Selasa, 01 Juni 2010

Bahaya Besar Penculikan Bayi

KEJADIAN penculikan bayi memang bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 2008 lalu, Komnas Perlindungan Anak mencatat ada 72 kasus penculikan bayi. Pada tahun 2009, Komnas Perlindungan Anak mencatat ada 102 kasus penculikan bayi.

Kasus terakhir di Banyuwangi menimpa pasangan Naen Saputra dan Katina, warga Dusun Tamansari, Desa Kebaman, Kecamatan Srono. Bayi laki-laki yang diberi nama Hari Santoso itu raib, saat Nanen dan Katina sedang terlelap tidur. Penculik bayi yang mengaku bernama Dewi Pensiya, saat kejadian sempat tidur bareng dengan bayi dan ibunya itu.

Naen mengaku baru mengenal penculik itu dua hari sebelumnya. Saat itu, perempuan yang mengaku dari Jakarta itu datang ke rumahnya dengan diantar oleh Arif, temannya yang tinggal di Desa Kebaman, Kecamatan Srono. Sebelumnya, Dewi mengaku sengaja datang ke Banyuwangi dalam rangka mencari bayi untuk diadopsi. Karena bayinya tidak boleh diadopsi, perempuan muda ini pergi. Dua hari kemudian, dia datang lagi hingga malam dan terpaksa menginap. Nah, kesempatan menginap itu dimanfaatkan untuk mengambil bayi itu saat orang tuanya tidur.

Sementara itu, tingkat kejahatan jenis penculikan bayi memang tidak setinggi jenis kejahatan lainnya, seperti pencurian dengan kekerasan atau pencurian dengan pemberatan. Namun kasus ini bukan hal kecil.

Mengingat adanya kemungkinan, penculikan bayi itu bermuara pada kasus jual beli anak seperti yang terjadi di banyak negara berkembang. Bayi-bayi itu bisa saja diperjualbelikan untuk keperluan diadopsi keluarga yang tak memiliki anak.

Atau bisa juga ada kemungkinan, bayi itu akan diasuh untuk kemudian dieksploitasi untuk menjadi pekerja seks komersial atau buruh. Yang paling berbahaya, apabila bayi-bayi curian itu dididik menjadi teroris oleh kelompok tertentu.

Mungkin, semua gambaran itu adalah contoh paling radikal yang mengerikan dalam ending kasus penculikan bayi. Kita semua tentu sangat berharap, bahwa penculikan tersebut tak membuat masa depan si jabang bayi itu menjadi sedemikian tragis.

Tetapi yang jelas dalam masalah ini, kita semua perlu untuk meningkatkan kewaspadaan. Peningkatan kewaspadaan tak hanya perlu dilakukan untuk masalah kerawanan politik yang sedang jadi perhatian di Banyuwangi saat ini. Ternyata ada juga masalah yang tak kalah penting dan perlu kita perhatikan, yakni keselamatan anggota keluarga kita masing-masing. Keselamatan anak-anak dan bayi yang ada di keluarga dan lingkungan sekitar kita. Karena mereka adalah masa depan serta generasi penerus kita. (*)

Ujian di Hari Lansia Nasional

HARI ini, 29 Mei adalah hari lanjut usia (lansia) Nasional. Memang, gaung peringatan hari lansia nasional kali ini masih kurang terasa gregetnya di Banyuwangi.

Pada saat hampir bersamaan, agenda nasional Sensus Penduduk (SP) 2010 sudah memasuki tahap akhir pada akhir Mei ini. DI Banyuwangi, sensus yang dijadwalkan selesai akhir Mei itu, sudah menyelesaikan tahapan pertama yaitu listing. Data dari tahap pertama pun sudah selesai diproses.

Nah, sebenarnya apa kaitan antara peringatan hari lansia dengan agenda sensus penduduk? Kedua agenda tersebut sepertinya memang tak berkaitan. Tetapi, ada satu hal yang menggelitik dalam pelaksaan sensus penduduk di Bumi Blambangan.

Dari hasil sementara pencacahan di Banyuwangi, ditemukan adanya beberapa warga yang ternyata berumur di atas 100 tahun. Di Desa Cluring, Kecamatan Cluring misalnya. Di wilayah ini terdapat dua orang warga yang berusia di atas 100 tahun. Yaitu Ngaisah, 104, dan Iyah, 103. Hingga saat ini, keduanya masih tercatat sebagai penduduk Kecamatan Cluring.

Selain itu juga terdapat dua warga berusia di atas 100 tahun di wilayah Kecamatan Muncar. Yaitu Janah, 140, dan Widarsih, 130. Keduanya tercatat sebagai warga RT 03 RW 07, Dusun Palurejo, Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar. Tidak hanya itu, satu orang warga Siliragung juga tercatat berusia di atas 100 tahun.

Dari hasil pencacahan dan laporan sementara petugas di lapangan, ada lebih dari lima warga Banyuwangi yang berusia di atas 100 tahun. Meski begitu, laporan dan data mengenai penduduk tertua tersebut masih berupa laporan sementara dari para petugas di lapangan. Oleh karena itu, untuk memeriksa kebenaran usia dari para warga yang diduga berumur di atas 100 tahun tersebut, BPS akan melakukan tes medis terlebih dahulu.

Hal ini dilakukan agar data yang masuk pada hasil SP 2010 ini benar-benar akurat. Nantinya, BPS akan membawa tenaga paramedis ke beberapa rumah warga yang diinformasikan memiliki usia di atas 100 tahun. Setelah ada rekomendasi dari dokter, maka usia para warga itu sudah bisa dipastikan. Proses verifikasi ini memang harus dilakukan, agar memiliki bukti kuat.

Mumpung momentumnya sangat pas, yakni peringatan hari lansia nasional, pengujian secara medis warga tua itu sebenarnya bisa bernilai politik. Jika memang terbukti secara medis bahwa ada warga Banyuwangi yang berumur 140 tahun, tentu ini adalah kejadian luar biasa. Bisa-bisa, lansia tersebut adalah manusia tertua yang masih hidup di dunia saat ini, dan layak masuk Guinness Book of Records. Jika itu benar, tentu hal ini bisa mengharumkan nama Banyuwangi di kancah internasional. Ini juga sekaligus merupakan pembuktian bahwa Banyuwangi termasuk daerah yang nyaman untuk hidup, dengan bukti banyak warga yang bisa hidup hingga usia melebihi 100 tahun. (*)

Mengoptimalkan Fungsi Rumah Aman

KALANGAN Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) masih menganggap, perlindungan terhadap korban kekerasan pada perempuan dan anak masih belum maksimal di Banyuwangi. Alasannya, masih banyak korban yang justru merasa tidak aman saat melaporkan pelecehan, penganiayaan, dan kekerasan, yang dialaminya.

Memang, ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya rasa tidak aman tersebut. Salah satunya, tidak ada pendampingan saat penanganan kasus mereka. Biasanya, pendampingan lebih banyak dilakukan ketika korban sudah menjadi saksi dan proses peradilan. Padahal idealnya, peran seorang pendamping sangat diperlukan sejak sejak korban melaporkan kejadian yang dialaminya.

Selain itu, tidak ada ”rumah aman” yang seharusnya disediakan pemerintah untuk saksi dan korban yang menimpa perempuan dan anak-anak. Untuk contoh kasus di beberapa kota besar, “rumah aman” untuk perempuan dan anak-anak korban kekerasan sudah bisa berjalan.

Sedangkan di Bumi Blambangan ini, sebenarnya fasilitas semacam itu sudah ada. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyuwangi sudah memiliki fasilitas “rumah aman” tersebut.

Namun, rumah itu baru sebatas digunakan untuk menampung anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Belum pernah muncul dalam berita, bahwa sarana ’’rumah aman’’ tersebut sudah menampung para perempuan atau pun anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Belum pernah juga diberitakan, bahwa ’’rumah aman’’ tersebut digunakan untuk menampung anak-anak yang jadi korban kasus trafficking.

Sementara itu berdasarkan data KPPA Banyuwangi, kasus-kasus kekerasan yang menimpa kalangan perempuan dan anak-anak di Banyuwangi sebenarnya cukup banyak. Pada tahun 2009 lalu saja, tercatat sudah ada sekitar 450 kasus yang mendera perempuan dan anak-anak di Bumi Blambangan. Bahkan bukan mustahil, kasus penindasan serta eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang terungkap semakin banyak pada tahun ini.

Oleh karena itu, perlu adanya pendampingan yang lebih terhadap para korban kekerasan tersebut. Dengan adanya pendampingan sejak dini, peluang munculnya trauma mendalam akan semakin terkikis. Upaya pendampingan ini akan lebih optimal jika didukung sarana ’’rumah aman’’ yang juga berfungsi optimal. Inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Semoga sarana ’’rumah aman’’ yang ada, bisa benar-benar menciptakan rasa aman bagi perempuan serta anak-anak yang jadi korban maupun saksi tindak kekerasan. (*)

Ketika Chikungunya Merambah Pelosok

Penyakit cikungunya merajalela di wilayah Kecamatan Pesanggaran. Warga dua desa, yakni Desa Kandangan dan Desa Sarongan mulai terserang penyakit ini. Hingga kemarin (21/5), masih banyak warga daerah pelosok di Bumi Blambangan itu yang sakit.

Warga di kedua desa itu, sebelumnya jarang terkena cikungunya. Begitu ada warga yang kena, penyakit ini dengan cepat merembet ke warga lain.

Meski masih ‘’bersaudara’’ dengan Demam Berdarah (DB), penyakit chikungunya ini tidak mematikan. Chikungunya ditandai dengan demam mendadak yang mencapai 39 derajat Celcius, nyeri pada persendian, terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik kemerahan) pada kulit, serta sakit kepala.

Penderita akan merasa tubuhnya mendadak demam diikuti dengan linu di persendian. Timbul juga rasa pegal, ngilu serta rasa sakit pada tulang. Kadang-kadang timbul rasa mual sampai muntah.

Virus ini dipindahkan dari satu penderita ke penderita lain melalui nyamuk. Virus itu akan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Virus tersebut menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis.

Dengan istirahat cukup, obat demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tujuh hari. Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk chikungunya. Cukup minum obat penurun panas dan penghilang rasa sakit. Yang penting cukup istirahat, minum dan makanan bergizi. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan sendirinya. Walau demikian, rasa nyeri masih akan tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan.

Nah, setelah mengetahui kalau penyakit ini ternyata tidak mematikan, bukan berarti kita boleh menyepelekan. Waspada dan selalu berupaya mencegah penyebaran penyakit ini, tetap diperlukan. Karena itu, langkah termurah dan termudah adalah ciptakan lingkungan yang sehat. Salah satu caranya adalah rutin menguras bak mandi, sehingga memutus siklus hidup nyamuk tersebut. (*)

Prostitusi dan Perda Pelacuran

PRAKTIK prostitusi di Situbondo ternyata tak hanya berlangsung pada malam hari. Pada siang bolong pun, transaksi seks juga marak terjadi di daerah yang dijuluki sebagai Kota Santri itu.

Setidaknya, hal ini sudah terbukti lewat razia yang dilakukan aparat Satpol PP Situbondo pada Kamis lalu (29/4). Obrakan yang digelar waktu itu berhasil menjaring 8 orang perempuan pekerja seks.

Wanita nakal sebanyak itu terjaring dari beberapa tempat, yang kerap menjadi dijadikan ajang esek-esek. Mulai dari deretan warung remang di pinggir jalan raya Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo. Ada juga yang terjaring di kawasan persawahan Burnik, Situbondo. Ada juga digaruk di eks lokalisasi Bandengan, di Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan.

Petugas sengaja melakukan razia di siang hari, karena banyak PSK yang masih nekat beroperasi. Razia dadakan di siang bolong itu memang mengejutkan para penjaja bisnis esek-esek. Awalnya, aparat Satpol PP bergerak menuju kawasan Desa Kotakan. Di tempat itu, mereka memergoki beberapa PSK yang sedang mangkal di warung remang-remang pinggir jalan. Tanpa banyak kata, mereka langsung ditangkap. Di lokasi tersebut, empat perempuan nakal berhasil diciduk. Ada seorang perempuan asal Ngopak, Pasuruan, ada juga yang mengaku dari Lumajang. Dua orang wanita nakal lainnya mengaku berasal dari Batulinggo, Bondowoso.

Dari situ, petugas bergeser menuju persawahan Burnik. Di lokasi pelacuran tengah sawah itu, Satpol PP menggaruk dua perempuan nakal yang mengaku berasal dari Bondowoso. Hasil serupa didapatkan Satpol PP saat mengobrak-abrik eks lokalisasi Bandengan, di Panarukan. Entah kenapa, setibanya di Bandengan banyak wisma dan kamar yang sudah tertutup. Hasilnya, hanya dua perempuan nakal asal Suboh dan asal Madura yang dijaring.

Delapan wanita itu langsung digiring menuju kantor Satpol PP Situbondo. Di tempat ini, mereka didata dan diberi pembinaan. Para PSK itu juga diminta menuliskan surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Berita menggaruk wanita nakal sudah jadi langganan pembaca koran ini di Situbondo. Hampir setiap bulan, selalu ada pelacur yang kena razia di Kota Santri. Padahal, Situbondo sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) nomor 27 tahun 2004, yang mengatur tentang larangan pelacuran di Situbondo.

Kabupaten/kota lain di sekitar Situbondo, belum tentu memiliki Perda ‘khas’ seperti ini. Meski begitu, adanya peraturan tersebut terbukti tak mampu memberantas tuntas bisnis prostitusi di Kota Santri.

Memang, upaya memberantas prostitusi tak cukup hanya mengandalkan Perda sebagai payung hukum. Karena prostitusi itu pada hakikatnya adalah sebuah penyakit masyarakat. Untuk mengobati penyakit masyarakat ini, perlu penyelesaian yang sangat rumit dan kompleks. Penuntasan penyakit ini tak hanya bisa dilakukan dari satu sudut pandang hukum semata (baca : Perda).

Untuk mengatasi penyakit masyarakat, dibutuhkan penyelesaian di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kependudukan, serta berbagai bidang lainnya. Misalnya saja, mereka terpaksa melacur karena ternyata tingkat pendidikannya sangat rendah. Ada juga yang terpaksa mejual diri karena himpitan faktor ekonomi. Ada juga yang terpaksa ’berdagang’, karena ternyata ’pembelinya’ juga banyak. Serta banyak faktor penyebab maraknya prostitusi.

Karena itu, jika ingin menuntaskan masalah ini, jangan selalu menyalahkan Perda yang sudah ada. Alangkah lebih bijak, jika yang disampaikan adalah solusi untuk mengatasi problem penyakit masyarakat tersebut. Jika perlu, ada bermacam Perda di berbagai bidang lain yang bisa mendukung upaya penuntasan penyakit masyarakat itu. Misalnya yang mengatur tentang pendidikan, peningkatan ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Sehingga dengan begitu, diharapkan seluruh masyakat bisa lebih maju dan sejahtera. (*)

Tantangan Membahas Perda Merokok

UNTUK masalah payung hukum larangan merokok di tempat umum, Banyuwangi masih jauh tertinggal. Untuk membandingkan dengan kota lain saja, kita kalah beberapa langkah. Apalagi untuk membandingkan dengan negara lain yang tingkat kesadarannya lebih tinggi, mungkin itu masih jauh di angan-angan.

Pada perkembangan terakhir, Banyuwangi baru masuk tahap mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang larangan merokok di tempat umum ke DPRD Banyuwangi. Untuk disahkan menjadi Perda, masih butuh proses dan pembahasan yang panjang di legislatif.

Memang, masalah merokok di tempat umum di Banyuwangi memiliki tantangan yang sangat besar. Jumlah perokok di Bumi Blambangan sebenarnya hampir sama dengan jumlah perokok di kota-kota lain di Indonesia. Tetapi, perilaku perokok di Bumi Blambangan ini masih cukup memprihatinkan.

Masih banyak ditemui orang yang merokok di tempat umum. Mereka melakukan itu (merokok) dengan tanpa beban. Padahal di sekitarnya, banyak orang yang terpaksa ikut menghisap asap rokok tersebut. Sialnya, asap yang secara tak sengaja terhisap oleh orang-orang itu ternyata adalah ampas alias sisa yang sudah disedot sang perokok itu.

Begitulah, betapa kejamnya perokok di tempat umum. Mereka menikmati asap rokok yang asli, sedangkan orang lain di sekitarnya justru mendapat asap ampas alias sisanya, yang semestinya jauh lebih berbahaya.

Sebenarnya, beberapa upaya untuk mewujudkan kawasan umum bebas rokok ini pun sudah dilakukan Pemkab. Sudah ada Kawasan Bebas Rokok di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Namun, berbagai upaya dari Pemkab itu masih belum terbukti berhasil. Sebab, masih banyak masyarakat yang merokok di tempat umum. Ruangan khusus merokok yang sudah disediakan di Pemkab dan RSUD Blambangan malah mangkrak karena tak pernah digunakan.

Nah, bukan mustahil pula, kalau para wakil rakyat kita di DPRD ada yang termasuk ahlul hisab (perokok). Bagaimana pula perasaannya ketika membahas Raperda larangan merokok di tempat umum. Semoga saja mereka mengabaikan kegemaran pribadi dan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat dalam membahas Raperda tersebut. Sehingga udara di tempat umum bisa lebih bersih, sehingga generasi penerus kita bisa tetap sehat dan terbebas dari asap rokok. (*)

Waspadai Pil di Saku Pelajar

NAMA pil dextro kini semakin dikenal. Sayangnya, pil yang sebenarnya termasuk jenis obat yang bisa dijual bebas itu, ternyata dikenal dalam hal yang negatif.

Banyak kasus penyalahgunaan pil dextro terutama di kalangan pelajar dan remaja. Kasus-kasus penyalahgunaan pil dextro itu tak jarang berdampak serius. Ada yang mengalami overdosis, bahkan ada juga yang berujung pada kematian. Pada beberapa kasus, pil dextro yang disalahgunakan itu juga bisa berujung pada hilangnya kegadisan secara paksa.

Seperti kejadian terkahir yang menimpa AR, 13, seorang pelajar kelas VII di sebuah Madrasah Tsanawiyah di Kecamatan Songgon. Gara-gara dicekoki sembilan butir pil dextro, kegadisan siswi itu direnggut secara paksa oleh pacarnya sendiri yang bernama Irawanto, 19.

Memang, banyak faktor yang mendukung terjadinya tindakan asusila terhadap gadis di bawah umur tersebut. Misalnya kondisi rumah siswi itu memang sangat sepi, karena orang tua korban sedang pergi. Meski begitu, penyebab utama tetaplah pil dextro yang dikonsumsi secara berlebihan.

Bayangkan, sang pemuda itu tega mencecoki siswi MTs itu dengan sembilan butir pil dextro. Setelah gadis itu menjadi teler dan tidak sadarkan diri, akhirnya terjadilah perbuatan asusila tersebut.

Kasus-kasus asusila dan perkosaan yang berawal dari pil dextro juga sering terjadi sebelumnya. Seperti yang pernah terjadi di Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore tanggal 3 April 2010 lalu. Ketika itu berkumpul enam cowok dan tiga cewek. Mereka kemudian menggelar pesta pil dextro sambil minum-minuman keras. Jumlah dextro yang dipergunakan pesta pada malam itu sebanyak 125 butir. Ada yang menelan 45 butir, ada juga yang menelan pil dextro sebanyak 20 hingga 25 butir. Sedangkan cewek-cewek di bawah umur itu rata-rata minum lima butir. Akhirnya, kasus ini berhasil diungkap dan para pemuda yang melakukan tindak asusila dijerat dengan pasal perlindungan anak.

Yang tak kalah menghebohkan adalah kasus pesta seks yang melibatkan beberapa pelajar di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng pada 27 Maret 2010 lalu. Para tersangka perkosaan maupun korbannya adalah pelajar SMP. Perkosaan ini juga berawal dari pil dextro yang dioplos dengan miras.

Jika melihat rentetan peristiwa itu, bukan mustahil jika kejadian memilukan seperti itu akan terulang lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, sudah sepatutnya semua pihak lebih waspada. Langkah pertama pencegahan bisa dilakukan oleh keluarga dengan meningkatkan pengawasan terhadap kalangan pelajar. Dengan pendekatan kekeluargaan, kalangan pelajar akan lebih mudah diarahkan ke jalan yang benar. Sehingga saku mereka bisa benar-benar bersih dari pil-pil tersebut. (*)

Tak Lulus Unas Bukan Segala

MELIHAT data kelulusan ujian nasional (Unas) SMP dan MTs, memang bisa membuat kita merinding. Di Banyuwangi saja, sebanyak 1.302 siswa dinyatakan tak lulus Unas. Sedangkan di Situbondo, jumlah siswa yang tidak lulus Unas mencapai angka ratusan.

Meski begitu, persentase siswa yang tidak lulus tersebut sebenarnya tidak terlalu besar. Di Banyuwangi, siswa tak lulus Unas tersebut hanya masuk pada kisaran angka 5,8 persen. Artinya, siswa yang lulus itu secara umum tidak sampai sepersepuluh jumlah siswa yang ada.

Yang paling penting, regulasi edukasi tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika siswa tidak lulus Unas, ternyata bukan berarti otomatis siswa yang bersangkutan itu tidak lulus sekolah. Karena kelulusan sekolah tidak hanya ditentukan oleh nilai Unas. Masih ada bermacam penilaian dan faktor yang digunakan untuk mementukan kelulusan sekolah.

Selain itu, siswa yang tidak lulus Unas masih punya kesempatan untuk mengikuti ujian ulang. Jadwal ujian ulang ini juga sudah ditetapkan. Mereka yang tidak lulus Unas tak perlu menunggu setahun lamanya untuk mengulang.

Karena jika tidak ada halangan, ujian ulang tersebut akan digelar mulai tanggal 17 hingga 20 Mei 2010 mendatang. Dengan begitu, setelah lulus ujian ulang, mereka nanti tetap punya banyak waktu dan leluasa mendaftar ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Karena itu, fenomena tidak lulus Unas sebenarnya memang bukan akhir dari segalanya. Ini hanya menunda meraih kelulusan untuk sementara, dengan syarat harus melewati ujian ulang terlebih dahulu.

Setelah mencermati fenomema tersebut, sudah sepantasnya jika kita tidak terlalu memberikan reaksi berlebihan kepada siswa yang kebetulan ’kurang beruntung’ dalam unas kali ini. Orang sekitar siswa, terutama keluarga dan kerabat terdekat siswa yang tak lulus unas itu disarankan untuk tetap memberikan dukungan moral.

Berikan dorongan semangat kepada mereka yang tidak lulus unas.

Masih ada kesempatan untuk memperbaiki Nilai Ujian Nasional (NUN) dalam ujian ulang. Jangan lupa untuk terus berusaha, belajar dan jangan lupa untuk berdoa agar sukses dalam ujian ulang. (*)

Fenomena Siswa Drop Out

MELIHAT pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di Banyuwangi, kita bisa berbangga. Pada hari pertama pelaksanaan ujian tersebut kemarin (4/5), ternyata tingkat kehadiran peserta sangat tinggi.

Siswa yang absen pada hari pertama tercatat hanya 82 orang. Jika dibandingkan dengan total peserta UASBN di seluruh penjuru Bumi Blambangan (25.794 orang), mereka yang absen ternyata hanya sekitar 0,31 persen.

Angka ini relatif kecil, tidak sampai menyentuh level satu persen. Bahkan, angka siswa yang absen itu juga tak sampai pada setengah persen sekalipun. Terlebih, dua orang siswa yang absen ternyata termasuk kategori berhalangan tetap. Dua siswa ternyata sudah meninggal dunia sebelum pelaksanaan UASBN.

Sedangkan yang berhalangan sementara yakni karena sakit, izin atau alpa, jumlahnya cukup mendominasi yakni 70 orang. Meski begitu, ini masih cukup menggembirakan karena mereka masih punya peluang untuk mengikuti UASBN susulan.

Memang, siswa yang absen dalam UASBN itu tak begitu jadi sorotan. Ini berbeda dengan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) untuk siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Unas SLTA dan SLTP sangat menentukan kelulusan. Sedangkan kelulusan siswa SD/MI tak sepenuhnya bergantung pada nilai UASBN. Masih banyak faktor lain yang jadi otoritas pihak sekolah masing-masing, dalam menentukan siswa lulus.

Karena itu, jika kita sekali lagi melihat kecilnya angka ketidakhadiran siswa peserta UASBN tahun ini, itu sudah cukup melegakan. Karena hal ini bisa jadi salah satu indikator, bahwa pentingnya pendidikan dasar itu sudah demikian disadari seluruh lapisan masyarakat di Bumi Blambangan.

Meski begitu, masih ada sedikit yang mengganjal dalam data absensi siswa peserta UASBN pada hari pertama kemarin. Data Dispendikpora menunjukkan bahwa ada sepuluh siswa absen ujian karena ternyata mereka sudah putus sekolah alias drop uot (DO).

Meski persentasenya sangat-sangat -dan sekali lagi- sangatlah kecil, tetapi fenomena siswa putus sekolah ini layak jadi kajian. Karena di zaman serba-online saat ini, ternyata masih ada segelintir anak bangsa yang DO di level pendidikan dasar. Padahal, pondasi kemajuan bangsa ini disokong oleh majunya dunia pendidikan, terutama level basic education. Inilah yang jadi pekerjaan rumah kita bersama. Dengan adanya kajian khusus yang melibatkan semua komponen, semoga persoalan anak putus sekolah ini bisa segera teratasi.(*)

Pengemis Modern

ADA hal yang patut disimak dalam kejadian pencurian telepon seluler di Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi. Bukan hanya karena pencurinya adalah oknum guru yang seharusnya digugu dan ditiru.

Oknum guru yang tinggal di Desa Lombok Wetan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso itu sudah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai abdi negara, ulah oknum yang mencuri barang milik orang lain itu terbilang sangat memalukan.

Sudah sangat tepat jika aparat Polsek Wongsorejo menangani kasus pencurian tersebut. Penyelesaian melalui proses hukum, adalah jalan keluar yang sangat pas. Itu sangat setimpal dengan tindakan pencurian yang dilakukan.

Tetapi kalau kita menelisik lebih dalam lagi, ada hal yang lebih membuat kita semua mengelus dada. Dalam menjalankan aksinya mencuri ponsel, oknum guru PNS tersebut ternyata bermodus menyaru sebagai pengumpul sumbangan untuk pembangunan masjid.

Kepada polisi, oknum guru PNS tersebut terang-terangan mengakui bahwa dirinya ternyata juga bekerja sambilan sebagai pencari sumbangan. Rupanya, dia hanya berdalih mengumpulkan dana sumbangan dari masyarakat untuk pembangunan masjid. Padahal, uang yang terkumpul itu digunakan untuk kepentingannya sendiri.

Artinya, mencari sumbangan itu hanyalah kedok alias jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri. Dia tergiur dengan uang yang banyak dari hasil kerja sampingan ’menipu’ warga, dengan dalih sumbangan untuk pembangunan masjid. Ironisnya, semua kerja sampingan ’menipu’ dan makan uang sumbangan masjid itu dilakukan tanpa sepengetahuan istrinya.

Oknum itu tidak hanya membohongi masyarakat dengan upayanya menggalang sumbangan fiktif. Dia juga menipu istri dan keluarganya, karena tanpa sepengetahuan mereka bekerja sampingan yang kurang terpuji.

Lebih ironis lagi, ternyata oknum itu merupakan PNS golongan III D dengan masa kerja yang sudah lumayan banyak. Bahkan, oknum tersebut sudah memasuki masa persiapan pensiun. Artinya, gaji yang diberikan pemerintah sudah terbilang lumayan. Seharusnya, dengan usia yang sudah ’matang’ dan penghasilan yang lumayan, sungguh tak pantas dia melakukan semua itu.

Meski begitu, semua pihak juga harus ikut mawas diri atas kejadian dan ulah kebangeten oknum PNS tersebut. Bahkan tak menutup kemungkinan, aksi penggalangan sumbangan fiktif semacam itu masih marak terjadi di Banyuwangi dan sekitarnya. Karena itu, tak ada salahnya pemerintah mulai menertibkan aksi pengumpulan sumbangan secara keliling yang marak terjadi. (*)

Memahami Kembali UU Pers

PERISTIWA demo, unjuk rasa atau aksi massa lainnya sudah bukan menjadi hal yang baru. Peristiwa semacam itu sudah terjadi di banyak daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di Banyuwangi, aksi massa semacam itu juga kerap terjadi. Isu yang dibawa juga berbagai macam. Mulai dari kasus besar yang menyangkut orang besar, hingga kasus kecil yang berdampak pada beberapa orang.

Seperti kasus demo yang terjadi di depan gerbang PT Kaliklatak, sebuah perkebunan di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi kemarin. Aksi demo ini sebenarnya tak jauh beda dengan aksi massa yang terjadi di daerah lain.

Ceritanya, warga memprotes kebijakan yang dilakukan pihak perkebunan. Gara-garanya, lapangan sepak bola di dalam area perkebunan itu diubah menjadi lahan produksi. Karena terjadi kebuntuan komunikasi, akhirnya warga menggelar aksi demo. Tak hanya berhenti sampai di situ, warga juga nekat memblokade jalan di depan pintu masuk perkebunan itu.

Banyak persoalan yang dilontarkan oleh warga. Tentu saja, pernyataan warga itu hampir seluruhnya menyudutkan pihak perkebunan. Mulai dari isu larangan warga membawa mobil masuk perkebunan, soal isu feodalisme, isu tentang kesewenang-wenangan, isu tentang larangan masuk bagi kendaraan bantuan beras untuk warga miskin (raskin), hingga isu soal status lahan Hak Guna Usaha (HGU) dan bukan lahan hak milik yang dikelola perkebunan itu.

Sementara itu, dalam menampilkan fakta tentang aksi massa tersebut, Redaksi sebenarnya ingin menyajikan berita yang berimbang. Idealnya, berita yang ditampilkan bisa muncul dengan covering both side (memuat secara berimbang dari kedua belah pihak). Dalam hal ini, berita idealnya harus berimbang dari kubu warga yang demo dan juga dari manajemen perusahaan perkebunan yang didemo.

Tetapi sungguh sayang seribu sayang. Fakta di lapangan sangat tidak memungkinkan bagi jurnalis untuk bisa menyajikan berita yang berimbang. Kalangan wartawan media cetak dan media elektronik sulit mendapatkan konfirmasi dari pihak perkebunan. Para satpam di gerbang PT Kaliklatak melarang para jurnalis untuk masuk dan meminta konfirmasi dari pihak perkebunan.

Dalam hal ini, profesionalisme jurnalis diuji. Di satu sisi, media dituntut untuk menyajikan berita yang berimbang. Tetapi di sisi lain, ada hambatan yang menghalangi para wartawan untuk mendapatkan informasi.

Andai saja semua pihak paham tentang Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tentu para satpam perkebunan itu akan berpikir seribu kali untuk menghalangi wartawan dalam mendapatkan informasi. Seperti pada pasal 18 UU Pers disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nah, masih berani menghalangi? Semoga saja hal ini tidak akan pernah terjadi lagi. (*)

Gunung Es Pengidap HIV-AIDS

MEMBACA berita tentang perkembangan jumlah penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), sungguh terasa miris. Dari tahun ke tahun, penderita penyakit yang belum ditemukan obatnya itu kian meningkat.

Seperti yang terjadi di Bumi Blambangan akhir-akhir ini. Setiap bulan, selalu ada saja peningkatan jumlah pengidap HIV-AIDS. Hingga akhir Februari 2010 lalu, tercatat ada 583 kasus HIV AIDS di Banyuwangi.

Dari hasil catatan pihak terkait, penularan virus ini memang masih didominasi oleh kegiatan seksual. Mayoritas pengidap HIV di Banyuwangi masih didominasi oleh pekerja seks, yakni sekitar 23 persen. Sedangkan kalangan pengguna narkoba melalui jarum suntik sebanyak 18 persen. Untuk kalangan pelanggan WTS sebanyak 16 persen. Sisanya adalah penularan dengan faktor lain-lain.

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Banyuwangi punya dua prediksi terkait peningkatan jumlah pengidap penyakit tersebut. Kemungkinan pertama, data peningkatan jumlah penderita HIV-AIDS itu memang benar-benar meningkat. Peluang ini memang sangat memungkinkan terjadi dalam kondisi kehidupan riil di masyarakat.

Tetapi, ada juga tengara kedua alias second opinion yang tak kalah masuk akal. Ada kemungkinan, bahwa sebenarnya penderita HIV-AIDS secara riil di masyarakat itu jauh lebih besar dari data yang tercatat di KPA Banyuwangi. Fenomena adanya peningkatan data jumlah penderita itu muncul, salah satunya diakibatkan oleh semakin banyak warga yang secara suka rela memeriksakan diri. Mereka dengan kesadaran tinggi datang untuk menjalani tes darah atau tes Voluntary Counseling and Testing (VCT).

Hal ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah kunjungan masyarakat di unit klinik VCT yang ada di Banyuwangi. Nah, kalau seandainya seluruh penduduk Banyuwangi menjalani tes VCT, akan ketahuan berapa sebenarnya warga yang sudah terinfeksi. Artinya, kondisi pengidap HIV-AIDS yang terlihat saat ini, ibaratnya puncak gunung es di atas samudera. Kondisi yang sebenarnya ibaratnya badan gunung es yang tak terlihat di dalam lautan. Karena itu, sudah selayaknya kita semua ikut peduli dan ikut berupaya melakukan pencegah penyebaran penyakit dimulai dari perilaku diri kita sendiri. (*)