Kamis, 21 Januari 2010

Berhitung Sebelum Banding

SUDAH banyak perkara korupsi yang ditangani Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Mulai dari kasus dengan kerugian kecil, hingga perkara korupsi dengan kerugian negara besar dan melibatkan banyak orang.

Sebut saja kasus korupsi Jalan Lingkar Ketapang (JLK), kasus korupsi pengadaan Kapal LCT Sri Tanjung serta kasus dok apung. Ada lagi kasus korupsi bantuan hukum (bankum) APBD, kasus pembebasan lahan lapangan terbang (lapter) serta beberapa kasus korupsi lainnya.

PN Banyuwangi juga sudah menjatuhkan vonis yang setimpal bagi para terdakwa kasus korupsi tersebut. Belajar dari sejarah kasus-kasus tersebut, mayoritas terdakwa kasus korupsi itu umumnya selalu melawan. Sebagian besar terdakwa biasanya langsung menyatakan banding, ketika majelis hakim PN Banyuwangi menjatuhkan vonis.

Tetapi langkah perlawanan melalui jalur banding ke Pengadilan Tinggi (PT), ternyata tidak dilakukan oleh Mahmud Sidik, warga Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng. Terpidana kasus korupsi dana bantuan Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) itu seolah tak mengikuti ‘tradisi’ banding para terdakwa kasus korupsi.

Melalui kuasa hukumnya, dia menyatakan menerima vonis empat tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim PN Banyuwangi Senin kemarin (18/1). Bahkan, Mahmud menyatakan menolak membayar hukuman denda sebesar Rp 200 juta dengan alasan tak punya uang sebanyak itu. Dia justru memilih mengganti denda itu dengan hukuman kurungan selama satu bulan. Meski begitu, dia tetap mau membayar hukuman uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 3 juta.

Secara logika, menerima vonis yang dijatuhkan PN Banyuwangi memang dianggap lebih ‘menguntungkan’. Karena hukuman empat tahun penjara itu, sejatinya merupakan hukuman minimal untuk kasus korupsi. Karena itu, walau menempuh upaya hukum atau banding di Pengadilan Tinggi, terdakwa pesimistis akan mendapat keringanan hukuman.

Penjelasan yang lebih sederhana, dari pada berpeluang hukumannya ditambah, lebih baik menerima vonis hakim PN Banyuwangi. Apalagi, banyak catatan yang menyebutkan, bahwa terdakwa korupsi justru mendapat hukuman lebih berat di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Yang tak kalah pentingnya adalah tinjauan kasus ini dari sudut pandang spiritual. Sebagai manusia, kita memang selalu tak luput dari kesalahan. Tindak pidana korupsi itu terjadi, tak lepas dari kekhilafan pelakunya. Nah, yang paling penting adalah bagaimana pelaku korupsi itu mau bertobat. Mau serta ikhlas menerima dan menjalani hukuman, serta menjadikan hukuman sebagai cambuk, itu sudah termasuk sebuah langkah maju. Terlebih, jika semua itu dilakukan dengan tujuan agar kesalahan serupa tak terulang di masa mendatang. (*)

Pentingnya Asuransi Bagi TKI

Ada dua macam potret Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Yang pertama adalah potret cemerlang suksesnya meraup uang berlimpah dari hasil bekerja di negeri asing. Kesuksesan mereka biasanya cukup jadi gunjingan warga sekampungnya.
Yang berikutnya adalah potret buram para TKI. Nah, penderitaan mereka banyak diberitakan. Yang jelas, kabar tentang penderitaan TKI seolah tak ada habisnya.
Di Banyuwangi saja, sudah tak terhitung berapa banyak TKI yang jadi korban. Ada yang pulang tinggal nama, ada juga yang pulang membawa penderitaan seumur hidup.

Kabar terkini, dua TKI asal Banyuwangi meninggal secara tragis di luar negeri. Kedua pahlawan devisa itu tiba di rumah masing-masing dalam waktu yang hampir bersamaan Selasa malam kemarin (11/1).

TKI bernasib malang itu adalah Samidin alias Aris, 41, warga Dusun Krajan, Desa Buluagung, Kecamatan Siliragung. Satu TKI lainnya adalah Mujiyati, 36, warga Kampung Pulau Merah, Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran.

