DEMI keselamatan dalam pelayaran, Menteri Perhubungan mengeluarkan surat Keputusan nomor 28 tahun 2008. SK yang berlaku pada 15 Desember 2008 besok tersebut, mengatur tentang muatan angkutan barang yang akan berlayar naik feri penyeberangan.
PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Ketapang langsung bertindak cepat. Sesuai SK menhub, ASDP langsung membatasi muatan barang yang akan naik feri menyeberang ke Bali. Setiap kendaraan diberi jatah maksimal muatan 30 ton. Jika melanggar ketentuan, ASDP akan bertindak tegas dengan mengusir kendaraan tersebut keluar kawasan pelabuhan mulai Senin besok (15/12).
Kacab PT ASDP Ketapang, Carda Damanik mengakui, selama ini muatan kendaraan yang menyeberang masih banyak yang melebihi 30 ton. Namun karena tak punya payung hukum, ASDP belum bisa mengambil tindakan tegas.
Kendaraan muatannya melebihi batas ketentuan, kosekuensinya harus meninggalkan area pelabuhan penyeberangan. Kendaraan itu bisa masuk lagi ke pelabuhan, asalkan sudah mengurangi muatannya sesuai ketentuan yang berlaku. Meski begitu, kendaraan dilarang membongkar muatannya itu di dalam area pelabuhan.
Peraturan baru itu memang diciptakan untuk tujuan baik. Meski begitu, pemberlakuan aturan tersebut juga harus disertai dengan pengawasan yang baik pula. Sebab bukan tidak mungkin, peraturan yang ketat seperti itu, nantinya justru membuka peluang dan potensi kolusi baru.
Logikanya, perusahaan apa pun tidak mau merugi dalam menjalankan bisnisnya. Tidak terkecuali perusahaan di bidang ekspedisi. Demikian juga halnya dengan awak truk. Mereka bekerja mengharapkan upah untuk menghidupi keluarganya.
Jika selama ini masih banyak praktik kelebihan muatan, tentu awak truk berusaha agar ‘menerobos’ aturan batas muatan 30 ton. Sangat memungkinkan mereka berupaya dengan segala cara. Nah, inilah yang membuka potensi munculnya suap di timbangan pelabuhan. Apalagi selama ini, masyarakat umum tidak bisa memantau timbangan kendaraan. Penunjuk timbangan biasanya hanya dibaca oleh petugas timbangan yang bersangkutan.
Alangkah bijak kalau ASDP mau terbuka dalam masalah pembacaan timbangan kendaraan yang akan menyeberang. Kalau perlu, buat saja papan digital berukuran besar di pelabuhan. Sehingga setiap orang bisa tahu, berapa muatan truk yang sedang ditimbang pada waktu itu. Jika melebihi batas, kalau perlu timbangan langsung mengeluarkan suara alarm keras-keras. Dengan demikian, kerja petugas timbangan bisa selalu dinontrol masyakarat. (*)
Senin, 15 Desember 2008
PAK dan Banpol
Pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2008 layaknya benang kusut. Cukup rumit dan membingungkan. Bukan saja prosesnya yang rumit dan berliku. Sikap para wakil rakyat juga cukup sulit dimengerti.
Ketika persoalan PAK mengemuka, awalnya banyak fraksi di DPRD yang menolak desakan dari kalangan eksekutif. Yang paling keras menolak pembahasan PAK adalah Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP). Alasannya, Undang-Undang sudah jelas mengatur tentang pembahasan PAK. Bahwa, PAK harus sudah dibahas paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran itu habis. Karena tidak mau menanggung risiko hukum di kemudian hari, akhirnya FPDIP menolak membahas PAK.
Sedangkan Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Demokrat (FD) bersikap lebih lunak. Mereka mau membahas PAK dengan syarat, hanya membahas hal yang dianggap mendesak. Contohnya seperti masalah gaji petugas kebersihan (pasukan kuning) dan anggaran tunjangan guru. Ini karena dua hal itu menyangkut masyarakat banyak. Secara politis, tentu sangat penting dalam ‘mengambil hati’ dua kelompok masyarakat itu.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya panitia musyawarah DPRD memutuskan PAK APBD 2008 tetap diagendakan untuk dibahas. Perkembangan terkini, rangkaian rapat paripurna PAK akhirnya mulai dibahas. Meski banyak wakil rakyat yang absen, rapat paripurna jalan terus. Mereka yang dulu tegas menolak membahas PAK, kini ternyata ikut hadir dalam paripurna itu.
Pada saat hampir bersamaan, hari itu pemkab mencairkan bantuan parpol (Banpol) yang sudah empat bulan tak kunjung cair. Sedangkan fraksi-fraksi di DPRD itu, mereka sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol di lembaga legislatif.
Secara kebetulan pula, ada perubahan sikap wakil rakyat dalam menyikapi pembahasan PAK. Yang dulu tegas menolak, kini malah ikut hadir dalam agenda paripurna yang membahas PAK. Memang, tidak ada korelasi antara perubahan sikap dewan dalam membahas PAK dengan pencairan Banpol. Namun, dua moment yang terjadi hampir bersamaan itu, berpeluang bisa menimbulkan interpretasi tersendiri bagi masyarakat. *
Ketika persoalan PAK mengemuka, awalnya banyak fraksi di DPRD yang menolak desakan dari kalangan eksekutif. Yang paling keras menolak pembahasan PAK adalah Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP). Alasannya, Undang-Undang sudah jelas mengatur tentang pembahasan PAK. Bahwa, PAK harus sudah dibahas paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran itu habis. Karena tidak mau menanggung risiko hukum di kemudian hari, akhirnya FPDIP menolak membahas PAK.
Sedangkan Fraksi Partai Golkar (FPG) dan Fraksi Demokrat (FD) bersikap lebih lunak. Mereka mau membahas PAK dengan syarat, hanya membahas hal yang dianggap mendesak. Contohnya seperti masalah gaji petugas kebersihan (pasukan kuning) dan anggaran tunjangan guru. Ini karena dua hal itu menyangkut masyarakat banyak. Secara politis, tentu sangat penting dalam ‘mengambil hati’ dua kelompok masyarakat itu.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya panitia musyawarah DPRD memutuskan PAK APBD 2008 tetap diagendakan untuk dibahas. Perkembangan terkini, rangkaian rapat paripurna PAK akhirnya mulai dibahas. Meski banyak wakil rakyat yang absen, rapat paripurna jalan terus. Mereka yang dulu tegas menolak membahas PAK, kini ternyata ikut hadir dalam paripurna itu.
Pada saat hampir bersamaan, hari itu pemkab mencairkan bantuan parpol (Banpol) yang sudah empat bulan tak kunjung cair. Sedangkan fraksi-fraksi di DPRD itu, mereka sejatinya merupakan kepanjangan tangan parpol di lembaga legislatif.
Secara kebetulan pula, ada perubahan sikap wakil rakyat dalam menyikapi pembahasan PAK. Yang dulu tegas menolak, kini malah ikut hadir dalam agenda paripurna yang membahas PAK. Memang, tidak ada korelasi antara perubahan sikap dewan dalam membahas PAK dengan pencairan Banpol. Namun, dua moment yang terjadi hampir bersamaan itu, berpeluang bisa menimbulkan interpretasi tersendiri bagi masyarakat. *
100 Meter dari Pantai
Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) sudah mengucurkan anggaran Rp 800 juta di kawasan Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Dinas Pehubungan Jatim sudah membangun jembatan yang menghubungkan pelabuhan ASDP Ketapang dan Pelabuhan Landing Craft Machine (LCM) Ketapang.
Pelabuhan ASDP Ketapang banyak digunakan untuk jasa penyeberangan orang, sepeda motor, mobil dan bus menuju Bali. Sedangkan pelabuhan LCM Ketapang, berfungsi untuk penyeberangan khusus angkutan barang. Semua jenis truk yang akan ke Bali akan menyeberang lewat pelabuhan LCM.
Dishub Jatim akan merancang suatu pelabuhan terpadu di Ketapang. Pintu masuk ke pelabuhan akan dipusatkan di sisi utara yang saat ini merupakan pelabuhan ASDP. Sedangkan pintu keluar, akan dijadikan satu di sisi selatan (kini merupakan pelabuhan LCM).
Konsep ini memang sudah dirancang untuk lebih memudahkan dan meningkatkan kelancaran pelayanan masyarakat pengguna jasa penyeberangan. Rencana ini cukup sinergi dengan langkah Pemkab Banyuwangi. Dishub Banyuwangi akan menindaklanjuti penyatuan dua pelabuhan tersebut dengan membangun sub terminal untuk angkutan kota. Dengan demikian, penumpang pejalan kaki yang turun dari kapal bisa dengan mudah melanjutkan perjalanannya.
Masalahnya, saat ini terdapat perkampungan warga di antara dua pelabuhan itu. Puluhan kepala keluarga (KK) tinggal di perkampungan yang diapit pelabuhan ASDP dan pelabuhan LCM. Jika penyatuan dua pelabuhan dilakukan, penggusuran puluhan rumah warga kampung itu tak dapat dielakkan.
Penggusuran warga sekampung, sejatinya merupakan satu masalah sosial yang tak bisa dipandang remeh. Problem ini cukup pelik, apalagi melibatkan nasib puluhan KK. Sudah banyak contoh kasus penggusuran rumah (apalagi penggusuran kampung) di kota-kota besar. Hampir semuanya menyisakan masalah. Bahkan tidak sedikit problem penggusuran yang berujung pada bentrokan fisik.
Untuk mengantisipasi hal-hal terburuk, pemprov dan pemkab harus bersikap arif. Semua kemungkinan dampak penggusuran seperti relokasi, ganti rugi, dampak sosial, dan sebagainya harus juga dipikirkan dengan matang. Pembahasan masalah itu idealnya juga melibatkan semua pihak terkait. Sehingga keputusan yang diambil, bisa mengakomodasi kepentingan semua kalangan.
Yang perlu diingat pula, warga kampung yang akan kena gusur juga harus mawas diri. Mereka juga perlu bercermin dan memahami dengan keberadaan mereka di lahan tersebut. Perlu diketahui bahwa lahan 100 meter dari bibir pantai, merupakan milik sah pelabuhan. Kalau pemiliknya menghendaki memakai lahan itu, tentu demi kepentingan yang lebih besar, warga harus juga menyadari hal itu.
Dampak positif dan negatif itu memang selalu ada di mana saja. Namun kalau semua menyadari dan saling memahami, alangkah indahnya dunia ini. Apalagi, jika dampak negatif pembangunan itu akhirnya hanya menempati porsi yang sangat kecil. (*)
Pelabuhan ASDP Ketapang banyak digunakan untuk jasa penyeberangan orang, sepeda motor, mobil dan bus menuju Bali. Sedangkan pelabuhan LCM Ketapang, berfungsi untuk penyeberangan khusus angkutan barang. Semua jenis truk yang akan ke Bali akan menyeberang lewat pelabuhan LCM.
Dishub Jatim akan merancang suatu pelabuhan terpadu di Ketapang. Pintu masuk ke pelabuhan akan dipusatkan di sisi utara yang saat ini merupakan pelabuhan ASDP. Sedangkan pintu keluar, akan dijadikan satu di sisi selatan (kini merupakan pelabuhan LCM).
Konsep ini memang sudah dirancang untuk lebih memudahkan dan meningkatkan kelancaran pelayanan masyarakat pengguna jasa penyeberangan. Rencana ini cukup sinergi dengan langkah Pemkab Banyuwangi. Dishub Banyuwangi akan menindaklanjuti penyatuan dua pelabuhan tersebut dengan membangun sub terminal untuk angkutan kota. Dengan demikian, penumpang pejalan kaki yang turun dari kapal bisa dengan mudah melanjutkan perjalanannya.
Masalahnya, saat ini terdapat perkampungan warga di antara dua pelabuhan itu. Puluhan kepala keluarga (KK) tinggal di perkampungan yang diapit pelabuhan ASDP dan pelabuhan LCM. Jika penyatuan dua pelabuhan dilakukan, penggusuran puluhan rumah warga kampung itu tak dapat dielakkan.
Penggusuran warga sekampung, sejatinya merupakan satu masalah sosial yang tak bisa dipandang remeh. Problem ini cukup pelik, apalagi melibatkan nasib puluhan KK. Sudah banyak contoh kasus penggusuran rumah (apalagi penggusuran kampung) di kota-kota besar. Hampir semuanya menyisakan masalah. Bahkan tidak sedikit problem penggusuran yang berujung pada bentrokan fisik.
Untuk mengantisipasi hal-hal terburuk, pemprov dan pemkab harus bersikap arif. Semua kemungkinan dampak penggusuran seperti relokasi, ganti rugi, dampak sosial, dan sebagainya harus juga dipikirkan dengan matang. Pembahasan masalah itu idealnya juga melibatkan semua pihak terkait. Sehingga keputusan yang diambil, bisa mengakomodasi kepentingan semua kalangan.
Yang perlu diingat pula, warga kampung yang akan kena gusur juga harus mawas diri. Mereka juga perlu bercermin dan memahami dengan keberadaan mereka di lahan tersebut. Perlu diketahui bahwa lahan 100 meter dari bibir pantai, merupakan milik sah pelabuhan. Kalau pemiliknya menghendaki memakai lahan itu, tentu demi kepentingan yang lebih besar, warga harus juga menyadari hal itu.
Dampak positif dan negatif itu memang selalu ada di mana saja. Namun kalau semua menyadari dan saling memahami, alangkah indahnya dunia ini. Apalagi, jika dampak negatif pembangunan itu akhirnya hanya menempati porsi yang sangat kecil. (*)
Berkah dari Dam Tapen
SITUBONDO bisa dikatakan sebagai daerah tujuan kiriman. Kali ini, warga Kota Santri dapat berkah dari Dam Tapen di Bondowoso.
Ribuan ikan di sepanjang aliran sungai Sampeyan tiba-tiba mabuk. Ikan tersebut teler bukan karena diracun atau kena pengaruh potasium. Kejadian ini, karena di hulu sungai Sampeyan, tepatnya di Dam Tapen, Bondowoso, sedang dilakukan pengurasan lumpur sungai.
Pengerukan lumpur itu biasa dilakukan setiap menjelang musim penghujan. Pengerukan lumpur itu bertujuan untuk melancarkan saluran pembuangan di sungai Sampeyan. Setelah lumpur dikuras, aliran air diharapkan normal dan semakin lancar.
Di sisi lain, pembersihan lumpur itu berdampak pada telernya ribuan ikan di sepanjang sungai Sampeyan. Kondisi ini, justri dimanfaatkan oleh ratusan warga Situbondo. Mereka ramai-ramai turun ke sungai untuk menangkap aneka ikan yang sedang sekarat. Mulai jenis ikan tawes, lele dan wader dan sebagainya. Ikan tiban itu dirasakan sedikit dapat membantu perekonomian warga. Dengan banyaknya tangkapan ikan tiban itu, asap dapur bisa kembali ngebul.
Secara psikologis, kondisi ini juga berdampak positif bagi warga Kota Santri. Mereka menjadi sedikit terhibur dan bisa sedikit melupakan masalah. Ratusan warga bersaing mendapatkan ikan. Mereka bahkan menggunakan bermacam peralatan untuk mencari ikan. Ada juga sampai mempersiapkan ban bekas, untuk peralatan mengapung di atas permukaan sungai agar lebih leluasa mencari ikan. Ini menunjukkan, bahwa tradisi pengurasan Dam Tapen itu bisa jadi momen rekreasi bagi warga Situbondo.
Kalau kita renungi lebih dalam, alam memang punya keseimbangan yang penuh misteri. Dam Tapen sesekali memang memberikan kesenangan bagi warga Situbondo. Kehidupan ribuan petani mungkin juga sangat tergantung dari aliran air Dam tersebut. Entah berapa ribu hektare lahan pertanian yang merasakan manfaat air dari saluran dan dam tersebut.
Tapi perlu juga diingat, apa yang ada di alam punya keseimbangan. Ada baik, ada juga buruk. Barangkali, saat ini sungai Sampeyan berikut Dam Tapen sedang memberikan sesuatu yang manis bagi warga Situbondo. Tapi perlu diingat, Dam Tapen yang punya peran penting bagi Sungai Sampeyan, bisa juga mengirim bencana banjir bandang yang pernah membuat Situbondo porak poranda awal tahun 2008. Apalagi, saat ini sudah masuk musim hujan. Waspadalah warga Kota Santri, jangan lengah! (*)
Ribuan ikan di sepanjang aliran sungai Sampeyan tiba-tiba mabuk. Ikan tersebut teler bukan karena diracun atau kena pengaruh potasium. Kejadian ini, karena di hulu sungai Sampeyan, tepatnya di Dam Tapen, Bondowoso, sedang dilakukan pengurasan lumpur sungai.
Pengerukan lumpur itu biasa dilakukan setiap menjelang musim penghujan. Pengerukan lumpur itu bertujuan untuk melancarkan saluran pembuangan di sungai Sampeyan. Setelah lumpur dikuras, aliran air diharapkan normal dan semakin lancar.
Di sisi lain, pembersihan lumpur itu berdampak pada telernya ribuan ikan di sepanjang sungai Sampeyan. Kondisi ini, justri dimanfaatkan oleh ratusan warga Situbondo. Mereka ramai-ramai turun ke sungai untuk menangkap aneka ikan yang sedang sekarat. Mulai jenis ikan tawes, lele dan wader dan sebagainya. Ikan tiban itu dirasakan sedikit dapat membantu perekonomian warga. Dengan banyaknya tangkapan ikan tiban itu, asap dapur bisa kembali ngebul.
Secara psikologis, kondisi ini juga berdampak positif bagi warga Kota Santri. Mereka menjadi sedikit terhibur dan bisa sedikit melupakan masalah. Ratusan warga bersaing mendapatkan ikan. Mereka bahkan menggunakan bermacam peralatan untuk mencari ikan. Ada juga sampai mempersiapkan ban bekas, untuk peralatan mengapung di atas permukaan sungai agar lebih leluasa mencari ikan. Ini menunjukkan, bahwa tradisi pengurasan Dam Tapen itu bisa jadi momen rekreasi bagi warga Situbondo.
Kalau kita renungi lebih dalam, alam memang punya keseimbangan yang penuh misteri. Dam Tapen sesekali memang memberikan kesenangan bagi warga Situbondo. Kehidupan ribuan petani mungkin juga sangat tergantung dari aliran air Dam tersebut. Entah berapa ribu hektare lahan pertanian yang merasakan manfaat air dari saluran dan dam tersebut.
Tapi perlu juga diingat, apa yang ada di alam punya keseimbangan. Ada baik, ada juga buruk. Barangkali, saat ini sungai Sampeyan berikut Dam Tapen sedang memberikan sesuatu yang manis bagi warga Situbondo. Tapi perlu diingat, Dam Tapen yang punya peran penting bagi Sungai Sampeyan, bisa juga mengirim bencana banjir bandang yang pernah membuat Situbondo porak poranda awal tahun 2008. Apalagi, saat ini sudah masuk musim hujan. Waspadalah warga Kota Santri, jangan lengah! (*)
Mahalnya Rasa Malu
RASA malu itu memang mahal. Banyak orang sudah meraskannya. Demi menutupi rasa malu, seseorang harus rela berkorban banyak. Bisa korban uang, harta benda bahkan kalau perlu jabatan, pekerjaan dan keluarga.
Harga mahal juga harus ditebus oleh Sudiyono. Oknum guru sebuah SMA Negeri di Kota Gandrung itu terpaksa jadi bulan-bulanan, setelah video syur hubungan intim dengan mantan muridnya beredar luas di masyarakat. Warga Banyuwangi bisa menlihat adegan ranjang yang diduga berlangsung di Bali itu melalui layar telepon seluler (ponsel).
Begitu video itu beredar luas, bisa dibayangkan betapa berat beban menanggung rasa malu yang dirasakan Sudiyono. Tak hanya dirinya sebagai oknum pengajar yang merasa tertampar, karena privasi yang dilindunginya, ternyata bisa dilihat banyak orang.
Rasa lebih pedih dan menyakitkan, tentu dirasakan oleh keluarga dan kerabat oknum guru tersebut. Sakali lagi, begitu video syur itu beredar, Sudiyono dan keluarganya seolah sudah merasakan hukuman yang luar biasa beratnya. Ini merupakan ujian yang sangat dan teramat sulit.
Belum tuntas hukuman secara psikologis akibat rasa malu itu, Sudiyono harus berhadapan dengan masalah hukum. Polisi menahannya karena diduga mencabuli mantan muridnya. Memang, setelah video syur itu beredar, seorang korban lapor polisi. Akhirnya, oknum guru itu dijerat pasal Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Penyidik juga menjerat dengan pasal berlapis, yakni subsidair pasal 293 KUHP tentang pencabulan.
Setelah kasus itu menggelinding ke meja hijau, dakwaan primair UUPA nomor 22 tahun 2003 tidak terbukti. Sebab korban yang berinisial DT itu ternyata sudah berusia lebih 18 tahun, saat menjalin hubungan intim dengan oknum guru tersebut.
Meski begitu, jaksa menuntut Sudiyono 18 bulan penjara sesuai dakwaan subsidair pasal 293 KUHP tentang perbuatan cabul. Sidang memang belum berakhir. Palu vonis majelis hakim masih belum diketok. Memang masih ada tahap pleidoi, dan seterusnya. Yang jelas, majelis hakim nantinya pasti akan menjatuhkan vonis. Vonis yang dijatuhkan itu, bisa lebih berat atau bahkan bisa juga lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Semua pihak masih menunggu tiba saatnya jatuhnya putusan tersebut. Tentu saja, Sudiyono juga ikut menunggu keputusan penting itu. Hukuman secara psikis sudah dirasakannya, menanggung rasa malu yang begitu mahal harganya. Kini, hukuman fisik yakni hukuman penjara juga sedang menunggu putusan hakim. Kalau sudah begitu, lengkap sudah penderitaan bapak guru yang satu ini.
Setumpuk hukuman fisik dan psikis itu memang diharap jadi berkah bagi Sudiyono. Dengan kejadian ini, diharapkan ada hikmahnya. Agar dia merenung dan insyaf dengan tobat yang sebenar-benarnya. Termasuk, kasus ini bisa jadi bahan renungan semua guru, semua murid, semua praktisi dunia pendidikan, serta semua warga Bumi Blambangan. Kalau memang tidak mau tobat, satu lagi hukuman yang jauh lebih berat siap menanti. Yakni hukuman di alam akhirat nanti. (*)
Harga mahal juga harus ditebus oleh Sudiyono. Oknum guru sebuah SMA Negeri di Kota Gandrung itu terpaksa jadi bulan-bulanan, setelah video syur hubungan intim dengan mantan muridnya beredar luas di masyarakat. Warga Banyuwangi bisa menlihat adegan ranjang yang diduga berlangsung di Bali itu melalui layar telepon seluler (ponsel).
Begitu video itu beredar luas, bisa dibayangkan betapa berat beban menanggung rasa malu yang dirasakan Sudiyono. Tak hanya dirinya sebagai oknum pengajar yang merasa tertampar, karena privasi yang dilindunginya, ternyata bisa dilihat banyak orang.
Rasa lebih pedih dan menyakitkan, tentu dirasakan oleh keluarga dan kerabat oknum guru tersebut. Sakali lagi, begitu video syur itu beredar, Sudiyono dan keluarganya seolah sudah merasakan hukuman yang luar biasa beratnya. Ini merupakan ujian yang sangat dan teramat sulit.
Belum tuntas hukuman secara psikologis akibat rasa malu itu, Sudiyono harus berhadapan dengan masalah hukum. Polisi menahannya karena diduga mencabuli mantan muridnya. Memang, setelah video syur itu beredar, seorang korban lapor polisi. Akhirnya, oknum guru itu dijerat pasal Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Penyidik juga menjerat dengan pasal berlapis, yakni subsidair pasal 293 KUHP tentang pencabulan.
Setelah kasus itu menggelinding ke meja hijau, dakwaan primair UUPA nomor 22 tahun 2003 tidak terbukti. Sebab korban yang berinisial DT itu ternyata sudah berusia lebih 18 tahun, saat menjalin hubungan intim dengan oknum guru tersebut.
Meski begitu, jaksa menuntut Sudiyono 18 bulan penjara sesuai dakwaan subsidair pasal 293 KUHP tentang perbuatan cabul. Sidang memang belum berakhir. Palu vonis majelis hakim masih belum diketok. Memang masih ada tahap pleidoi, dan seterusnya. Yang jelas, majelis hakim nantinya pasti akan menjatuhkan vonis. Vonis yang dijatuhkan itu, bisa lebih berat atau bahkan bisa juga lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Semua pihak masih menunggu tiba saatnya jatuhnya putusan tersebut. Tentu saja, Sudiyono juga ikut menunggu keputusan penting itu. Hukuman secara psikis sudah dirasakannya, menanggung rasa malu yang begitu mahal harganya. Kini, hukuman fisik yakni hukuman penjara juga sedang menunggu putusan hakim. Kalau sudah begitu, lengkap sudah penderitaan bapak guru yang satu ini.
Setumpuk hukuman fisik dan psikis itu memang diharap jadi berkah bagi Sudiyono. Dengan kejadian ini, diharapkan ada hikmahnya. Agar dia merenung dan insyaf dengan tobat yang sebenar-benarnya. Termasuk, kasus ini bisa jadi bahan renungan semua guru, semua murid, semua praktisi dunia pendidikan, serta semua warga Bumi Blambangan. Kalau memang tidak mau tobat, satu lagi hukuman yang jauh lebih berat siap menanti. Yakni hukuman di alam akhirat nanti. (*)
Meneladani Pembangunan Masjid Rogojampi
Pengurus Yayasan Masjid Agung Baiturrahman (YMAB) Banyuwangi terus berjuang untuk mendapatkan bantuan dana APBD. Mereka mengikuti dengar pendapat dengan Komisi C DPRD (bidang keuangan), sekaligus mendesak agar bantuan APBD segera dicairkan.
Ketua YMAB Habib Mahdi Hasan meminta DPRD membantu memfasilitasi pencairan anggaran APBD untuk pembangunan MAB. Sebab, bantuan itu sangat dibutuhkan untuk kelancaran pembangunan. Sejumlah panitia pembangunan MAB juga menyampaikan beberapa kesulitan panitia mencari dana untuk mempertahankan kelangsungan proses pembangunan. Tanpa ada bantuan dari APBD, pembangunan masjid tidak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini.
Sementara itu, Asisten Sosial Ekonomi (Sosek) Pemkab, Hadi Sucipto menjelaskan, pencairan bantuan untuk masjid agung tebentur aturan Permendagri 13 tentang bantuan APBD. Bantuan tidak boleh diberikan secara terus menerus. Masjid sudah sekian tahun terus menerus mendapatkan bantuan APBD.
Selain itu, tidak ada anggaran secara khusus untuk masjid agung dalam APBD 2008. Dalam APBD hanya tersedia anggaran untuk bantuan keagamaan. Jadi tidak ada rekening bantuan secara khusus untuk masjid agung tersebut.
Terlepas dari problem yang melilit MAB, ada baiknya kita semua melirik pembangunan Masjid Jamik Baiturrohiem di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Masjid ini juga pernah ‘merasakan’ kucuran bantuan APBD. Tetapi, panitia pembangunan masjid ini tak semata-mata mengandalkan bantuan pemerintah untuk mewujudkan cita-citanya.
Jauh sebelum itu, warga Rogojampi dan sekitarnya sudah bahu-membahu mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Mereka sadar, pembangunan masjid besar Rogojampi itu akan menjadi ikon di wilayahnya. Warga Rogojampi juga sadar, bangunan tersebut akan jadi simbol yang menggambarkan kehidupan mereka. Tak heran, kalau banyak warga non muslim yang secara sukarela ikut membantu pembangunan masjid itu.
Kalau masjid itu akhirnya berdiri megah dan rampung dengan upaya warga, tentu semua akan bangga. Itu bisa menunjukkan kalau warga Rogojampi mampu berbuat. Menunjukkan kalau mereka juga mapan, mereka kompak, mereka rukun, mereka solid dan mereka kuat serta saling melindungi.
Melihat ini, memang tidak adil kalau kita membandingkan pembangunan MAB dengan pembangunan masjid Jamik Rogojampi. Karena, keduanya memang berbeda konteks dalam banyak faktor. Tetapi ada satu hal yang perlu dipetik, tak ada salahnya nilai-nilai yang baik dalam pembangunan masjid Rogojampi itu untuk diteladani. (*)
Ketua YMAB Habib Mahdi Hasan meminta DPRD membantu memfasilitasi pencairan anggaran APBD untuk pembangunan MAB. Sebab, bantuan itu sangat dibutuhkan untuk kelancaran pembangunan. Sejumlah panitia pembangunan MAB juga menyampaikan beberapa kesulitan panitia mencari dana untuk mempertahankan kelangsungan proses pembangunan. Tanpa ada bantuan dari APBD, pembangunan masjid tidak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini.
Sementara itu, Asisten Sosial Ekonomi (Sosek) Pemkab, Hadi Sucipto menjelaskan, pencairan bantuan untuk masjid agung tebentur aturan Permendagri 13 tentang bantuan APBD. Bantuan tidak boleh diberikan secara terus menerus. Masjid sudah sekian tahun terus menerus mendapatkan bantuan APBD.
Selain itu, tidak ada anggaran secara khusus untuk masjid agung dalam APBD 2008. Dalam APBD hanya tersedia anggaran untuk bantuan keagamaan. Jadi tidak ada rekening bantuan secara khusus untuk masjid agung tersebut.
Terlepas dari problem yang melilit MAB, ada baiknya kita semua melirik pembangunan Masjid Jamik Baiturrohiem di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Masjid ini juga pernah ‘merasakan’ kucuran bantuan APBD. Tetapi, panitia pembangunan masjid ini tak semata-mata mengandalkan bantuan pemerintah untuk mewujudkan cita-citanya.
Jauh sebelum itu, warga Rogojampi dan sekitarnya sudah bahu-membahu mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Mereka sadar, pembangunan masjid besar Rogojampi itu akan menjadi ikon di wilayahnya. Warga Rogojampi juga sadar, bangunan tersebut akan jadi simbol yang menggambarkan kehidupan mereka. Tak heran, kalau banyak warga non muslim yang secara sukarela ikut membantu pembangunan masjid itu.
Kalau masjid itu akhirnya berdiri megah dan rampung dengan upaya warga, tentu semua akan bangga. Itu bisa menunjukkan kalau warga Rogojampi mampu berbuat. Menunjukkan kalau mereka juga mapan, mereka kompak, mereka rukun, mereka solid dan mereka kuat serta saling melindungi.
Melihat ini, memang tidak adil kalau kita membandingkan pembangunan MAB dengan pembangunan masjid Jamik Rogojampi. Karena, keduanya memang berbeda konteks dalam banyak faktor. Tetapi ada satu hal yang perlu dipetik, tak ada salahnya nilai-nilai yang baik dalam pembangunan masjid Rogojampi itu untuk diteladani. (*)
Bahasa Pengantar dan Literatur
ADA satu hal yang patut diacungi jempol dalam perkembangan dunia pendidikan di Bumi Blambangan. Beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah menyandang (atau mungkin sedang dalam proses menuju) status Sekolah Berstandar Internasional (SBI).
Terkait masalah ini, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Dr Kir Haryana hadir ke Banyuwangi (29/11). Dia memberikan sosialisasi seputar SBI.
Banyak hal menarik yang disampaikan Dirjen tersebut. Dr Kir mengatakan, semua yang terkait dalam SBI sudah diatur dalam peraturan Mendiknas. Mulai masalah kelulusan, kurikulum, cara pembelajaran, tenaga pendidik, pengelola manajemen hinga masalah pembiayaan.
Namun hal yang paling penting dalam menyandang status SBI itu adalah sarana dan prasarana sekolah. Bagaimana agar sarana dan prasara itu membuat siswa nyaman dalam menuntut ilmu. Sekolah juga harus punya kriteria potensial dan mandiri. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan menciptakan situasi kondusif. Sehingga terjalin hubungan dan komunikasi harmonis antara kepala sekolah dan guru.
Ada lagi satu hal yang cukup menggelitik. Dr Kir menyatakan, sekolah berstandar internasional itu, ternyata tidak mewajibkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Alasannya, yang terpenting adalah bagaimana siswa itu bisa mampu dalam hal sains. Menguasai matematika, fisika dan kimia dulu. Baru setelah itu menguasai Bahasa Inggris.
Bagaimana siswa mau mengerti pelajaran, kalau pengantarnya yang menggunakan Bahasa Inggris saja tidak mengerti. Contohnya seperti yang diterapkan sekolah dan kampus di Jepang. Seluruh pengantar pelajaran di Negeri Matahari Terbit menggunakan Bahasa Jepang. Sehingga, mereka benar-benar menguasai pelajaran yang diberikan, terutama mata pelajaran eksak.
Secara logika, alasan Dr Kir memang cukup masuk akal. Itu disertai dengan contoh yang nyata pula, seperti yang terjadi di Jepang. Memang, masalah ini tak perlu jadi polemik apalagi blunder.
Kita juga perlu melihat sisi lain, bahwa pergaulan internasional dan sumber pengetahuan serta literatur internasional selalu menggunakan Bahasa Inggris. Kalau sekadar untuk melatih kemampuan ‘bahasa internasional’ itu, tidak ada salahnya juga membiasakan diri Speaking English setiap hari. Selain itu, negara sekelas Jepang itu punya literatur jauh lebih lengkap dalam hal sains dengan pengantar Bahasa Jepang. Ini pula yang patut dipikirkan oleh pemerintah kita. Sudah lengkapkah literatur yang kita miliki dengan pengantar Bahasa Indonesia?(*)
Terkait masalah ini, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Dr Kir Haryana hadir ke Banyuwangi (29/11). Dia memberikan sosialisasi seputar SBI.
Banyak hal menarik yang disampaikan Dirjen tersebut. Dr Kir mengatakan, semua yang terkait dalam SBI sudah diatur dalam peraturan Mendiknas. Mulai masalah kelulusan, kurikulum, cara pembelajaran, tenaga pendidik, pengelola manajemen hinga masalah pembiayaan.
Namun hal yang paling penting dalam menyandang status SBI itu adalah sarana dan prasarana sekolah. Bagaimana agar sarana dan prasara itu membuat siswa nyaman dalam menuntut ilmu. Sekolah juga harus punya kriteria potensial dan mandiri. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan menciptakan situasi kondusif. Sehingga terjalin hubungan dan komunikasi harmonis antara kepala sekolah dan guru.
Ada lagi satu hal yang cukup menggelitik. Dr Kir menyatakan, sekolah berstandar internasional itu, ternyata tidak mewajibkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Alasannya, yang terpenting adalah bagaimana siswa itu bisa mampu dalam hal sains. Menguasai matematika, fisika dan kimia dulu. Baru setelah itu menguasai Bahasa Inggris.
Bagaimana siswa mau mengerti pelajaran, kalau pengantarnya yang menggunakan Bahasa Inggris saja tidak mengerti. Contohnya seperti yang diterapkan sekolah dan kampus di Jepang. Seluruh pengantar pelajaran di Negeri Matahari Terbit menggunakan Bahasa Jepang. Sehingga, mereka benar-benar menguasai pelajaran yang diberikan, terutama mata pelajaran eksak.
Secara logika, alasan Dr Kir memang cukup masuk akal. Itu disertai dengan contoh yang nyata pula, seperti yang terjadi di Jepang. Memang, masalah ini tak perlu jadi polemik apalagi blunder.
Kita juga perlu melihat sisi lain, bahwa pergaulan internasional dan sumber pengetahuan serta literatur internasional selalu menggunakan Bahasa Inggris. Kalau sekadar untuk melatih kemampuan ‘bahasa internasional’ itu, tidak ada salahnya juga membiasakan diri Speaking English setiap hari. Selain itu, negara sekelas Jepang itu punya literatur jauh lebih lengkap dalam hal sains dengan pengantar Bahasa Jepang. Ini pula yang patut dipikirkan oleh pemerintah kita. Sudah lengkapkah literatur yang kita miliki dengan pengantar Bahasa Indonesia?(*)
Orang Mati Pun Terusik
ADA satu lagi lokasi favorit para muda-mudi untuk pacaran. Lokasi itu bukan taman remaja, kawasan wisata, pantai, kafe atau pun sudut mal. Tempat pilihan untuk bermesaraan itu adalah kompleks Makam Tionghoa Tapak Lembu di Dusun Darungan, Desa Tegalarum, Kecamatan Sempu, Banyuwangi.
Kompleks pemakaman itu memang termasuk salah satu kuburan yang bersih di Bumi Blambangan. Untuk menuju ke lokasi pemakaman itu, akses jalannya juga memadai dan mudah dijangkau.
Memang, suasana di pemakaman itu sama sekali tidak mencekam, apalagi menyeramkan. Tempat peristirahatan terakhir itu memang cukup asri, terang dan bersih. Desian lokasi tersebut juga memungkinkan untuk membuat pengunjung nyaman. Ada tempat berteduh, gazebo dan ruas jalan berlapis paving yang tersusun rapi.
Logikanya, arsitek yang mendesain kompleks pemakaman itu berharap, tempat peristirahatan terakhir itu memberikan kesan damai. Memberikan kesan tenang, asri, sejuk dan bersih bagi ‘mereka’ yang bersemayam di sana.
Namun, tujuan membuat tempat peristirahatan yang tenang dan damai itu mulai sedikit terganggu. Rupanya, tempat yang asri dan bersih itu belakangan menjadi tempat favorit bagi muda-mudi untuk berpacaran. Bagi muda-mudi yang sedang dimbauk cinta, kawasan itu mungkin terlihat bak kawasan wisata yang layak dikunjungi.
Tentu saja, kehadiran mereka tak hanya mengusik aparat ketertiban dan warga sekitar. Kalau bisa ngomong, penghuni kuburan itu mungkin juga protes. Karena mereka yang maunya ingin beristirahat dengan tenang, menjadi terusik dengan adanya orang pacaran.
Kalau kita memandang lebih luas lagi, gangguan terhadap lokasi ketenangan istirahat ‘orang mati’ tak hanya terjadi di tempat tersebut. Lihat saja di kawasan pemakaman umum di sekitar kita. Banyak kawasan pemakaman umum yang sudah mulai terganggu dengan aktivitas manusia.
Ada beberapa kompleks makam yang ‘dipinjam’ warga menjadi tempat tambal ban, bengkel dan juga warung kopi. Bahkan, ada juga yang menjadikan kompleks pemakaman umum menjadi lokasi berjudi. Fenomena itu menujukkan, betapa sudah mulainya padatnya Bumi Blambangan ini. Tak hanya tempat umum yang banyak terganggu, tempat orang mati juga mulai tergusur.
Sebenarnya, masih banyak ruang di luar Pulau Jawa yang membutuhkan sentuhan tangan manusia. Dispenduk saja sering mendapat tawaran dari Provinsi Maluku utara untuk program transmigrasi. Dari pada mengganggu ketentraman orang hidup maupun ketenangan orang mati, sebaiknya mereka-mereka ini saja yang dikirim untuk bertransmigrasi. (*)
Kompleks pemakaman itu memang termasuk salah satu kuburan yang bersih di Bumi Blambangan. Untuk menuju ke lokasi pemakaman itu, akses jalannya juga memadai dan mudah dijangkau.
Memang, suasana di pemakaman itu sama sekali tidak mencekam, apalagi menyeramkan. Tempat peristirahatan terakhir itu memang cukup asri, terang dan bersih. Desian lokasi tersebut juga memungkinkan untuk membuat pengunjung nyaman. Ada tempat berteduh, gazebo dan ruas jalan berlapis paving yang tersusun rapi.
Logikanya, arsitek yang mendesain kompleks pemakaman itu berharap, tempat peristirahatan terakhir itu memberikan kesan damai. Memberikan kesan tenang, asri, sejuk dan bersih bagi ‘mereka’ yang bersemayam di sana.
Namun, tujuan membuat tempat peristirahatan yang tenang dan damai itu mulai sedikit terganggu. Rupanya, tempat yang asri dan bersih itu belakangan menjadi tempat favorit bagi muda-mudi untuk berpacaran. Bagi muda-mudi yang sedang dimbauk cinta, kawasan itu mungkin terlihat bak kawasan wisata yang layak dikunjungi.
Tentu saja, kehadiran mereka tak hanya mengusik aparat ketertiban dan warga sekitar. Kalau bisa ngomong, penghuni kuburan itu mungkin juga protes. Karena mereka yang maunya ingin beristirahat dengan tenang, menjadi terusik dengan adanya orang pacaran.
Kalau kita memandang lebih luas lagi, gangguan terhadap lokasi ketenangan istirahat ‘orang mati’ tak hanya terjadi di tempat tersebut. Lihat saja di kawasan pemakaman umum di sekitar kita. Banyak kawasan pemakaman umum yang sudah mulai terganggu dengan aktivitas manusia.
Ada beberapa kompleks makam yang ‘dipinjam’ warga menjadi tempat tambal ban, bengkel dan juga warung kopi. Bahkan, ada juga yang menjadikan kompleks pemakaman umum menjadi lokasi berjudi. Fenomena itu menujukkan, betapa sudah mulainya padatnya Bumi Blambangan ini. Tak hanya tempat umum yang banyak terganggu, tempat orang mati juga mulai tergusur.
Sebenarnya, masih banyak ruang di luar Pulau Jawa yang membutuhkan sentuhan tangan manusia. Dispenduk saja sering mendapat tawaran dari Provinsi Maluku utara untuk program transmigrasi. Dari pada mengganggu ketentraman orang hidup maupun ketenangan orang mati, sebaiknya mereka-mereka ini saja yang dikirim untuk bertransmigrasi. (*)
Kamis, 06 November 2008
Bergulat Melawan Pergaulan Bebas
MIRIS sekali mendengar berita perkosaan akhir-akhir ini. Khusus di wilayah Banyuwangi saja, sudah terjadi tiga kali kejadian perkosaan dalam waktu sehari.
Kasus pertama melibatkan siswi kelas dua SMP di Kecamatan Muncar. Dia ditemukan warga dengan kondisi pakaian acak-acakan, dengan posisi tergeletak tidak berdaya di dermaga pantai Boom. Gadis itu diduga diperkosa ketika masih dalam pengaruh minuman keras (miras).
Dia mengaku baru berpesta miras bersama beberapa rekannya di Desa Sumbesewu, Muncar. Saat dia mabuk berat, seorang pria berniat mengantarkannya pulang, ternyata dia malah ditemukan di pantai Boom Banyuwangi yang berjarak 35 kilometer dari Muncar!
Kasus kedua terjadi di Kecamatan Purwoharjo. Kali ini, melibatkan siswa SD. Korbannya adalah tetangganya sendiri, seorang siswi yang masih sekolah TK. Kejadian itu bahkan berlangsung pada siang bolong di dekat rumah korban. Modusnya, bocah TK itu dirayu diajak nonton TV.
Kasus ketiga terjadi di Kecamatan Singojuruh. Kali ini, seorang siswi SMP janjian dengan pacarnya untuk bertemu di tengah jalan saat berangkat sekolah. Begitu bertemu, pacar siswi itu mengajak ke rumah saudaranya di desa lain. Karena kondisi rumah sangat sepi, sang pacar minta melakukan hubungan suami istri. Meski itu dilakukan atas kesadaran sendiri, namun lelaki itu terjerat undang-undang perlindungan anak. Sebab, gadis tersebut masih di bawah umur.
Memang, problem yang terkait dengan seksualitas itu ibaratnya fenomena gunung es. Tiga kasus perkosaan yang sedang mengemuka itu, boleh jadi merupakan puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan air laut. Tidak dapat dipungkiri, badan gunung es yang tak terlihat di bawah permukaan air laut, mungkin sudah melebar dan meluas, seluas benua.
Kita tidak tahu, seperti apa kondisi sebenarnya pergaulan para pelajar di Banyuwangi saat ini. Bukan mustahil, sebagian besar pelajar kita sudah terjebak pergaulan bebas saat ini.
Karenanya, sudah selayaknya kita meningkatkan benteng pertahanan kita masing-masing. Tingkatkan pengawasan anak-anak dan generasi penerus kita. Yang paling penting, ajaklah mereka dialog dan biasakan bersikap terbuka. Kalau perlu, beritahu mereka tentang besarnya risiko yang dihadapi ketika mereka terjebak pergaulan bebas. (*)
Kasus pertama melibatkan siswi kelas dua SMP di Kecamatan Muncar. Dia ditemukan warga dengan kondisi pakaian acak-acakan, dengan posisi tergeletak tidak berdaya di dermaga pantai Boom. Gadis itu diduga diperkosa ketika masih dalam pengaruh minuman keras (miras).
Dia mengaku baru berpesta miras bersama beberapa rekannya di Desa Sumbesewu, Muncar. Saat dia mabuk berat, seorang pria berniat mengantarkannya pulang, ternyata dia malah ditemukan di pantai Boom Banyuwangi yang berjarak 35 kilometer dari Muncar!
Kasus kedua terjadi di Kecamatan Purwoharjo. Kali ini, melibatkan siswa SD. Korbannya adalah tetangganya sendiri, seorang siswi yang masih sekolah TK. Kejadian itu bahkan berlangsung pada siang bolong di dekat rumah korban. Modusnya, bocah TK itu dirayu diajak nonton TV.
Kasus ketiga terjadi di Kecamatan Singojuruh. Kali ini, seorang siswi SMP janjian dengan pacarnya untuk bertemu di tengah jalan saat berangkat sekolah. Begitu bertemu, pacar siswi itu mengajak ke rumah saudaranya di desa lain. Karena kondisi rumah sangat sepi, sang pacar minta melakukan hubungan suami istri. Meski itu dilakukan atas kesadaran sendiri, namun lelaki itu terjerat undang-undang perlindungan anak. Sebab, gadis tersebut masih di bawah umur.
Memang, problem yang terkait dengan seksualitas itu ibaratnya fenomena gunung es. Tiga kasus perkosaan yang sedang mengemuka itu, boleh jadi merupakan puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan air laut. Tidak dapat dipungkiri, badan gunung es yang tak terlihat di bawah permukaan air laut, mungkin sudah melebar dan meluas, seluas benua.
Kita tidak tahu, seperti apa kondisi sebenarnya pergaulan para pelajar di Banyuwangi saat ini. Bukan mustahil, sebagian besar pelajar kita sudah terjebak pergaulan bebas saat ini.
Karenanya, sudah selayaknya kita meningkatkan benteng pertahanan kita masing-masing. Tingkatkan pengawasan anak-anak dan generasi penerus kita. Yang paling penting, ajaklah mereka dialog dan biasakan bersikap terbuka. Kalau perlu, beritahu mereka tentang besarnya risiko yang dihadapi ketika mereka terjebak pergaulan bebas. (*)
Mendongkrak Citra Biliar
PERMAINAN biliar kian menjamur di Bumi Blambangan. Tidak hanya warga kota yang memainkan olahraga bola sodok ini. Warga pelosok desa juga tidak asing dengan permainan ini.
Namun tak bisa dipungkiri, arena permainan biliar ini masih lekat dengan stigma negatif. Kegiatan ini sering dicap lekat dengan tindakan perjudian. Padahal, tidak semua penggemar bola sodok menyenangi judi. Bahkan, banyak pemain biliar yang benci dengan segala bentuk taruhan.
Belum lagi cap buruk yang sudah telanjur menempel dalam bisnis permainan biliar. Petugas penghitung skor (score girl), kerap dicitrakan negatif di mata masyarakat. Banyak yang menuding score girl itu sebagai gadis murahan yang ‘bisa dipakai’.
Padahal, score girl sejatinya termasuk kalangan pekerja keras. Mereka harus betah berdiri dan melek dalam mengamati dan menghitung skor permainan. Semua itu dilakukan demi membantu penghasilan keluarga, dengan tujuan mulia agar anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik.
Alangkah bijaknya, jika kita tidak menggebyah uyah dalam memandang dan menilai mereka yang terlibat dalam bisnis bola sodok. Tidak dapat dipungkiri, memang ada oknum yang terlibat praktik judi serta menyerempet kegiatan prostitusi di dunia perbiliaran. Tetapi, masih banyak juga yang berprestasi dan memberikan manfaat baik.
Yang perlu dilakukan adalah mendongkrak kembali citra dunia biliar yang sudah terpuruk ini. Kita bisa meniru daerah tetangga, Bali. Ada yang mengelola binis biliar dengan profesional di Denpasar. Biliar dipadu dengan cafe, serta live musik. Dengan begitu, tidak hanya image olahraga biliar yang terdongkrak. Citra pengunjung dan pemainnya juga ikut terkatrol sebagai kaum yang lebih elegan dan tidak lagi urakan.(*)
Namun tak bisa dipungkiri, arena permainan biliar ini masih lekat dengan stigma negatif. Kegiatan ini sering dicap lekat dengan tindakan perjudian. Padahal, tidak semua penggemar bola sodok menyenangi judi. Bahkan, banyak pemain biliar yang benci dengan segala bentuk taruhan.
Belum lagi cap buruk yang sudah telanjur menempel dalam bisnis permainan biliar. Petugas penghitung skor (score girl), kerap dicitrakan negatif di mata masyarakat. Banyak yang menuding score girl itu sebagai gadis murahan yang ‘bisa dipakai’.
Padahal, score girl sejatinya termasuk kalangan pekerja keras. Mereka harus betah berdiri dan melek dalam mengamati dan menghitung skor permainan. Semua itu dilakukan demi membantu penghasilan keluarga, dengan tujuan mulia agar anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik.
Alangkah bijaknya, jika kita tidak menggebyah uyah dalam memandang dan menilai mereka yang terlibat dalam bisnis bola sodok. Tidak dapat dipungkiri, memang ada oknum yang terlibat praktik judi serta menyerempet kegiatan prostitusi di dunia perbiliaran. Tetapi, masih banyak juga yang berprestasi dan memberikan manfaat baik.
Yang perlu dilakukan adalah mendongkrak kembali citra dunia biliar yang sudah terpuruk ini. Kita bisa meniru daerah tetangga, Bali. Ada yang mengelola binis biliar dengan profesional di Denpasar. Biliar dipadu dengan cafe, serta live musik. Dengan begitu, tidak hanya image olahraga biliar yang terdongkrak. Citra pengunjung dan pemainnya juga ikut terkatrol sebagai kaum yang lebih elegan dan tidak lagi urakan.(*)
Ajining Raga Saka Seragam
Ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga borong kerja (boker) Pemkab Banyuwangi akan dapat jatah seragam baru. Sudah dua tahun terakhir ini, mereka belum mendapat jatah seragam.
Pengukuran seragam pun dilakukan sejak tanggal 22 Oktober 2008 lalu. Karena jumlah pegawai yang luar biasa banyaknya, pengukuran baju seragam itu dilakukan secara bertahap selama beberapa hari. Puncaknya terjadi pada hari Senin (27/10) kemarin.
Pegawai yang akan mendapat giliran pengukuran seragam harus berbaris rapi. Mereka harus antre sebelum mencapai gilirannya untuk diukur. Antreannya cukup panjang dan mengular. Seorang pegawai harus rela antre hampir dua jam lamanya untuk menunggu giliran pengukuran. Bahkan, mereka juga rela untuk dipanggang terik sinar matahari yang menyengat.
Memang, salah satu performa yang membedakan antara pegawai dengan rakyat biasa adalah bajunya. Baju seragam memang bisa menunjukkan status seseorang. Ada bermacam seragam di negeri ini. Mulai seragam sekolah, jaket almamater mahasiswa, seragam polisi, seragam tentara serta seragam pegawai.
Kalau salah memakai seragam, bisa juga fatal akibatnya. Banyak kasus penipuan yang bermuara dari salah memakai seragam. Seperti yang dilakukan seorang pemuda yang berusaha meminang gadis pujaannya. Sialnya, pemuda luntang lantung tak punya pekerjaan itu memakai seragam perwira polisi. Akhirnya, ulahnya menyamar sebagai perwira polisi terbongkar dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ada pula jenis seragam yang sejatinya tidak diinginkan oleh kebanyakan orang. Lihat saja seragam tahanan polisi, seragam tahanan kejaksaan, serta seragam narapidana. Bahkan beberapa waktu lalu, sempat ada wacana di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi seragam khusus bagi para koruptor. Alasannya, penampilan koruptor selama ini masih tetap perlente saat mengikuti persidangan. Karena selama ini koruptor tak memakai seragam, masyarakat awam yang menyaksikan sidang pun kadang dibikin bingung. Mana terdakwa koruptornya, mana pengacaranya. Karenanya bajunya sama-sama klimisnya.
Mengingat pentingnya makna seragam, sangatlah wajar jika pegawai pemkab rela antre berjam-jam untuk pengukuran seragamnya. Ada benarnya juga pepatah Jawa yang mengatakan: ajining raga saka busana (orang bisa dihargai karena pakaian yang disandangnya). (*)
Pengukuran seragam pun dilakukan sejak tanggal 22 Oktober 2008 lalu. Karena jumlah pegawai yang luar biasa banyaknya, pengukuran baju seragam itu dilakukan secara bertahap selama beberapa hari. Puncaknya terjadi pada hari Senin (27/10) kemarin.
Pegawai yang akan mendapat giliran pengukuran seragam harus berbaris rapi. Mereka harus antre sebelum mencapai gilirannya untuk diukur. Antreannya cukup panjang dan mengular. Seorang pegawai harus rela antre hampir dua jam lamanya untuk menunggu giliran pengukuran. Bahkan, mereka juga rela untuk dipanggang terik sinar matahari yang menyengat.
Memang, salah satu performa yang membedakan antara pegawai dengan rakyat biasa adalah bajunya. Baju seragam memang bisa menunjukkan status seseorang. Ada bermacam seragam di negeri ini. Mulai seragam sekolah, jaket almamater mahasiswa, seragam polisi, seragam tentara serta seragam pegawai.
Kalau salah memakai seragam, bisa juga fatal akibatnya. Banyak kasus penipuan yang bermuara dari salah memakai seragam. Seperti yang dilakukan seorang pemuda yang berusaha meminang gadis pujaannya. Sialnya, pemuda luntang lantung tak punya pekerjaan itu memakai seragam perwira polisi. Akhirnya, ulahnya menyamar sebagai perwira polisi terbongkar dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ada pula jenis seragam yang sejatinya tidak diinginkan oleh kebanyakan orang. Lihat saja seragam tahanan polisi, seragam tahanan kejaksaan, serta seragam narapidana. Bahkan beberapa waktu lalu, sempat ada wacana di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi seragam khusus bagi para koruptor. Alasannya, penampilan koruptor selama ini masih tetap perlente saat mengikuti persidangan. Karena selama ini koruptor tak memakai seragam, masyarakat awam yang menyaksikan sidang pun kadang dibikin bingung. Mana terdakwa koruptornya, mana pengacaranya. Karenanya bajunya sama-sama klimisnya.
Mengingat pentingnya makna seragam, sangatlah wajar jika pegawai pemkab rela antre berjam-jam untuk pengukuran seragamnya. Ada benarnya juga pepatah Jawa yang mengatakan: ajining raga saka busana (orang bisa dihargai karena pakaian yang disandangnya). (*)
Antisipasi Serangan Teroris, Tugas Siapa?
SAAT ini tidak hanya musim pancaroba yang sedang berlaku. Akhir-akhir ini ternyata juga musim siaga. Semua aparat dikerahkan untuk mengantisipasi aksi serangan teroris.
Banyuwangi sebagai gerbang masuk ke Pulau Bali, punya peran penting dalam masalah antisipasi serangan teroris. Apalagi menjelang pengumuman eksekusi terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi dkk.
Aparat keamanan langsung siaga di sekitar Pelabuhan ASDP Ketapang. Personel bersenjata lengkap disiagakan di pelabuhan yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Dewata tersebut.
Polisi menerjunkan 456 petugas dari berbagai kesatuan di pelabuhan itu. Mereka berasal dari Satuan Reserse, Intelkam, Resnarkoba, hingga tim Gegana yang bertugas menjinakkan bom.
Petugas memeriksa calon penumpang feri dengan teliti. Barang bawaan penumpang juga tidak luput dari perhatian polisi. Mereka juga wajib menunjukkan kartu identitas saat masuk di pelabuhan Ketapang.Warga asing yang akan menuju Bali juga wajib menjalani pemeriksaan paspor dan barang bawaan.
Bahkan, Sedikitnya 13 pelabuhan nelayan tradisional di Banyuwangi juga turut diawasi. Ini merupakan langkah antisipasi agar titik-titik yang bisa jadi akses masuk ke Bali tetap terpantau.
Memang, semua langkah antisipasi telah dilakukan aparat kita. Tak jarang, petugas harus rela menomorduakan keluarga, karena tuntutan siaga 24 jam menjaga sarana vital milik negara. Semua itu dilakukan demi kepentingan masyarakat banyak.
Tetapi, semua upaya aparat itu belum cukup. Sebab, jaringan teroris selalu mencoba beraksi ketika kita semua lengah. Sudah selayaknya seluruh masyarakat Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban lingkungan sekitarnya.
Para nelayan di 13 pelabuhan tradisional di Banyuwangi sudah selayaknya ikut merasa terpanggil. Mereka bisa berpartisipasi mengamankan lingkungannya sendiri. Caranya, dengan ikut mengawasi orang asing tak dikenal yang mencoba menyusup ke Bali.
Warga Kota Gandrung juga bisa ikut ambil bagian mengamankan lingkungan sekitarnya. Caranya dengan ikut peduli dengan kondisi kampung masing-masing. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan kepada RT serta perangkat lingkungan setempat. Dengan begini, semua akan ikut bagian mempersempit ruang gerak jaringan teroris. Karena sejatinya, mengantisipasi serangan teroris itu merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua. (*)
Banyuwangi sebagai gerbang masuk ke Pulau Bali, punya peran penting dalam masalah antisipasi serangan teroris. Apalagi menjelang pengumuman eksekusi terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi dkk.
Aparat keamanan langsung siaga di sekitar Pelabuhan ASDP Ketapang. Personel bersenjata lengkap disiagakan di pelabuhan yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Dewata tersebut.
Polisi menerjunkan 456 petugas dari berbagai kesatuan di pelabuhan itu. Mereka berasal dari Satuan Reserse, Intelkam, Resnarkoba, hingga tim Gegana yang bertugas menjinakkan bom.
Petugas memeriksa calon penumpang feri dengan teliti. Barang bawaan penumpang juga tidak luput dari perhatian polisi. Mereka juga wajib menunjukkan kartu identitas saat masuk di pelabuhan Ketapang.Warga asing yang akan menuju Bali juga wajib menjalani pemeriksaan paspor dan barang bawaan.
Bahkan, Sedikitnya 13 pelabuhan nelayan tradisional di Banyuwangi juga turut diawasi. Ini merupakan langkah antisipasi agar titik-titik yang bisa jadi akses masuk ke Bali tetap terpantau.
Memang, semua langkah antisipasi telah dilakukan aparat kita. Tak jarang, petugas harus rela menomorduakan keluarga, karena tuntutan siaga 24 jam menjaga sarana vital milik negara. Semua itu dilakukan demi kepentingan masyarakat banyak.
Tetapi, semua upaya aparat itu belum cukup. Sebab, jaringan teroris selalu mencoba beraksi ketika kita semua lengah. Sudah selayaknya seluruh masyarakat Indonesia ikut bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban lingkungan sekitarnya.
Para nelayan di 13 pelabuhan tradisional di Banyuwangi sudah selayaknya ikut merasa terpanggil. Mereka bisa berpartisipasi mengamankan lingkungannya sendiri. Caranya, dengan ikut mengawasi orang asing tak dikenal yang mencoba menyusup ke Bali.
Warga Kota Gandrung juga bisa ikut ambil bagian mengamankan lingkungan sekitarnya. Caranya dengan ikut peduli dengan kondisi kampung masing-masing. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan kepada RT serta perangkat lingkungan setempat. Dengan begini, semua akan ikut bagian mempersempit ruang gerak jaringan teroris. Karena sejatinya, mengantisipasi serangan teroris itu merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua. (*)
Senin, 20 Oktober 2008
Helm untuk Balita
Belasan sepeda motor terjaring razia di Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi Jumat (30/5) kemarin. Seluruh pengendara motor tersebut adalah kalangan pelajar. Ada yang masih sekolah di SMP, ada juga yang berstatus pelajar SMA.
Mereka umumnya melakukan pelanggaran lalu lintas. Ada yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi. Ada juga yang tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor (STNK). Yang paling penting, sebagian besar pelajar itu berkendara tanpa menggunakan helm pengaman.
Memang, razia itu endingnya cukup melegakan bagi siswa. Sebanyak 13 sepeda motor itu akhirnya dilepas lagi. Ini setelah para orang tua (ortu) pelajar yang melanggar lalu lintas itu dipanggil ke mapolsek.
Upaya polisi ini layak diacungi jempol. Aparat mencoba menerapkan budaya malu, agar para pelajar itu tidak lagi mengulangi bertingkah ugal-ugalan di jalan raya. Ini hanya sebagian kecil yang perlu ditata dalam ‘kehidupan’ di jalan raya.
Polisi merasa memanggil ortu para pelajar itu. Diharapkan, ortu bisa nuturi anaknya untuk lebih menyayangi dirinya sendiri. Mereka perlu menjelaskan, betapa pentingnya menjaga keselamatan di jalan raya. Kalau ugal-ugalan di jalan, itu sama artinya membahayakan keselamatan diri dan orang lain.
Namun kenyataan yang terjadi di negeri ini, ortu selalu kesulitan meyakinkan remaja serta pelajar agar selalu menggunakan helm pengaman saat berkendara. Entah apanya yang salah. Yang jelas, remaja kita saat ini umumnya ‘ogah’ memakai helm.
Namun kita tidak bisa seratus persen menyalahkan kalangan pelajar dan remaja. Ortu sebaiknya juga perlu mawas diri dan koreksi. Sudahkah kita memberi contoh yang baik dan benar? Sudahkah kita menjadi orang tua yang tidak egois?
Lihat saja pemandangan di jalan raya. Lazim kita temui suami, istri dan anak mengendarai sepeda motor. Suami memakai helm standar. Demikian juga dengan sang istri. Mereka sudah sadar dengan pentingnya keselamatan dirinya masing-masing. Namun, tidak jarang si anak yang masih kecil justru tidak memakai helm. Demikian juga dengan bayi dan balita yang sepeda motor bersama orang tuanya. Mereka jarang sekali memakai helm. Padahal, balita dan anak-anak lebih terancam keselamatannya saat benturan kepala ketika terjadi kecelakaan. Kalau tidak mau dikatakan sebagai ortu egois, belikan helm untuk anak balita Anda.*
Mereka umumnya melakukan pelanggaran lalu lintas. Ada yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi. Ada juga yang tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan bermotor (STNK). Yang paling penting, sebagian besar pelajar itu berkendara tanpa menggunakan helm pengaman.
Memang, razia itu endingnya cukup melegakan bagi siswa. Sebanyak 13 sepeda motor itu akhirnya dilepas lagi. Ini setelah para orang tua (ortu) pelajar yang melanggar lalu lintas itu dipanggil ke mapolsek.
Upaya polisi ini layak diacungi jempol. Aparat mencoba menerapkan budaya malu, agar para pelajar itu tidak lagi mengulangi bertingkah ugal-ugalan di jalan raya. Ini hanya sebagian kecil yang perlu ditata dalam ‘kehidupan’ di jalan raya.
Polisi merasa memanggil ortu para pelajar itu. Diharapkan, ortu bisa nuturi anaknya untuk lebih menyayangi dirinya sendiri. Mereka perlu menjelaskan, betapa pentingnya menjaga keselamatan di jalan raya. Kalau ugal-ugalan di jalan, itu sama artinya membahayakan keselamatan diri dan orang lain.
Namun kenyataan yang terjadi di negeri ini, ortu selalu kesulitan meyakinkan remaja serta pelajar agar selalu menggunakan helm pengaman saat berkendara. Entah apanya yang salah. Yang jelas, remaja kita saat ini umumnya ‘ogah’ memakai helm.
Namun kita tidak bisa seratus persen menyalahkan kalangan pelajar dan remaja. Ortu sebaiknya juga perlu mawas diri dan koreksi. Sudahkah kita memberi contoh yang baik dan benar? Sudahkah kita menjadi orang tua yang tidak egois?
Lihat saja pemandangan di jalan raya. Lazim kita temui suami, istri dan anak mengendarai sepeda motor. Suami memakai helm standar. Demikian juga dengan sang istri. Mereka sudah sadar dengan pentingnya keselamatan dirinya masing-masing. Namun, tidak jarang si anak yang masih kecil justru tidak memakai helm. Demikian juga dengan bayi dan balita yang sepeda motor bersama orang tuanya. Mereka jarang sekali memakai helm. Padahal, balita dan anak-anak lebih terancam keselamatannya saat benturan kepala ketika terjadi kecelakaan. Kalau tidak mau dikatakan sebagai ortu egois, belikan helm untuk anak balita Anda.*
Mengail Tunai di Air Keruh
KABAR dugaan adanya praktik pungutan terhadap para penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) semakin merebak. Modus-modus pemotongan BLT juga kian bervariasi. Wilayah terjadinya pungutan bantuan kompensasi kenaikan harga BBM itu juga semakin meluas.
Nama beberapa daerah di Banyuwangi mulai disebut-sebut terjadi riak-riak distribusi. Mulai Desa Bayu di Kecamatan Songgon) dan Desa Wonosobo di Kecamatan Srono. Masih ada beberapa desa yang juga terjadi pernik-pernik pembagian BLT.
Bukan mustahil, pemotongan BLT menimpa banyak ratusan atau bahkan ribuan gakin. Tetapi hingga kini, belum ada gakin yang bersuara lantang memprotes pemotongan tersebut. Kalaupun ada yang lapor, semata karena ada lembaga atau aktivis pendamping yang memandu mereka.
Fenomena ini menunjukkan gambaran umum watak, sikap dan kondisi para gakin. Mereka tidak hanya kaum yang lemah. Rupanya, para gakin itu juga termasuk kaum yang pasrah. Mendapat uang tunai seolah rezeki jatuh dari langit, mereka pasrah. Bantuannya dipotong, mereka juga pasrah.
Rupanya, para perangkat terdekat sangat paham dengan karakter para gakin. Yang paling paham tentang mereka, tentu saja adalah ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Selain itu, para perangkat pemerintah desa juga mengenal watak dan sikap para gakin tersebut.
Pencairan BLT itu cukup membuat hati dan perasaan para gakin menjadi jernih. Tanpa harus bekerja keras, mereka bisa dapat kocek lumayan. Sekali lagi, uang Rp 300 ribu seolah jatuh dari langit.
Namun kejernihan hati para gakin itu, bisa saja mendadak dikeruhkan dengan adanya potongan alias pungutan liar. Dengan berbagai dalih, oknum perangkat setempat bisa dengan leluasa memungut kucuran BLT yang baru saja diterima gakin. Yang paling manjur, tentu saja dengan alasan pemerataan. Banyak warga lain yang miskin tetapi tidak kebagian BLT.
Karena merasa uang itu jatuh dari langit, si Gakin akhirnya menurut saja ketika dimintai jatah pungutan. Apalagi, alasan pungutan tersebut untuk dibagikan pada gakin lain yang tidak kebagian BLT.
Dalam kondisi seperti ini, gakin berada dalam posisi tidak berdaya. Kalau menolak pungutan tersebut, mungkin mereka takut kualat dengan gakin lainnya yang tak kebagian duit dari langit itu. Kalau mau membayar pungutan itu, berarti mereka mengiyakan tindakan yang melanggar ketentuan. Maka, keruhkan hati dan pikiran mereka menghadapi problem ini. Dan situasi yang keruh ini sudah dipahami betul oleh perangkat setempat.
Sudah selayaknya, para perangkat tidak lagi mengail uang tunai di situasi hati gakin yang sedang keruh itu. Berikanlah BLT langsung kepada sesama kita yang benar-benar layak dan memerlukannya secara adil dan beradab. Dan tentu saja, bukan untuk dikorupsi secara pongah, licik dan keji.(*)
Nama beberapa daerah di Banyuwangi mulai disebut-sebut terjadi riak-riak distribusi. Mulai Desa Bayu di Kecamatan Songgon) dan Desa Wonosobo di Kecamatan Srono. Masih ada beberapa desa yang juga terjadi pernik-pernik pembagian BLT.
Bukan mustahil, pemotongan BLT menimpa banyak ratusan atau bahkan ribuan gakin. Tetapi hingga kini, belum ada gakin yang bersuara lantang memprotes pemotongan tersebut. Kalaupun ada yang lapor, semata karena ada lembaga atau aktivis pendamping yang memandu mereka.
Fenomena ini menunjukkan gambaran umum watak, sikap dan kondisi para gakin. Mereka tidak hanya kaum yang lemah. Rupanya, para gakin itu juga termasuk kaum yang pasrah. Mendapat uang tunai seolah rezeki jatuh dari langit, mereka pasrah. Bantuannya dipotong, mereka juga pasrah.
Rupanya, para perangkat terdekat sangat paham dengan karakter para gakin. Yang paling paham tentang mereka, tentu saja adalah ketua Rukun Tetangga (RT) setempat. Selain itu, para perangkat pemerintah desa juga mengenal watak dan sikap para gakin tersebut.
Pencairan BLT itu cukup membuat hati dan perasaan para gakin menjadi jernih. Tanpa harus bekerja keras, mereka bisa dapat kocek lumayan. Sekali lagi, uang Rp 300 ribu seolah jatuh dari langit.
Namun kejernihan hati para gakin itu, bisa saja mendadak dikeruhkan dengan adanya potongan alias pungutan liar. Dengan berbagai dalih, oknum perangkat setempat bisa dengan leluasa memungut kucuran BLT yang baru saja diterima gakin. Yang paling manjur, tentu saja dengan alasan pemerataan. Banyak warga lain yang miskin tetapi tidak kebagian BLT.
Karena merasa uang itu jatuh dari langit, si Gakin akhirnya menurut saja ketika dimintai jatah pungutan. Apalagi, alasan pungutan tersebut untuk dibagikan pada gakin lain yang tidak kebagian BLT.
Dalam kondisi seperti ini, gakin berada dalam posisi tidak berdaya. Kalau menolak pungutan tersebut, mungkin mereka takut kualat dengan gakin lainnya yang tak kebagian duit dari langit itu. Kalau mau membayar pungutan itu, berarti mereka mengiyakan tindakan yang melanggar ketentuan. Maka, keruhkan hati dan pikiran mereka menghadapi problem ini. Dan situasi yang keruh ini sudah dipahami betul oleh perangkat setempat.
Sudah selayaknya, para perangkat tidak lagi mengail uang tunai di situasi hati gakin yang sedang keruh itu. Berikanlah BLT langsung kepada sesama kita yang benar-benar layak dan memerlukannya secara adil dan beradab. Dan tentu saja, bukan untuk dikorupsi secara pongah, licik dan keji.(*)
Beda Tempat, Beda Nasib
Pemkab Banyuwangi masih punya satu ‘urusan’ dengan PT Asuransi Jiwa Bakrie (AJB). Pemkab pernah ‘memarkir’ dana APBD sebesar Rp 6,3 miliar pada tahun 2004 dan 2005. Uang sebanyak itu digunakan untuk membayar premi asuransi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pemkab.
Pada perkembangan selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Banyuwangi. Intinya, pemkab diminta segera menarik dana APBD tersebut dari perusahaan asuransi tersebut.
BPK ingin dana APBD sebesar Rp 6,3 miliar itu harus kembali 100 persen ke kas daerah. Terjadilah negosiasi pemkab dengan PT AJB. Pemkab pun memberi deadline, dana tersebut sudah harus dikembalikan akhir 2007.
Namun hingga batas waktu yang ditetapkan terlewati, uang milik rakyat itu belum juga kembali. PT AJB hanya mau mengembalikan dana premi asuransi tersebut senilai Rp 5,1 miliar (bukan Rp 6,3 miliar seperti tercatat di APBD).
Alasannya, perusahaan itu meneken kontrak dengan pemkab senilai Rp 5,1 miliar. Itupun, dana sesuai kontrak tersebut masih harus dikurangi Rp 129 juta. Karena sebelumnya, perusahaan itu telanjur mencairkan klaim premi asuransi 100 PNS pemkab. Itu pun, mereka baru sanggup mengembalikan dana tersebut pada akhir tahun 2011.
Lalu, ke mana sisa uangnya? Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus bertanggung jawab? Hingga kini, semuanya belum terjawab jelas dan gamblang.
Sementara itu, kasus serupa juga pernah terjadi di kabupaten tetangga. Pemkab Situbondo juga pernah menganggarkan asuransi untuk PNS. Karena seluruh PNS telah dilindungi askes oleh pemerintah pusat. Ketika mereka diasuransikan lagi melalui APBD, berarti terjadi double anggaran. Negara pun dirugikan.
Meledaklah kasus asuransigate di Situbondo. Kasus tersebut menyeret beberapa mantan pejabat penting pemkab ke ranah hukum. Ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, ada juga pejabat penting yang masuk penjara dalam kasus tersebut.
Situasi yang terjadi di dua daerah itu memang hampir sama. Sama-sama menggunakan dana APBD untuk asuransi PNS. Bedanya, ditemukan kerugian negara pada kasus asuransigate di Situbondo. Ini karena aparat penegak hukum bertindak cepat merespons reaksi masyarakat yang getol menyoal persoalan itu.
Sedangkan di Banyuwangi, situasinya sangat kontras dengan Situbondo. Ini karena di Banyuwangi belum diketahui, apakah ada kerugian negara atau tidak. Selain itu, rakyatnya ‘belum’ terlalu kritis menyikapi persoalan itu. Kalau rakyatnya adem ayem, apakah aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan) juga ikut adem ayem menyikapi persoalan ini. Ayo, siapa yang berani lebih dulu menjemput bola? *
Pada perkembangan selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Banyuwangi. Intinya, pemkab diminta segera menarik dana APBD tersebut dari perusahaan asuransi tersebut.
BPK ingin dana APBD sebesar Rp 6,3 miliar itu harus kembali 100 persen ke kas daerah. Terjadilah negosiasi pemkab dengan PT AJB. Pemkab pun memberi deadline, dana tersebut sudah harus dikembalikan akhir 2007.
Namun hingga batas waktu yang ditetapkan terlewati, uang milik rakyat itu belum juga kembali. PT AJB hanya mau mengembalikan dana premi asuransi tersebut senilai Rp 5,1 miliar (bukan Rp 6,3 miliar seperti tercatat di APBD).
Alasannya, perusahaan itu meneken kontrak dengan pemkab senilai Rp 5,1 miliar. Itupun, dana sesuai kontrak tersebut masih harus dikurangi Rp 129 juta. Karena sebelumnya, perusahaan itu telanjur mencairkan klaim premi asuransi 100 PNS pemkab. Itu pun, mereka baru sanggup mengembalikan dana tersebut pada akhir tahun 2011.
Lalu, ke mana sisa uangnya? Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus bertanggung jawab? Hingga kini, semuanya belum terjawab jelas dan gamblang.
Sementara itu, kasus serupa juga pernah terjadi di kabupaten tetangga. Pemkab Situbondo juga pernah menganggarkan asuransi untuk PNS. Karena seluruh PNS telah dilindungi askes oleh pemerintah pusat. Ketika mereka diasuransikan lagi melalui APBD, berarti terjadi double anggaran. Negara pun dirugikan.
Meledaklah kasus asuransigate di Situbondo. Kasus tersebut menyeret beberapa mantan pejabat penting pemkab ke ranah hukum. Ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, ada juga pejabat penting yang masuk penjara dalam kasus tersebut.
Situasi yang terjadi di dua daerah itu memang hampir sama. Sama-sama menggunakan dana APBD untuk asuransi PNS. Bedanya, ditemukan kerugian negara pada kasus asuransigate di Situbondo. Ini karena aparat penegak hukum bertindak cepat merespons reaksi masyarakat yang getol menyoal persoalan itu.
Sedangkan di Banyuwangi, situasinya sangat kontras dengan Situbondo. Ini karena di Banyuwangi belum diketahui, apakah ada kerugian negara atau tidak. Selain itu, rakyatnya ‘belum’ terlalu kritis menyikapi persoalan itu. Kalau rakyatnya adem ayem, apakah aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan) juga ikut adem ayem menyikapi persoalan ini. Ayo, siapa yang berani lebih dulu menjemput bola? *
Kondom, Pengamen dan Keperawanan
Isi berita Radar Banyuwangi edisi 28 Februari 2008 cukup membuat miris. Ada seorang siswi berumur 17 tahun di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi yang nekat menjual keperawanannya.
Masih di halaman yang sama, ada juga berita razia siswa yang mebolos di Kota Gandrung. Empat pelajar SMA digaruk karena nongkrong di tempat umum pada jam sekolah. Yang mengejutkan, saat digeladah, seorang siswa tersebut kedapatan membawa kondom. Alat kontrasepsi pencegah kehamilan itu ditemukan di dompet pelajar itu.
Berita lainnya adalah enam pengamen terjaring di lampu merah perempatan Karangente Banyuwangi. Semua penyanyi jalanan masih berusia muda itu harus menjalani sidang tindak pidana ringan (tipiring) di pengadilan.
Inikah potret buram generasi muda kita? Yang perempuan menjual keperawanan demi rupiah. Yang laki-laki membawa alat kontrasepsi agar bebas mengumbar nafsu syahwat. Yang tidak sekolah, memilih hidup meminta-minta sambil menyanyi (mengamen) di jalanan.
Kenyataan itu memang jadi catatan buruk bagi generasi muda Bumi Blambangan. Fakta tersebut memang tidak dapat dipungkiri. Sisi negatif itu memang ada di lingkungan sekitar kita. Karenanya, kita patut berharap agar sisi negatif itu tidak semakin berkembang mendominasi isi otak generasi muda Indonesia.
Harus diakui, pesan moral yang disampaikan Konsulat Jenderal (Konjen) Shoji Sato kepada kalangan pelajar SMA di Kecamatan Genteng selasa (26/2) lalu itu terbilang cukup jitu. Digambarkan jelas bahwa Jepang dulunya porak poranda setelah kena bom atom tahun 1945. Semua segi kehidupan hancur, lebih parah dari kondisi bangsa kita saat ini.
Yang layak dicontoh, Jepang bisa bangkit lagi dan bahkan mampu tampil sebagai negara maju. Padahal, sumber daya alam yang mereka miliki jauh lebih terbatas dibandingkan melimpahnya kekayaan alam Indonesia.
Semua itu ternyata kuncinya adalah berhasilnya menciptakan generasi muda yang berkualitas secara fisik dan mental. Siswa sebagai generasi anak bangsa, berani dan mampu melawan masuknya budaya asing yang merusak. Jepang sukses membangun bangsa, karena siswanya sangat giat belajar.
Karenanya, membangun pelajar dan generasi muda sudah menjadi harga mati bagi bangsa ini. Tidak perlu ditunda lagi, harus dimulai dari sekarang. Sudah selayaknya masalah ini menjadi tanggung jawab kita bersama. (*)
Masih di halaman yang sama, ada juga berita razia siswa yang mebolos di Kota Gandrung. Empat pelajar SMA digaruk karena nongkrong di tempat umum pada jam sekolah. Yang mengejutkan, saat digeladah, seorang siswa tersebut kedapatan membawa kondom. Alat kontrasepsi pencegah kehamilan itu ditemukan di dompet pelajar itu.
Berita lainnya adalah enam pengamen terjaring di lampu merah perempatan Karangente Banyuwangi. Semua penyanyi jalanan masih berusia muda itu harus menjalani sidang tindak pidana ringan (tipiring) di pengadilan.
Inikah potret buram generasi muda kita? Yang perempuan menjual keperawanan demi rupiah. Yang laki-laki membawa alat kontrasepsi agar bebas mengumbar nafsu syahwat. Yang tidak sekolah, memilih hidup meminta-minta sambil menyanyi (mengamen) di jalanan.
Kenyataan itu memang jadi catatan buruk bagi generasi muda Bumi Blambangan. Fakta tersebut memang tidak dapat dipungkiri. Sisi negatif itu memang ada di lingkungan sekitar kita. Karenanya, kita patut berharap agar sisi negatif itu tidak semakin berkembang mendominasi isi otak generasi muda Indonesia.
Harus diakui, pesan moral yang disampaikan Konsulat Jenderal (Konjen) Shoji Sato kepada kalangan pelajar SMA di Kecamatan Genteng selasa (26/2) lalu itu terbilang cukup jitu. Digambarkan jelas bahwa Jepang dulunya porak poranda setelah kena bom atom tahun 1945. Semua segi kehidupan hancur, lebih parah dari kondisi bangsa kita saat ini.
Yang layak dicontoh, Jepang bisa bangkit lagi dan bahkan mampu tampil sebagai negara maju. Padahal, sumber daya alam yang mereka miliki jauh lebih terbatas dibandingkan melimpahnya kekayaan alam Indonesia.
Semua itu ternyata kuncinya adalah berhasilnya menciptakan generasi muda yang berkualitas secara fisik dan mental. Siswa sebagai generasi anak bangsa, berani dan mampu melawan masuknya budaya asing yang merusak. Jepang sukses membangun bangsa, karena siswanya sangat giat belajar.
Karenanya, membangun pelajar dan generasi muda sudah menjadi harga mati bagi bangsa ini. Tidak perlu ditunda lagi, harus dimulai dari sekarang. Sudah selayaknya masalah ini menjadi tanggung jawab kita bersama. (*)
Kontrol Sosial Peredam Kejahatan
Tindak kejahatan sudah tidak pandang bulu di sekitar kita. Aksi perampokan berlangsung pukul 11.00 siang hari sudah merambah Situbondo. Seperti yang dialami Syarif Habib, siswa SMA Negeri di Kota Santri dua hari lalu.
Remaja 16 tahun itu tak berdaya, setelah perutnya ditusuk sangkur oleh pelaku. Sepeda motor Honda Mega Pro nopol P 5778 EK milik Syarif diembat berikut STNK-nya. Ponsel HP Nokia 6600, helm, bahkan tas sekolah dan buku pelajaran juga diembatnya. Kejadian itu berlangsung di tempat ramai.
Memang, ulah pelaku ini memang keterlaluan. Korbannya pelajar, masih berseragam pula. Yang disikat pun termasuk buku dan tas sekolah korban. Barangkali, si perampok itu juga butuh sekolah lagi.
Terlepas dari semua kesadisan dan nekatnya pelaku, kejadian itu bukan semata kesalahan pelaku. Karena berdasarkan teori kriminologi, tindak kejahatan itu terjadi bukan karena niat si pelaku. Bang Napi juga berpesan, bahwa kejahatan itu bisa juga terjadi karena ada kesempatan.
Berbicara masalah peluang ini, kejadian perampokan tidak mungkin terjadi kalau korban tidak membawa sepeda motor kinyis-kinyis. Motor sport itu mungkin sangat menggoda hati pelaku untuk memilikinya. Demikian juga ponsel Nokia 6600 yang dibawa korban. Seandainya korban naik sepeda pancal atau skuter butut, sepertinya tidak mungkin pelaku merampasnya.
Namun, sangat tidak bijak kalau problem itu diakhiri dengan saling menyalahkan. Pelaku jelas salah, bertindak nekat terbujuk rayuan setan. Korban juga harus mawas diri, dengan tidak membuka kesempatan terjadinya tindak kejahatan. Dan yang paling penting, masyarakat tidak bisa melepas perannya begitu saja. Kontrol sosial sangat diperlukan dalam meredam semua gejolak di masyarakat.
Kepedulian terhadap lingkungan sekitar harus ditingkatkan. Ketika ada kejadian, masyarakat bisa langsung sigap merespons. Kalau sudah tercipta lingkungan dengan kontrol sosial yang kuat, penjahat akan berpikir tujuh kali sebelum beraksi di daerah itu.(*)
Remaja 16 tahun itu tak berdaya, setelah perutnya ditusuk sangkur oleh pelaku. Sepeda motor Honda Mega Pro nopol P 5778 EK milik Syarif diembat berikut STNK-nya. Ponsel HP Nokia 6600, helm, bahkan tas sekolah dan buku pelajaran juga diembatnya. Kejadian itu berlangsung di tempat ramai.
Memang, ulah pelaku ini memang keterlaluan. Korbannya pelajar, masih berseragam pula. Yang disikat pun termasuk buku dan tas sekolah korban. Barangkali, si perampok itu juga butuh sekolah lagi.
Terlepas dari semua kesadisan dan nekatnya pelaku, kejadian itu bukan semata kesalahan pelaku. Karena berdasarkan teori kriminologi, tindak kejahatan itu terjadi bukan karena niat si pelaku. Bang Napi juga berpesan, bahwa kejahatan itu bisa juga terjadi karena ada kesempatan.
Berbicara masalah peluang ini, kejadian perampokan tidak mungkin terjadi kalau korban tidak membawa sepeda motor kinyis-kinyis. Motor sport itu mungkin sangat menggoda hati pelaku untuk memilikinya. Demikian juga ponsel Nokia 6600 yang dibawa korban. Seandainya korban naik sepeda pancal atau skuter butut, sepertinya tidak mungkin pelaku merampasnya.
Namun, sangat tidak bijak kalau problem itu diakhiri dengan saling menyalahkan. Pelaku jelas salah, bertindak nekat terbujuk rayuan setan. Korban juga harus mawas diri, dengan tidak membuka kesempatan terjadinya tindak kejahatan. Dan yang paling penting, masyarakat tidak bisa melepas perannya begitu saja. Kontrol sosial sangat diperlukan dalam meredam semua gejolak di masyarakat.
Kepedulian terhadap lingkungan sekitar harus ditingkatkan. Ketika ada kejadian, masyarakat bisa langsung sigap merespons. Kalau sudah tercipta lingkungan dengan kontrol sosial yang kuat, penjahat akan berpikir tujuh kali sebelum beraksi di daerah itu.(*)
Minggu, 19 Oktober 2008
Kemerdekaan Ala Anak Punk
Untuk kali kedua, polisi merazia komunitas Anak Punk di Bumi Blambangan. Pada periode pertama bulan lalu, Polres Banyuwangi menggaruk puluhan Pungkers yang biasa mangkal di lampu merah perempatan Lateng. Mereka diinapkan di Mapolres, besoknya langsung digiring ke Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.
Mereka dikenakan pasal tindak pidana ringan dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Akhirnya, kumpulan anak muda berdandan nyeleneh itu harus pulang ke daerah masing-masing. Jika mereka kembali lagi ke Kota Gandrung, mereka akan kembali berhadapan dengan aparat keamanan.
Rupanya, pelajaran bulan lalu itu tidak berlaku bagi komunitas Pungkers. Polisi telah menutup pintu bagi mereka untuk masuk Bumi Blambangan. Namun ternyata, semua itu tidak membuat anak Punk kapok. Mereka malah kembali berdatangan di Banyuwangi.
Kali ini, kedatangan mereka bertepatan dengan bulan Agustus. Bulan di mana bangsa ini sedang gegap gempita merayakan hari kemerdekaan, puluhan anak Punk dari berbagai daerah di Indonesia kumpul di Kecamatan Genteng. Mungkin, mereka akan menggelar acara musik di kota kecamatan tersebut. Bukan mustahil, acara yang akan mereka gelar itu masih terkait dengan peringatan kemerdekaan republik tercinta ini. Tentu saja, peringatan tersebut dilakukan dengan cara dan gaya khas anak Punk.
Polisi langsung bertindak cepat dengan menggelar razia. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara polisi dengan puluhan remaja berpakaian nyleneh yang berusaha kabur. Berkat kesigapan petugas, sebanyak 45 anak Punk berhasil dijaring. Mereka dinaikkan ke atas bak truk dan mobil pikap yang sudah disiapkan polisi, lalu dibawa ke Mapolsek Genteng.
Setelah didata, ternyata mereka berasal dari Medan, Jakarta, Tegal, Mojokerto, Malang, Jember, Bali, Lumajang, dan Banyuwangi. Sebanyak enam anak Punk berjenis kelamin perempuan. Setelah didata, mereka diberi pembinaan agar berkeliaran di sembarang tempat dan meresahkan masyarakat.
Berkaca dari hal tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Yang pertama, Banyuwangi ternyata jadi jujugan penggemar aliran musik Punk se Indonesia. Sudah dua kali, Kota Gandrung ‘diserbu’ komunitas punk. Mereka tidak kapok dengan pendekatan aparat di Bumi Blambangan ini.
Yang kedua, meski penampilan nyeleneh, ternyata jalinan komunikasi anak Punk cukup kuat. Mereka bisa kompak datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Mereka ternyata juga terus menggali info agenda acara musik Punk lewat SMS ponsel dan bahkan via e-mail! Ini menunjukkan kalau anak Punk tak gagap teknologi. Sebagian dari mereka juga berduit.
Sudah selayaknya, kita warga Banyuwangi mengubah pendekatan kekerasan terhadap anak Punk. Mereka adalah aset berharga. Mengapa tidak kita legalkan saja pertunjukan musik Punk semacam itu, tentu saja dengan seleksi dan aturan super ketat. Kalau datang, mereka harus bertindak layaknya turis yang mau nonton pertunjukkan musik. Biar saja penampilan morat-marit, asalakan mereka harus menginap di hotel, harus bertiket, harus berduit dan sebagainya. Dengan begitu, mereka bisa bahagia dan rakyat Banyuwangi bisa lebih sejahtera. (*)
Mereka dikenakan pasal tindak pidana ringan dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Akhirnya, kumpulan anak muda berdandan nyeleneh itu harus pulang ke daerah masing-masing. Jika mereka kembali lagi ke Kota Gandrung, mereka akan kembali berhadapan dengan aparat keamanan.
Rupanya, pelajaran bulan lalu itu tidak berlaku bagi komunitas Pungkers. Polisi telah menutup pintu bagi mereka untuk masuk Bumi Blambangan. Namun ternyata, semua itu tidak membuat anak Punk kapok. Mereka malah kembali berdatangan di Banyuwangi.
Kali ini, kedatangan mereka bertepatan dengan bulan Agustus. Bulan di mana bangsa ini sedang gegap gempita merayakan hari kemerdekaan, puluhan anak Punk dari berbagai daerah di Indonesia kumpul di Kecamatan Genteng. Mungkin, mereka akan menggelar acara musik di kota kecamatan tersebut. Bukan mustahil, acara yang akan mereka gelar itu masih terkait dengan peringatan kemerdekaan republik tercinta ini. Tentu saja, peringatan tersebut dilakukan dengan cara dan gaya khas anak Punk.
Polisi langsung bertindak cepat dengan menggelar razia. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara polisi dengan puluhan remaja berpakaian nyleneh yang berusaha kabur. Berkat kesigapan petugas, sebanyak 45 anak Punk berhasil dijaring. Mereka dinaikkan ke atas bak truk dan mobil pikap yang sudah disiapkan polisi, lalu dibawa ke Mapolsek Genteng.
Setelah didata, ternyata mereka berasal dari Medan, Jakarta, Tegal, Mojokerto, Malang, Jember, Bali, Lumajang, dan Banyuwangi. Sebanyak enam anak Punk berjenis kelamin perempuan. Setelah didata, mereka diberi pembinaan agar berkeliaran di sembarang tempat dan meresahkan masyarakat.
Berkaca dari hal tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Yang pertama, Banyuwangi ternyata jadi jujugan penggemar aliran musik Punk se Indonesia. Sudah dua kali, Kota Gandrung ‘diserbu’ komunitas punk. Mereka tidak kapok dengan pendekatan aparat di Bumi Blambangan ini.
Yang kedua, meski penampilan nyeleneh, ternyata jalinan komunikasi anak Punk cukup kuat. Mereka bisa kompak datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Mereka ternyata juga terus menggali info agenda acara musik Punk lewat SMS ponsel dan bahkan via e-mail! Ini menunjukkan kalau anak Punk tak gagap teknologi. Sebagian dari mereka juga berduit.
Sudah selayaknya, kita warga Banyuwangi mengubah pendekatan kekerasan terhadap anak Punk. Mereka adalah aset berharga. Mengapa tidak kita legalkan saja pertunjukan musik Punk semacam itu, tentu saja dengan seleksi dan aturan super ketat. Kalau datang, mereka harus bertindak layaknya turis yang mau nonton pertunjukkan musik. Biar saja penampilan morat-marit, asalakan mereka harus menginap di hotel, harus bertiket, harus berduit dan sebagainya. Dengan begitu, mereka bisa bahagia dan rakyat Banyuwangi bisa lebih sejahtera. (*)
Hulu Miras Tak Terkuras
PERINGATAN Hari Antinarkoba Internasional diperingati di seluruh kota. Hampir setiap kabupaten melakukan aksi nyata. Banyuwangi menggilas ribuan botol miras dan membakar bermacam jenis narkoba.
Bupati dan para pejabat secara simbolis ikut memusnahkan barang haram itu. Pemusnahan dilakukan di tempat umum, tepi lapangan Taman Blambangan. Masyarakat ikut menyaksikan pemusnahan benda terlarang tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten, kepolisian dan semua unsur aparat di Bumi Blambangan serius memerangi miras dan narkoba.
Kegiatan pemusnahan miras dan narkoba itu pun seolah jadi tradisi tahunan. Hampir setiap tahun, selalu ada saja ribuan botol miras dimusnahkan. Setiap tahun digilas, tak kunjung tuntas. Di pasaran, minuman beralkohol itu ad libitum (selalu tersedia, tak pernah habis).
Rupanya, rantai distribusi miras itu masih terus terjalin rapi. Industri miras masih tetap beroperasi dan memroduksi ribuan atau bahkan jutaan botol miras setiap tahun. Bukan mustahil, industri tersebut mungkin juga telah memberi kontribusi (pajak) yang tidak sedikit.
Memang, yang sering muncul di publik adalah informasi tentang pemusnahan miras. Tetapi jarang sekali ada berita tentang industri miras ditutup oleh pemerintah. Tanpa pemusnahan pabrik miras, aksi pemusnahan miras di daerah-daerah setiap tahun akan terkesan sia-sia. Kalau mau tuntas, sudah selayaknya kita menyumbat miras dari hulunya, bukan mengais miras di hilir yang terus mengalir. *
Bupati dan para pejabat secara simbolis ikut memusnahkan barang haram itu. Pemusnahan dilakukan di tempat umum, tepi lapangan Taman Blambangan. Masyarakat ikut menyaksikan pemusnahan benda terlarang tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten, kepolisian dan semua unsur aparat di Bumi Blambangan serius memerangi miras dan narkoba.
Kegiatan pemusnahan miras dan narkoba itu pun seolah jadi tradisi tahunan. Hampir setiap tahun, selalu ada saja ribuan botol miras dimusnahkan. Setiap tahun digilas, tak kunjung tuntas. Di pasaran, minuman beralkohol itu ad libitum (selalu tersedia, tak pernah habis).
Rupanya, rantai distribusi miras itu masih terus terjalin rapi. Industri miras masih tetap beroperasi dan memroduksi ribuan atau bahkan jutaan botol miras setiap tahun. Bukan mustahil, industri tersebut mungkin juga telah memberi kontribusi (pajak) yang tidak sedikit.
Memang, yang sering muncul di publik adalah informasi tentang pemusnahan miras. Tetapi jarang sekali ada berita tentang industri miras ditutup oleh pemerintah. Tanpa pemusnahan pabrik miras, aksi pemusnahan miras di daerah-daerah setiap tahun akan terkesan sia-sia. Kalau mau tuntas, sudah selayaknya kita menyumbat miras dari hulunya, bukan mengais miras di hilir yang terus mengalir. *
Swadaya Yes, Mengemis No!
SALUT untuk perjuangan warga Dusun Lidah, Desa Gambiran, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi. Ketika mereka sangat membutuhkan jembatan, warga tidak merengek kepada pemerintah untuk mendapat kucuran Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).
Dengan kesadaran sendiri, warga Lidah membangun sendiri jembatan di kampungnya mulai kemarin. Padahal, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Jembatan yang menghubungkan kampung Lidah Timur dan kampung Lidah Barat itu setidaknya butuh dana Rp 270 juta.
Seandainya seluruh warga Indonesia punya semangat kemandirian seperti warga Dusun Lidah, pasti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan ditolak ramai-ramai oleh seluruh komponen masyarakat.
Memang, sejauh ini di Banyuwangi sudah kencang suara penolakan program BLT. Namun, esensi dari penolakan itu bukan mendasar pada penolakan duitnya. Yang getol menolak, utamanya adalah para perangkat desa.
Mereka menolak karena takut berbenturan dengan masyarakat. Sebab, data yang jadi acuan oleh pemerintah dalam menyalurkan BLT dinilai sudah kadaluarsa. Banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. dari pada berpotensi bentrok dan dikejar-kejar keluarga miskin yang tak kebagian BLT, lebih baik perangkat desa menolak. Alasan itu memang cukup manusiawi.
Tetapi pada dasarnya, mereka tetap mau menerima uang tunai dari pemerintah sebagai kompensasi dicabutnya subsidi bahan bakar minyak. Substansinya, masyarakat masih menikmati kucuran duit segar itu sambil menengadahkan tangan ke atas.
Bantuan tunai itu memang menyegarkan. Tetapi kalau kita gunakan ‘semangat kemandirian’ seperti yang dilakukan warga Dusun Lidah dalam membangun jembatan, bantuan tunai itu tak ada artinya. Kita tak bisa menepuk dada, karena menerima uang hasil welas kasih pemerintah.
Lebih bangga jika bisa membangun jembatan bambu dari hasil keringat sendiri. Lebih bangga jika bisa mendapat uang receh dari hasil jualan koran di lampu merah. Malu, kalau dapat uang receh dari hasil mengemis di lampu merah. Ingin pintar dan dapat segudang info dari koran serta membantu perekonomian loper, atau ingin meninabobokan pengemis, silakan direnungi dan diputuskan kalau berhentu di lampu merah. (*)
Dengan kesadaran sendiri, warga Lidah membangun sendiri jembatan di kampungnya mulai kemarin. Padahal, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Jembatan yang menghubungkan kampung Lidah Timur dan kampung Lidah Barat itu setidaknya butuh dana Rp 270 juta.
Seandainya seluruh warga Indonesia punya semangat kemandirian seperti warga Dusun Lidah, pasti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan ditolak ramai-ramai oleh seluruh komponen masyarakat.
Memang, sejauh ini di Banyuwangi sudah kencang suara penolakan program BLT. Namun, esensi dari penolakan itu bukan mendasar pada penolakan duitnya. Yang getol menolak, utamanya adalah para perangkat desa.
Mereka menolak karena takut berbenturan dengan masyarakat. Sebab, data yang jadi acuan oleh pemerintah dalam menyalurkan BLT dinilai sudah kadaluarsa. Banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. dari pada berpotensi bentrok dan dikejar-kejar keluarga miskin yang tak kebagian BLT, lebih baik perangkat desa menolak. Alasan itu memang cukup manusiawi.
Tetapi pada dasarnya, mereka tetap mau menerima uang tunai dari pemerintah sebagai kompensasi dicabutnya subsidi bahan bakar minyak. Substansinya, masyarakat masih menikmati kucuran duit segar itu sambil menengadahkan tangan ke atas.
Bantuan tunai itu memang menyegarkan. Tetapi kalau kita gunakan ‘semangat kemandirian’ seperti yang dilakukan warga Dusun Lidah dalam membangun jembatan, bantuan tunai itu tak ada artinya. Kita tak bisa menepuk dada, karena menerima uang hasil welas kasih pemerintah.
Lebih bangga jika bisa membangun jembatan bambu dari hasil keringat sendiri. Lebih bangga jika bisa mendapat uang receh dari hasil jualan koran di lampu merah. Malu, kalau dapat uang receh dari hasil mengemis di lampu merah. Ingin pintar dan dapat segudang info dari koran serta membantu perekonomian loper, atau ingin meninabobokan pengemis, silakan direnungi dan diputuskan kalau berhentu di lampu merah. (*)
Riak, Gelombang, Lalu Tsunami
Riak kecil mulai menerpa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banyuwangi. Seorang nara pidana (napi) terlibat baku hantam dengan sesama napi di blok F 9 senin (24/3) dini hari lalu.
Beruntung, petugas lapas (sipir) bertindak sigap dan mengamankan dua napi tersebut.
Masalah perkelahian memang kelihatan sepele. Namun, jika yang terlibat perkelahian itu adalah napi, dampaknya bisa luar biasa. Setiap kericuhan di dalam penjara, bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan. Karena banyak pihak yang berkepentingan ketika timbulnya kerusuhan di dalam lapas. Kalau ada peluang, tentu saja penghuni penjara bisa nekat melakukan apa saja agar bisa kabur.
Kalau perkelahian itu adalah riak, kerusuhan dalam penjara bisa disebut gelombang. Nah, kalau seandainya situasi tak terkendali, lalau para penghuni penjara yang jumlahnya ratusan orang itu kabur, ini yang bisa disebut Tsunami.
Musibah seperti ini pernah terjadi di sebuah lapas di Kalimantan dan sebuah Nusa Tenggara Barat beberapa tahun lalu. Ratusan napi yang kabur itu membuat situasi mencekam. Warga pun menjadi ketakutan. Padahal, apa saja yang bisa menimbulkan rasa takut di masyarakat bisa diartikan sebagai tindak terorisme.
Terlepas dari semua ‘bayang-bayang’ ketakutan itu, sudah selayaknya kita semua ikut mencegah berkembangnya riak perkelahian antarnapi. Kita wajib mencegah terjadinya gelombang besar kerusuhan dalam penjara, apalagi sampai terjadinya Tsunami berupa teror ketakutan di masyarakat. Salah satunya caranya, mungkin dengan memanusiakan para penghuni lapas.
Tetapi lihat saja, bagaimana kondisi ‘hidup’ mereka di dalam Lapas saat ini? Kapasistas ideal Lapas Banyuwangi sejatinya hanya cukup untuk menampung 260 orang. Namun saat ini, tempat tersebut sudah dihuni 852 orang (data Januari 2008).
Mumpung belum terjadi gelombang besar kerusuhan serta Tsunami ketakutan warga, sudah sepatutnya kita semua memikirkan solusinya. Alternatifnya, bisa saja para napi dilayar (dipindah) ke lapas lain. Atau solusi lainnya membangun lapas baru yang lebih representatif. Tak ada ruginya membangun lapas baru, toh lembaga itu berfungsi membina warga masyarakat yang khilaf. (*)
Beruntung, petugas lapas (sipir) bertindak sigap dan mengamankan dua napi tersebut.
Masalah perkelahian memang kelihatan sepele. Namun, jika yang terlibat perkelahian itu adalah napi, dampaknya bisa luar biasa. Setiap kericuhan di dalam penjara, bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan. Karena banyak pihak yang berkepentingan ketika timbulnya kerusuhan di dalam lapas. Kalau ada peluang, tentu saja penghuni penjara bisa nekat melakukan apa saja agar bisa kabur.
Kalau perkelahian itu adalah riak, kerusuhan dalam penjara bisa disebut gelombang. Nah, kalau seandainya situasi tak terkendali, lalau para penghuni penjara yang jumlahnya ratusan orang itu kabur, ini yang bisa disebut Tsunami.
Musibah seperti ini pernah terjadi di sebuah lapas di Kalimantan dan sebuah Nusa Tenggara Barat beberapa tahun lalu. Ratusan napi yang kabur itu membuat situasi mencekam. Warga pun menjadi ketakutan. Padahal, apa saja yang bisa menimbulkan rasa takut di masyarakat bisa diartikan sebagai tindak terorisme.
Terlepas dari semua ‘bayang-bayang’ ketakutan itu, sudah selayaknya kita semua ikut mencegah berkembangnya riak perkelahian antarnapi. Kita wajib mencegah terjadinya gelombang besar kerusuhan dalam penjara, apalagi sampai terjadinya Tsunami berupa teror ketakutan di masyarakat. Salah satunya caranya, mungkin dengan memanusiakan para penghuni lapas.
Tetapi lihat saja, bagaimana kondisi ‘hidup’ mereka di dalam Lapas saat ini? Kapasistas ideal Lapas Banyuwangi sejatinya hanya cukup untuk menampung 260 orang. Namun saat ini, tempat tersebut sudah dihuni 852 orang (data Januari 2008).
Mumpung belum terjadi gelombang besar kerusuhan serta Tsunami ketakutan warga, sudah sepatutnya kita semua memikirkan solusinya. Alternatifnya, bisa saja para napi dilayar (dipindah) ke lapas lain. Atau solusi lainnya membangun lapas baru yang lebih representatif. Tak ada ruginya membangun lapas baru, toh lembaga itu berfungsi membina warga masyarakat yang khilaf. (*)
Memahami Karakter Selat Bali
MAHKAMAH Pelayaran (Mahpel) menorehkan sejarah di Bumi Blambangan. Untuk kali pertama, Mahpel menggelar sidang di Banyuwangi.
Mereka menyidangkan kasus tabrakan kapal yang terjadi di Selat Bali tanggal 10 Maret 2008 lalu. Tugboat Delta Ayu-5 menarik tongkang Bosowa-12 melintas di dekat Pelabuhan Tanjung Wangi. Rangkaian tongkang tersebut menabrak tanker MT Mundu milik Pertamina yang sedang lego jangkar.
Akibat tabrakan itu, tongkang Bosowa-12 nyaris tenggelam. Setelah bekerja keras untuk menepi, tongkang bermuatan semen itu akhirnya dikandaskan tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Wangi.
Kasus ini akhirnya ditangani Mahpel. Untuk memudahkan menghadirkan para saksi, Mahpel yang berkantor di Jakarta mengalah dengan menggelar sidang di dekat lokasi kejadian. Akhirnya, ruang tunggu penumpang pelabuhan Tanjung Wangi akhirnya disulap jadi arena sidang profesi pelayaran.
Setelah mengikuti sidang profesi itu, ada hal yang patut dicermati. Mahpel mengambil kesimpulan sementara, tabrakan tersebut akibat faktor human error. Nakhoda tugboat dianggap tidak punya kecakapan karena menabrak tanker yang sedang lego jangkar.Nakhoda tugboat itu juga dianggap tidak menguasai kondisi Selat Bali.
Kalau kita melihat lagi ke belakang, tabrakan kapal itu terjadi karena arus Selat Bali sedang keras-kerasnya. Memang, nama Selat Bali sudah kondang di kalangan pelaut. Selat tersebut dikenal dengan karakter arusnya yang khas. Selain arus keras, arahnya dan polanya juga dikenal cukup unik. Ada arus atas dan ada juga arus bawah laut yang konon luar biasa kecepatannya.
Selama ini, sudah ada beberapa kali kejadian kapal tenggelam di Selat Bali dan sekitarnya. Musibah pernah menimpa kapal feri, kapal jenis landing craft machine hingga tugboat penarik tongkang batu bara saat melintas di perairan ini. Selama ini pula, kabar kejadian kapal tenggelam tidak pernah punya ending yang melegakan. Semua berita tentang kapal tenggelam di Selat Bali selalu berakhir dengan misteri. Selalu tersisa satu pertanyaan besar, di mana bangkai kapal-kapal yang tenggelam itu?
Rasanya, belum pernah ada bangkai kapal tenggelam yang berhasil diangkat dari Selat Bali. Apakah ini karena arus bawah yang kuat, sehingga menyeret bangkai kapal itu entah ke mana. Ataukah, bangkai kapal itu tak kuat ditarik dengan alasan biaya yang luar biasa mahalnya. Ya, ini mungkin satu lagi karakter Selat Bali yang khas. Selat Bali, selat di mana kapal tenggelam tak pernah kembali.(*)
Mereka menyidangkan kasus tabrakan kapal yang terjadi di Selat Bali tanggal 10 Maret 2008 lalu. Tugboat Delta Ayu-5 menarik tongkang Bosowa-12 melintas di dekat Pelabuhan Tanjung Wangi. Rangkaian tongkang tersebut menabrak tanker MT Mundu milik Pertamina yang sedang lego jangkar.
Akibat tabrakan itu, tongkang Bosowa-12 nyaris tenggelam. Setelah bekerja keras untuk menepi, tongkang bermuatan semen itu akhirnya dikandaskan tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Wangi.
Kasus ini akhirnya ditangani Mahpel. Untuk memudahkan menghadirkan para saksi, Mahpel yang berkantor di Jakarta mengalah dengan menggelar sidang di dekat lokasi kejadian. Akhirnya, ruang tunggu penumpang pelabuhan Tanjung Wangi akhirnya disulap jadi arena sidang profesi pelayaran.
Setelah mengikuti sidang profesi itu, ada hal yang patut dicermati. Mahpel mengambil kesimpulan sementara, tabrakan tersebut akibat faktor human error. Nakhoda tugboat dianggap tidak punya kecakapan karena menabrak tanker yang sedang lego jangkar.Nakhoda tugboat itu juga dianggap tidak menguasai kondisi Selat Bali.
Kalau kita melihat lagi ke belakang, tabrakan kapal itu terjadi karena arus Selat Bali sedang keras-kerasnya. Memang, nama Selat Bali sudah kondang di kalangan pelaut. Selat tersebut dikenal dengan karakter arusnya yang khas. Selain arus keras, arahnya dan polanya juga dikenal cukup unik. Ada arus atas dan ada juga arus bawah laut yang konon luar biasa kecepatannya.
Selama ini, sudah ada beberapa kali kejadian kapal tenggelam di Selat Bali dan sekitarnya. Musibah pernah menimpa kapal feri, kapal jenis landing craft machine hingga tugboat penarik tongkang batu bara saat melintas di perairan ini. Selama ini pula, kabar kejadian kapal tenggelam tidak pernah punya ending yang melegakan. Semua berita tentang kapal tenggelam di Selat Bali selalu berakhir dengan misteri. Selalu tersisa satu pertanyaan besar, di mana bangkai kapal-kapal yang tenggelam itu?
Rasanya, belum pernah ada bangkai kapal tenggelam yang berhasil diangkat dari Selat Bali. Apakah ini karena arus bawah yang kuat, sehingga menyeret bangkai kapal itu entah ke mana. Ataukah, bangkai kapal itu tak kuat ditarik dengan alasan biaya yang luar biasa mahalnya. Ya, ini mungkin satu lagi karakter Selat Bali yang khas. Selat Bali, selat di mana kapal tenggelam tak pernah kembali.(*)
Tunjangan BK (Boker & Kesenjangan)
BERBAHAGIALAH menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Banyuwangi. Terutama PNS yang bukan termasuk kelompok fungsional.
Mereka yang punya jabatan struktural, mulai Sekretaris Kabupaten (Sekkab), hingga pejabat setingkat Sekretaris Kelurahan (Seklur) akan mendapat tunjangan Beban Kerja (BK). Bahkan, staf yang tidak punya jabatan juga mendapat berkah manisnya tunjangan BK ini.
Yang lebih manis, tunjangan BK ini cair menjelang lebaran. Lebih nyimut lagi, tunjangan itu dirapel sekaligus selama sembilan bulan. Terhitung sejak Januari 2008 hingga September 2008. Ya, meski PNS tak dapat Tunjangan Hari Raya (THR), mereka justru mendapatkan picis lebih.
Bayangkan, Sekkab saja dapat rapelan Rp 9 juta. Kadis dapat rapelan Rp 7,65 juta, Camat dapat rapelan Rp 6,75 juta, Kasubag dapat rapelan Rp 5,4 juta. Rapelan untuk Kepala Kelurahan Rp 3,6 juta, Seklur dapat rapelan Rp 3 juta. Sedangkan staf golongan II, III dan IV akan menerima rapelan 1,8 juta. PNS golongan satu akan menerima rapelan Rp 1,35 juta.
Bandingkan dengan THR pegawai swasta. Dengan nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang tak lebih dari Rp 700 ribu perbulan, berarti rata-rata pekerja di Banyuwangi dapat THR kurang lebih Rp 700 ribu.
Tapi itu tak seberapa jika membandingkan dengan nasib tenaga Borong Kerja (BK) dan honorer. Tahun ini, pemkab tidak memberikan THR untuk tenaga borong kerja (BK). Meski namanya tunjangan BK (Beban Kerja), bukan berarti itu kabar baik bagi kalangan tenaga BK (Borong Kerja). Ini malah menciptakan BK (Beban Kesenjangan) baru. Apalagi untuk wilayah Jawa Timur, sepertinya tunjangan BK itu hanya ditemui di Banyuwangi. Kita harapkan, tunjangan BK ini tak menjadi Biang Kerok (BK) yang jadi pemicu keruwetan politik di Bumi Blambangan. (*)
Mereka yang punya jabatan struktural, mulai Sekretaris Kabupaten (Sekkab), hingga pejabat setingkat Sekretaris Kelurahan (Seklur) akan mendapat tunjangan Beban Kerja (BK). Bahkan, staf yang tidak punya jabatan juga mendapat berkah manisnya tunjangan BK ini.
Yang lebih manis, tunjangan BK ini cair menjelang lebaran. Lebih nyimut lagi, tunjangan itu dirapel sekaligus selama sembilan bulan. Terhitung sejak Januari 2008 hingga September 2008. Ya, meski PNS tak dapat Tunjangan Hari Raya (THR), mereka justru mendapatkan picis lebih.
Bayangkan, Sekkab saja dapat rapelan Rp 9 juta. Kadis dapat rapelan Rp 7,65 juta, Camat dapat rapelan Rp 6,75 juta, Kasubag dapat rapelan Rp 5,4 juta. Rapelan untuk Kepala Kelurahan Rp 3,6 juta, Seklur dapat rapelan Rp 3 juta. Sedangkan staf golongan II, III dan IV akan menerima rapelan 1,8 juta. PNS golongan satu akan menerima rapelan Rp 1,35 juta.
Bandingkan dengan THR pegawai swasta. Dengan nilai Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang tak lebih dari Rp 700 ribu perbulan, berarti rata-rata pekerja di Banyuwangi dapat THR kurang lebih Rp 700 ribu.
Tapi itu tak seberapa jika membandingkan dengan nasib tenaga Borong Kerja (BK) dan honorer. Tahun ini, pemkab tidak memberikan THR untuk tenaga borong kerja (BK). Meski namanya tunjangan BK (Beban Kerja), bukan berarti itu kabar baik bagi kalangan tenaga BK (Borong Kerja). Ini malah menciptakan BK (Beban Kesenjangan) baru. Apalagi untuk wilayah Jawa Timur, sepertinya tunjangan BK itu hanya ditemui di Banyuwangi. Kita harapkan, tunjangan BK ini tak menjadi Biang Kerok (BK) yang jadi pemicu keruwetan politik di Bumi Blambangan. (*)
Gerandong, Sebuah Benang Kusut
SATU lagi nyawa melayang sia-sia di jalan raya. Korbannya kali ini adalah Suryanto, 60, warga Dusun Sidomulyo, Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Dia tewas dengan luka yang cukup parah saat dilarikan ke UGD Puskesmas Sumberberas. Motor Yamaha Alfa bernopol DK 4790 GD yang dinaikinya juga hancur.
Kecelakaan itu terjadi di jalan raya Dusun Tegalpare, Desa Wringin Putih, Muncar Rabu lalu (23/4). Sebuah kendaraan modifikasi bermesin diesel yang populer disebut gerandong, tiba-tiba menyeruduk motor Yamaha Alfa yang dinaiki korban.
Terlepas ada bermacam versi cerita yang mengakibatkan kecelakaan maut itu, yang jelas musibah itu terjadi di jalan raya. Padahal, setiap kendaraan bermotor yang melintasi jalan raya, harus selalu kendaraan yang lolos uji kelayakan (kir).
Dalam kasus ini, gerandong jelas tidak didukung dengan dokumen kelayakan kendaraan di jalan raya. Namanya saja kendaraan rakitan, jelas tidak pernah dan tidak punya mengikuti uji kelayakan jalan (kir) resmi.
Ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan gerandong, para korban kecelakaan sudah merasakan ketidakadilan. Terlepas siapa yang lalai, kalau kecelakaan terjadi di jalan raya, gerandong tetap tidak punya perlindungan hukum. Ini karena kendaraan rakitan itu tidak punya sertifikat uji kelayakan jalan. Selain itu, kendaraan roda empat rakitan itu juga tidak membayar pajak. Padahal, setiap pembayar pajak kendaraan selalu diikuti dengan asuransi jasa raharja.
Dari segi hukum negara, gerandong memang tidak punya kekuatan dan hak untuk berjalan di jalan raya. Keberadaanya di jalan raya jelas melanggar undang-undang lalu lintas. Namun faktanya, aparat yang berwenang di Banyuwangi tidak punya nyali untuk menertibkannya.
Sebab hingga kini, masih banyak gerandong yang beroperasi di jalan raya. Mungkin jumlahnya masih ribuan unit di segala penjuru Bumi Blambangan. Yang terakhir, sampai ada kejadian kecelakaan yang menewaskan Suryanto di Desa Sumberberas, Muncar itu.
Problem gerandong memang sangat pelik. Rumit, mbulet seperti lingkaran setan. Tidak pernah ada tindakan tegas dari aparat. Itu terjadi dengan bermacam alasan. Kalau sudah kepepet, selalu ada jurus jitu dengan mengeluarkan alasan klasik. Yang paling gampang adalah cuci tangan dan berdalih, maaf, saya belum tahu masalah ini. Maaf, saya pejabat baru di sini. Begitu seterusnya.
Seperti yang sudah-sudah, setelah diambangkan beberapa lama, gejolak masalah gerandong biasanya surut dengan sendirinya. Lama-lama problem gerandong pun hilang seperti ditelan bumi.
Sementara itu dari sisi produsen (perakit) gerandong, ada juga ketidakadilan. Para pemakai kendaraan rakitan itu juga merasakan hal yang sama. Alasannya, gerandong adalah karya anak negeri. Gerandong juga inovasi untuk menyiasati kerasnya himpitan ekonomi. Gerandong adalah karya brillian dan jalan keluar efisiensi.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa gerandong yang hemat dan bisa jadi sarana transportasi alternatif yang murah itu tidak dioptimalkan? Kalau memang perlu kelengkapan kelayakan jalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk diuji kelayakannya sekalian? Kalau hasilnya layak, kenapa tidak? Kalau itu memang karya anak negeri, kenapa tidak dipatenkan sekalian? Begitu seterusnya. Kalau memang hasil uji dinyatakan laik jalan, perlu juga dirancang sistem pembayaran pajak kendaraan tersebut.
Tetapi selama ini, sudahkan aparat kita tegas bertindak. Sudahkah pemerintah memberi kesempatan gerandong untuk diuji kelayakan jalan. Sudahkan wakil rakyat kita membuat peraturan untuk mengatur masalah ini?
Kita tidak berhak menjawab sederet pertanyaan sulit itu. Yang mampu menjawabnya adalah mereka-mereka yang berwenang. Masa depan semua persoalan ini berada di tangan mereka. Yang jelas semua komponen masyakat tetap berharap, agar problem ini tidak selalu dibiarkan berlarut-larut. Semoga.(*)
Kecelakaan itu terjadi di jalan raya Dusun Tegalpare, Desa Wringin Putih, Muncar Rabu lalu (23/4). Sebuah kendaraan modifikasi bermesin diesel yang populer disebut gerandong, tiba-tiba menyeruduk motor Yamaha Alfa yang dinaiki korban.
Terlepas ada bermacam versi cerita yang mengakibatkan kecelakaan maut itu, yang jelas musibah itu terjadi di jalan raya. Padahal, setiap kendaraan bermotor yang melintasi jalan raya, harus selalu kendaraan yang lolos uji kelayakan (kir).
Dalam kasus ini, gerandong jelas tidak didukung dengan dokumen kelayakan kendaraan di jalan raya. Namanya saja kendaraan rakitan, jelas tidak pernah dan tidak punya mengikuti uji kelayakan jalan (kir) resmi.
Ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan gerandong, para korban kecelakaan sudah merasakan ketidakadilan. Terlepas siapa yang lalai, kalau kecelakaan terjadi di jalan raya, gerandong tetap tidak punya perlindungan hukum. Ini karena kendaraan rakitan itu tidak punya sertifikat uji kelayakan jalan. Selain itu, kendaraan roda empat rakitan itu juga tidak membayar pajak. Padahal, setiap pembayar pajak kendaraan selalu diikuti dengan asuransi jasa raharja.
Dari segi hukum negara, gerandong memang tidak punya kekuatan dan hak untuk berjalan di jalan raya. Keberadaanya di jalan raya jelas melanggar undang-undang lalu lintas. Namun faktanya, aparat yang berwenang di Banyuwangi tidak punya nyali untuk menertibkannya.
Sebab hingga kini, masih banyak gerandong yang beroperasi di jalan raya. Mungkin jumlahnya masih ribuan unit di segala penjuru Bumi Blambangan. Yang terakhir, sampai ada kejadian kecelakaan yang menewaskan Suryanto di Desa Sumberberas, Muncar itu.
Problem gerandong memang sangat pelik. Rumit, mbulet seperti lingkaran setan. Tidak pernah ada tindakan tegas dari aparat. Itu terjadi dengan bermacam alasan. Kalau sudah kepepet, selalu ada jurus jitu dengan mengeluarkan alasan klasik. Yang paling gampang adalah cuci tangan dan berdalih, maaf, saya belum tahu masalah ini. Maaf, saya pejabat baru di sini. Begitu seterusnya.
Seperti yang sudah-sudah, setelah diambangkan beberapa lama, gejolak masalah gerandong biasanya surut dengan sendirinya. Lama-lama problem gerandong pun hilang seperti ditelan bumi.
Sementara itu dari sisi produsen (perakit) gerandong, ada juga ketidakadilan. Para pemakai kendaraan rakitan itu juga merasakan hal yang sama. Alasannya, gerandong adalah karya anak negeri. Gerandong juga inovasi untuk menyiasati kerasnya himpitan ekonomi. Gerandong adalah karya brillian dan jalan keluar efisiensi.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa gerandong yang hemat dan bisa jadi sarana transportasi alternatif yang murah itu tidak dioptimalkan? Kalau memang perlu kelengkapan kelayakan jalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk diuji kelayakannya sekalian? Kalau hasilnya layak, kenapa tidak? Kalau itu memang karya anak negeri, kenapa tidak dipatenkan sekalian? Begitu seterusnya. Kalau memang hasil uji dinyatakan laik jalan, perlu juga dirancang sistem pembayaran pajak kendaraan tersebut.
Tetapi selama ini, sudahkan aparat kita tegas bertindak. Sudahkah pemerintah memberi kesempatan gerandong untuk diuji kelayakan jalan. Sudahkan wakil rakyat kita membuat peraturan untuk mengatur masalah ini?
Kita tidak berhak menjawab sederet pertanyaan sulit itu. Yang mampu menjawabnya adalah mereka-mereka yang berwenang. Masa depan semua persoalan ini berada di tangan mereka. Yang jelas semua komponen masyakat tetap berharap, agar problem ini tidak selalu dibiarkan berlarut-larut. Semoga.(*)
Pilih Favorit atau Bermutu?
HASIL Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UAS-BN) tingkat sekolah dasar tahun ini sangat berarti bagi perkembangan pendidikan di Bumi Blambangan. Nilai tertinggi UAS BN ternyata didominasi siswa sekolah ‘ndeso’.
Lima besar nilai tertinggi UAS BN diraih siswa sekolah di kecamatan yang jauh dari ibukota kabupetan. Ada Frizal dari SDN 1 Jajag, Kecamatan Gambiran dengan nilai 29,30. Berikutnya ada Alwi Sina dari SDN 1 Tegalsari, Kecamatan Tegalsari dengan nilai 29,25. Peringkat tiga diraih Aji Sapta, siswa SDN 1 Cluring Kecamatan Cluring dengan nilai 29,10. Peringkat empat dan lima diraih siswa SDN 1 Temuasri, Kecamatan Sempu.
Hasil UAS BN tersebut menunjukkan bahwa sekolah di daerah ternyata bisa menghasilkan siswa berprestasi. Faktanya memang demikian. Meski begitu, sekolah yang mampu menghasilkan output bermutu, belum tentu otomatis langsung jadi sekolah favorit di mata masyarakat.
Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dinas pendidikan saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Pada perkembangan selanjutnya, muncul adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.
Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang disebut sekolah bermutu. Nah, sekarang kembali pada kita semua, pilih yang bermutu atau pilih bermerk favorit. (*)
Lima besar nilai tertinggi UAS BN diraih siswa sekolah di kecamatan yang jauh dari ibukota kabupetan. Ada Frizal dari SDN 1 Jajag, Kecamatan Gambiran dengan nilai 29,30. Berikutnya ada Alwi Sina dari SDN 1 Tegalsari, Kecamatan Tegalsari dengan nilai 29,25. Peringkat tiga diraih Aji Sapta, siswa SDN 1 Cluring Kecamatan Cluring dengan nilai 29,10. Peringkat empat dan lima diraih siswa SDN 1 Temuasri, Kecamatan Sempu.
Hasil UAS BN tersebut menunjukkan bahwa sekolah di daerah ternyata bisa menghasilkan siswa berprestasi. Faktanya memang demikian. Meski begitu, sekolah yang mampu menghasilkan output bermutu, belum tentu otomatis langsung jadi sekolah favorit di mata masyarakat.
Memang label atau cap seperti ‘sekolah favorit’ seperti tidak ada dalam kamus resmi di negeri ini. Dinas pendidikan saja tidak pernah mengeluarkan label sekolah favorit seperti itu. Stigma seperti itu memang muncul dan diciptakan oleh masyarakat sendiri.
Memang, orang tua yang baik selalu ingin memberi bekal pendidikan yang layak pada anaknya. Namun, insting alami orang tua memberi yang terbaik untuk anak seperti itu, kemudian malah ada yang kebablasan. Pada perkembangan selanjutnya, muncul adu gengsi di kalangan orang tua wali murid. Akhirnya, label ‘sekolah favorit’ maupun ‘sekolah bergengsi’ pun muncul.
Ini yang selayaknya kita hindari bersama. Karena pada dasarnya, sekolah itu sejatinya sama. Malah, perlu pencerahan pandangan yang keliru tentang penilaian (evaluasi) terhadap suatu sekolah.
Kalau sekolah itu ibaratnya proses produksi. Maka, siswa yang baru masuk itu ibaratnya adalah bahan baku. Sedangkan produk yang dihasilkan adalah ketika siswa itu lulus nanti.
Dengan asumsi seperti ini, jangan bangga dulu kalau punya anak yang bisa masuk sekolah berlabel favorit. Karena siswanya (bahan bakunya) sudah bagus semua sejak mereka masuk. Kalau output-nya menjadi bagus, itu bukan berarti prosesnya bagus.
Berbeda dengan sekolah yang bahan bakunya kurang bagus. Seisi sekolah harus bekerja keras untuk mencetak bahan baku jelek itu menjadi produk yang bagus. Ini yang disebut sekolah bermutu. Nah, sekarang kembali pada kita semua, pilih yang bermutu atau pilih bermerk favorit. (*)
Mimpi Menikmati Manisnya Duit Investor
Ada gula ada semut. Ada investor Pabrik Gula Terpadu (PGT), semut rakyat Banyuwangi pasti bergembira. Investor memang membawa duit yang rasanya manis. Manisnya duit investor itu, mungkin jauh lebih manis dari gula tebu.
Bayangkan kalau nanti PGT itu sudah berdiri di Bumi Blambangan ini. Pabrik gula canggih berteknologi tinggi itu, pasti akan sangat diperhitungkan industri gula nasional. PGT akan jadi pabrik terbesar di Pulau Jawa.
Dengan teknologi terkini, pabrik itu diperkirakan ‘hanya’ akan menampung 300 hingga 400 karyawan pabrik. Ini akan mengurangi sedikit jumlah pengangguran di Banyuwangi.
Tetapi, efek domino yang dihasilkan akan luar biasa. Belasan ribu warga Banyuwangi akan ikut merasakan denyut kehidupan yang dipompa pabrik tersebut. Akan ada banyak orang yang terlibat kegiatan ekonomi dari aktivitas industri tersebut.
Ratusan karyawan itu akan membutuhkan banyak kegiatan. Mereka butuh rumah, makan, pendidikan dan kesehatan serta bermacam kebutuhan lainnya untuk keluarganya.
Berarti ada peluang pembangunan perumahan untuk mereka. Akan ada banyak pekerja bidang bangunan yang mendapat job. Akan ada banyak warung dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan makan karyawan dan keluarganya. Akan butuh jalan bagus, jembatan dan infrastuktur lainnya. Akan butuh pasar sayur, butuh sekolah untuk pendidikan anak karyawan pabrik gula. Dan seterusnya, akan banyak kebutuhan dan butuh melibatkan banyak orang. Jika dihitung, akan ada ribuan orang yang bisa meraup manisnya duit investor.
Yang paling penting adalah akan ada banyak petani yang akan ikut menikmati manisnya duit investor. Ratusan pemilik lahan yang menanam tebu akan ikut berperan. Ribuan petani penggarap tebu akan mendapat pekerjaan. Ratusan sopir truk pengangkut tebu tidak lagi menganggur. Dan kalau diteruskan, jumlah orang yang terlibat kegiatan ekonomi ini akan sangat luar biasa.
Namun sayang, semua itu hanya mimpi. Sudah dua tahun warga Bumi Blambangan terbuai mimpi panjang tanpa jadi kenyataan. Padahal, konsorsium investor industri gula terpadu sudah siap sejak lama. Mereka mengaku sudah menyiapkan modal, menyiapkan mesin dan segala perlengkapannya. Namun mereka tak bisa mewujudkan mimpi itu karena terganjal masalah lahan. Duit sudah ada, tapi lahan belum tersedia.
Pada perkembangan terkini, Wakil Presiden RI seolah tak sabar sehingga perlu mengutus timnya untuk mengecek masalah ini. Namun, ini belum menjamin masalah lahan bisa teratasi. Haruskah rakyat dibiarkan bermimpi lebih lama lagi? (*)
Bayangkan kalau nanti PGT itu sudah berdiri di Bumi Blambangan ini. Pabrik gula canggih berteknologi tinggi itu, pasti akan sangat diperhitungkan industri gula nasional. PGT akan jadi pabrik terbesar di Pulau Jawa.
Dengan teknologi terkini, pabrik itu diperkirakan ‘hanya’ akan menampung 300 hingga 400 karyawan pabrik. Ini akan mengurangi sedikit jumlah pengangguran di Banyuwangi.
Tetapi, efek domino yang dihasilkan akan luar biasa. Belasan ribu warga Banyuwangi akan ikut merasakan denyut kehidupan yang dipompa pabrik tersebut. Akan ada banyak orang yang terlibat kegiatan ekonomi dari aktivitas industri tersebut.
Ratusan karyawan itu akan membutuhkan banyak kegiatan. Mereka butuh rumah, makan, pendidikan dan kesehatan serta bermacam kebutuhan lainnya untuk keluarganya.
Berarti ada peluang pembangunan perumahan untuk mereka. Akan ada banyak pekerja bidang bangunan yang mendapat job. Akan ada banyak warung dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan makan karyawan dan keluarganya. Akan butuh jalan bagus, jembatan dan infrastuktur lainnya. Akan butuh pasar sayur, butuh sekolah untuk pendidikan anak karyawan pabrik gula. Dan seterusnya, akan banyak kebutuhan dan butuh melibatkan banyak orang. Jika dihitung, akan ada ribuan orang yang bisa meraup manisnya duit investor.
Yang paling penting adalah akan ada banyak petani yang akan ikut menikmati manisnya duit investor. Ratusan pemilik lahan yang menanam tebu akan ikut berperan. Ribuan petani penggarap tebu akan mendapat pekerjaan. Ratusan sopir truk pengangkut tebu tidak lagi menganggur. Dan kalau diteruskan, jumlah orang yang terlibat kegiatan ekonomi ini akan sangat luar biasa.
Namun sayang, semua itu hanya mimpi. Sudah dua tahun warga Bumi Blambangan terbuai mimpi panjang tanpa jadi kenyataan. Padahal, konsorsium investor industri gula terpadu sudah siap sejak lama. Mereka mengaku sudah menyiapkan modal, menyiapkan mesin dan segala perlengkapannya. Namun mereka tak bisa mewujudkan mimpi itu karena terganjal masalah lahan. Duit sudah ada, tapi lahan belum tersedia.
Pada perkembangan terkini, Wakil Presiden RI seolah tak sabar sehingga perlu mengutus timnya untuk mengecek masalah ini. Namun, ini belum menjamin masalah lahan bisa teratasi. Haruskah rakyat dibiarkan bermimpi lebih lama lagi? (*)
Menuju Muspida Perempuan
Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan di Banyuwangi tidak mau kalah dengan anggota legislatif. Mereka menuntut Bupati Ratna Ani Lestari untuk memberikan porsi 30 persen komposisi pejabat, agar diisi oleh kaum hawa.
Ini satu langkah maju bagi PNS perempuan di Bumi Blambangan. Paling tidak, mereka sudah berani bersuara menuntut persamaan dalam masalah jabatan.
Sementara itu, sejatinya Banyuwangi sudah selangkah lebih maju dari pada beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur. Karena, daerah ini dipimpin oleh kaum perempuan (sama seperti Kabupaten Tuban). Bahkan, bukan mustahil kalau nanti Ketua DPRD Banyuwangi juga akan dijabat oleh perempuan.
Dalam waktu dekat, wakil rakyat akan menggelar pilihan Ketua DPRD Banyuwangi. Sesuai hasil konsultasi dengan Menteri Dalam Negeri RI, jatah Ketua DPRD Banyuwangi harus berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nah, partai berlambang bola dunia dan sembilan bintang itu mengajukan dua kandidat.
Kandidat yang pertama adalah Zainal Arifin Salam yang juga digadang-gadang kalangan ormas di Banyuwangi. PKB juga berusaha merapatkan barisan, agar Zainal bisa terpilih jadi orang nomor satu di gedung DPRD Banyuwangi.
Sedangkan kandidat kedua adalah Emi Hidayati yang termasuk salah satu Kartini di gedung wakil rakyat Banyuwangi. Mantan Ketua Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama Banyuwangi itu bisa jadi kuda hitam dalam bursa pemilihan ketua DPRD.
Bahkan, peluang Emi untuk maju menjadi ketua dewan sama besarnya dengan kans yang dimiliki Zainal Arifin Salam. Karena yang punya hak pilih adalah 45 orang anggota dewan. Meski PKB tampaknya berusaha meng-gol-kan Zainal sebagai pemenang, tetapi keputusan tetap berada di tangan 45 anggota dewan. Selain Fraksi Kebangkitan Bangsa, masih ada Fraksi PPP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat dan Fraksi PDIP. Di tangan fraksi-fraksi itulah, keputusan akan ditetapkan. Bagaimana kedua kandidat bisa merangkul suara-suara fraksi itu.
Terlepas dari pertarungan politik itu, seandainya Emi menang, ini tentu akan jadi kemenangan kaum Kartini di Banyuwangi. Karena Bupatinya sudah perempuan, Ketua DPRD-nya juga perempuan. Nah, kalau duet kepemimpinan dipegang kaum perempuan, bukan mustahil Kapolda Jatim akan menunjuk perwira perempuan sebagai Kapolres Banyuwangi. Demikian juga dengan Kajati jatim, Pangdam V Brawijaya dan Pangarmatim. Ada juga kemungkinan (meski sangat tipis), mereka menunjuk Kejari perempuan, Dandim dan Danlanal perempuan.
Kalau itu benar-benar dilakukan, tentu bisa disebut sebagai kemenangan Kartini di Bumi Blambangan. Tinggal mereka yang akan membuktikan, apakah prestasi kinerjanya bisa setara atau bahkan melebihi kinerja yang telah dicapai Muspida laki-laki. Kalau mereka bisa membuktikan kinerja bagus, tentu rakyat tidak lagi menyoal masalah gender. (*)
Ini satu langkah maju bagi PNS perempuan di Bumi Blambangan. Paling tidak, mereka sudah berani bersuara menuntut persamaan dalam masalah jabatan.
Sementara itu, sejatinya Banyuwangi sudah selangkah lebih maju dari pada beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur. Karena, daerah ini dipimpin oleh kaum perempuan (sama seperti Kabupaten Tuban). Bahkan, bukan mustahil kalau nanti Ketua DPRD Banyuwangi juga akan dijabat oleh perempuan.
Dalam waktu dekat, wakil rakyat akan menggelar pilihan Ketua DPRD Banyuwangi. Sesuai hasil konsultasi dengan Menteri Dalam Negeri RI, jatah Ketua DPRD Banyuwangi harus berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nah, partai berlambang bola dunia dan sembilan bintang itu mengajukan dua kandidat.
Kandidat yang pertama adalah Zainal Arifin Salam yang juga digadang-gadang kalangan ormas di Banyuwangi. PKB juga berusaha merapatkan barisan, agar Zainal bisa terpilih jadi orang nomor satu di gedung DPRD Banyuwangi.
Sedangkan kandidat kedua adalah Emi Hidayati yang termasuk salah satu Kartini di gedung wakil rakyat Banyuwangi. Mantan Ketua Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama Banyuwangi itu bisa jadi kuda hitam dalam bursa pemilihan ketua DPRD.
Bahkan, peluang Emi untuk maju menjadi ketua dewan sama besarnya dengan kans yang dimiliki Zainal Arifin Salam. Karena yang punya hak pilih adalah 45 orang anggota dewan. Meski PKB tampaknya berusaha meng-gol-kan Zainal sebagai pemenang, tetapi keputusan tetap berada di tangan 45 anggota dewan. Selain Fraksi Kebangkitan Bangsa, masih ada Fraksi PPP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat dan Fraksi PDIP. Di tangan fraksi-fraksi itulah, keputusan akan ditetapkan. Bagaimana kedua kandidat bisa merangkul suara-suara fraksi itu.
Terlepas dari pertarungan politik itu, seandainya Emi menang, ini tentu akan jadi kemenangan kaum Kartini di Banyuwangi. Karena Bupatinya sudah perempuan, Ketua DPRD-nya juga perempuan. Nah, kalau duet kepemimpinan dipegang kaum perempuan, bukan mustahil Kapolda Jatim akan menunjuk perwira perempuan sebagai Kapolres Banyuwangi. Demikian juga dengan Kajati jatim, Pangdam V Brawijaya dan Pangarmatim. Ada juga kemungkinan (meski sangat tipis), mereka menunjuk Kejari perempuan, Dandim dan Danlanal perempuan.
Kalau itu benar-benar dilakukan, tentu bisa disebut sebagai kemenangan Kartini di Bumi Blambangan. Tinggal mereka yang akan membuktikan, apakah prestasi kinerjanya bisa setara atau bahkan melebihi kinerja yang telah dicapai Muspida laki-laki. Kalau mereka bisa membuktikan kinerja bagus, tentu rakyat tidak lagi menyoal masalah gender. (*)
Ikan Lele Menjaga Sungai
Untuk kali pertama, para penganut Budha di Vihara Dhamma Harja Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi menggelar upacara Fang Sen. Mereka melepas satwa ke alam setelah melaksanakan detik-detik puja bakti Tri Suci Waisak.
Ketua Dayaka Sabha Vihara Dhamma Harja, Sugito melepas lele dan belut ke sebuah sungai di Desa Yosomulyo. Sebelum satwa itu dilepas, mereka sempat menggelar upacara kecil dengan melakukan doa bersama di tepi sungai.
Upacara Fang Sen ini termasuk salah satu ajaran dari sang guru Sidarta Budha Gautama dalam membantu makhluk. Dalam sejarah, ritual ini berawal saat Dewa Data memanah angsa hingga terluka. Oleh Sidarta Budha Gautama, angsa itu dirawat dan sembuh. Lalu angsa itu dilepas ke alam.
Fang Sen ternyata jarang dilakukan. Vihara Dhamma Harja juga baru kali ini menggelar kegiatan tersebut. Yang dilepas ke alam bisa semua satwa. Terutama yang jiwanya terancam. Mereka memilih lele dan belut, karena kedua jenis satwa yang sering dijual di pasaran itu sedang terancam dibunuh oleh penjual atau makhluk lain.
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita semua menghormati upaya umat Budha. Kalau mereka melepas lele ke sungai, sudah sepantasnya kita turut menjaga satwa tersebut. Kalau mereka melepas satwa, lalu warga yang lain memanennya, tentu sangat tidak patut.
Dari sudut pandang ekologi, keberadaan ikan di sungai cukup membantu keseimbangan lingkungan sungai tersebut. Paling tidak, ikan bisa jadi indikator hidup dalam mendeteksi pencemaran lingkungan di sungai tersebut.
Lebih jauh kita bisa berkaca pada kondisi sungai Chao Praya yang membelah metropolitan Bangkok, ibukota Thailand. Aliran sungai Chao Praya memang jadi maskot sungai wisata di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Ternyata sungai tersebut jadi habitat ribuan atau mungkin jutaan ikan patin (sejenis lele atau catfish dengan ukuran tubuh lebih besar).
Ikan patin tersebut hidup nyaman tanpa gangguan di sungai Chao Praya. Karena warga Thailand tidak berani mengusik hidup mereka. Jangankan mengkonsumsi, untuk mengambil saja, masyarakat Negeri Gajah Putih itu tidak berani.
Padahal, pemerintah Thailand tidak pernah melarang warganya untuk mengkonsumsi ikan patin di sungai tersebut. Masyarakat juga tidak pernah melarang siapa saja mengambil ikan itu. Namun anehnya, warga tidak berani melakukannya. Ini dilakukan, karena mereka sudah lama meyakini kalau ikan patin itu adalah penjaga sungai Chao Praya. Apalagi, aliran sungai tersebut dimanfaatkan dan menghidupi jutaan warga.
Terlepas dari beda keyakinan serta lokasi yang berbeda, upaya perlindungan kelestarian ekosistem sungai yang dilakukan umat Budha dan warga negara tetangga itu layak diteladani. Walau dengan pendekatan berbeda, mereka bisa menjadikan sungai sebagai lingkungan yang bersih dan sehat. Dampaknya akan dirasakan seluruh masyarakat. Kalau mereka mampu melakukan, Banyuwangi pasti bisa. Apalagi Bumi Blambangan ini memiliki puluhan aliran sungai besar dan kecil. Kalau semua aset dan sumber daya itu terjaga, pasti akan hebat. Apalagi kalau bisa dikelola dang menghidupi warga sekitarnya, jelas akan luar biasa.(*)
Ketua Dayaka Sabha Vihara Dhamma Harja, Sugito melepas lele dan belut ke sebuah sungai di Desa Yosomulyo. Sebelum satwa itu dilepas, mereka sempat menggelar upacara kecil dengan melakukan doa bersama di tepi sungai.
Upacara Fang Sen ini termasuk salah satu ajaran dari sang guru Sidarta Budha Gautama dalam membantu makhluk. Dalam sejarah, ritual ini berawal saat Dewa Data memanah angsa hingga terluka. Oleh Sidarta Budha Gautama, angsa itu dirawat dan sembuh. Lalu angsa itu dilepas ke alam.
Fang Sen ternyata jarang dilakukan. Vihara Dhamma Harja juga baru kali ini menggelar kegiatan tersebut. Yang dilepas ke alam bisa semua satwa. Terutama yang jiwanya terancam. Mereka memilih lele dan belut, karena kedua jenis satwa yang sering dijual di pasaran itu sedang terancam dibunuh oleh penjual atau makhluk lain.
Sebagai warga negara yang baik, sudah sepatutnya kita semua menghormati upaya umat Budha. Kalau mereka melepas lele ke sungai, sudah sepantasnya kita turut menjaga satwa tersebut. Kalau mereka melepas satwa, lalu warga yang lain memanennya, tentu sangat tidak patut.
Dari sudut pandang ekologi, keberadaan ikan di sungai cukup membantu keseimbangan lingkungan sungai tersebut. Paling tidak, ikan bisa jadi indikator hidup dalam mendeteksi pencemaran lingkungan di sungai tersebut.
Lebih jauh kita bisa berkaca pada kondisi sungai Chao Praya yang membelah metropolitan Bangkok, ibukota Thailand. Aliran sungai Chao Praya memang jadi maskot sungai wisata di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha itu. Ternyata sungai tersebut jadi habitat ribuan atau mungkin jutaan ikan patin (sejenis lele atau catfish dengan ukuran tubuh lebih besar).
Ikan patin tersebut hidup nyaman tanpa gangguan di sungai Chao Praya. Karena warga Thailand tidak berani mengusik hidup mereka. Jangankan mengkonsumsi, untuk mengambil saja, masyarakat Negeri Gajah Putih itu tidak berani.
Padahal, pemerintah Thailand tidak pernah melarang warganya untuk mengkonsumsi ikan patin di sungai tersebut. Masyarakat juga tidak pernah melarang siapa saja mengambil ikan itu. Namun anehnya, warga tidak berani melakukannya. Ini dilakukan, karena mereka sudah lama meyakini kalau ikan patin itu adalah penjaga sungai Chao Praya. Apalagi, aliran sungai tersebut dimanfaatkan dan menghidupi jutaan warga.
Terlepas dari beda keyakinan serta lokasi yang berbeda, upaya perlindungan kelestarian ekosistem sungai yang dilakukan umat Budha dan warga negara tetangga itu layak diteladani. Walau dengan pendekatan berbeda, mereka bisa menjadikan sungai sebagai lingkungan yang bersih dan sehat. Dampaknya akan dirasakan seluruh masyarakat. Kalau mereka mampu melakukan, Banyuwangi pasti bisa. Apalagi Bumi Blambangan ini memiliki puluhan aliran sungai besar dan kecil. Kalau semua aset dan sumber daya itu terjaga, pasti akan hebat. Apalagi kalau bisa dikelola dang menghidupi warga sekitarnya, jelas akan luar biasa.(*)
Nyawa Disambung Kompresor
PADA masa perang kemerdekaan, para pejuang mempertaruhkan jiwa dan raga untuk bertempur melawan penjajah. Mereka rela kehilangan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan untuk bangsanya, negaranya, tanah airnya, diri dan keluarga, serta untuk kemerdekaan anak cucunya.
Memasuki bulan Agustus mendatang, sudah 63 tahun proklamasi kemerdekaan berjalan. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup panjang. Setelah sekian lama, nasib dan sosok pejuang di era kemerdekaan masih tetap menyala di mana-mana.
Di Banyuwangi saja, masih banyak pejuang yang harus bertempur dan bertaruh nyawa demi memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga. Untuk lingkup yang lebih kecil, misalnya di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, banyak pejuang masa kini.
Sedikitnya 450 warga desa pesisir ini bertaruh nyawa setiap hari demi menghidupi keluarga. Mereka adalah para penyelam tradisional pencari ikan hias. Melihat beratnya perjuangan hidup yang dihadapi, mereka sangat layak mendapat predikat sebagai pejuang masa kini.
Ratusan warga desa itu bekerja tanpa mengenal rasa takut. Mereka menyelam dengan alat seadanya. Padahal, risiko maut mengancam setiap saat. Mereka menyelam di kedalaman laut untuk mencari ikan hias. Lokasi yang jadi favorit mereka terletak pada kedalaman laut mulai lima meter hingga 65 meter.
Sedangkan peralatan yang mereka bawa hanya seadanya. Mereka hanya mengenakan kaca mata untuk memudahkan penglihatan di bawah air. Sedangkan alat bantu pernafasan hanya mengandalkan selang dan kompresor.
Padahal, kompresor yang mereka bawa di atas perahu itu bisa saja ngadat sewaktu-waktu. Kompresor macet, artinya mereka tidak bisa bernafas di dasar laut. Tidak bisa bernafas beberapa menit saja, sama halnya dengan nyawa melayang. Ya, hidup mereka hanya bergantung pada kompresor saat menyelam mencari ikan.
Betapa besar risiko menjadi penyelam tradisional. Demi menghidupi keluarga, ratusan warga desa itu masih menggeluti pekerjaan berbahaya itu. Apalagi, pengetahuan penyelam tradisional itu juga pas-pasan. Mereka hanya belajar dari pengalaman.
Niat mereka bekerja memang sangat mulia. Terlebih, mereka sepakat tidak menggunakan potasium untuk mencari ikan. Ditambah lagi, semua ikan hias hasil tangkapan mereka lebih banyak diperuntukkan pasar ekspor. Artinya, kerja mereka pada akhirnya mampu menyumbang devisa bagi negara. Secara tidak langsung, mereka bisa masuk golongan para pahlawan devisa.
Namun hingga kini, mereka merasa belum mendapat sentuhan perhatian pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah bekal ilmu tentang kegiatan penangkapan ikan yang tidak melanggar hukum.
Yang tak kalah penting, jangan sampai mereka dijadikan sapi perahan atas kekurangpahaman mereka dalam masalah hukum. Sudah sepatutnya, kita semua menggiring para pahlawan devisa itu untuk menjadi sejahtera. (*)
Memasuki bulan Agustus mendatang, sudah 63 tahun proklamasi kemerdekaan berjalan. Sungguh sebuah perjalanan yang cukup panjang. Setelah sekian lama, nasib dan sosok pejuang di era kemerdekaan masih tetap menyala di mana-mana.
Di Banyuwangi saja, masih banyak pejuang yang harus bertempur dan bertaruh nyawa demi memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga. Untuk lingkup yang lebih kecil, misalnya di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, banyak pejuang masa kini.
Sedikitnya 450 warga desa pesisir ini bertaruh nyawa setiap hari demi menghidupi keluarga. Mereka adalah para penyelam tradisional pencari ikan hias. Melihat beratnya perjuangan hidup yang dihadapi, mereka sangat layak mendapat predikat sebagai pejuang masa kini.
Ratusan warga desa itu bekerja tanpa mengenal rasa takut. Mereka menyelam dengan alat seadanya. Padahal, risiko maut mengancam setiap saat. Mereka menyelam di kedalaman laut untuk mencari ikan hias. Lokasi yang jadi favorit mereka terletak pada kedalaman laut mulai lima meter hingga 65 meter.
Sedangkan peralatan yang mereka bawa hanya seadanya. Mereka hanya mengenakan kaca mata untuk memudahkan penglihatan di bawah air. Sedangkan alat bantu pernafasan hanya mengandalkan selang dan kompresor.
Padahal, kompresor yang mereka bawa di atas perahu itu bisa saja ngadat sewaktu-waktu. Kompresor macet, artinya mereka tidak bisa bernafas di dasar laut. Tidak bisa bernafas beberapa menit saja, sama halnya dengan nyawa melayang. Ya, hidup mereka hanya bergantung pada kompresor saat menyelam mencari ikan.
Betapa besar risiko menjadi penyelam tradisional. Demi menghidupi keluarga, ratusan warga desa itu masih menggeluti pekerjaan berbahaya itu. Apalagi, pengetahuan penyelam tradisional itu juga pas-pasan. Mereka hanya belajar dari pengalaman.
Niat mereka bekerja memang sangat mulia. Terlebih, mereka sepakat tidak menggunakan potasium untuk mencari ikan. Ditambah lagi, semua ikan hias hasil tangkapan mereka lebih banyak diperuntukkan pasar ekspor. Artinya, kerja mereka pada akhirnya mampu menyumbang devisa bagi negara. Secara tidak langsung, mereka bisa masuk golongan para pahlawan devisa.
Namun hingga kini, mereka merasa belum mendapat sentuhan perhatian pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah bekal ilmu tentang kegiatan penangkapan ikan yang tidak melanggar hukum.
Yang tak kalah penting, jangan sampai mereka dijadikan sapi perahan atas kekurangpahaman mereka dalam masalah hukum. Sudah sepatutnya, kita semua menggiring para pahlawan devisa itu untuk menjadi sejahtera. (*)
Waspada Penyusupan Warga Asing
Aparat keamanan di Banyuwangi menangkap seorang warga negara Tiongkok di pasar Wongsorejo Rabu (20/2) lalu. Lelaki bernama Yang Jinhuo itu, tertangkap saat berjualan batu mulia di pasar tradisional itu.
Ini sebenarnya cukup menggelikan. Jinhuo sama sekali tidak paham Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun, dia tidak mengerti. Tetapi, dia bisa leluasa berdagang cincin di pasar tradisional. Tanpa hambatan, dia berjualan dan berbaur melakukan kegiatan ekonomi di negeri kita.
Padahal, Jinhuo hanya berbekal paspor dan visa turis. Artinya, lelaki asal Fujian, Tiongkok itu datang ke Indonesia untuk pelesir. Dia datang bukan untuk keperluan berbisnis atau kepentingan lainnya.
Sementara bulan sebelumnya, dua pemuda Myanmar ditangkap Polsek Muncar. Mereka adalah Tatai, 24 tahun, asal distrik Suesiyo, Provinsi Kotao dan satu lagi bernama Mintu, 23 tahun, warga distrik Molemyak, Provinsi Tiditmie, Myanmar.
Tatai dan Mintu tinggal dan berbaur dengan warga Desa Kedungringin, Muncar. Awalnya, mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun setelah berbaur beberapa bulan lamanya, keduanya mulai lancar berbahasa Indonesia meski logatnya masih kaku. Mereka juga sering bekerja mencari ikan di laut bersama warga setempat. Bedanya, mereka tidak punya dokumen baik paspor maupun visa.
Seandainya dua kejadian itu tidak terungkap, warga negara asing itu akan semakin leluasa melakukan kegiatan ekonomi di negeri ini. Ketika mereka sudah lancar berbahasa Indonesia, mereka akan dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain.
Di kota yang baru mereka datangi, mereka bisa dengan mudah mengaku sebagai warga dari kota lain. Lalu setelah tinggal beberapa lama, mereka bisa memalsukan identitasnya. Kemudian mereka bisa ‘nembak’ mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan sistem yang kita miliki, sulit untuk mengetahui bahwa mereka sejatinya warga negara asing.
Setelah punya KTP, mereka bisa pindah ke kota lain. Lalu mengurus KTP yang baru lagi. Bukan mustahil, allien yang sudah ber-KTP itu nanti bisa berhasil dalam bisnis. Mereka lantas punya banyak aset berharga. Ketika ada persoalan, aset yang banyak itu kemudian dibawa lari ke negara asalnya. Nah, kalau sudah begini bangsa dan rakyat ini yang gigit jari karena banyak banyak aset negara yang dilarikan ke luar negeri. Karena sudah jelas warga asing itu patut diragukan nasionalismenya.
Yang sudah jelas status kewarganegaraannya (koruptor kakap Indonesia) saja, banyak yang melarikan aset ke luar negeri. Apalagi, mereka yang semula warga asing lalu menyusup jadi warga Indonesia? Atau jangan-jangan, para koruptor kakap yang melarikan aset itu punya sejarah seperti petualangan Yang Jinhuo yang tertangkap di pasar Wongsorejo ya? Wallahu ‘alam.
Karenanya, sudah selayaknya kita semua waspada. Seluruh warga harus peduli dengan warga asing di sekitar kita. Karena itulah saringan yang paling manjur untuk menjaga pertahanan negeri ini. (*)
Ini sebenarnya cukup menggelikan. Jinhuo sama sekali tidak paham Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun, dia tidak mengerti. Tetapi, dia bisa leluasa berdagang cincin di pasar tradisional. Tanpa hambatan, dia berjualan dan berbaur melakukan kegiatan ekonomi di negeri kita.
Padahal, Jinhuo hanya berbekal paspor dan visa turis. Artinya, lelaki asal Fujian, Tiongkok itu datang ke Indonesia untuk pelesir. Dia datang bukan untuk keperluan berbisnis atau kepentingan lainnya.
Sementara bulan sebelumnya, dua pemuda Myanmar ditangkap Polsek Muncar. Mereka adalah Tatai, 24 tahun, asal distrik Suesiyo, Provinsi Kotao dan satu lagi bernama Mintu, 23 tahun, warga distrik Molemyak, Provinsi Tiditmie, Myanmar.
Tatai dan Mintu tinggal dan berbaur dengan warga Desa Kedungringin, Muncar. Awalnya, mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun setelah berbaur beberapa bulan lamanya, keduanya mulai lancar berbahasa Indonesia meski logatnya masih kaku. Mereka juga sering bekerja mencari ikan di laut bersama warga setempat. Bedanya, mereka tidak punya dokumen baik paspor maupun visa.
Seandainya dua kejadian itu tidak terungkap, warga negara asing itu akan semakin leluasa melakukan kegiatan ekonomi di negeri ini. Ketika mereka sudah lancar berbahasa Indonesia, mereka akan dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain.
Di kota yang baru mereka datangi, mereka bisa dengan mudah mengaku sebagai warga dari kota lain. Lalu setelah tinggal beberapa lama, mereka bisa memalsukan identitasnya. Kemudian mereka bisa ‘nembak’ mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan sistem yang kita miliki, sulit untuk mengetahui bahwa mereka sejatinya warga negara asing.
Setelah punya KTP, mereka bisa pindah ke kota lain. Lalu mengurus KTP yang baru lagi. Bukan mustahil, allien yang sudah ber-KTP itu nanti bisa berhasil dalam bisnis. Mereka lantas punya banyak aset berharga. Ketika ada persoalan, aset yang banyak itu kemudian dibawa lari ke negara asalnya. Nah, kalau sudah begini bangsa dan rakyat ini yang gigit jari karena banyak banyak aset negara yang dilarikan ke luar negeri. Karena sudah jelas warga asing itu patut diragukan nasionalismenya.
Yang sudah jelas status kewarganegaraannya (koruptor kakap Indonesia) saja, banyak yang melarikan aset ke luar negeri. Apalagi, mereka yang semula warga asing lalu menyusup jadi warga Indonesia? Atau jangan-jangan, para koruptor kakap yang melarikan aset itu punya sejarah seperti petualangan Yang Jinhuo yang tertangkap di pasar Wongsorejo ya? Wallahu ‘alam.
Karenanya, sudah selayaknya kita semua waspada. Seluruh warga harus peduli dengan warga asing di sekitar kita. Karena itulah saringan yang paling manjur untuk menjaga pertahanan negeri ini. (*)
Merazia Mesum dengan Ombak
ACUNGAN jempol untuk aparat kepolisian. Mereka cukup sigap menyambut bulan Ramadan. Sejumlah lokalisasi dan tempat maksiat digerebek. Para pekerja seks dan pasangan mesum digiring ke pengadilan untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Memang tidak ada kata terlambat untuk memberantas kemaksiatan. Membersihkan penyakit masyarakat juga tidak harus menunggu momen-momen tertentu. Apalagi, kalau momentum tersebut sangat pas karena menyambut bulan puasa, bulan Ramadan yang penuh dengan berkah.
Pada sisi lain, alam sebenarnya sudah lama mengingatkan manusia untuk bertindak secara bijak. Alam juga punya cara tersendiri untuk bertindak melawan maksiat. Alam tidak pernah terlambat dan tidak harus menunggu momentum yang pas untuk bertindak.
Sepekan terakhir, ombak Selat Bali mulai mengganas. Ketinggian ombak yang lebih dari tiga meter, memaksa Syahbandar Ketapang beberap kali menutup pelabuhan penyeberangan. Ombak besar juga sempat membuat belasan warung di tepi pantai Watudodol porak-poranda.
Memang, tidak ada korelasi yang jelas antara maksiat dan ganasnya ombak. Namun, inilah yang layak kita renungi bersama. Tidak selamanya maksiat itu terjadi di lokalisasi. Karena tidak selamanya, aksi mesum itu berlangsung di kamar-kamar hotel atau losmen.
Bukan mustahil, tindakan maksiat itu bisa terjadi di kawasan tepi pantai. Bukan lagi rahasia umum, bahwa kaum muda kini banyak yang memilih kencan di tepi pantai. Pergaulan bebas bisa menjurus kepada gaya pacaran yang kebablasan. Ini bisa membuat kencan di pantai bisa berujung pada tindakan maksiat.
Nah, jangan salahkan kalau ombak mulai menggerus kawasan pantai yang jadi ikon wisata di Bumi Blambangan. Seperti yang dikatakan kalangan orang tua, pantai Boom dulu sangat asri dan terjaga kelestariannya. Kini, kondisinya sudah sedemikian rusak. Jangan salahkan kalau mereka (para orang tua itu) lantas menyatakan, pantai rusak karena alam tidak menerima adanya tindakan maksiat. (*)
Memang tidak ada kata terlambat untuk memberantas kemaksiatan. Membersihkan penyakit masyarakat juga tidak harus menunggu momen-momen tertentu. Apalagi, kalau momentum tersebut sangat pas karena menyambut bulan puasa, bulan Ramadan yang penuh dengan berkah.
Pada sisi lain, alam sebenarnya sudah lama mengingatkan manusia untuk bertindak secara bijak. Alam juga punya cara tersendiri untuk bertindak melawan maksiat. Alam tidak pernah terlambat dan tidak harus menunggu momentum yang pas untuk bertindak.
Sepekan terakhir, ombak Selat Bali mulai mengganas. Ketinggian ombak yang lebih dari tiga meter, memaksa Syahbandar Ketapang beberap kali menutup pelabuhan penyeberangan. Ombak besar juga sempat membuat belasan warung di tepi pantai Watudodol porak-poranda.
Memang, tidak ada korelasi yang jelas antara maksiat dan ganasnya ombak. Namun, inilah yang layak kita renungi bersama. Tidak selamanya maksiat itu terjadi di lokalisasi. Karena tidak selamanya, aksi mesum itu berlangsung di kamar-kamar hotel atau losmen.
Bukan mustahil, tindakan maksiat itu bisa terjadi di kawasan tepi pantai. Bukan lagi rahasia umum, bahwa kaum muda kini banyak yang memilih kencan di tepi pantai. Pergaulan bebas bisa menjurus kepada gaya pacaran yang kebablasan. Ini bisa membuat kencan di pantai bisa berujung pada tindakan maksiat.
Nah, jangan salahkan kalau ombak mulai menggerus kawasan pantai yang jadi ikon wisata di Bumi Blambangan. Seperti yang dikatakan kalangan orang tua, pantai Boom dulu sangat asri dan terjaga kelestariannya. Kini, kondisinya sudah sedemikian rusak. Jangan salahkan kalau mereka (para orang tua itu) lantas menyatakan, pantai rusak karena alam tidak menerima adanya tindakan maksiat. (*)
Jangan Sampai Muncul Geng Prejengan Jilid II
NAMA Geng Prejengan mendadak mencuat di bumi Blambangan. Sayangnya, mereka populer bukan karena prestasinya. Bukan juga karena terkenal karena mampu mengharumkan nama daerahnya.
Sebaliknya, tiga warga Dusun Prejengan, Desa Rogojampi, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi itu justru terkenal karena perbuatannya yang merugikan warga. Kakak-adik Slamet Budiono dan Sukarto, serta tetangga mereka Suyanto dikenal sebagai anggota komplotan spesialis pencurian kendaraan bermotor (curanmor).
Dari catatan polisi, Geng Prejengan itu sudah mengembat puluhan sepeda motor milik warga. Mereka diperkirakan telah beraksi di 25 lokasi. Sasaran mereka tersebar mulai dari Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Gambiran hingga Kecamatan Pesanggaran di ujung selatan Bumi Blambangan.
Geng Prejengan biasanya memilih sasaran sepeda motor di kawasan perumahan dan tempat-tempat keramaian. Mereka lebih sering beraksi mencuri motor pada malam hari. Mereka juga tak segan masuk ke dalam rumah korbannya untuk mengambil sepeda motor.
Mereka ternyata masih mengandalkan cara lama untuk mengambil motor korbannya. Mereka sering membandrek kunci kontak motor dengan kunci besi tajam berbentuk huruf ‘T’. Selanjutnya, motor curian tersebut dijual dengan harga Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta setiap unitnya.
Di mata polisi. track record Geng Prejengan ini tergolong parah. Pantas saja aparat ikut hanyut dan langsung ‘mendidih’ begitu buruannya yang sudah lama diincar itu tertangkap. Para eksekutor komplotan itu dihadiahi timah panas di kakinya.
Dari kejadian ini, sudah selayaknya kita semua ikut mengambil hikmahnya. Rangkaian kejadian yang membuat Geng Prejengan terus survive, bukanlah karena faktor kepiawaian komplotan itu semata. Kalau melihat modus dan metodenya yang masih konvensional, masyarakat kita ternyata juga ikut berperan dalam memperpanjang nafas komplotan curanmor itu. Sekali lagi, aksi kejahatan itu terjadi bukan semata karena ada niat para pelakunya. Mereka bisa bertindak seperti itu, juga karena ada faktor peluang dan kesempatan.
Ya, jangan sampai ada lagi Geng Prejengan lainnya. Jangan sampai beri kesempatan muncul lagi Geng Prejengan Jilid II dan seterusnya. Seluruh masyarakat harus ikut menjaga dan berperan membantu aparat keamanan menciptakan kondisi yang kondusif. Salah satu caranya, minimalkan peluang terjadinya tindak kejahatan curanmor. Jangan sembarangan memarkir sepeda motor tanda menguncinya terlebih dahulu. Pasanglah kunci ganda untuk memperkecil peluang terjadinya tindak kriminal. Bahkan jika perlu, pasanglah alarm di kendaraan Anda masing-masing. Kalau seluruh masyarakat Banyuwangi sudah melakukan antisipasi seperti itu, akan kecil kemungkinan komplotan curanmor akan bisa bernafas di daerah ini. (*)
Sebaliknya, tiga warga Dusun Prejengan, Desa Rogojampi, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi itu justru terkenal karena perbuatannya yang merugikan warga. Kakak-adik Slamet Budiono dan Sukarto, serta tetangga mereka Suyanto dikenal sebagai anggota komplotan spesialis pencurian kendaraan bermotor (curanmor).
Dari catatan polisi, Geng Prejengan itu sudah mengembat puluhan sepeda motor milik warga. Mereka diperkirakan telah beraksi di 25 lokasi. Sasaran mereka tersebar mulai dari Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Gambiran hingga Kecamatan Pesanggaran di ujung selatan Bumi Blambangan.
Geng Prejengan biasanya memilih sasaran sepeda motor di kawasan perumahan dan tempat-tempat keramaian. Mereka lebih sering beraksi mencuri motor pada malam hari. Mereka juga tak segan masuk ke dalam rumah korbannya untuk mengambil sepeda motor.
Mereka ternyata masih mengandalkan cara lama untuk mengambil motor korbannya. Mereka sering membandrek kunci kontak motor dengan kunci besi tajam berbentuk huruf ‘T’. Selanjutnya, motor curian tersebut dijual dengan harga Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta setiap unitnya.
Di mata polisi. track record Geng Prejengan ini tergolong parah. Pantas saja aparat ikut hanyut dan langsung ‘mendidih’ begitu buruannya yang sudah lama diincar itu tertangkap. Para eksekutor komplotan itu dihadiahi timah panas di kakinya.
Dari kejadian ini, sudah selayaknya kita semua ikut mengambil hikmahnya. Rangkaian kejadian yang membuat Geng Prejengan terus survive, bukanlah karena faktor kepiawaian komplotan itu semata. Kalau melihat modus dan metodenya yang masih konvensional, masyarakat kita ternyata juga ikut berperan dalam memperpanjang nafas komplotan curanmor itu. Sekali lagi, aksi kejahatan itu terjadi bukan semata karena ada niat para pelakunya. Mereka bisa bertindak seperti itu, juga karena ada faktor peluang dan kesempatan.
Ya, jangan sampai ada lagi Geng Prejengan lainnya. Jangan sampai beri kesempatan muncul lagi Geng Prejengan Jilid II dan seterusnya. Seluruh masyarakat harus ikut menjaga dan berperan membantu aparat keamanan menciptakan kondisi yang kondusif. Salah satu caranya, minimalkan peluang terjadinya tindak kejahatan curanmor. Jangan sembarangan memarkir sepeda motor tanda menguncinya terlebih dahulu. Pasanglah kunci ganda untuk memperkecil peluang terjadinya tindak kriminal. Bahkan jika perlu, pasanglah alarm di kendaraan Anda masing-masing. Kalau seluruh masyarakat Banyuwangi sudah melakukan antisipasi seperti itu, akan kecil kemungkinan komplotan curanmor akan bisa bernafas di daerah ini. (*)
Meniru Semangat Pasutri Tuna Netra
MATA merupakan indera yang penting bagi kehidupan manusia. Kita bisa melihat indahnya berbagai warna dalam kehidupan ini. Kita juga bisa bekerja secara normal, karena bantuan indera penglihatan ini.
Namun, ada sebagian saudara kita yang kurang beruntung. Banyak penyandang tuna netra di Bumi Blambangan. Mereka hanya bisa melihat satu macam warna. Hitam atau gelap. Itu saja.
Tetapi, tidak semua penyandang tuna netra itu pasrah dengan keadaan. Lihat saja pasangan suami istri (pasutri) Fauzi, 47, dan Sayuti, 42. Mereka adalah pasutri tuna netra, kini tinggal di Jalan S Parman. Namun, semangat mereka untuk hidup mandiri layak diacungi jempol.
Fauzi benar-benar berangkat dari nol. Sudah tak bisa melihat, tidak bisa sekolah umum, tak punya bakat dan keahlian apa pun. Orang tuanya juga hidup pas-pasan di desa.
Namun dengan tekat yang kuat, akhirnya dia bisa mengikuti kursus pijat tuna netra di Malang. Itu dilakukan hingga tiga kali. Tekat dan semangatnya itu mengubah jalan hidupnya.
Dia bisa sukses dalam percintaan, dengan menemukan Sayuti, sang belahan hati di tempat kursus itu. Setelah menikah dan pulang kampung, mereka membua jasa pijat. Dengan strategi khusus, setiap pasien dijatah pijat dua jam, usaha jasa tersebut menjadi sangat diminati. Secara ekonomi, usaha mereka boleh terbilang lumayan. Meski punya kekurangan, toh akhirnya mereka pun bisa hidup mandiri.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pasutri tuna netra ini. Dengan potensi terbatas, asal ada kemauan dan tekat yang kuat, kita pasti akan berhasil mencapai kemandirian. Kalau kita lihat sekeliling kita, masih banyak orang masih bergantung dengan orang lain.
Banyak orang bertubuh tegap yang mengemis di tepi jalan dan lampu merah. Ada juga yang mengais rupiah dengan cara mengamen di lampu merah. Meski tidak merasa terhibur, orang akhirnya terpaksa memberi uang receh. Seharusnya, mereka malu dengan pasutri Fauzi dan Sayuti. (*)
Namun, ada sebagian saudara kita yang kurang beruntung. Banyak penyandang tuna netra di Bumi Blambangan. Mereka hanya bisa melihat satu macam warna. Hitam atau gelap. Itu saja.
Tetapi, tidak semua penyandang tuna netra itu pasrah dengan keadaan. Lihat saja pasangan suami istri (pasutri) Fauzi, 47, dan Sayuti, 42. Mereka adalah pasutri tuna netra, kini tinggal di Jalan S Parman. Namun, semangat mereka untuk hidup mandiri layak diacungi jempol.
Fauzi benar-benar berangkat dari nol. Sudah tak bisa melihat, tidak bisa sekolah umum, tak punya bakat dan keahlian apa pun. Orang tuanya juga hidup pas-pasan di desa.
Namun dengan tekat yang kuat, akhirnya dia bisa mengikuti kursus pijat tuna netra di Malang. Itu dilakukan hingga tiga kali. Tekat dan semangatnya itu mengubah jalan hidupnya.
Dia bisa sukses dalam percintaan, dengan menemukan Sayuti, sang belahan hati di tempat kursus itu. Setelah menikah dan pulang kampung, mereka membua jasa pijat. Dengan strategi khusus, setiap pasien dijatah pijat dua jam, usaha jasa tersebut menjadi sangat diminati. Secara ekonomi, usaha mereka boleh terbilang lumayan. Meski punya kekurangan, toh akhirnya mereka pun bisa hidup mandiri.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pasutri tuna netra ini. Dengan potensi terbatas, asal ada kemauan dan tekat yang kuat, kita pasti akan berhasil mencapai kemandirian. Kalau kita lihat sekeliling kita, masih banyak orang masih bergantung dengan orang lain.
Banyak orang bertubuh tegap yang mengemis di tepi jalan dan lampu merah. Ada juga yang mengais rupiah dengan cara mengamen di lampu merah. Meski tidak merasa terhibur, orang akhirnya terpaksa memberi uang receh. Seharusnya, mereka malu dengan pasutri Fauzi dan Sayuti. (*)
Meniru Pola Pikir Negara Maju
SAAT INI, para pakar negara-negara maju sudah memikirkan apa yang bisa jadi kapital di masa mendatang. Barang-barang yang bakal jadi trend di Indonesia sepuluh atau bahkan 20 tahun lagi, sudah mereka pikirkan mulai sekarang.
Jenis mobil terbaru yang beredar di jalanan Banyuwangi dan Situbondo saat ini, mungkin sudah dipikirkan para pakar otomotif Jepang sepuluh tahun silam. Demikian juga motor gres yang jadi tongkrongan kawula muda di Bumi Blambangan dan Kota Santri. Semua detilnya sudah dirancang cukup lama oleh pakar otomotif tersebut.
Ini jadi pelajaran penting, bahwa kita idealnya berpikir visioner. Jauh menatap masa depan. Bukan sebaliknya, jangan sampai pikiran kita terkungkung pandangan sempit mistisme zaman dulu (zadul) dan tidak berkembang. Apalagi kalau selalu berpandangan mundur jauh ke belakang.
Tetapi, itulah fakta yang terjadi dan dialami oleh sebagian masyarakat kita. Lihat saja yang terjadi di Dusun Krajan, Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi Senin (17/3) kemarin. Warga setempat ramai-ramai membunuh seekor babi. Mereka menduga, binatang tersebut adalah babi jadi-jadian. Babi tersebut mati di sungai setelah digebuki massa. Ini semua lantaran, warga mengaku sering kehilangan uang dan sejumlah barang. Mereka menduga, hilangnya uang dan barang tersebut lantaran babi jadi-jadian itu.
Beruntung, babi itu tidak paham hukum dan hukum pidana hanya berlaku untuk manusia. Tetapi sudah selayaknya kita bisa berpikir lebih jernih. Memandang semua persoalan dilandasi dengan akal sehat. Sudah bagus kalau kita bisa memasuki tahapan ‘berpikir jernih sejernih akal sehat’. Alangkah bagus lagi kalau kita bisa masuk tahapan berpikir progresif dan visioner jauh memandang demi masa depan. Semoga. (*)
Jenis mobil terbaru yang beredar di jalanan Banyuwangi dan Situbondo saat ini, mungkin sudah dipikirkan para pakar otomotif Jepang sepuluh tahun silam. Demikian juga motor gres yang jadi tongkrongan kawula muda di Bumi Blambangan dan Kota Santri. Semua detilnya sudah dirancang cukup lama oleh pakar otomotif tersebut.
Ini jadi pelajaran penting, bahwa kita idealnya berpikir visioner. Jauh menatap masa depan. Bukan sebaliknya, jangan sampai pikiran kita terkungkung pandangan sempit mistisme zaman dulu (zadul) dan tidak berkembang. Apalagi kalau selalu berpandangan mundur jauh ke belakang.
Tetapi, itulah fakta yang terjadi dan dialami oleh sebagian masyarakat kita. Lihat saja yang terjadi di Dusun Krajan, Desa Gladag, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi Senin (17/3) kemarin. Warga setempat ramai-ramai membunuh seekor babi. Mereka menduga, binatang tersebut adalah babi jadi-jadian. Babi tersebut mati di sungai setelah digebuki massa. Ini semua lantaran, warga mengaku sering kehilangan uang dan sejumlah barang. Mereka menduga, hilangnya uang dan barang tersebut lantaran babi jadi-jadian itu.
Beruntung, babi itu tidak paham hukum dan hukum pidana hanya berlaku untuk manusia. Tetapi sudah selayaknya kita bisa berpikir lebih jernih. Memandang semua persoalan dilandasi dengan akal sehat. Sudah bagus kalau kita bisa memasuki tahapan ‘berpikir jernih sejernih akal sehat’. Alangkah bagus lagi kalau kita bisa masuk tahapan berpikir progresif dan visioner jauh memandang demi masa depan. Semoga. (*)
Bakar Tebu, Terorisme Gaya Baru
PETANI kita tetap saja jadi bulan-bulanan penderitaan. Yang terbaru adalah ancaman keresahan yang dirasakan para petani tebu.
Sekadar diketahui, banyak petani Situbondo yang menggantungkan hidupnya dari bertani tebu. Sebagian petani Banyuwangi juga ikut mencoba peruntungan dengan bercocok tanam tebu.
Namun belakangan, para petani tebu resah. Musuh mereka saat ini adalah kejadian terbakarnya kebun tebu yang sudah siap panen. Beberapa kejadian sudah terjadi di Desa Bantal, Kecamatan Asembagus. Di daerah ini, kebakaran tebu sering terjadi. Diduga kuat, peristiwa kebakaran tersebut bukan kecelakaan murni. Tapi kebakaran puluhan hektare kebun tebu itu diduga ada pihak yang sengaja melakukannya.
Di mata Tuhan, siapa pun pelaku pembakar kebun tebu itu memang tentu diganjar hukuman berat. Karena mereka menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan petani.
Kalau kebun tebu sudah kobong sia-sia, petani akan merugi ratusan juta rupiah. Belum lagi kerugian nonmateri berupa rasa was-was, rasa takut dan tertekan. Bahkan bukan mustahil, kejadian itu akan membuat petani stres lalu bertindak kalap.
Beruntung, masyarakat petani kita sudah meningkat kesadaran hukumnya. Di Asembagus, petani tebu sudah lapor polisi. Bahkan, mereka juga memberi informasi kepada aparat tentang nama-nama yang diduga terlibat aksi pembakaran tersebut.
Nah, ini akan menjadi pekerjaan besar aparat kepolisian. Sudah selayaknya polisi bekerja ektra keras menuntaskan problem tersebut. Harapannya, keresahan di kalangan petani itu tidak menimbulkan efek yang lebih besar. Karena kalau sudah begitu, keresahan petani yang tak kunjung terobati bisa menimbulkan efek domino luar biasa. Ujung-ujungnya, keamanan dan ketertiban masyarakat ikut terganggu.
Apapun motifnya, maraknya pembakaran kebun tebu itu harus dicegah dan diberantas. Akan sangat setimpal, kalau pelakunya nanti diganjar hukuman yang berat. Memupuskan harapan dan menghancurkan hasil kerja keras petani tebu selama sekian bulan, itu sangat kejam. Selain itu, tindakan menimbulkan keresahan masyarakat bisa disamakan dengan menebar terorisme. Ya, menebar asap dan api dari kebun tebu itu memang terorisme gaya baru. (*)
Sekadar diketahui, banyak petani Situbondo yang menggantungkan hidupnya dari bertani tebu. Sebagian petani Banyuwangi juga ikut mencoba peruntungan dengan bercocok tanam tebu.
Namun belakangan, para petani tebu resah. Musuh mereka saat ini adalah kejadian terbakarnya kebun tebu yang sudah siap panen. Beberapa kejadian sudah terjadi di Desa Bantal, Kecamatan Asembagus. Di daerah ini, kebakaran tebu sering terjadi. Diduga kuat, peristiwa kebakaran tersebut bukan kecelakaan murni. Tapi kebakaran puluhan hektare kebun tebu itu diduga ada pihak yang sengaja melakukannya.
Di mata Tuhan, siapa pun pelaku pembakar kebun tebu itu memang tentu diganjar hukuman berat. Karena mereka menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan petani.
Kalau kebun tebu sudah kobong sia-sia, petani akan merugi ratusan juta rupiah. Belum lagi kerugian nonmateri berupa rasa was-was, rasa takut dan tertekan. Bahkan bukan mustahil, kejadian itu akan membuat petani stres lalu bertindak kalap.
Beruntung, masyarakat petani kita sudah meningkat kesadaran hukumnya. Di Asembagus, petani tebu sudah lapor polisi. Bahkan, mereka juga memberi informasi kepada aparat tentang nama-nama yang diduga terlibat aksi pembakaran tersebut.
Nah, ini akan menjadi pekerjaan besar aparat kepolisian. Sudah selayaknya polisi bekerja ektra keras menuntaskan problem tersebut. Harapannya, keresahan di kalangan petani itu tidak menimbulkan efek yang lebih besar. Karena kalau sudah begitu, keresahan petani yang tak kunjung terobati bisa menimbulkan efek domino luar biasa. Ujung-ujungnya, keamanan dan ketertiban masyarakat ikut terganggu.
Apapun motifnya, maraknya pembakaran kebun tebu itu harus dicegah dan diberantas. Akan sangat setimpal, kalau pelakunya nanti diganjar hukuman yang berat. Memupuskan harapan dan menghancurkan hasil kerja keras petani tebu selama sekian bulan, itu sangat kejam. Selain itu, tindakan menimbulkan keresahan masyarakat bisa disamakan dengan menebar terorisme. Ya, menebar asap dan api dari kebun tebu itu memang terorisme gaya baru. (*)
Kita Kaya Tapi Miskin
TAK diragukan lagi, Banyuwangi memiliki kekayaan alam luar biasa. Sumber daya air di Bumi Blambangan ini cukup melimpah. Dari catatan Dinas Pengairan, sedikitnya tujuh puluh aliran sungai mengalir di kabupaten terluas di Jawa Timur ini.
Lebih spesifik lagi, Banyuwangi memiliki potensi besar obyek wisata air. Puluhan air terjun tersebar di kawasan ini. Sebut saja air terjun Lider di Kecamatan Songgon, air terjun Tirta Kemanten di Kecamatan Kalibaru, air terjun Antogan di Kecamatan Kabat, air terjun Kalibendo di Kecamatan Licin, air terjun Kalongan di Desa Pesucen dan masih banyak yang lainnya.
Namun, sebagian besar wisata alam tersebut kurang tergarap secara profesional. Paling banter, kawasan wisata alam itu dikelola pemerintah desa setempat. Jangan heran, kalau kontribusi yang hasil pengelolaan kawasan wisata alam tersebut kurang ‘terasa’ bagi masyarakat. Jangankan untuk memakmurkan warga, untuk mengisi kas desa saja, hasil pengelolaan wisata alam air terjun tersebut kurang memadai.
Kurang profesionalnya pengelolaan itu kian diperparah dengan minimnya dukungan sarana infrastruktur. Jalan menuju lokasi wisata air terjun di Banyuwangi, umumnya kurang layak dan bahkan banyak yang jalannya rusak berat.
Ini memang kenyataan cukup pahit bagi kita yang punya kekayaan alam melimpah. Namun kita tak perlu berkecil hati. Kekayaan alam bukanlah satu-satunya hal yang menjadi suatu negara menjadi kaya atau miskin. Lihat saja negara Jepang yang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80 persen berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan.
Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara ‘industri terapung’ yang besar sekali. Mereka mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia, lalu mampu mengekspor barang jadinya.
Demikian juga dengan negara Swiss yang tidak mempunyai perkebunan coklat. Tetapi Swiss dikenal sebagai sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami.
• Mengapa mereka bisa, sedangkan negara kita yang punya kekayaan alam melimpah, hingga kini masih terpuruk. Ternyata, perilaku masyarakat mereka telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Penduduk negara maju itu mematuhi etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga masyarakat yang tepat waktu, bekrja keras, bertanggungjawab, jujur dan berintegritas. Hormat pada aturan dan hukum, menghormati hak orang lain dan cinta pada pekerjaan. Warga negara maju juga berusaha keras menabung dan berinvestasi.Sedangkan masyarakat negara miskin hanya sebagian kecil yang mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut.
Ya, kita bukan miskin karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita miskin karena perilaku kita yang kurang baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara. (*)
Lebih spesifik lagi, Banyuwangi memiliki potensi besar obyek wisata air. Puluhan air terjun tersebar di kawasan ini. Sebut saja air terjun Lider di Kecamatan Songgon, air terjun Tirta Kemanten di Kecamatan Kalibaru, air terjun Antogan di Kecamatan Kabat, air terjun Kalibendo di Kecamatan Licin, air terjun Kalongan di Desa Pesucen dan masih banyak yang lainnya.
Namun, sebagian besar wisata alam tersebut kurang tergarap secara profesional. Paling banter, kawasan wisata alam itu dikelola pemerintah desa setempat. Jangan heran, kalau kontribusi yang hasil pengelolaan kawasan wisata alam tersebut kurang ‘terasa’ bagi masyarakat. Jangankan untuk memakmurkan warga, untuk mengisi kas desa saja, hasil pengelolaan wisata alam air terjun tersebut kurang memadai.
Kurang profesionalnya pengelolaan itu kian diperparah dengan minimnya dukungan sarana infrastruktur. Jalan menuju lokasi wisata air terjun di Banyuwangi, umumnya kurang layak dan bahkan banyak yang jalannya rusak berat.
Ini memang kenyataan cukup pahit bagi kita yang punya kekayaan alam melimpah. Namun kita tak perlu berkecil hati. Kekayaan alam bukanlah satu-satunya hal yang menjadi suatu negara menjadi kaya atau miskin. Lihat saja negara Jepang yang mempunyai area yang sangat terbatas. Daratannya, 80 persen berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan.
Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara ‘industri terapung’ yang besar sekali. Mereka mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia, lalu mampu mengekspor barang jadinya.
Demikian juga dengan negara Swiss yang tidak mempunyai perkebunan coklat. Tetapi Swiss dikenal sebagai sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia. Negara Swiss sangat kecil, hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami.
• Mengapa mereka bisa, sedangkan negara kita yang punya kekayaan alam melimpah, hingga kini masih terpuruk. Ternyata, perilaku masyarakat mereka telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Penduduk negara maju itu mematuhi etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga masyarakat yang tepat waktu, bekrja keras, bertanggungjawab, jujur dan berintegritas. Hormat pada aturan dan hukum, menghormati hak orang lain dan cinta pada pekerjaan. Warga negara maju juga berusaha keras menabung dan berinvestasi.Sedangkan masyarakat negara miskin hanya sebagian kecil yang mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut.
Ya, kita bukan miskin karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita miskin karena perilaku kita yang kurang baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan masyarakat kita pantas membangun masyarakat, ekonomi, dan negara. (*)
Warning dari Kawanan Anjing
Begitu ada 15 ekor kambing mati mendadak, warga Lingkungan Gang Lancing, Kelurahan Penataban, Kecamatan Giri, Banyuwangi heboh. Perut kambing itu terburai. Tubuhnya juga terdapat luka bekas gigitan dan cakaran.
Peristiwa ini juga membuat warga setempat resah. Ada warga yang berspekulasi, pelakunya adalah makhluk halus atau serigala jadi-jadian. Ada peternak yang melakukan antisipasi dengan mengecat warna merah di leher kambingnya. Harapannya, ketika serigala jadi-jadian itu datang, kambing berleher merah itu dikira sudah mati.
Sementara itu, Dinas Peternakan Banyuwangi ternyata menemukan jawaban yang rasional. Setelah dilakukan penelitian, kambing tersebut mati akibat gigitan anjing liar. Tidak ada indikasi penyakit yang mencurigakan. Komunitas anjing liar itu berada di sekitar daerah tersebut. Setelah diselidiki, ada sekitar 10 ekor anjing yang bermukim tempat itu.
Apalagi, domba termasuk hewan yang kurang kuat. Waktu diserang binatang buas, domba (terutama dalam kandang) tidak bisa memberikan perlawanan.
Fenomena ini cukup menarik perhatian. Sebagian warga masih percaya dengan dunia klenik. Sebagian lainnya lebih condong dengan alasan rasional yang dikemukakan Dinas Peternakan.
Terlepas dari semua itu, peristiwa ini harus selalu diambil hikmahnya. Yang jelas, warga lebih rajin begadang untuk menjaga ternaknya. Kegiatan poskamling pun kembali bergairah. Dengan adanya penjagaan masyarakat, suasana kampung menjadi lebih kondusif. Kegiatan bisa mencegah munculnya aksi kejahatan yang jauh lebih berbahaya dari serangan terhadap belasan kambing itu.
Kalau mau menoleh tahun 2007 lalu, kejadian pencurian ternak semakin marak. Banyak kejadian pencurian sapi di Banyuwangi dan Situbondo. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan juta kerugian ditimbulkan akibat terjadinya pencurian sapi. Korbannya adalah rakyat kecil, aset para petani/peternak di beberapa daerah.
Bergairahnya kembali gerakan poskamling memang sangat bermanfaat membantu menciptakan suasana kondusif dan aman. Sudah seharusnya, tanpa harus diwarning kawanan anjing (asli ataupun siluman), poskamling tetap harus digiatkan. Meski secara tidak langsung, manfaatnya tetap akan dirasakan oleh peternak. *
Peristiwa ini juga membuat warga setempat resah. Ada warga yang berspekulasi, pelakunya adalah makhluk halus atau serigala jadi-jadian. Ada peternak yang melakukan antisipasi dengan mengecat warna merah di leher kambingnya. Harapannya, ketika serigala jadi-jadian itu datang, kambing berleher merah itu dikira sudah mati.
Sementara itu, Dinas Peternakan Banyuwangi ternyata menemukan jawaban yang rasional. Setelah dilakukan penelitian, kambing tersebut mati akibat gigitan anjing liar. Tidak ada indikasi penyakit yang mencurigakan. Komunitas anjing liar itu berada di sekitar daerah tersebut. Setelah diselidiki, ada sekitar 10 ekor anjing yang bermukim tempat itu.
Apalagi, domba termasuk hewan yang kurang kuat. Waktu diserang binatang buas, domba (terutama dalam kandang) tidak bisa memberikan perlawanan.
Fenomena ini cukup menarik perhatian. Sebagian warga masih percaya dengan dunia klenik. Sebagian lainnya lebih condong dengan alasan rasional yang dikemukakan Dinas Peternakan.
Terlepas dari semua itu, peristiwa ini harus selalu diambil hikmahnya. Yang jelas, warga lebih rajin begadang untuk menjaga ternaknya. Kegiatan poskamling pun kembali bergairah. Dengan adanya penjagaan masyarakat, suasana kampung menjadi lebih kondusif. Kegiatan bisa mencegah munculnya aksi kejahatan yang jauh lebih berbahaya dari serangan terhadap belasan kambing itu.
Kalau mau menoleh tahun 2007 lalu, kejadian pencurian ternak semakin marak. Banyak kejadian pencurian sapi di Banyuwangi dan Situbondo. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan juta kerugian ditimbulkan akibat terjadinya pencurian sapi. Korbannya adalah rakyat kecil, aset para petani/peternak di beberapa daerah.
Bergairahnya kembali gerakan poskamling memang sangat bermanfaat membantu menciptakan suasana kondusif dan aman. Sudah seharusnya, tanpa harus diwarning kawanan anjing (asli ataupun siluman), poskamling tetap harus digiatkan. Meski secara tidak langsung, manfaatnya tetap akan dirasakan oleh peternak. *
Teladan Tilang Masal
Pengadilan Negeri Situbondo mencatatkan rekor baru. Dalam sehari, lembaga tersebut harus menyelesaikan 200 sidang hanya dalam tempo sehari.
Kasus yang disidangkan adalah tindak pidana ringan (tipiring), berupa pelanggaran para pengendara terhadap peraturan lalu lintas. Ada yang tidak mengenakan helm, tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi, tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan, atau karena kelengkapan aksesoris sepeda motornya seperti kaca spion atau lampu sein yang tidak lengkap.
Proses sidang itu memang tidak makan waktu lama. Tidak sampai lima menit, vonis sudah dijatuhkan. Hakim hanya menanyakan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat terdakwa. Setelah itu, hakim langsung menetapkan denda sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Peristiwa tersebut kelihatannya cukup sepele. Namun sejatinya, hal yang sepertu mempunyai banyak manfaat. Yang pertama, tentu saja bisa mengurangi kolusi. Sudah jadi rahasia umum, kalau pelanggaran lalu lintas (pada era dulu) sering diselesaikan secara damai. Dari sisi pelanggar, mereka tetap mengeluarkan duit untuk ‘denda damai’.
Tetapi uang ‘denda damai’ tersebut tidak pernah masuk ke negara. Meski sedikit, tetapi kalau dikumpulkan se Indonesia, jumlahnya bisa banyak juga. Karena faktanya, dalam sehari saja untuk ukuran kota semungil Situbondo, pelanggar lalu lintas dalam sehari saja bisa mencapai 200 kasus. Itu pun, hanya hasil razia di jantung kota.
Nah, seandainya pelanggaran lalu lintas di Indonesia, mungkin jumlahnya bisa puluhan ribu atau bahkan mungkin jutaan kasus setiap hari. Kalau satu kasus didenda puluhan ribu rupiah saja, sudah berapa miliar potensi pundi yang bisa mengalir ke kas negara. Hasilnya, kan bisa digunakan kembali untuk memperbaiki sarana lalu lintas di negeri ini.
Selain itu, manfaat lainnya adalah mendidik masyarakat lebih disiplin di jalan raya. Dan yang lebih penting, tertib berlalu lintas bisa mengurangi jumlah nyawa melayang sia-sia di jalan. Selama ini, entah sudah berapa ribu korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di negeri ini setiap tahunnya.
Memang sidang masal Situbondo itu ternyata membawa efek domino luar biasa. Sudah sangat layak ditiru daerah lainnya, terutama Banyuwangi sebagai tetangga dekatnya. (*)
Kasus yang disidangkan adalah tindak pidana ringan (tipiring), berupa pelanggaran para pengendara terhadap peraturan lalu lintas. Ada yang tidak mengenakan helm, tidak mempunyai Surat Izin Mengemudi, tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan, atau karena kelengkapan aksesoris sepeda motornya seperti kaca spion atau lampu sein yang tidak lengkap.
Proses sidang itu memang tidak makan waktu lama. Tidak sampai lima menit, vonis sudah dijatuhkan. Hakim hanya menanyakan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat terdakwa. Setelah itu, hakim langsung menetapkan denda sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Peristiwa tersebut kelihatannya cukup sepele. Namun sejatinya, hal yang sepertu mempunyai banyak manfaat. Yang pertama, tentu saja bisa mengurangi kolusi. Sudah jadi rahasia umum, kalau pelanggaran lalu lintas (pada era dulu) sering diselesaikan secara damai. Dari sisi pelanggar, mereka tetap mengeluarkan duit untuk ‘denda damai’.
Tetapi uang ‘denda damai’ tersebut tidak pernah masuk ke negara. Meski sedikit, tetapi kalau dikumpulkan se Indonesia, jumlahnya bisa banyak juga. Karena faktanya, dalam sehari saja untuk ukuran kota semungil Situbondo, pelanggar lalu lintas dalam sehari saja bisa mencapai 200 kasus. Itu pun, hanya hasil razia di jantung kota.
Nah, seandainya pelanggaran lalu lintas di Indonesia, mungkin jumlahnya bisa puluhan ribu atau bahkan mungkin jutaan kasus setiap hari. Kalau satu kasus didenda puluhan ribu rupiah saja, sudah berapa miliar potensi pundi yang bisa mengalir ke kas negara. Hasilnya, kan bisa digunakan kembali untuk memperbaiki sarana lalu lintas di negeri ini.
Selain itu, manfaat lainnya adalah mendidik masyarakat lebih disiplin di jalan raya. Dan yang lebih penting, tertib berlalu lintas bisa mengurangi jumlah nyawa melayang sia-sia di jalan. Selama ini, entah sudah berapa ribu korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di negeri ini setiap tahunnya.
Memang sidang masal Situbondo itu ternyata membawa efek domino luar biasa. Sudah sangat layak ditiru daerah lainnya, terutama Banyuwangi sebagai tetangga dekatnya. (*)
Besarnya Pasak Pelabuhan Boom
BUMI BLAMBANGAN punya aset pelabuhan rakyat. Namanya pelabuhan Boom atau masyarakat menyebutnya pantai THR Boom. Hingga saat ini, puluhan nelayan memanfaatkan pelabuhan ini untuk melakukan aktivitas ekonomi.
Kapal-kapal kecil antarpulau milik warga Raas, Sepudi, Kangean, Pagerungan dan kepulauan lainnya di timur Madura juga sering sandar di pelabuhan Boom.
Meski begitu, volume kapal keluar masuk itu tidak seperti dulu. Lalu lintas kapal nelayan masih jauh lebih ramai di pantai Muncar, Grajagan dan Pancer. Demikian juga dengan kapal antarpulau. Banyuwangi punya pelabuhan Tanjung Wangi yang lebih representatif.
Tapi entahlah, mengapa pemerintah tetap mengucurkan dana Rp 7,297 miliar untuk proyek pengembangan Boom. Pelabuhan itu dibangun dermaga. Kawasan sekitar dermaga yang baru itu, diuruk agar susai dan aman. Namun pada akhirnya, pengurukan pelabuhan tradisional itu akhirnya benar-benar mangkrak. Gara-garanya, ada pemangkasan anggaran APBN 2008 karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Nilai proyek pengembangan pelabuhan Boom itu pun tinggal Rp 4,8 miliar. Karena tidak tuntas, rakyat belum bisa menikmati hasil pembanguan proyek tersebut.
Terlebih tahun lalu, pemerintah juga mengucurkan dana sekitar Rp 4 miliar untuk mengeruk muara pantai Boom. Tapi, lagi-lagi proyek ini tak bisa dinikmati masyarakat sekitar. Baru empat bulan berjalan, muara kembali tertutup pasir dan tak bisa dilewati perahu.
Sangat ironis dan super mubazir. Duit miliaran rupiah muspro dalam waktu singkat. Hasilnya tak bisa dirasakan rakyat sekitarnya.
Entah, ada apa lagi dengan pelabuhan Boom. Seolah, pemerintah pusat begitu mudah mengucurkan uang negara untuk membangun kawasan itu. Padahal, hasil pembangunannya belum tentu dinikmati rakyat kecil di sekitar pantai Boom.
Kalau mau jeli, sebenarnya ada banyak hal yang lebih urgen diperhatikan. Jalan raya sekitar pantai Boom banyak yang bolong dan rusak. Itu sudah terjadi selama berapa tahun lamanya. Seandainya uang negara Rp 4 miliar untuk mengeruk muara itu dibikin untuk membangun jalan pantai Boom, pasti sudah mulus lus lus..!(*)
Kapal-kapal kecil antarpulau milik warga Raas, Sepudi, Kangean, Pagerungan dan kepulauan lainnya di timur Madura juga sering sandar di pelabuhan Boom.
Meski begitu, volume kapal keluar masuk itu tidak seperti dulu. Lalu lintas kapal nelayan masih jauh lebih ramai di pantai Muncar, Grajagan dan Pancer. Demikian juga dengan kapal antarpulau. Banyuwangi punya pelabuhan Tanjung Wangi yang lebih representatif.
Tapi entahlah, mengapa pemerintah tetap mengucurkan dana Rp 7,297 miliar untuk proyek pengembangan Boom. Pelabuhan itu dibangun dermaga. Kawasan sekitar dermaga yang baru itu, diuruk agar susai dan aman. Namun pada akhirnya, pengurukan pelabuhan tradisional itu akhirnya benar-benar mangkrak. Gara-garanya, ada pemangkasan anggaran APBN 2008 karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Nilai proyek pengembangan pelabuhan Boom itu pun tinggal Rp 4,8 miliar. Karena tidak tuntas, rakyat belum bisa menikmati hasil pembanguan proyek tersebut.
Terlebih tahun lalu, pemerintah juga mengucurkan dana sekitar Rp 4 miliar untuk mengeruk muara pantai Boom. Tapi, lagi-lagi proyek ini tak bisa dinikmati masyarakat sekitar. Baru empat bulan berjalan, muara kembali tertutup pasir dan tak bisa dilewati perahu.
Sangat ironis dan super mubazir. Duit miliaran rupiah muspro dalam waktu singkat. Hasilnya tak bisa dirasakan rakyat sekitarnya.
Entah, ada apa lagi dengan pelabuhan Boom. Seolah, pemerintah pusat begitu mudah mengucurkan uang negara untuk membangun kawasan itu. Padahal, hasil pembangunannya belum tentu dinikmati rakyat kecil di sekitar pantai Boom.
Kalau mau jeli, sebenarnya ada banyak hal yang lebih urgen diperhatikan. Jalan raya sekitar pantai Boom banyak yang bolong dan rusak. Itu sudah terjadi selama berapa tahun lamanya. Seandainya uang negara Rp 4 miliar untuk mengeruk muara itu dibikin untuk membangun jalan pantai Boom, pasti sudah mulus lus lus..!(*)
Pilih Tiket Neraka atau Surga
Pasangan suami istri (pasutri) di Dusun Gontoran, Desa Rejosari, Kecamatan Glagah disidang tindak pidana ringan (tipiring) oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Mereka dikenakan denda dan sebelumnya sempat menginap di Mapolsek Glagah.
Gara-garanya, pasutri itu menjual minuman keras (miras) dan diduga menyediakan tempat untuk mabuk-mabukan Anak Baru Gede (ABG). Menurut warga sekitar, warung tersebut sering dijadikan sebagai tempat transaksi seksual. Setelah mabuk berat, para cewek ABG di sana disabet pria hidung belang.
Terlepas benar atau tidaknya informasi warga itu, pada akhirnya sang pasutri harus menderita. Selain terpaksa menginap di mapolsek yang tidak nyaman, mereka juga harus duduk di kursi pesakitan pengadilan untuk menjalani sidang tipiring. Mungkin mereka juga harus menanggung malu menjalani semua itu. Belum lagi kerugian secara ekonomi, yakni membayar denda dan miras barang dagangan yang disita aparat.
Ongkos yang harus mereka bayar memang cukup mahal. Semua itu hanya gara-gara menjual miras. Apalagi, warga menuding kalau warung itu juga sering jadi tempat transaksi seksual. Dari sudut pandang agama, praktik seperti itu sama halnya dengan menjual tiket menuju neraka.
Di dunia saja, mereka harus menanggung kesusahan. Sederet penderitaan sudah dialami. Padahal, praktik mesum yang ditudingkan warga belum terbukti. Betapa susahnya penderitaan yang akan mereka hadapi di akhirat nanti. Sudah menderita, ongkosnya mahal pula.
Demikian halnya dengan klub-klub mesum yang menyajikan tontonan striptease (penari telanjang). Sudah tiketnya mahal, dampaknya juga buruk pada kesehatan serta kejiwaan konsumen. Belum lagi ancaman bubrahnya keharmonisan rumah tangga.
Akan sangat jauh berbeda, jika kita membeli tiket ke surga. Pintu-pintu tempat ibadah selalu terbuka lebar. Belum pernah ada yang menarik tiket masuk untuk beribadah ke masjid, gereja, pura, vihara atau tempat ibadah yang lainnya. Semuanya murah dan tidak dipungut biaya untuk meraih tiket menuju surga.
Memang hidup ini memberi kita banyak pilihan. Mau jalan sulit, atau jalan yang mudah. Pilih cara mahal atau cara bebas biaya, pilih menderita atau bahagia, pilih neraka atau surga dan seterusnya. Mau pilih jalan yang mana, semua kembali lagi pada diri kita masing-masing. (*)
Gara-garanya, pasutri itu menjual minuman keras (miras) dan diduga menyediakan tempat untuk mabuk-mabukan Anak Baru Gede (ABG). Menurut warga sekitar, warung tersebut sering dijadikan sebagai tempat transaksi seksual. Setelah mabuk berat, para cewek ABG di sana disabet pria hidung belang.
Terlepas benar atau tidaknya informasi warga itu, pada akhirnya sang pasutri harus menderita. Selain terpaksa menginap di mapolsek yang tidak nyaman, mereka juga harus duduk di kursi pesakitan pengadilan untuk menjalani sidang tipiring. Mungkin mereka juga harus menanggung malu menjalani semua itu. Belum lagi kerugian secara ekonomi, yakni membayar denda dan miras barang dagangan yang disita aparat.
Ongkos yang harus mereka bayar memang cukup mahal. Semua itu hanya gara-gara menjual miras. Apalagi, warga menuding kalau warung itu juga sering jadi tempat transaksi seksual. Dari sudut pandang agama, praktik seperti itu sama halnya dengan menjual tiket menuju neraka.
Di dunia saja, mereka harus menanggung kesusahan. Sederet penderitaan sudah dialami. Padahal, praktik mesum yang ditudingkan warga belum terbukti. Betapa susahnya penderitaan yang akan mereka hadapi di akhirat nanti. Sudah menderita, ongkosnya mahal pula.
Demikian halnya dengan klub-klub mesum yang menyajikan tontonan striptease (penari telanjang). Sudah tiketnya mahal, dampaknya juga buruk pada kesehatan serta kejiwaan konsumen. Belum lagi ancaman bubrahnya keharmonisan rumah tangga.
Akan sangat jauh berbeda, jika kita membeli tiket ke surga. Pintu-pintu tempat ibadah selalu terbuka lebar. Belum pernah ada yang menarik tiket masuk untuk beribadah ke masjid, gereja, pura, vihara atau tempat ibadah yang lainnya. Semuanya murah dan tidak dipungut biaya untuk meraih tiket menuju surga.
Memang hidup ini memberi kita banyak pilihan. Mau jalan sulit, atau jalan yang mudah. Pilih cara mahal atau cara bebas biaya, pilih menderita atau bahagia, pilih neraka atau surga dan seterusnya. Mau pilih jalan yang mana, semua kembali lagi pada diri kita masing-masing. (*)
Baik, Tapi Belum Lazim
RAMAI-ramai pejabat Pemkab Banyuwangi berniat mundur meninggalkan jabatannya, memang cukup menarik perhatian publik.
Lazimnya di Indonesia, kursi jabatan selalu jadi rebutan. Kalau perlu, segala cara akan dilakukan. Lihat saja arena pilkada di beberapa daerah. Kalah menang, yang jelas tidak jarang terjadi bentrokan fisik. Kalau sudah menduduki suatu jabatan, akan dipertahankan. Kalau perlu, juga dilakukan dengan segala cara.
Makanya, ketika sosok Joko Santoso mundur dari jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Banyuwangi. Dia rela meninggalkan kursi empuknya dan memilih menjadi staf biasa di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM).
Sebelumnya, Bambang Wahyudi juga meminta mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi (Dishubkom) Banyuwangi. Dia merasa lebih enjoy menjadi staf di Badan Pengawas Kabupaten (Banwaskab). Padahal, Bambang dikenal sebagai sosok yang cakap. Tidak sedikit pula yang memujinya sebagai figur yang jenius dan punya masa depan karir yang cemerlang.
Menyusul berikutnya, Abdul Kadir berniat mundur dari jabatannya sebagai Kabaghumas Pemkab. Sekretaris DPRD (Sekwan) Juliana Sugiati juga menyatakan keinginan mundur dari jabatannya. Kadir dan Juliana masih dalam proses mengajukan pengunduran diri.
Langkah mundur dari jabatannya adalah hal yang biasa. Di negara maju seperti Jepang, sudah lumrah pejabat mundur. Bahkan tingkatannya sudah selevel Menteri atau Perdana Menteri. Kalau merasa tidak berhasil bekerja atau melakukan kesalahan, mereka malu kepada rakyat dan langsung menyatakan mundur.
Ini merupakan budaya yang baik dan layak ditiru. Keputusan mundur adalah hal yang lumrah di sana. Tak perlu kecewa, juga tak perlu sakit hati. Apalagi stress kehilangan jabatan, lalu stroke dan akhirnya mati karena menanggung beban pikiran yang berat setelah kehilangan jabatan.
Kalau mundur dengan legawa karena melakukan kesalahan, rakyat akan memberi acungan jempol. Itu menunjukkan sikap pejabata atau pemimpin yang sportif dan gentle. Apalagi, kalau mereka mundur atas kesadaran sendiri dan bukan karena melakukan kesalahan atau tidak berhasil dalam bekerja. Rakyat akan semakin memberi acungan dua jempol. Kalau perlu, jika seluruh jari jempol semua, sepuluh jari akan diacungkan. Sebaliknya, kalau ada figur yang membuat pejabat tidak bisa berkreasi, acungkan jempol ke bawah kepadanya. (*)
Lazimnya di Indonesia, kursi jabatan selalu jadi rebutan. Kalau perlu, segala cara akan dilakukan. Lihat saja arena pilkada di beberapa daerah. Kalah menang, yang jelas tidak jarang terjadi bentrokan fisik. Kalau sudah menduduki suatu jabatan, akan dipertahankan. Kalau perlu, juga dilakukan dengan segala cara.
Makanya, ketika sosok Joko Santoso mundur dari jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Banyuwangi. Dia rela meninggalkan kursi empuknya dan memilih menjadi staf biasa di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM).
Sebelumnya, Bambang Wahyudi juga meminta mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi (Dishubkom) Banyuwangi. Dia merasa lebih enjoy menjadi staf di Badan Pengawas Kabupaten (Banwaskab). Padahal, Bambang dikenal sebagai sosok yang cakap. Tidak sedikit pula yang memujinya sebagai figur yang jenius dan punya masa depan karir yang cemerlang.
Menyusul berikutnya, Abdul Kadir berniat mundur dari jabatannya sebagai Kabaghumas Pemkab. Sekretaris DPRD (Sekwan) Juliana Sugiati juga menyatakan keinginan mundur dari jabatannya. Kadir dan Juliana masih dalam proses mengajukan pengunduran diri.
Langkah mundur dari jabatannya adalah hal yang biasa. Di negara maju seperti Jepang, sudah lumrah pejabat mundur. Bahkan tingkatannya sudah selevel Menteri atau Perdana Menteri. Kalau merasa tidak berhasil bekerja atau melakukan kesalahan, mereka malu kepada rakyat dan langsung menyatakan mundur.
Ini merupakan budaya yang baik dan layak ditiru. Keputusan mundur adalah hal yang lumrah di sana. Tak perlu kecewa, juga tak perlu sakit hati. Apalagi stress kehilangan jabatan, lalu stroke dan akhirnya mati karena menanggung beban pikiran yang berat setelah kehilangan jabatan.
Kalau mundur dengan legawa karena melakukan kesalahan, rakyat akan memberi acungan jempol. Itu menunjukkan sikap pejabata atau pemimpin yang sportif dan gentle. Apalagi, kalau mereka mundur atas kesadaran sendiri dan bukan karena melakukan kesalahan atau tidak berhasil dalam bekerja. Rakyat akan semakin memberi acungan dua jempol. Kalau perlu, jika seluruh jari jempol semua, sepuluh jari akan diacungkan. Sebaliknya, kalau ada figur yang membuat pejabat tidak bisa berkreasi, acungkan jempol ke bawah kepadanya. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)