Rabu, 29 Juli 2009

Awas, El Niño Mau Lewat

SPANYOL kini semakin disegani dunia. Bukan hanya prestasi sepak bolanya yang lagi moncer. Tetapi kehadiran ‘bocah’ Spanyol yang bisa mempengaruhi kehidupan banyak orang di negeri ini. Bahkan bukan mustahil, dampaknya juga akan dirasakan banyak petani di Banyuwangi dan Situbondo.

Dua ‘bocah’ Spanyol itu adalah El Niño (baca: El Ninyo) dan La Niña (La Ninya). Sebutan tersebut adalah kondisi abnormal iklim, di mana suhu permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador serta Peru lebih tinggi dari rata-rata normal. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari utara ke selatan, antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru, yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun. Yang menarik, kondisi ini dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari setahun.

Nama El Niño diambil dari bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki”. Karena arus ini biasanya muncul selama musim Natal (kelahiran). Sedangkan La Niña berarti "gadis kecil". Karena fluktuasi dari tekanan udara dan pola angin di selatan Pasifik yang menyertai El Niño, fenomena ini dikenal dengan nama El Niño Southern Oscillation (ENSO).

Selain memberikan kerugian, El Niño juga memberikan keuntungan pada Indonesia. Contohnya, ikan tuna di Pasifik bergerak ke timur. Namun, ikan yang berada di Samudera Hindia bergerak masuk ke selatan Indonesia. Hal itu karena perairan di timur samudera ini lebih dingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan Jawa jadi lebih hangat. Hal ini membuat Indonesia mendapat banyak ikan tuna.

Selain itu, El Niño ditandai dengan lebih panjangnya musim kemarau dari biasanya. Fenomena global ini juga yang menimbulkan dampak kekeringan.

Bila El Nino melanda Banyuwangi, kemungkinan besar fenomena ini tidak akan memberikan efek terlalu buruk. Sebab, sumber air di Bumi Blambangan dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.

Meski begitu, tidak ada salahnya jika petani dan seluruh warga di Banyuwangi mulai mengambil sikap preventif. Salah satunya, dengan melakukan penghematan penggunaan air. Selain itu, sumber air dan lingkungan sekitarnya juga harus dirawat.

Apalagi, pasokan air bersih untuk warga Kota Gandrung ini, sebagian besar dipasok oleh PDAM. Jika saja terjadi gangguan terhadap sumber air yang dikelola PDAM, dampaknya akan dirasakan ribuan pelanggan. Karena itu, tidak ada salahnya semua komponen masyarakat untuk ikut menjaga keseimbangan alam di sekitar sumber air. Jangan menebang pohon seenaknya. Sebaliknya, jika perlu kita justru harus memperbanyak jumlah pohon di buffer zone (kawasan penyangga). Dengan begitu, biarkan saja El Niño numpang lewat begitu saja selama lima hingga tujuh bulan, tanpa harus meninggalkan problem kekeringan. Semoga. (*)

Dasawarsa, Proses Menuju Kedewasaan

TIDAK terasa. Sudah sepuluh tahun koran Radar Banyuwangi menyapa pembaca di Banyuwangi dan Situbondo. Sejak tanggal 26 Juli 1999, edisi pertama koran ini mulai beredar setiap hari.

Ibarat perjalanan hidup manusia, usia sepuluh tahun bisa dikatakan muda. Jika disamakan dengan usia anak, mungkin akan sama seperti siswa kelas lima sekolah dasar.

Meski begitu, bukan berarti koran ini tetap menjadi anak-anak. Selalu terlena dan asyik dengan permainan. Setelah hari ini, koran ini akan terus berjalan menuju usianya yang menginjak belasan tahun. Pada perjalanan selanjutnya ini, merupakan masa-masa perkembangan menuju kedewasaan.

Memang, Radar Banyuwangi sedikit banyak telah ikut meramaikan dan berperan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Banyuwangi dan Situbondo. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran koran ini telah ikut mempengaruhi opini publik dua kabupaten di sisi timur Pulau Jawa ini.

Itu mungkin salah satu dampak serta prestasi yang cukup membanggakan. Apalagi, jika opini publik yang tercipta itu dalam koridor pembangunan secara positif secara fisik, mental dan spiritual.

Tetapi pada sisi lain, harus kami akui secara gentle bahwa koran ini masih memiliki banyak kekurangan. Kami juga optimistis akan mampu menambal sedikit demi sedikit segala kekurangan tersebut. Itu harus dilakukan dengan kerja keras dan diiringi dengan jalinan kerja sama yang kompak untuk membangun koran ini.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah respons masyarakat Bumi Blambangan dan Kota Santri Situbondo. Seluruh kerja keras kami dalam membangun koran ini akan sia-sia, tanpa dukungan masyarakat. Bagaimana koran kami bisa tetap survive tanpa dukungan ribuan pembaca setia Radar Banyuwangi.

Para pembaca-lah yang punya peran besar dalam menyokong Radar Banyuwangi menjadi koran yang lebih dewasa. Tanpa peran pembaca, kami bukanlah apa-apa.

Tanpa pembaca, tidak akan ada pemasang iklan yang datang. Padahal dari mereka semua itulah, seluruh kegiatan operasional dalam membangun koran ini masih memungkinkan bisa terus berlangsung. Tanpa pembaca pula, tidak mungkin Radar Banyuwangi bisa membenahi diri.

Sebagus apa pun berita yang disajikan, akan percuma jika tidak dibaca. Sebagus apa pun tampilan koran ini, akan percuma tanpa pembaca. Karena itu, dalam proses menuju kedewasaan ini, sekali lagi, kami para awak redaksi ini mengucapkan banyak terima kasih pada pembaca. Thanks a lot ! (*)

Daya Tarik Plengkung dan Kontribusi Daerah

PANTAI Plengkung atau yang populer disebut G-Land memang cukup eksotik. Kondisi alamnya masih alami dan ombaknya termasuk salah satu yang tertinggi di dunia.

Tidak mengherankan, jika pantai yang berada di dalam hutan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) itu digandrungi wisatawan asing. Terutama, para penggila surfing (selancar) dari seluruh belahan bumi. Pantai yang masuk wilayah Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi itu memang surganya surfer (peselancar) kelas dunia.

Teror bom yang terjadi di Jakarta, terbukti tidak mengusik ketenangan G-Land. Wisatawan asing tetap berkunjung ke pantai tersebut. Padahal, untuk menuju pantai tersebut, turis mancanegara itu harus melalui perjalanan yang cukup melelahkan.

Ada tiga jalur untuk menuju ke tempat ini. Yang pertama adalah jalur lewat laut dari Kuta, Bali langsung menuju pantai Plengkung. Jalur kedua adalah perjalanan laut selama 25 menit dari pantai Gragajan di Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi menuju pantai Plengkung. Yang terakhir adalah jalur darat sepanjangt 40 kilometer dari Kecamatan Tegaldlimo menuju pantai Plengkung. Namun, perjalanan darat ini butuh waktu empat jam melalui jalan yang rusak dan tidak layak.

Karena Plengkung masuk kawasan Taman Nasional, siapa saja dilarang mendirikan bangunan permanen demi menjaga ekosistem. Turis asing yang menginap di sana, bisa bermalam di empat hotel yang berupa camp. Hotel tersebut adalah Bobby’s Surf Camp, PT Wana Wisata Camp, G-Land Surf Camp, dan Tiger Surf Camp.

Para pelancong asing itu ramai datang setiap musim ombak tinggi yang terjadi antara April hingga November. Mereka datang silih berganti hampir setiap hari akhir-akhir ini. Meski ramai didatangi turis asing, pesona Plengkung ternyata tidak banyak memberikan pemasukan untuk daerah.

Pengelola Taman Nasional Alas Purwo hanya mengais pendapatan melalui retribusi (karcis masuk) pengunjung. Tentu saja, nominalnya tidak seberapa besar. Apalagi, jika turis masuk melalui jalan laut, mereka tidak bisa terpantau di loket karcis TNAP. Sementara itu, izin pengelolaan wisata di Pantai Plengkung tersebut, ternyata dikeluarkan langsung oleh Kementerian Kehutanan RI.

Sementara itu, belum jelas apa saja bentuk kontribusi pengelolaan wisata di Plengkung bagi daerah Banyuwangi. Sebab selama ini, Pemkab belum pernah merilis pada publik, berapa sebenarnya kontribusi pengelolaan wisata Plengkung untuk daerah ini. Apakah bentuknya berupa retribusi restoran, retribusi hotel, retribusi pengelolaan air dan lain sebagainya. Belum jelas pula, berapa besar dampak ekonomi yang sudah dirasakan langsung masyarakat Bumi Blambangan, dengan ramainya turis di Plengkung. Karena faktanya, masih banyak warga sekitar hutan tersebut yang kondisi ekonominya kurang mapan. Masih banyak jalan yang rusak berat di wilayah tersebut.

Kalau memang seandainya kontribusinya pada masyarakat dan daerah sangat minim, akan sangat naif jika pemkab merasa bangga dengan melonjaknya data kunjungan turis di Plengkung. Karena membangun bidang pariwisata itu tidak sekadar bertujuan untuk menaikkan data grafis kunjungan wisatawan. Tujuan inti membangun wisata daerah itu, tentu saja untuk kesejahteraan rakyat daerah itu sendiri. Ini yang patut kita renungkan bersama. Sudahkah semua upaya untuk mencapai tujuan itu dilakukan? (*)

Motif Beda, Metode Serupa

MASIH lekat dalam ingatan kita, kasus pembunuhan di kebun tebu Dusun Resomulyo, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi. Korbannya I Putu Eggiyah, 16, warga Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.

Wajah pelajar asal Bali itu rusak dan dibakar. Sebelum dihabisi, korban diperdaya dengan cara diajak minum-minuman keras (miras). Setelah mabuk, korban dipukul dengan benda keras hingga meninggal. Selanjutnya, korban diseret ke kebun tebu lalu dibakar dengan cara disiram bensin lebih dulu. Setelah sekian lama, akhirnya polisi berhasil menguak identitas korban. Tak lama kemudian, para tersangka pembunuhnya juga berhasil diungkap.

Pelakunya ternyata dua orang. Mereka adalah Dedy Yanuar alias Kebo Hitam, 19, dan Wahyu, 18.

Sekitar sebulan kemudian, kejadian serupa juga terjadi di kebun tebu Desa Pakistaji, Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Seorang pemuda ditemukan tewas mengenaskan dengan sekujur tubuh terbakar saat ditemukan di kebun tebu tersebut.

Sehari setelah ditemukan, polisi berhasil mengungkap identitas mayat tersebut (16/7). Korban adalah Subandi, 20, warga Dusun Meras, Desa Rogojampi, Kecamatan Rogojampi.

Tidak hanya berhasil mengungkap identitas korban, polisi juga berhasil mengungkap motif terbunuhnya Subandi. Ada bukti kuat bahwa meninggalnya Subandi itu karena dibunuh dengan cara dibakar.

Polisi juga sudah berhasil mendeteksi ciri-ciri pelaku. Saat kejadian, ada beberapa saksi yang melihat ada orang keluar dari kebun tebu dengan wajah terbakar. Kemungkinan besar, wajah pelaku itu terbakar setelah kena percikan api saat membakar korban.

Aksi pembunuhan itu diduga berlatar belakang asmara. Korban dan pelaku diduga terlibat cinta segi tiga dengan seorang gadis tetangga korban. Perkembangan terkini, pelaku pembunuhan itu sudah tertangkap kemarin.

Kalau kita kaji lebih dalam, memang tidak ada kaitan langsung antara kasus pembunuhan I Putu Eggiyah di Genteng, dengan kasus pembunuhan Subandi di Kabat. Motif kedua kasus pembunuhan ini berbeda. Eggy dibunuh karena pelaku ingin menguasai harta benda dan motor korban. Sedangkan Subandi dibunuh karena motif asmara.

Tetapi ada kesamaan metode dalam dua kasus tersebut. Korban sama-sama dihabisi dengan cara dibakar. Ini dilakukan pelaku, untuk menghilangkan identitas korban. Kesamaan lainnya adalah lokasi eksekusi pembunuhan yakni di tengah kebun tebu.

Belum jelas, apakah pelaku pembunuhan Subandi itu terinspirasi dengan kasus sebelumya di Kecamatan Genteng. Yang pasti, kejadian ini patut jadi renungan kita semua. Sebab, kedua kejadian ini sama-sama terjadi di tengah kebun tebu yang sepi. Mungkin, sangat perlu kita kaji kembali perlunya penataan kebun tebu.

Bagaimana caranya, supaya kondisi di dalam kebun tebu bisa lebih mudah dipantau masyarakat. Kalau memang diperlukan, kenapa tidak kita tingkatkan lagi pengamanan swakarsa oleh masyarakat? Karena dengan pengawasan masyarakat, seluruh lokasi sepi akan lebih mudah dipantau situasinya. Sekali lagi, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat para pelakunya. Kejahatan juga bisa terjadi karena memang ada kesempatan untuk itu. (*)

Minggu, 12 Juli 2009

Tampilan Lucu Yang Menyusahkan

MULAI hari ini, seluruh siswa baru di Bumi Blambangan mengikuti rangkaian kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS). Kegiatan MOS ini sudah mengalami banyak kemajuan dari tahun ke tahun. Acara tersebut lebih banyak diisi pembekalan materi yang bermanfaat.

Tetapi, masih ada saja sekolah yang menggunakan metode lama dalam pelaksanaan MOS. Memang, unsur kekerasan dan perpeloncoan nyaris sudah tidak lagi ditemui di sekolah-sekolah. Hukuman fisik dalam MOS sudah jarang ada.

Tetapi, bentuk perpeloncoan model lain masih tetap ada. Tahun sebelumnya, masih ada siswa baru yang diwajibkan menggunakan topi kerucut dari kertas. Mereka juga wajib mengenakan rok dan gelang dari bahan tali rafia. Ada juga yang mengenakan kalung dari bawang merah dan kalung rangkaian permen.

Mereka juga wajib mengenakan papan nama dan tas plastik besar warna merah. Peserta MOS juga mengenakan kaos kaki hitam dan putih untuk masing-masing kaki. Belum lagi yang mengekana bermacam pita untuk penghias rambut. Ada juga yang wajib membawa tas dari bahan kardus. Ada yang memakai tas karung goni atau karung tepung. Belum lagi bermacam permintaan aneh lainnya.

Dengan penampilan aneh seperti itu, peserta MOS akan menjadi perhatian masyarakat. Apalagi, mereka harus berjalan kaki dalam radius satu kilometer dari sekolah. Mungkin, orang yang melihat akan tertawa dengan penampilan mereka.

Tetapi, siswa baru itu akan menjerit dalam hati. Demikian pula dengan para orang tua mereka. Sebab, orang tua harus mengeluarkan uang ekstra demi membeli aneka perkakas kostum aneh acara MOS tersebut. Karena perlu diketahui, tidak semua wali murid berada dalam kondisi ekonomi yang mapan. Masih banyak warga yang berada dalam kondisi serba terbatas. Akan terasa menyakitkan, jika uang yang mereka kumpulkan dengan kerja keras itu, terpaksa digunakan untuk sesuatu yang sia-sia. Usai MOS, kostum nyeleneh itu sudah tak berguna. Ini benar-benar ironis.

Karena itu, seruan Dinas Pendidikan Olahraga, Pemuda dan Olahraga (Dispendikpora) untuk melarang bermacam perpeloncoan dalam MOS, harus mendapat apresiasi seluruh warga. Seluruh komponen masyarakat harus ikut memberi support pelarangan segala bentuk perpeloncoan dalam dunia pendidikan. Konsekuensinya, Dispendikpora juga harus tegas dalam merespons dukungan masyarakat ini. Jangan sampai, larangan perpeloncoan menjadi lips service semata. Semoga. (*)

Kartu Indikator Layanan Publik

JUMLAH penduduk Banyuwangi diperkirakan sudah mencapai 1,6 juta jiwa lebih saat ini. Namun tidak semua warga itu memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Banyuwangi, jumlah warga yang tidak memiliki KTP sebanyak 489.230 orang. Hampir setengah juta warga ini tak punya KTP, karena blangko yang digunakan untuk mencetak kartu tersebut sudah habis.

Data Dispendukcapil menunjukkan, jumlah warga yang wajib punya KTP di Banyuwangi sebanyak 1.419.523 orang. Saat ini, warga yang memiliki KTP tercatat sebanyak 921.293 orang. Dengan demikian, warga yang tidak memiliki KTP sebanyak 498.230 orang.

Kondisi ini terjadi karena blangko KTP habis. Sedangkan pengadaan blangko yang baru masih dalam proses. Tender pengadaan blangko tersebut masih belum rampung.

Tahun ini, pemkab sebenarnya sudah berusaha melakukan pengadaan 1,25 juta lembar blangko KTP. Namun, proses lelang tender proyek pengadaan blangko KTP itu masih belum selesai. Diperkirakan, proses tender akan selesai tanggal 15 Juli 2009 mendatang.

Sementara itu, permintaan warga yang mengajukan untuk mendapatkan KTP terus berlangsung setiap hari. Karena blangko KTP sudah habis, akhirnya Dispendukcapil terpaksa melakukan pinjaman 122.400 lembar blangko KTP kepada pihak ketiga. Semua blangko pinjaman itu sudah didistribusikan di seluruh kecamatan.

Meski begitu, blangko pinjaman tersebut tetap tak mampu menutup besarnya permintaan pembuatan KTP saat ini. Di satu kecamatan saja, permintaan pembuatan KTP bisa mencapai 250 buah per hari.

Sehingga yang terjadi di lapangan, petugas terpaksa memprioritaskan pembuatan KTP untuk warga yang punya keperluan mendesak. Banyaknya warga yang tak punya KTP ini memang cukup meresahkan. Terlebih, fungsi KTP saat ini tidak hanya menjadi kartu identitas semata. KTP juga dapat digunakan untuk mengikuti pemilihan presiden (pilpres).

Lebih jauh dari semua itu, lancar atau tidaknya pengajuan KTP, sebenarnya bisa menjadi salah satu indikator layanan publik di daerah ini. Jika pengurusan KTP sangat bagus, lancar dan tidak bermasalah, berarti layanan publik di daerah itu bisa dibilang cukup bagus.

Yang dialami warga Banyuwangi saat ini, layanan KTP cukup lama. Kalau ditarik ke belakang, ini karena blangko KTP habis. Jika diurut lebih dalam lagi, blangko habis karena proses pengadaan blangko tahun belum jalan. Proses tender saja baru rampung pertengahan Juli 2009. Artinya, setelah tujuh bulan berjalan, baru masuk proses tender. Padahal, APBD 2009 sudah disahkan awal tahun ini.

Melihat fakta kurang bagusnya layanan publik seperti ini, adalah kurang bijak jika mencari pihak mana yang disalahkan. Karena dengan menyalahkan dan mencari kambing hitam, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Masyarakat pun sudah paham dan mengerti betul tentang hal itu. Karena itu, masyarakat tentu tak akan mengulangi lagi, memilih pengelola pemerintahan daerah yang buruk kinerjanya dalam layanan publik di masa mendatang. (*)

Merah Karena Plat Merah

Salut untuk Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Banyuwangi. Sejak awal bulan ini, Aparat penegak Perda itu menggelar razia kendaraan dinas (plat merah).

Sasarannya adalah kendaraan plat merah yang melintas di jalan protokol Kota Gandrung pada jam dinas. Petugas juga merazia kendaraan plat merah di pasar dan pusat perbelanjaan pada jam kerja.

Hasilnya, ada beberapa kendaraan yang terjaring. Hampir semuanya adalah sepeda motor alias kendaraan roda dua. Kasus terbanyak adalah kendaraan dinas yang dipakai orang lain. Biasanya, pengguna kendaraan dinas yang terjaring razia itu adalah keluarga pegawai yang diberi tanggung jawab motor plat merah itu.

Misalnya, motor dinas kepala desa yang terjaring di pusat perbelanjaan. Motor itu digunakan kerabat kepala desa untuk berbelanja. Ada juga motor dinas yang digunakan staf kantor desa di pusat perbelanjaan saat jam dinas.

Singkatnya, beberapa kendaraan dinas itu digunakan bukan untuk keperluan dinas. Ada yang dipakai untuk shopping, membeli pulsa hingga keperluan pribadi lainnya. Ada pula pengendara motor plat merah yang tidak membawa STNK saat terjaring petugas di jalan.

Memang, penggunaan kendaraan dinas masih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi. Penertiban dan pembinaan yang dilakukan Satpol PP itu memang memberikan banyak pelajaran. Langkah ini akan memberikan efek jera pada pegawai yang menggunakan aset negara untuk kepentingan pribadi.

Paling tidak, seluruh pegawai yang diberi tanggung jawab kendaraan dinas itu akan lebih hati-hati memakai aset milik negara tersebut. Sebab jika menggunakan sembarangan untuk keperluan pribadi, mereka akan malu besar jika sampai kena razia. Wajah atau telinga mereka akan merah, jika sampai terjaring razia kendaraan plat merah.

Perubahan perilaku pegawai menjadi lebih disiplin, memang tidak lepas dari inisiatif petugas dalam melakukan razia kendaraan plat merah. Sekali lagi, acungan jempol untuk Satpol PP yang telah mulai berani melangkah maju. Langkah mereka harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat. Bentuk dukungan itu bisa dilakukan dengan memberikan informasi kepada petugas, jika warga melihat kendaraan plat merah digunakan untuk kepentingan pribadi. Termasuk memberikan informasi tentang mobil plat merah yang digunakan untuk kepentingan pribadi ke luar kota. Jika perlu, berikan sanksi yang tegas untuk pejabat yang ketahuan menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi ke luar kota. Dengan begini, razia serta penertiban kendaraan plat merah itu akan memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. (*)

Rabu, 01 Juli 2009

Warning Satwa untuk Keseimbangan Alam

MASYARAKAT Situbondo tersentak dengan serangan monyet liar. Kera berukuran besar itu tinggal di perbukitan Pengkepeng, yang bersebelahan dengan permukiman perumahan Resettlement dan Tuna Karya di Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji.

Monyet kelaparan itu semakin sering turun ke lereng gunung mendekati perumahan warga. Satwa itu tidak sekadar berkeliaran biasa. Tetapi, dia selalu mencari mangsa. Hingga kemarin, sedikitnya sudah ada enam warga yang terluka diserang monyet liar tersebut.

Ada seorang anak yang diserang saat bermain layang-layang. Ada juga seorang ibu rumah tangga yang kena gigit kakinya, saat sedang berdiam di dalam rumah. Dua balita juga digigit dan kena cakar wajahnya saat mandi.

Selain menyerang warga, hewan ternak dan piaraan warga juga kerap menjadi mangsa. Sudah ada beberapa kambing warga yang mati dianiaya monyet itu. Bahkan, monyet piaraan warga juga mengalami patah di kaki, serta luka di punggung karena bentrok dengan monyet kelaparan itu.

Monyet yang diduga tinggal dalam gua Karim di perbukitan Pengkepeng itu tak takut dengan warga yang sedang tangan kosong. Monyet itu selalu membuka mulutnya dan menunjukkan taringnya yang panjang.

Dari sudut pandang warga setempat, kejadian ini secara mikro merupakan salah satu bentuk teror yang nyata. Kehidupan mereka menjadi tidak tenang. Mereka selalu dihantui oleh rasa waswas setiap saat. Karena itu, persoalan itu akan selesai jika penyebab teror sudah musnah. Kalau saja monyet itu ditangkap atau diburu, apalagi mati, tentu masalah selesai.

Namun kita tidak bisa memandang persoalan itu dari sudut pandang yang sempit. Tak ada salahnya, problem ini dituntaskan dengan cara yang bijaksana dan dari sudut pandang yang luas. Sebab, alam ini memiliki prinsip keseimbangan. Ketika satwa mendadak turun gunung dan menyerang perkampungan, berarti ada yang tidak beres dalam habitat mereka. Ada yang mengusik mereka hingga akhirnya terpaksa keluar dari sarangnya.

Salah satu penyebabnya, kemungkinan besar adalah masalah kelaparan dan minimnya ketersediaan pakan alamiah di alam. Karena itu, tak ada salahnya kalau kita melihat kembali kondisi alam di sekitar perbukitan itu. Apakah masih sama kondisinya seperti sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Apakah satwa itu yang nekat memasuki rumah kita? Ataukah sebaliknya, tanpa kita sadari, pembangunan perkampungan warga sejak lama menggusur habitat satwa itu. Sehingga saat satwa itu lapar, mereka bisa beringas dan menebar teror pada manusia. Yang jelas, kejadian ini merupakan peringatan pada kita semua. Betapa pentingnya peran manusia untuk tetap menjaga keseimbangan alam ini. (*)

Haram Makan Kawat

MEMANG belum pernah terdengar adanya fatwa haram untuk makan kawat. Apalagi, siapa sih yang mau makan kawat. Mungkin hanya sebangsa kuda lumping yang (barangkali) mau makan beling dan kawat.