Samidin meninggal dunia saat bekerja menebang kayu berukuran besar di sekitar hutan Bulu Uku Lepar, Gambang Pahang, Johor, Malaysia. Samidin meninggal karena tertimpa pohon yang ditebangnya sendiri pada 7 Januari 2009 lalu.

Beberapa rekan kerja langsung membawa jenazah korban ke rumah sakit terdekat. Setelah diurus administrasinya, TKI asal Banyuwangi itu dipulangkan ke Indonesia. Jenazah korban tiba di rumah duka di Dusun Krajan, Desa Buluagung, sekitar pukul 19.00 Selasa malam (11/1).

Sementara itu, jenazah Mujiyati tiba di rumahnya di Kampung Pulau Merah, Desa Sumberagung, Pesanggaran, sekitar pukul 06.00. Mujiyati meninggal dunia karena jatuh dari lantai 21 apartemen milik juragannya di Hongkong pada 28 Desember 2009 lalu. Untuk keperluan identifikasi, pengurusan surat, dan administrasi, jenazah korban sempat tertahan di sebuah rumah sakit hingga beberapa hari. Pihak keluarga baru mendengar kabar duka tersebut pada 1 Januari 2010.

Kejadian ini sangat memukul keluarga yang ditinggalkan. Mereka akan kehilangan tulang punggung ekonomi keluarga. Sudah bukan rahasia lagi, posisi TKI memang lemah di segala aspek. Selain keselamatannya tidak terjamin, kondisi masa tua mereka juga tidak jelas. Sesuai aturan ketenagakerjaan, setiap TKI meninggal akan mendapat pesangon sesuai syarat ketentuan berlaku. TKI juga wajib mengikuti asuransi kecelakaan kerja setelah perjanjian kontrak kerja.

Memang, kita semua tidak mengharap terjadinya kecelakaan. Tetapi masalah asuransi ini harus diperhatikan oleh TKI serta pihak yang terkait. Dengan perlindungan asuransi, paling tidak akan memberi sedikit rasa aman bagi keluarga TKI yang ditinggalkan. (*)

Selasa, 12 Januari 2010

Harga Mahal Pendewasaan Demokrasi

AJANG pemilihan kepala daerah (Pilkada) Banyuwangi dan Situbondo bakal digelar tahun ini. Gairah menyambut Pilkada sudah disambut oleh beberapa partai politik (parpol). Beberapa parpol besar sudah mulai dan sedang menjaring cabup masing-masing. Malah, ada juga partai yang sudah menyiapkan nama cabup.

Gegap gempita Pilkada kali ini memang baru terasa di level elite politik. Kalangan parpol jelas sangat berkepentingan untuk mengegolkan cabup masing-masing sebagai kepala daerah.

Sementara itu, kalangan non elite politik sebenarnya juga bisa ikut meramaikan bursa pemilihan bupati tahun ini. Mereka bisa saja maju lewat jalur independen alias jalur perseorangan. Tetapi, syarat untuk maju sebagai calon bupati (cabup) independen tampaknya sangat berat.

Seseorang bisa maju sebagai cabup independen, jika sudah mengantongi dukungan tiga persen dari jumlah penduduk di kabupaten tersebut.

Khusus untuk Kabupaten Banyuwangi, data resmi jumlah penduduk adalah 1.610.090 jiwa. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi melansir, syarat dukungan cabup independen yang harus dipenuhi mencapai 48.327 orang pendukung. Angka dukungan itu merupakan tiga persen dari jumlah penduduk Banyuwangi 1.610.090 jiwa.

Syarat itu semakin berat, karena syarat tiga persen dukungan itu harus berasal dari warga yang sudah memiliki hak pilih. Dukungan tiga persen dari jumlah penduduk juga harus dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP). Dukungan juga harus dikuatkan dengan materai Rp 6.000 yang diteken pasangan cabup dan cawabup. Namun, materai tidak harus setiap pendukung. Cukup dipasang di setiap dukungan di tingkat desa.

Sebelum mendaftarkan diri, cabup independen harus menyerahkan bukti dukungan itu kepada KPU. Setelah diterima, KPU akan melakukan verifikasi kepada setiap KTP pendukung. Jika ditemukan dukungan ganda dengan calon lain, KPU akan langsung mencoretnya sebagai cabup.

Dari sudut pandang cabup independen, syarat tersebut sungguh merupakan harga yang sangat mahal. Mengumpulkan 48 ribu lebih KTP berikut tanda tangan warga, bukanlah hal yang murah dan mudah. Belum lagi dengan materai Rp 6.000 untuk dukungan di setiap desa.

Sebaliknya, dari sudut pandang KPU selaku penyelenggara Pilkada, adanya cabup independen juga tak kalah mahalnya. Sebab, KPU wajib melakukan verifikasi terhadap pendukung cabup independen itu. KPU harus mengecek satu per satu KTP warga pendukung cabup tersebut. KPU pun harus mengeluarkan biaya untuk proses verifikasi tersebut.

Artinya, jalur independen tak hanya menguras tenaga dan biaya dari cabup yang bersangkutan. Anggaran dan tenaga KPU sebagai penyelenggara Pilkada juga akan ikut terkuras. Karena itu, sudah selayaknya kita memberi apresiasi terhadap adanya cabup jalur independen. Mereka sudah bekerja keras demi mendewasakan proses demokrasi di daerah ini. Sebagai masyarakat, sudah sepantasnya kita juga ikut mendewasakan proses demokrasi, dengan cara berpartisipasi menyukseskan Pilkada. Sehingga pesta demokrasi itu berjalan tertib, aman dan damai. (*)

Deadline, Blacklist dan Sorotan Publik

Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banyuwangi memberi deadline kepada para rekanan yang menggarap proyek sebelas kantor kecamatan di Banyuwangi. Rekanan harus merampungkan proyek belasan kantor kecamatan akhir tahun 2009.

Kalau melihat fakta di lapangan, ada beberapa rekanan yang hampir dipastikan tak bisa memenuhi deadline tersebut. Masih ada beberapa kantor kecamatan yang belum tuntas hingga kemarin (30/12). Proyek itu harus rampung pada 31 Desember 2009. Kalau pun pelaksana mengerahkan seluruh pekerja untuk lembur, tampaknya masih terlalu sulit untuk mengejar deadline tersebut.

Seperti yang tampak di lokasi proyek pembangunan kantor Camat Bangorejo dan kantor Camat Tegaldlimo. Masih banyak bagian gedung berlantai dua itu yang belum selesai. Meski begitu, ada juga beberapa proyek kantor kecamatan yang sudah tuntas seratus persen. Misalnya, proyek pembangunan kantor Camat Banyuwangi yang telah selesai tepat pada waktunya. Bahkan, pelaksana proyek menyatakan bahwa kantor itu sudah siap untuk ditempati.

Mereka yang menggarap proyek tepat waktu, dengan kualitas bagus, memang layak diapresiasi. Demikian sebaliknya, mereka yang menggarap proyek tidak tepat waktu, idealnya juga perlu diberi punishment.

Selama ini, pemkab sudah sering bertindak tegas dengan memasukkan kontraktor yang pekerjaannya molor dalam daftar hitam (blacklist). Tetapi, blacklist kalau diartikan secara harafiah, maknanya tetaplah hanya sebuah daftar. Selama ini, daftar hitam itu tidak akan banyak berdampak pada rekanan yang bersangkutan.

Karena selama ini, pemerintah jarang sekali mau mengumumkan daftar hitam tersebut kepada publik. Beranikah pemerintah membeber rekanan yang masuk blacklist? Sudahkah pemerintah bertindak tegas? Beranikah pemerintah memulai era keterbukaan?

Karena dengan diumumkan kepada publik, masyarakat akan tahu para kontraktor yang kinerjanya kurang bagus. Dengan begitu, masyarakat juga akan ikut mengawasi proyek-proyek di masa mendatang. Jika mereka melihat ada rekanan nakal yang dapat ‘garapan’ lagi tahun depan, masyarakat tentu akan bereaksi.

Reaksi masyarakat itu biasanya muncul berupa sederet pertanyaan. Bukankah rekanan itu sudah masuk blacklist tahun lalu? Mengapa tahun ini bisa dapat proyek lagi? Lantas apa gunanya blacklist? Karena itu, jangan sampai ada pertanyaan seperti itu muncul lagi di masyarakat di masa mendatang. Semoga. (*)

Lagi-Lagi Nestapa TKI

PARA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih saja berselimut nestapa. Yang terbaru adalah duka TKW bernama Dewi Lestari, 27, warga Dusun Sidorejo, Deso Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi.

Dewi meninggal dunia dalam perjalanan pulang ke kampung halamannya Selasa sore (22/12). Dia mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit (RS) di Pontianak, Kalimantan Barat.

Sementara itu, terdapat 2 juta TKW asal Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pekerjaan rendahan lain di Negeri Jiran. Mereka disalurkan secara resmi, belum terhitung yang tidak resmi. Pernah ramai diberitakan di media, bahwa

Sekitar 150 TKW pernah ditampung di pusat penampungan karena sengketa dengan majikan mereka. Kasus-kasus yang menimpa TKI ini belum terhitung yang terjadi di negara lain. Belum lagi kasus dugaan penyiksaan dan kasus asusila lainnya juga kerap menimpa TKW.

Menyaksikan mereka yang harus mengadu nasib ke negeri orang, tetapi kemudian harus menderita, ini sungguh mengharukan. Tetapi, berbagai kisah pilu yang dialami TKI di luar negeri, ternyata tidak menyurutkan jumlah TKI. Setiap tahun, jumlah TKI tak menjadi berkurang. Justru sebaliknya, jumlah TKI justru semakin meningkat setiap tahun.

Salah satu penyebabnya adalah karena persoalan minimnya lapangan kerja yang ada di dalam negeri. Dengan gaji lebih besar, seorang TKI merasa jaminan hidup yang diperolehnya lebih baik dibandingkan dengan kehidupannya di Indonesia.
Kesulitan lapangan pekerjaan memang menjadi salah satu sumber dari hengkangnya mereka dari Indonesia. Untuk tahun 2009, angka pengangguran masih saja di atas 10 juta orang. Belum termasuk mereka yang miskin dan hidup di bawah standar.

Pemerintah boleh dibilang kurang berhasil membuka pintu pekerjaan di dalam negeri. Akibatnya, tawaran bekerja di luar negeri jadi iming-iming menggiurkan. Yang cukup membuat miris, banyak juga kasus calon TKI yang tertipu oleh pihak pengerah tenaga kerja yang tak bertanggung jawab. Akibatnya, banyak TKI yang akhirnya menjadi korban. Bahkan, banyak kasus TKI yang mengalami luka fisik. Mereka juga mengalami luka batin dan tekanan psikologis yang tidak mudah disembuhkan. Belum lagi derita batin keluarga yang menyaksikan penderitaan mereka.

Karena itu, pemerintah harus melakukan sesuatu. Pemerintah harus membenahi sistem perekrutan TKI. Pemerintah harus selektif dalam mengirim TKI ke luar negeri. Upaya selektif ini bisa dilakukan sejak di level kabupaten, seperti lebih memberdayakan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans). Jika perlu, Disnsosnakertrans juga jadi filter yang ikut menggaransi bahwa TKI yang akan dikirim itu benar-benar tenaga yang terampil, sehat, kuat, dan teruji. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi kasus TKI yang teraniaya karena posisinya terlalu lemah. (*)

Pemanasan ‘Global’ Politik Banyuwangi

DAMPAK pemanasan global tidak hanya diwaspadai oleh para aktivis lingkungan. Mereka begitu peduli, karena dampak global warming itu akan dirasakan seluruh umat manusia di bumi ini.

Terlepas masalah klimatologi tersebut, istilah pemanasan global tampaknya cukup pas untuk menggambarkan situasi perkembangan politik terkini di Bumi Blambangan. Apalagi, pemanasan global politik ini, dampaknya juga akan bisa dirasakan oleh seluruh warga Banyuwangi.

Suhu politik di Banyuwangi terbilang mulai memanas. Ini tak lepas dari agenda tahunan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan berlangsung beberapa bulan lagi. Beberapa partai politik (parpol) sedang sibuk menjaring figur calon bupati (cabup) masing-masing. Bahkan, sudah ada parpol yang telah menetapkan cabupnya.

Agenda pemilihan bupati ini saja sudah cukup berpotensi besar memanaskan suhu politik di wilayah ini. Pada tingkat penjaringan cabup di parpol saja, sudah bisa membuat suasana politik suatu daerah menjadi naik. Belum lagi nanti jika sudah benar-benar dihelat pemilihan bupati oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi. Peluang gesekan di masyarakat memang bisa saja terjadi sejak awal pilkada, pada pelaksanaan pilkada, hingga pascapilkada.

Agenda pilkada ini saja sudah cukup membuat semua komponen di Banyuwangi perlu waspada. Berbagai tingkat dan jenis kerawanan sosial, akan berpeluang terjadi. Tetapi semua itu akan bisa terkendali, jika semua komponen bisa menahan diri. Pada sisi lain, dalam waktu yang hampir bersamaan, beberapa parpol besar juga sedang bersiap melakukan suksesi kepemimpinan.

Seperti yang akan dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar (PG). Pada 23 Januari 2010 mendatang, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Banyuwangi akan menggelar Konferensi Cabang (Konferbcab). Salah satu agendanya adalah memilih Ketua DPC PDIP Banyuwangi untuk periode lima tahun mendatang. Hampir bersamaan waktunya, Dewan Pimpinan Daerah (PDP) PG juga akan menggelar Musyawarah Daerah (Musda) dengan agenda yang sama.

Bermacam gawe parpol itu juga berpotensi menimbulkan kerawanan politik. Tetapi sekali lagi, semua kerawanan itu bisa diredam jika semua komponen yang terlibat di dalamnya bisa menahan diri. Berpolitiklah dengan cantik, tetapi jangan sekali-sekali terpancing untuk bertindak anarkis. Dengan begitu, semoga suhu politik Banyuwangi bisa tetap stabil. (*)


Memasuki Masa Rawan Bencana

MEMASUKI musim hujan, bisa berarti memasuki lagi masa-masa rawan bencana bagi warga Situbondo. Bahkan, bencana alam sudah melanda Kecamatan Arjasa.

Hujan lebat disertai angin putting beliung sudah membuat porak poranda dua desa di Kecamatan Arjasa (15/12). Akibatnya, banyak rumah warga di Desa Jatisari dan Desa Curah Tatal, yang berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Cermee, Bondowoso itu yang rusak. Beberapa tempat ibadah runtuh, puluhan kandang ternak ambruk, pohon-pohon juga bertumbangan.

Memang, tidak ada korban jiwa dalam bencana alam tersebut. Hanya dua warga Desa Jatisari mengalami cedera cukup parah, akibat tertimpa reruntuhan rumahnya.

Sebelum angin putting beliung menyerang, cuaca di wilayah tersebut memang kurang bersahabat. Mendung tebal yang diikuti hujan lebat mengguyur cukup lama. Warga yang tak mengira bakal ada puting beliung. Mereka banyak berlindung di rumah masing-masing saat hujan deras. Tak dinyana, beberapa saat selang hujan turun, dari arah timur mendadak terdengar suara seperti menderu-deru.

Sebagian warga langsung keluar untuk mencari tahu asal suara. Betapa terkejutnya, setelah dilihat ada gumpalan angin besar berputar-putar dari arah perbukitan. Tahu begitu, warga pun saling berteriak-teriak ada angin. Dalam sekejap, warga langsung berhamburan keluar rumah. Mereka berlarian mencari tempat-tempat yang aman.

Musibah bencana angin puting beliung itu juga membuat sebagian warga trauma. Mereka khawatir jika suatu saat puting beliung datang lagi. Karena itu, warga banyak yang masih takut untuk tidur di rumahnya. Mereka berencana untuk mendirikan tenda darurat yang dari pohon besar di sekitar rumahnya.

Berkaca dari kejadian itu, sebenarnya ada hal lain yang layak diacungi jempol. Warga setempat sudah cukup tanggap terhadap bencana. Begitu tahu ada angin kencang, mereka langsung berteriak memberi seluruh warga agar keluar rumah. Dengan upaya dan reaksi tanggap bencana tersebut, korban jiwa akibat bencana alam bisa diminimalisasi.

Langkah tanggap bencana ini perlu ditingkatkan. Terlebih, daerah Situbondo termasuk kawasan rawan bencana banjir. Memasuki musim hujan ini, reaksi masyarakat yang tanggap bencana sangat perlu diperluas. Memang harus ada upaya pencerahan kepada seluruh lapisan masyarakat Situbondo, tentang tanggap bencana banjir. Paling tidak, masyarakat harus tahu apa yang akan mereka lakukan, jika nanti terjadi bencana. Meski kita semua berharap agar tidak terjadi bencana, tetapi langkah antisipasi dengan menciptakan masyarakat yang tanggap bencana mutlak tetap diperlukan. (*)

Mengubah yang Liar Menjadi Jinak

AKSI balap liar marak lagi di Bumi Blambangan. Kabar terkini, polisi membubarkan balap liar di jalan baru Pakisrowo, Kelurahan Pakis, Kecamatan Banyuwangi (10/12).

Ada sedikitnya 12 unit sepeda motor yang terpantau oleh polisi. Belasan motor itu diduga ikut terlibat dalam balap liar tersebut. Bahkan, banyak juga warga yang jadi penonton balap liar sore itu.

Karena balap motor itu berlangsung di jalan umum, polisi akhirnya bertindak tegas. Petugas langsung memblokade jalan tersebut. Empat motor patroli menutup ujung selatan jalan itu. Sedangkan dua motor patroli lainnya, memblokade ujung jalan sebelah utara.

Melihat kedatangan polisi, belasan pembalap liar itu langsung semburat melarikan diri ke arah utara. Saking kalutnya, seorang pembalap liar nekat menerobos barikade motor patroli. Tabrakan hebat pun tak bisa terelakkan. Akibatnya, satu motor patroli mengalami rusak berat. Satu unit motor patroli lainnya mengalami rusak ringan.

Dari razia tersebut, polisi berhasil mengamankan delapan unit motor para pembalap liar. Sedangkan empat motor lainnya berhasil melarikan diri. Dari delapan motor yang diamankan, empat motor boleh diambil kembali oleh pemiliknya. Sedangkan empat motor lainnya, masih diamankan di Mapolres karena tidak dilengkapi surat-surat alias motor bodong.

Sementara itu, para pembalap liar itu hanya dikenakan sanksi pembinaan. Setelah mendengarkan ‘ceramah’, mereka pun diizinkan pulang ke rumah masing-masing. Mengenai nasib dua motor patroli yang rusak, kini sudah berada di bengkel. Para pelaku balap liar itu siap untuk menanggung biaya perbaikan motor milik negara tersebut.

Memang, menangani balap liar terutama di kalangan pemuda dan pelajar itu tidak boleh sembarangan. Langkah awal dengan melakukan pembinaan memang cukup diacungi jempol. Sebenarnya, kejadian perusakan fasilitas negara (berupa motor patroli polisi) itu bisa dipidanakan. Tetapi kali ini, langkah awal berupa pembinaan memang cukup diperlukan.

Memang, menangani balap liar sebenarnya bisa dilakukan sama halnya menangani kuda liar. Karena itu, tugas kita bersama, terutama aparat yang terkait, untuk menjadikan balap ‘liar’ itu menjadi lebih ‘jinak’.

Upaya penjinakan ini bisa dilakukan dengan penegakan hukum, yakni melakukan razia terhadap balap motor dengan lebih giat. Langkah berikutnya adalah mengalihkan balap motor menjadi minat dan bakat. Yang tadinya balap liar, dialihkan dengan membuka lebih banyak even balap legal. Bentuknya bisa berupa arena road race, drag race hingga motocross. Dan tak kalah penting, pemerintah juga perlu memberikan wadah berupa sarana sirkuit, serta mempermudah perizinan kegiatan balap legal. (*)