PROBLEM distribusi pupuk di Bumi Blambangan seolah selalu ada setiap tahun. Hampir setiap musim tanam, petani selalu disibukkan dengan sulitnya mendapatkan pupuk.
Sebagian petani selalu mengaku sulit mendapatkan pupuk. Sebaliknya, pihak yang berwenang menyatakan pasokan kebutuhan pupuk untuk daerah ini mencukupi. Entah siapa yang paling benar dalam masalah ini. Bahkan, bukan mustahil kalau kedua pihak bisa sama-sama benarnya.
Pemerintah sudah mengatur persediaan pupuk yang cukup di setiap daerah. Bahkan, distribusinya juga diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kendala.
Tetapi dalam beberapa kasus, masih ditemukan juga dugaan pelanggaran dalam proses distribusi pupuk bersubsidi. Seperti kasus yang diungkap Polsek Gambiran. Polisi berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 7,5 ton urea bersubsidi ke luar daerah. Truk pengangkut pupuk itu menggunakan kamuflase tutup jerami, layaknya yang biasa digunakan truk bermuatan semangka. Begitu tutup jerami dibuka, ternyata isinya adalah ratusan sak pupuk urea bersubsidi.
Setelah kasus ini dikembangkan lebih lanjut, ada yang mencengangkan dari pengakuan ternyata tersangka Taufiq Ismail. Kepada polisi, dia mengaku bahwa sebelumnya sudah menjual pupuk bersubsidi untuk dua kali pengiriman ke luar daerah. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pupuk bersubsidi yang sudah diselundupkan ternyata sekitar 14 ton.
Kasus-kasus seperti ini memang bisa mengganggu distribusi pupuk bersubsidi di daerah ini. Pupuk yang seharusnya cukup untuk lahan petani di daerah itu, akhirnya menjadi minus stok. Karena barang sedikit, petani pun kelimpungan mencarinya. Akhirnya, masalah klasik terkait distribusi pupuk kembali terulang.
Sebenarnya, langkah Menteri Pertanian mengubah distribusi pupuk bersubsidi dari sistem terbuka menjadi sistem tertutup sudah patut diacungi jempol. Dengan sistem tertutup, pemerintah pusat atau dinas pertanian di daerah hanya memberikan pupuk bersubsidi langsung kepada kelompok petani dengan beberapa syarat.
Secanggih apa pun sistem distribusi yang diterapkan, ternyata masih saja bisa dibobol. Dalam kasus di Banyuwangi, tersangka justru memborong pupuk dari beberapa kelompok tani. Dia berdalih sedang menanam jagung di lahan babatan bekas hutan.
Terlepas dari semua problem tersebut, sebenarnya ada hal yang lebih mendasar. Coba kita renungkan sekali lagi. Mampukah petani kita menjadi petani yang tangguh, dan tidak bergantung pada pupuk urea? Apakah kita tidak bisa melirik pada pupuk alami? Jawabannya akan membutuhkan kerja keras dari semua komponen negeri ini. Nah, inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar