RAMAI-ramai pejabat Pemkab Banyuwangi berniat mundur meninggalkan jabatannya, memang cukup menarik perhatian publik.
Lazimnya di Indonesia, kursi jabatan selalu jadi rebutan. Kalau perlu, segala cara akan dilakukan. Lihat saja arena pilkada di beberapa daerah. Kalah menang, yang jelas tidak jarang terjadi bentrokan fisik. Kalau sudah menduduki suatu jabatan, akan dipertahankan. Kalau perlu, juga dilakukan dengan segala cara.
Makanya, ketika sosok Joko Santoso mundur dari jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Banyuwangi. Dia rela meninggalkan kursi empuknya dan memilih menjadi staf biasa di Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM).
Sebelumnya, Bambang Wahyudi juga meminta mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi (Dishubkom) Banyuwangi. Dia merasa lebih enjoy menjadi staf di Badan Pengawas Kabupaten (Banwaskab). Padahal, Bambang dikenal sebagai sosok yang cakap. Tidak sedikit pula yang memujinya sebagai figur yang jenius dan punya masa depan karir yang cemerlang.
Menyusul berikutnya, Abdul Kadir berniat mundur dari jabatannya sebagai Kabaghumas Pemkab. Sekretaris DPRD (Sekwan) Juliana Sugiati juga menyatakan keinginan mundur dari jabatannya. Kadir dan Juliana masih dalam proses mengajukan pengunduran diri.
Langkah mundur dari jabatannya adalah hal yang biasa. Di negara maju seperti Jepang, sudah lumrah pejabat mundur. Bahkan tingkatannya sudah selevel Menteri atau Perdana Menteri. Kalau merasa tidak berhasil bekerja atau melakukan kesalahan, mereka malu kepada rakyat dan langsung menyatakan mundur.
Ini merupakan budaya yang baik dan layak ditiru. Keputusan mundur adalah hal yang lumrah di sana. Tak perlu kecewa, juga tak perlu sakit hati. Apalagi stress kehilangan jabatan, lalu stroke dan akhirnya mati karena menanggung beban pikiran yang berat setelah kehilangan jabatan.
Kalau mundur dengan legawa karena melakukan kesalahan, rakyat akan memberi acungan jempol. Itu menunjukkan sikap pejabata atau pemimpin yang sportif dan gentle. Apalagi, kalau mereka mundur atas kesadaran sendiri dan bukan karena melakukan kesalahan atau tidak berhasil dalam bekerja. Rakyat akan semakin memberi acungan dua jempol. Kalau perlu, jika seluruh jari jempol semua, sepuluh jari akan diacungkan. Sebaliknya, kalau ada figur yang membuat pejabat tidak bisa berkreasi, acungkan jempol ke bawah kepadanya. (*)
Minggu, 19 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar