Minggu, 12 Desember 2010

Selamat Datang Perubahan Sikap

BERMACAM ekspresi kebahagiaan diungkapkan warga Bumi Blambangan dalam menyambut kedatangan jamaah haji Banyuwangi. Warga terlihat antusias dalam menyambut para tamu Allah yang baru saja beribadah di Tanah Suci tersebut.

Ada yang datang dengan penuh perasaan memendam kerinduan, karena sudah 40 hari tidak berjumpa. Selama 40 hari itu pula, jamaah haji tidak bertemu keluarga, sahabat, kolega, tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Karena mereka pergi beribu mil jauhnya, untuk satu tujuan yakni fokus beribadah dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Setelah masa-masa indah beribadah itu telah selesai, mereka kembali lagi ke tempat asal. Para jamaah haji itu pun kembali berkumpul bersama keluarga. Dalam waktu dekat, mereka juga akan kembali melakukan bermacam aktivitas normal seperti biasa.

Kedatangan jamaah haji itu sangat dielu-elukan. Yang terjadi masyarakat kita saat ini, penyambutan kedatangan jamaah haji sungguh luar biasa. Masyarakat sangat antusias menyambut kedatangan jamaah haji di beberapa lokasi penjemputan.

Mereka biasanya datang beriringan naik kendaraan bermotor menuju lokasi penjemputan jamaah haji. Iring-iringan kendaraan kembali terjadi saat mereka pulang dari lokasi penjemputan menuju rumah jamaah haji.

Fenomena iring-iringan kendaraan rombongan penjemput jamaah haji itu juga bisa jadi tontonan tersendiri. Mobil pengangkut jamaah haji biasanya diberi hiasan. Ada yang memasang pita, ada pula yang dihiasi bunga kertas.

Tak jarang, konvoi kendaraan tersebut juga dilengkapi dengan musik hadrah. Para pemain hadrah itu melantunkan lagu-lagu pujian sambil bermain musik di atas kendaraan bak terbuka. Banyak pula penjemput jamaah haji yang naik mobil bak terbuka. Selain itu, tak jarang terdapat pula, iring-iringan kendaraan roda dua dalam konvoi tersebut. Mereka sangat antusias, dan sesekali lupa mengenakan helm pengaman saat berkendara naik motor.

Meriahnya sambutan untuk kedatangan jamaah haji seperti itu memang layak diapresiasi. Itu merupakan wujud kegembiraan masyarakat yang patut dihargai. Meski begitu, ada hal yang jauh lebih penting dari momen penting ini.

Berangkat haji ke Tanah Suci untuk beribadah, pulangnya diharapkan bisa membawa perubahan sikap menjadi lebih baik. Karena perubahan sikap yang baik itu lebih berharga dari pada hiasan bunga atau pita di mobil. Apalagi jika semua merasa peduli dengan keselamatan dalam berkendara, tidak naik mobil bak terbuka, serta memakai helm untuk pengendara motor. Terlebih, santun di jalan serta menghargai sesama pengendara di jalan saat berkonvoi itu juga jauh lebih mulia. (*)

Menghapus Pola Lama Mengamen

SEPERTI biasa, aparat kepolisian biasanya menggelar operasi penertiban secara rutin. Kali ini, razia yang sedang digalakkan bertujuan untuk meminimalisasi praktik premanisme.

Kabar terbaru, Satuan Sabhara Polres Banyuwangi menggelar menggelar razia di jalanan kemarin (8/12). Sasaran razia adalah pengamen yang biasa mangkal di perempatan jalan strategis jantung kota Banyuwangi.

Razia yang dipimpin langsung Kasat Sabhara AKP Robby Hartanto itu berhasil menciduk sembilan pengamen. Tiga orang terjaring di traffic light dekat kantor BNI, sedangkan dua orang di pelabuhan penyeberangan ASDP Ketapang. Sisanya digaruk di tempat lain.

