerusakan lahan hutan tersebut sudah memasuki tahap akut alias kritis. Tanaman jati yang rusak memang bisa ditanami kembali. Perjalanan waktu memang akan menumbuhkan lagi pucuk jati muda, menjadi tanaman yang tegak dan kokoh.

Tetapi lahan hutan itu kini dipenuhi sedikitnya seribu terowongan. Tidak tanggung-tanggung, setiap terowongan itu bisa mencapai kedalaman 40 meter. Inilah cikal bakal terowongan menuju bencana alias neraka dunia.

Memang, petugas sudah berusaha menutup seribu lubang terowongan tersebut. Tetapi setelah beberapa bekerja keras, mereka baru mampu menutup sekitar 70 terowongan tambang. Kalau pun nantinya –entah kapan-, seribu lebih terowongan itu bisa ditutup, struktur dan kepadatan tanah tak akan pulih seperti sedia kala.

Terlebih, masa sekarang sudah memasuki musim hujan. Seandainya saja kawasan itu diguyur hujan terus menerus selama beberapa hari saja, lalu seribu terowongan sedalam 40 meter itu dipenuhi air, entah apa jadinya kawasan itu. Apalagi, lokasi tersebut berada di pegunungan yang mungkin saja terdapat beberapa perkampungan di bawahnya. Kalau sudah begini, kita semua hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi tanah longsor di kawasan tersebut.

Memang, kerusakan pohon jati masih bisa dihitung dan diperbaiki. Yang perlu digarisbawahi, kerusakan lingkungan ternyata tidak bisa dinilai dengan angka. Lingkungan sejatinya juga bukan milik kita, tetapi itu adalah warisan untuk anak cucu kita di masa mendatang. Karena itu sudah sepantasnya, jika kita semua sebisa mungkin ikut berpartisipasi melestarikan lingkungan alam di sekitar kita. (*)

Tidak ada komentar: