Selasa, 23 Maret 2010

Predikat Tambahan Banyuwangi dan Situbondo

SITUBONDO dan Banyuwangi jadi tuan rumah Latihan Pemantapan Terpadu (Lattapdu) Marinir Wilayah Timur 2010. Bahkan, kegiatan latihan tempur tersebut sudah mulai memasuki tahap II sejak Jumat kemarin (20/3).

Agenda latihan terkini adalah berlatih renang di Selat Bali. Rencananya, Lattapdu tahap II ini berlangsung selama lima hari di pantai Bengkak, Kecamatan Wongsorejo. Mereka akan melalap beberapa materi latihan, termasuk renang siang dan renang malam. Ada juga materi renang penyelamatan dan sea survival.

Yang menarik, sejak berdirinya Korps Marinir pada tahun 1945, baru kali ini Korps Marinir menggelar latihan berskala besar. Latihan kali ini melibatkan banyak personel, semua persenjataan, dan memakan waktu yang cukup lama yakni selama 40 hari.

Peserta yang latihan dibagi menjadi empat gelombang. Setiap gelombang akan menjalani lima tahap latihan di lima lokasi yang berbeda. Pelaksanaannya adalah dengan sirkulasi atau perputaran, yaitu saat peserta gelombang I telah selesai melaksanakan latihan tahap pertama di sektor I, maka akan melanjutkan latihan tahap kedua di sektor II, dan begitu seterusnya. Setiap gelombang membutuhkan waktu 21 hari untuk menyelesaikan latihan.

Selain itu, Situbondo dan Banyuwangi juga termasuk lokasi penting bagi Korps Marinir. Setiap anggota Korps Marinir dari yang prajurit hingga jenderal, konon hampir dipastikan pernah ikut pendidikan atau latihan di daerah ini.

Selama ini, medan wilayah di sepanjang perbatasan Situbondo-Banyuwangi itu memang cukup unik sekaligus menantang. Kondisi alam di kawasan tersebut punya karakteristik yang khas, yang selama ini dinilai cocok untuk tempat berlatih dan menempa anggota Korps Marinir.

Faktor medan alam, kondisi laut, pegunungan, hutan, gunung, satwa dan faktor pendukung lain di kawasan ini sangat cocok untuk menempa kemampuan Marinir. Karena itu, kondisi seperti ini layak didukung dan dijaga kelestariannya. Selain itu, agenda tersebut juga bisa mengangkat nama daerah. Sehingga Situbondo tak hanya punya sebutan Kota Santri, Banyuwangi juga bukan sekadar Kota Gandrung. Kedua kabupaten bertetangga ini, sebenarnya layak juga disebut sebagai Kota Penggembleng Marinir. (*)

Jalur Independen, Mungkinkah?

SIAPA sangka, lowongan yang dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi untuk calon bupati dari jalur independen, ternyata sudah ada peminatnya.

Bakal cabup independen Pudjo Setijono dan cawabup Hj. Erna Padmi Andajaningrum, menjadi pasangan pertama yang menyerahkan daftar dukungan KPU Banyuwangi Senin (15/3). Mereka menyerahkan daftar dukungan dengan diantar pendukung dan puluhan tukang becak. Pudjo dan Erna langsung masuk ke ruang pendaftaran di kantor KPU Banyuwangi untuk melakukan registrasi dan menyerahkan dukungan.

Kehadiran pasangan independen itu cukup mengagetkan publik. Akhir-akhir ini, sosok Pudjo Setijono memang jarang muncul di media massa. Namun kiprahnya di Jawa Timur sudah cukup dikenal. Sebelumnya, Pudjo sudah malang melintang sebagai anggota DPRD Jawa Timur. Setelah tidak lagi menjadi anggota legislatif, rupanya dia bikin gebrakan dengan mencalonkan diri sebagai cabup independen di Banyuwangi.

Yang tak kalah greng adalah munculnya Erna sebagai cawabup independen mendapingi Pudjo. Munculnya istri mantan Bupati Samsul Hadi itu cukup membuat kaget publik. Sebelumnya, nama Erna memang sempat disebut-sebut akan maju sebagai cabup melalui jalur partai politik (parpol). Bahkan, muncul selentingan kabar bahwa Erna dilamar oleh parpol untuk maju sebagai cabup.

Ternyata, Erna justru memilih jalur independen. Salah satu pertimbangannya, jalur independen menurutnya lebih mudah ketimbang lewat parpol. Bahkan pasangan cabup Pudjo – Erna mengklaim sudah menyerahkan daftar dukungan rakyat Banyuwangi sebanyak 50 ribu lembar kartu tanda penduduk (KTP). Dukungan itu komplet berasal dari 24 kecamatan, dan 215 desa se-Banyuwangi. Hasil hitungan sementara, mereka sebenarnya hanya butuh sekitar 37 ribu bukti dukungan untuk resmi menjadi cabup independen.

Pudjo mengklaim bahwa pengumpulan dukungan warga itu dilakukan sejak awal tahun 2010. Dia juga optimistis kalau dukungan rakyat itu akan bertahan hingga pelaksanaan Pilkada 14 Juli 2010 mendatang.

Pasangan cabup jalur independen ini seolah muncul tiba-tiba. Tanpa gembar gembor sebelumnya, diam-diam ternyata mereka dengan mudah sudah bisa mengumpulkan 50 ribu KTP bukti dukungan. Padahal, pengumpulan dukungan warga ini dirasakan sebagai proses yang paling sulit dilakukan oleh para kandidat lain dari jalur independen.

Artinya, munculnya Pudjo-Erna secara tiba-tiba ini, sudah bisa dikatakan sebagai kuda hitam yang layak diperhitungkan dalam peta politik Pilkada Banyuwangi. Dan bukan mustahil, ada kejutan baru yang dilakukan oleh kandidat lain dari jalur independen. Kita tunggu saja. (*)

Teroris, Nyepi dan Obama

BANYAK gawe besar petugas kepolisian Banyuwangi di Pelabuhan Ketapang. Aparat harus meningkatkan kewaspadaan dan pengamanan di penyeberangan Jawa - Bali tersebut.

Harap dimaklumi, karena sebentar lagi Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama akan datang ke Indonesia. Malah, presiden negara adidaya tersebut juga dijadwalkan akan mengunjungi Bali.

Sebagai pintu masuk utama dari Jawa ke Bali, posisi pelabuhan penyeberangan Ketapang sangatlah strategis dari sudut pandang bidang keamanan.

Tidak salah jika Polres Banyuwangi menerapkan filter ketat di Ketapang. Polisi melakukan sweeping penumpang kendaraan yang akan masuk Bali. Siapa pun yang akan menyeberang ke Bali, mereka wajib melewati security door.

Filter ketat yang diterapkan polisi itu bertujuan untuk mencegah masuknya teroris ke Pulau Dewata. Selama ini, Bali memang sering jadi target teroris untuk membuat kekacauan. Apalagi, tamu negara sekelas Presiden Obama akan berkunjung ke Bali sebentar lagi.

Selain itu, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, sebentar lagi akan merakayan Hari Raya Nyepi. Pada hari itu, mereka tidak melakukan aktivitas selama 24 jam. Tidak memasak, tidak bepergian dan tidak bekerja. Selama 24 jam itu pula, pulau Bali sejenak istirahat. Pelabuhan penyeberangan menuju Bali juga ditutup.

Sebelum penutupan pelabuhan saat Nyepi, sangat tepat jika polisi memperketat pengamanan di pelabuhan. Karena kita semua tidak ingin, teroris beraksi ketika umat Hindu Bali sedang merayakan Nyepi. Terlebih, jangan sampai teroris menebar teror saat tamu negara, Presiden Obama berkunjung ke Bali.

Memang, pelabuhan ketapang bukan satu satunya pintu masuk ke Bali. Masih ada belasan pelabuhan tradisional yang tersebar di Bumi Blambangan ini. Memang, polisi sudah menyiagakan aparat di seluruh pelabuhan tradisional itu. Akan tetapi, semua pengamanan ketat di belasan pelabuhan tradisional itu tak akan banyak berarti tanpa bantuan masyarakat pesisir.

Karena itu, jika kita cinta negeri ini dan cinta damai, masyarakat pesisir juga perlu berperan aktif membantu pengamanan. Dengan pencegahan dini dari masyarakat terutama di kawasan pesisir, teroris akan sulit menemukan ruang gerak di Bumi Blambangan ini. (*)

Ayo Dukung Upaya Perlindungan Anak

KOMISI Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Banyuwangi sudah menegaskan, bahwa membawa anak untuk mengemis itu termasuk tindakan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Karena anak tersebut sengaja dieksploitasi untuk menarik simpati pengendara, agar mau memberikan uang receh.

Padahal, anak balita seharusnya membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. Hanya karena ingin memenuhi kebutuhan hidup, banyak orang tua yang rela mempekerjakan anak dan balita. Anak-anak yang seharusnya bersekolah, dan menikmati masa kecil dengan bermain, kini harus turun ke jalan untuk ikut meminta-minta di dekat lampu merah.

Secara alami, anak memang harus belajar mengenai seluk beluk kehidupan. Termasuk belajar menghadapi serta menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.. Tujuannya agar kelak mereka bisa menghadapi tantangan itu.

Tetapi dengan begitu, bukan berarti seorang anak yang harus mengantikan peran orang tua untuk mencari nafkah. Karena orang tua tetap merupakan pihak yang wajib dan harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.

Di sisi lain, lembaga seperti KPPA itu belum bisa bertindak lebih leluasa. KPPA masih belum menindak tegas kejadian eksploitasi anak. Ketika menyaksikan bayi yang diajak mengemis di lampu merah, KPPA pun hanya bisa menyampaikan kecaman.

Selama ini, kewenangan untuk penindakan masih di tangan aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Padahal, aparat kepolisian juga punya banyak tugas yang tak kalah pentingnya. Satpol PP juga hanya bisa menindak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda), misalnya melakukan tindakan dari sudut pandang penertiban penyakit masyarakat seperti gepeng dan orgil.

Memang, Banyuwangi hingga kini masih belum punya Perda yang khusus mengatur tentang perlindungan anak dan perempuan.

Padahal, perkara ini cukup penting dan menyangkut masa depan generasi penerus kita di masa mendatang. Semoga, kejadian ini bisa menggugah pihak berwenang untuk segera menyusun Perda tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. (*)

Dokter Gadungan Jangan Terulang

TERBONGKARNYA dokter gadungan di Desa Purwoharjo, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi cukup membuat kita semua miris. Betapa tidak, setelah sekian bulan membuka praktik dan melayani jasa pengobatan, ternyata ’sang dokter spesialis penyakit dalam ’ Nunung R., itu ternyata bukan dokter.

Kasus ini terkuak setelah masyarakat mengadu ke polisi. Begitu diperiksa, ternyata kecurigaan masyarakat itu terbukti. Dalam penangkapan itu, polisi mengamankan sejumlah peralatan medis yang digunakan untuk praktik. Peralatan yang disita antara lain stetoskop, alat tensi darah, injeksi, serta sejumlah obat-obatan.

Bukan hanya itu, predikat dokter ternyata juga sudah tertulis dalam kartu identitas Nunung. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan ternyata tertulis bahwa dia berprofesi sebagai dokter. Bahkan, polisi juga juga menemukan kartu identitas milik Nunung yang tertulis sebagai dokter spesialis penyakit dalam.

Nunung mengakui terus terang kepada polisi, kalau dirinya memang bukan dokter. Dia memang pernah menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Dia juga pernah bekerja di Puskesmas.

Selama membuka praktik sebagai ’dokter’ di rumah mertuanya, sudah banyak warga yang berobat di sana. Bahkan, Nunung sudah hafal identitas belasan ’pasien’ juga sekaligus ’korban’. Memang, tidak semua orang yang menggunakan jasa praktik dokter gadungan itu kian parah penyakitnya. Entah karena kebetulan atau faktor lain, ternyata ada juga sebagian warga yang sembuh setelah diobati Nunung.

Yang jelas, kejadian terbongkarnya praktik dokter gadungan tersebut harus membuat kita semua mawas diri. Banyak pelajaran yang bisa kita tarik dari kejadian tersebut. Yang pertama, kita jangan mudah percaya dengan penampilan seseorang. Apalagi fakta terbaru menyebutkan, bahwa mertua Nunung ternyata juga mengaku jadi korban. Mereka mengaku benar-benar tidak tahu, kalau sebenarnya menantunya itu ternyata bukan dokter yang asli.

Pelajaran berikutnya dari kasus ini adalah perlunya aparat pemerintah meningkatkan kewaspadaan dan lebih teliti. Sehingga, kasus identitas berupa KTP tidak bisa dipalsukan dengan mudah seperti itu. Selain itu, kasus ini justru terbongkar karena keberanian masyarakat melapor kepada polisi. Karena itu, organisasi profesi medis sudah selayaknya merapatkan barisan. Agar masyarakat tidak lagi tertipu dengan kasus serupa, perlu adanya pendataan tempat praktik dokter yang legal. Kalau perlu, hasil pendataan tersebut bisa diketahui oleh seluruh masyarakat. (*)

Kebingungan Majemuk Tragedi Curah Tatal

KEJADIAN matinya puluhan ternak di Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa, Situbondo cukup membuat bingung berbagai kalangan. Pihak yang berkompeten pun dibuat sibuk. Mereka berupaya mencari tahu penyebab kejadian tersebut.

Penelitian penyebab kematian puluhan ternak itu masih terus berlangsung. Laboratorium kesehatan hewan (keswan) beberapa kali datang ke Situbondo. Tak tanggung-tanggung, tiga laboratorium keswan sudah turun tangan. Laboratorium yang sedang bekerja keras meneliti kasus itu adalah Balai Besar Veteriner (BBVet) Jogjakarta; Laboratorium Keswan Malang; dan Laboratorium Keswan Provinsi Jawa Timur di Surabaya.

Pihak yang juga ‘repot’ atas tragedi ternak Curah Tatal adalah Dinas Peternakan (Disnak) Situbondo. Meski begitu, respons Disnak relatif biasa, terkait turunnya tiga laboratorium tersebut.

Disnak tetap optimistis, bahwa kematian puluhan ternak di Desa Curah Tatal itu bukanlah kejadian luar biasa (KLB). Alasannya, setiap musim hujan, grafik kematian ternak memang selalu meningkat. Salah satu penyebabnya adalah faktor pakan yang tidak memiliki keseimbangan mineral. Selain banyak rumput muda, resapan air dalam rumput juga terlalu padat.

Sementara itu, apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus itu masih belum terungkap. Dugaan keracunan yang sebelumnya sempat mengemuka, ternyata negatif. Karena itu, penelitian difokuskan pada hispatologi ternak. Hingga saat ini, penelitian yang dilakukan oleh tiga laboratorium keswan itu masih belum selesai.

Sembari menunggu keluarnya hasil penelitian tersebut, situasi yang terjadi di Curah Tatal masih tetap membingungkan bagi semua pihak. Tiga laboratorium masih ’bingung’ meneliti kasus tersebut. Disnak juga masih ’bingung’ menenangkan kalangan peternak dan menyatakan peristiwa itu bukan kejadian luar biasa.

Yang paling bingung dalam masalah ini, sebenarnya adalah kalangan peternak. Mereka tak hanya bingung melihat apa yang sedang terjadi saat ini. Mereka juga bingung karena asetnya yang paling berharga telah mati. Mereka tidak hanya merasakan kejadian itu dari sudut pandang keilmuan dunia peternakan. Peternak juga merasakan dampak psikis dan dampak ekonomi. Karena itu di mata peternak, masalah tidak selesai ketika hasil pemeriksaan lab sudah muncul. Peternak juga butuh ’sentuhan lain’ penyembuhan tragedi ini. Mereka butuh suntikan moral untuk kesembuhan psikis dan suntikan modal untuk kesembuhan ekonominya. (*)

Benang Kusut Terminal Peti Kemas

SUDAH dua kali terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Wangi diresmikan untuk melayani ekspor. Yang pertama sudah dilakukan pada era Bupati Samsul Hadi yang menggandeng West Port Klang, Malaysia dan PT Timur Nusantara pada 11 Juni tahun 2003 lalu. Ketika itu, kapal MV Segara Makmur berangkat dari Banyuwangi menuju Jakarta dan West Port Klang, Malaysia.

Peresmian yang kedua dilakukan Wakil Bupati Yusuf Nuris pada 26 Februari 2007 lalu. Ketika itu, KM mentari Sejahtera berangkat dari Tanjung Wangi menuju ke Singapore.

Kali ini, terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi akan diresmikan lagi untuk ketiga kalinya pada tanggal 25 Februari 2010 mendatang. Meski masih ada waktu dua hari lagi, tetapi tidak terlihat persiapan peresmian terminal peti kemas jilid III tersebut hingga kemarin.

Para pejabat di Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi (Disperindagkop) Banyuwangi sudah mengakui, bahwa peresmian terminal peti kemas jilid III tersebut hampir pasti dibatalkan. Alasannya, karena tidak ada kesiapan dari pihak pelayaran dan tidak ada eksporter yang akan mengirimkan barangnya lewat pelabuhan tersebut.

Padahal, pelabuhan Tanjung Wangi sebenarnya sangat potensial berkembang menjadi terminal peti kemas yang besar dan maju. Ini tidak lepas dari banyaknya perusahaan berorientasi ekspor di Banyuwangi. Untuk di Banyuwangi saja, jumlah eksporter yang ada sudah mencapai 35 perusahaan. Belum lagi perusahaan produsen barang ekspor lainnya di Situbondo, Bondowoso dan Jember.

Tentu saja, ini merupakan pasar yang potensial untuk meramaikan lalu lintas terminal peti kemas Tanjung Wangi. Selain itu, kondisi geografis pelabuhan Tanjung Wangi sangat mendukung. Dermaga pelabuhan tersebut dinyatakan bebas dari pendangkalan akibat sedimentasi. Belum lagi bermacam keunggulan lainnya yang dimiliki pelabuhan tersebut.

Tetapi faktanya, terminal peti kemas di pelabuhan tersebut tetap sulit berkembang. Jangankan untuk besar dan maju, untuk beroperasi mengekspor peti kemas secara kontinyu saja, sepertinya masih susah diwujudkan.

Memang, untuk menciptakan sebuah terminal sejatinya butuh hubungan mutualisme antara operator dan eksporter. Kalangan operator kapal butuh pengguna jasa yakni eksporter. Sebaliknya, eksporter butuh kepastian dan rutinitas jadwal keberangkatan kapal. Akhirnya, wacana peti kemas itu seolah menjadi benang kusut, yang mirip tebak-tebakan siapa yang lebih dulu ada, antara telur dengan ayam.

Kapal tak akan berangkat, kalau tidak ada muatan. Sebaliknya, eksporter tak mau spekulasi dengan melakukan pengiriman barang, jika jadwal keberangkatan kapal tidak rutin dengan rute yang jelas pula. Inilah, jika tidak ada yang saling berkorban, cita-cita untuk membesarkan pelabuhan Tanjung Wangi itu seperti sulit terwujud. Adakah yang punya jalan tengahnya? (*)

Jangan Sepelekan Chikungunya

BELASAN warga Lingkungan Mulyoasri, Kelurahan Penganjuran, Kecamatan Banyuwangi, sudah terserang penyakit chikungunya. Warga setempat memang sempat heran dengan merebaknya wabah penyakit tersebut.

Karena menurut pengakuan mereka, ternyata di lokasi tersebut tidak ada genangan air. Mereka berasumsi, tak ada genangan air itu membuat nyamuk pembawa virus chikungunya sulit berkembang biak. Padahal, spesies nyamuk Aides Aegepty penebar alphavirus itu lebih banyak membaik di air yang jernih, seperti di bak mandi. Nyamuk tersebut sama halnya dengan nyamuk Aides Aegepty yang menyebarkan demam berdarah (DB).

Meski masih ‘’bersaudara’’ dengan DB, penyakit chikungunya ini tidak mematikan. Chikungunya ditandai dengan demam mendadak yang mencapai 39 derajat Celcius, nyeri pada persendian, terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (bintik kemerahan) pada kulit, serta sakit kepala.

Penderita akan merasa tubuhnya mendadak demam diikuti dengan linu di persendian. Timbul juga rasa pegal, ngilu serta rasa sakit pada tulang. Kadang-kadang timbul rasa mual sampai muntah.

Virus ini dipindahkan dari satu penderita ke penderita lain melalui nyamuk. Virus itu akan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Virus tersebut menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis.

Dengan istirahat cukup, obat demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tujuh hari. Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk chikungunya. Cukup minum obat penurun panas dan penghilang rasa sakit. Yang penting cukup istirahat, minum dan makanan bergizi. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan sendirinya. Walau demikian, rasa nyeri masih akan tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan.

Nah, setelah mengetahui kalau penyakit ini ternyata tidak mematikan, bukan berarti kita boleh menyepelekan. Waspada dan selalu berupaya mencegah penyebaran penyakit ini, tetap diperlukan.

Karena dari tinjauan sosial dan ekonomi, ternyata chikungunya sangat mengganggu kegiatan kita sehari-hari. Aktivitas dan produktivitas kerja akan menurun, karena rasa nyeri yang masih dirasakan selama beberapa pekan. Karena itu, langkah termurah dan termudah adalah ciptakan lingkungan yang sehat. Salah satu caranya adalah rutin menguras bak mandi, sehingga memutus siklus hidup nyamuk tersebut. Jika sudah demikian, kita akan bebas dari nyamuk pembawa virus chikungunya. (*)

Menyibak Isi Saku Pelajar

Peredaran pil koplo di kalangan pelajar Banyuwangi benar-benar memprihatinkan. Banyak pelajar tingkat SMP dan SMA yang kecanduan obat daftar G tersebut.

Ini terungkap setelah polisi menangkap empat pengedar pil koplo. Mereka tertangkap tangan saat menyimpan puluhan butir pil trihexyphenidyl. Yang bikin miris, para tersangka itu mengaku mengedarkan pil tersebut kepada kalangan pelajar. Mereka mengaku tidak mendapatkan hasil apa pun dari penjualan obat daftar G tersebut. Sebab, pil itu ternyata dijual lagi sesuai harga beli. Mereka tidak mengambil keuntungan dari kalangan pelajar.

Ini benar-benar modus yang membingungkan. Seperti halnya para pengedar narkoba, para pengedar pil koplo itu berani menempuh pekerjaan dengan risiko tinggi. Lengah sedikit saja, mereka bisa ditangkap polisi dan masuk sel penjara.

Yang dilakukan pengedar pil koplo ini justru tak seperti pengedar narkotika pada umumnya. Mereka mengedarkan pil koplo, tetapi tidak menarik keuntungan dari penjualan obat-obatan tersebut.

Ini benar-benar motif yang serius dan patut untuk dicermati. Secara logika, sangat mustahil para pengedar itu menjual pil koplo tanpa mengambil keuntungan. Ini mengingat betapa besarnya risiko yang akan mereka hadapi saat mengedarkan pil koplo.

Tetapi di sisi lainnya, ternyata terungkap kalau mereka lebih banyak membidik kalangan pelajar sebagai konsumennya. Artinya, para pengedar ini layak dicurigai bahwa mereka punya tujuan merusak generasi penerus bangsa.

Hanya yang masih jadi misteri, belum jelas apa motif mereka menjejali mulut dan pikiran kalangan pelajar dengan racun pil koplo itu. Kejadian seperti ini sebenarnya marak juga terjadi pada acara konser-konser musik. Di luar acara konser itu, diduga ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang sengaja membagikan pil koplo untuk kalangan pelajar.

Selentingan ini marak terdengar, tetapi belum pernah mengemuka. Biarkan, misteri ini dipecahkan oleh pihak berwenang. Tetapi sebagai orang tua, tak ada salahnya kita melakukan pencegahan dari dalam. Ada baiknya, sesekali kita lakukan inspeksi mendadak dan mengurai isi saku anak kita yang masih pelajar. Semoga mereka bisa bebas dari obat yang meracuni generasi.(*)

Mencegah Pelajar Berbuat Mesum

PRAKTIK mesum yang dilakukan kalangan pelajar, sudah memasuki tahap mengkhawatirkan. Seperti yang terjadi di kawasan perbukitan Jalan Tembus, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, Situbondo.

Meski sudah sering diobrak petugas , ternyata aksi tak patut itu masih terus berlangsung. Pada perkembangan terakhir, aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Situbondo kembali memergoki tiga pasangan yang sedang mojok di kawasan tersebut. Tanpa bisa berkutik, ketiga pasangan itu langsung digiring ke kantor Satpol PP. Mereka menjalani pendataan dan pembinaan.

Dari tiga pasangan yang digaruk itu, di antaranya berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa. Bahkan, seorang siswi masih lengkap mengenakan seragam Pramuka. Itu artinya, sang siswi tak sempat pulang sebelum beranjak ke perbukitan jalan tembus untuk berpacaran.

Ironisnya, dari beberapa pasangan yang berstatus pelajar itu, juga ada seorang siswi kelas satu sebuah SMP. Tragisnya lagi, pasangan si siswi SMP itu ternyata sudah berstatus suami.

Selama di Kantor Satpol PP Situbondo, tiga pasangan itu menjalani pendataan dan pembinaan. Mereka juga diminta menuliskan pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Baru setelah itu, mereka dipulangkan.

Operasi penertiban pasangan mesum di Jalan Tembus itu, sebenarnya tak lepas dari pengaduan warga sekitar. Mereka mengeluhkan maraknya orang berpacaran di lokasi tersebut. Bahkan, pasangan muda mudi itu kadang bertindak kebablasan.

Memang, faktor masyarakat termasuk benteng yang tangguh untuk mencegah kalangan muda, terutama para pelajar untuk berbuat mesum. Kepedulian masyarakat dengan mengadukan kejadian di sekitarnya kepada aparat, memang jadi jurus yang jitu untuk mencegah tindak tak terpuji itu.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya dalam upaya pencegahan kalangan berbuat mesum, adalah faktor lingkungan. Meski sudah sering dirazia, ternyata kawasan jalan tembus itu masih sering digunakan untuk mojok oleh kalangan pelajar. Salah satu alasannya, karena suasana lokasi perbukitan itu sangat mendukung untuk berbuat tak senonoh. Lokasinya sepi, berbukit, penuh semak dan banyak tempat yang tersembunyi.

Memang, semua tindakan itu tak lepas dari moral masing-masing individu pelajar yang bersangkutan. Tetapi, faktor lokasi yang demikian, juga ikut jadi faktor pendukung tindakan mesum. Karena itu, ada baiknya jika kita belajar dari daerah tetangga. Seperti yang pernah terjadi di kawasan GOR Tawang Alun Banyuwangi beberapa tahun lalu. Setelah lokasi itu dirombak, tempat yang dulu kerap jadi lokasi mojok itu, kini menjadi ramai untuk berolahraga dan menjadi lebih terang pada malam hari. Jika ada pembenahan kawasan, paling tidak hal itu akan mengurangi tindak tak terpuji pasangan muda-mudi. (*)

Berguru pada Alam dan Sejarah

SETIAP datang musim hujan, bencana hampir dipastikan selalu menyertai. Ini bisa kita lihat dari catatan sejarah yang terjadi di Banyuwangi dan Situbondo.

Musibah yang datang di saat musim hujan itu, bisa dibilang bencana klasik. Bahkan, boleh juga dikatakan sebagai (maaf) ’musibah rutin’. Karena hampir setiap tahun, bencana berupa banjir itu nyaris selalu terjadi saat musim hujan.

Lihat saja yang terjadi di Situbondo. Banjir selalu melanda beberapa kawasan tertentu. Lokasi yang terkena luapan banjir, selalu tak jauh dari tempat-tempat yang itu-itu saja. Demikian juga seperti yang terjadi di Banyuwangi.

Kabar paling akhir, banjir nyaris menenggelamkan puluhan rumah warga Desa Labanasem, Kecamatan Kabat, Banyuwangi Minggu sore kemarin (31/1). Beberapa rumah warga tergenang akibat aliran sungai tidak mampu menampung debit air hujan.

Dampak banjir yang paling parah terjadi di tiga dusun. Yakni, Dusun Krajan Timur dan Krajan Barat, serta Dusun Labansukap. Di tiga dusun tersebut, beberapa rumah tergenang air setinggi satu meter.

Data sementara, rumah yang tergenang mencapai sekitar 17 unit. Walau tergenang, namun beberapa perabot rumah tangga berhasil diselamatkan. Ada juga beberapa perabotan seperti kulkas dan kursi yang tidak berhasil diselamatkan. Kerugian akibat banjir kali ini diperkirakan mencapai puluhan juta rupiah.

Kalau kita menoleh lagi ke belakang, sebenarnya tiga dusun tersebut memang menjadi langganan banjir tahunan. Bahkan pada tahun 2009 lalu, banjir sempat terjadi hingga dua kali dalam tempo setahun. Untuk banjir kali ini, merupakan yang pertama pada tahun 2010.

Dari hasil kajian pemerintah desa setempat, banjir tersebut terjadi karena gorong-gorong di Dusun Krajan Timur terlalu kecil. Ketika turun hujan lebat, air tidak bisa tertampung lewat gorong-gorong itu. Akhirnya, air pun meluap ke beberapa rumah warga.

Bahkan, pemerintah desa menyatakan bahwa satu-satunya solusi mencegah terjadinya banjir adalah mengganti gorong-gorong jembatan itu dengan plat dekker.

Sebenarnya, hal ini cukup aneh dan mengejutkan. Jika kita sudah lama tahu solusi mencegah bencana itu, mengapa hal itu tidak dilakukan? Sungguh terlalu. Sebenarnya semua komponen masyarakat harus tanggap dan tak harus menunggu. Solusi sudah ada, tetapi tak kunjung dilaksanakan.

Dengan pola pikir yang sederhana, sejatinya kita harus belajar dari alam, secara naluriah untuk menghindari bencana. Kita juga perlu belajar dari sejarah catatan silam masa lalu, agar bencana banjir tak lagi menghampiri kita. Paling tidak, kita bisa mencegah musibah serupa agar tak terjadi lagi di masa mendatang. (*)

Tahun Harapan Bagi Guru

Kalangan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Banyuwangi, akan lebih banyak menerima harapan di tahun 2010. Yang pertama, mereka mengharap agar tuntutan untuk mendapatkan uang lauk pauk, seperti mereka perjuangkan dalam demo tahun lalu, bisa terwujud tahun ini.

Kali ini, kalangan guru juga kembali mendapatkan harapan baru. Pemerintah pusat dikabarkan akan mengucurkan dana APBN untuk tambahan penghasilan untuk guru PNS sebesar Rp 250 ribu per bulan.

Tambahan penghasilan dari dana APBN itu, memang tidak diterima oleh semua guru PNS. Yang bisa mendapatkan tambahan penghasilan hanya guru PNS itu adalah guru yang belum mengikuti sertifikasi, atau guru belum lulus sertifikasi.

Sejatinya, dana tersebut sudah idealnya dicairkan sejak bulan Januari 2009. Namun hingga saat ini, semua guru di Banyuwangi belum ada yang menerima tambahan penghasilan tersebut.

Lantaran tidak bisa cair pada tahun 2009, banyak kalangan mulai menyoal dana tersebut. Tetapi pada perkembangan terkini, seperti informasi yang disampaikan dari Dispendikpora kepada PGRI Banyuwangi, dana tersebut akan cair sekitar bulan Februari 2010.

Tetapi sekali lagi, asa kalangan guru PNS untuk menerima dana tambahan penghasilan pada bulan Februari 2010 mendatang, itu tampaknya hanya tinggal harapan. Sebab anggaran Rp 23 miliar yang bersumber dari pemerintah pusat itu, ternyata belum masuk dalam RAPBD 2010. Dengan tidak masuknya anggaran tersebut dalam RAPBD 2010, secara otomatis anggaran itu tidak bisa cair.

Menurut keterangan pihak eksekutif kepada DPRD, anggaran itu tidak masukkan dalam RAPBD 2010, karena dananya belum masuk ke kas daerah. Karena dananya belum ada, maka APBD 2010 pun tidak bisa menampung anggaran tersebut.

Terlebih, ternyata ada fakta baru yang menyebutkan, bahwa Keputusan Presiden (Keppres) terkait dana tersebut, ternyata baru ditandatangani pada tanggal 23 Desember 2009 lalu. Sehingga kecil kemungkinannya bahwa dana tersebut bisa ditransfer ke kas daerah dalam waktu cepat.

Meski begitu, kalangan guru PNS di Banyuwangi masih punya satu harapan lagi. Mereka masih punya kesempatan mendapatkan dana tambahan penghasilan tersebut melalui mekanisme Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2010 mendatang.

Akankah mekanisme PAK APBD 2010 itu nantinya bisa digarap tepat waktu. Mengingat, pembahasan RABD 2010 kali ini saja sudah molor dari jadwal. Lagi-lagi, kalangan guru PNS di Bumi Blambangan ini hanya bisa mengharap. Semoga saja, tahun ini tidak hanya menjadi tahun penuh harapan bagi mereka. Karena yang mereka butuhkan adalah kenyataan, dan bukan sekadar harapan. (*)