Mereka didata identitasnya. Siang itu juga sembilan pengamen langsung menjalani sidang tindak pidana ringan (tipiring) di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Sesuai peraturan, ancaman hukuman tipiring adalah tiga bulan dan diminta bayar denda.

Bukan rahasia lagi, keberadaan pengamen di lampu merah dianggap cukup meresahkan kalangan pengguna jalan. Jika para pengendara itu mau jujur, sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak terhibur dengan aksi pentas jalanan para pengamen tersebut.

Umumnya, pengendara memberikan uang receh karena malas berurusan dengan pengamen jalanan. Bahkan, ada pula pengendara yang memberikan uang receh karena takut atau waswas. Mereka takut, pengamen akan menggores cat kendaraan jika tidak diberi uang receh.

Semua itu adalah pola lama mengamen di jalanan. Pola seperti itu sangat tidak simpatik dan meresahkan. Karena itu, masih ada sebagian masyarakat yang punya pandangan bahwa pengamen itu dekat dengan premanisme.

Sejatinya, sudah banyak contoh figur sukses yang berangkat dari dunia musik jalanan. Seperti yang dilakukan kelompok musik Klantink asal Surabaya. Dulu mereka bertahan hidup dengan mengamen di jalanan. Kini, mereka sudah jadi publik figur dengan kondisi ekonomi yang mulai mapan.

Tak ada salahnya meniru jurus mereka untuk menjadi pengamen yang simpatik. Banyak kiat yang bisa dilakukan, agar pengamen bisa tampil simpatik dan menghibur. Tutur kata haruslah sopan dan berilah salam. Sampaikan juga permohonan maaf, jika kehadirannya dirasa mengganggu.

Perhatikan pula penampilan saat mengamen. Jangan sampai, penampilan bisa membuat orang takut, ngeri atau bahkan membuat masyarakat jijik. Selain itu, pilihlah lagu yang tepat dan biasanya disukai banyak orang. Jangan lupa untuk selalu menyampaikan ucapan terima kasih. Sekali lagi, sampaikan permohonan maaf jika kehadirannya mengganggu. Tetaplah tersenyum dan jangan sekali-kali marah jika warga tidak memberi uang receh.

Jika bermacam tips seperti sudah diterapkan, tentu stigma buruk pengamen lambat laun akan pudar. Dan yang juga patut dicontoh, gaya mengamen di negara-negara yang sudah mapan ekonominya. Para pengamen di negara maju, biasanya menggelar show di taman atau kawasan publik lainnya. Mereka menyanyi atau memainkan alat musik untuk menghibur warga. Dengan pola seperti ini, tak ada lagi kesan ’memaksa’ atau meminta uang receh. Warga yang terhibur akan suka rela memberikan duit. Kalau ini bisa diterapkan di sini, pengamen tak lagi dekat dengan premanisme. Sebaliknya, mengamen akan masuk pekerjaan mulia karena bisa menghibur masyarakat. (*)

Membatasi Gerak TKA Ilegal

SATU per satu kasus Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal mulai terkuak di Bumi Blambangan. Dalam tempo sebulan ini, tercatat sudah ada empat warga asing yang diamankan polisi. Mereka diduga menyalahgunakan visa kunjungan untuk bekerja di Indonesia.

Yang menarik, keempat TKA tersebut terungkap di wilayah Kecamatan Muncar. Seperti yang dialami oleh Cheng Ming, 32, warga Fujian, China ini. Dia sudah tinggal di Muncar sejak 24 November 2010 lalu. Belakangan, Ming kedapatan bekerja sebagai tenaga quality control di UD Cahaya Samudera di Kecamatan Muncar. Akhirnya, pihak imigrasi mendeportasi lelaki itu ke negara asalnya.

Sekitar sepekan kemudian, terkuak pula kasus warga asing yang diduga menyalahgunakan visa kunjungannya ke Indonesia. Seperti yang dilakukan Polsek Muncar di PT Karya Manunggal Prima Sukses (KMPS) kemarin (3/12). Kali ini, ada tiga warga asing yang diamankan. Mereka adalah Ming Chailun, 57; Cheng Talin, 60, dan Api alias Bun Chiang.

Yang menarik, Bun Chiang ternyata sudah tinggal di Muncar sekitar 15 tahun. Bahkan, dia mengaku warga negara Indonesia dan mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kecamatan Muncar.

Kasus-kasus para pekerja asing tersebut mungkin hanya sebagian kecil kasus yang muncul di permukaan. Kita tidak pernah tahu, berapa banyak populasi riil tenaga kerja asing yang ada di wilayah kita. Tentu saja, kondisi seperti ini sangat merugikan negara. Karena itu, problem TKA ilegal perlu dieliminasi dengan cara menggiatkan kembali pengawasan warga asing. Yang tak kalah urgen-nya, dokumen kependudukan juga harus diperketat, terutama di kawasan industri. (*)

Memperketat Pengawasan Pekerja Asing

SUDAH tak terhitung jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bernasib kurang beruntung di negara lain. Banyak kasus kekerasan yang menimpa mereka saat bekerja di luar negeri. Belum lagi, kasus-kasus penipuan dan pemerasan yang menimpa para TKI.

Sebaliknya, sebenarnya banyak juga Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di negeri kita. Berbeda dengan nasib para TKI yang bekerja di luar negeri, mayoritas TKA yang mendulang rupiah di negeri kita, mungkin justru lebih banyak bernasib mujur. Dan bukan mustahil, mungkin saja masih banyak TKA yang tidak memiliki dokumen resmi saat bekerja di negeri ini.

Salah satu kasus TKA ilegal sudah terjadi di Bumi Blambangan. Seperti yang dialami oleh Cheng Ming, 32, warga Fujian, China. Dia datang ke Indonesia menggunakan visa turis melalui bandara udara Soekarno Hatta Jakarta pada 2 November 2001 lalu.

Dari Jakarta, Ming terbang ke bandara Juanda, Surabaya. Setelah itu, Ming meluncur ke Banyuwangi menggunakan transportasi darat. Ming langsung dibawa ke UD Cahaya Samudera di Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar.

Selama tinggal di Muncar sejak 24 November 2010, dia bekerja sebagai tenaga ahli quality control di perusahaan pengolahan ikan tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, adanya pekerja asing tanpa dokumen itu pun terendus aparat. Polsek Muncar akhirnya turun tangan dan menangkap pekerja asing itu. Polisi memang sempat kesulitan memeriksa Ming. Sebab, lelaki tersebut ternyata tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Dia hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa China.

Sejatinya, mendeteksi keberadaan pekerja asing di suatu perusahaan sangatlah mudah. Salah satunya adalah persoalan bahasa yang berbeda, seperti yang terjadi pada kasus Ming ini.

Para pekerja lokal tentu tahu kehadiran warga asing yang bekerja di tempatnya. Belum lagi warga sekitar tempat tinggal pekerja asing tersebut. Mereka akan dengan mudah mengenali adanya warga asing dari bahasa yang digunakan.

Sementara itu, penggunaan pekerja asing yang tidak prosedural tentu akan mengakibatkan negara dirugikan. Penyalahgunaan visa kunjungan turis untuk bekerja, tentu akan mengurangi devisa yang semestinya masuk kas negara.

Untuk mengurangi kerugian negara yang lebih besar dalam masalah ini, sejatinya masyarakatlah yang punya peran. Masyarakat dan kalangan pekerja, merupakan ujung tombak pengawasan untuk mendeteksi kehadiran TKA ilegal di wilayah masing-masing. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran masyarakat dalam memberikan informasi ketenagakerjaan yang melibatkan warga asing tersebut kepada pihak berwenang. (*)