Namun yang terjadi di Situbondo akhir-akhir ini, ada warga yang doyan makan kawat. Tetapi, kawat itu bukan sembarang kawat. Yang dicari adalah kawat telepon. Memang, kawat milik perusahaan telekomunikasi diembat dulu, kemudian dijual, lalu duit hasil penjualan kawat curian itu digunakan untuk makan.

Betapa tidak, hampir tiap malam kawanan pencuri spesialis kabel telepon melancarkan aksinya di Situbondo. Kejadian terakhir, kabel telepon di pinggir jalan Desa Bugeman, Kecamatan Kendit, yang digasak. Dari lokasi itu, pelaku mengembat kabel udara (KU) dengan kapasitas 80 PERR. Tak tanggung-tanggung, panjang kabel yang disikat mencapai 3 tiang gawang atau sekitar 150 meter.

Akibat aksi pencurian itu, kerugian yang dialami PT Telkom Situbondo ditaksir mencapai Rp 12 juta lebih. Aksi pencurian diperkirakan terjadi sekitar pukul 01.30 dini hari. Saat kabel dipotong maling, alarm di kantor Telkom Situbondo sempat berdering. Sayang, upaya pengejaran gagal dilakukan. Saat petugas tiba di lokasi, kawanan maling sudah kabur.

Malam sebelumnya, aksi pencurian kawat telepon juga terjadi di Kecamatan Panarukan. Kawanan maling menggasak kabel telepon yang melintang di pinggir jalan Dusun Nangkaan, Desa Paowan, Kecamatan Panarukan. Dari lokasi itu, pelaku berhasil membawa kabur kabel telepon jenis Kabel Udara (KU) dengan kapasitas 60 PERR. Panjangnya mencapai 2 tiang gawang atau 115 meteran. Akibatnya, kerugian PT Telkom diperkirakan mencapai Rp 9 juta.

Aksi serupa juga terjadi di wilayah Desa Landangan, Kecamatan Kapongan. Di tempat ini, pelaku menggasak kabel telepon jenis udara berkapasitas 60 PERR. Panjangnya sekitar 115 meter. Kerugian PT Telkom mencapai Rp 9 jutaan. Dengan begitu, dalam tiga malam, kerugian yang dialami PT Telkom akibat maraknya pencuri kawat mencapai Rp 30 juta.

Keberadaan kawat itu mungkin dianggap sepele bagi mereka. Namun bagi oknum pemburu logam, kawat itu termasuk komoditi yang laris di pasaran besi tua. Setelah ditimbang, kawat itu memang bisa menghasilkan rupiah. Tetapi di sisi lain, hilangnya kawat tersebut sangat merugikan masyarakat. Sebab kawat itu menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Sebelum itu, banyak pencurian logam yang punya kesamaan kasus serta dampaknya terhadap publik. Misalnya, pencurian besi baut penjepit rel kereta api, pencurian meter air bersih PDAM, kunci pengaman gardu listrik dan banyak lagi contoh lainnya.
Jika melihat besarnya dampak yang ditimbulkan, kita patut berharap pelakunya dihukum lebih berat.
Karena dampak kasus pencurian logam itu sudah sama seperti aksi terorisme yang membahayakan keselamatan publik. Misalnya, kereta api bisa terguling karena rel rusak, banjir di perkampungan karena meteran air raib, kebakaran karena hubungan arus pendek di gardu listrik, sambungan telepon daerah tertentu terputus dan sebagainya.
Senyampang belum terjadi musibah, lebih baik kita semua ikut mencegah hal itu terjadi. Selain memperberat ancaman hukuman, masyarakat juga harus ikut menjaga sarana publik tersebut. (*)

Usia dan Keselamatan di Jalan

SIAPA saja tentu tidak mengharapkan terjadi kecelakaan di jalan raya. Tetapi, sudah sepatutnya kita melakukan berbagai persiapan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan.

Pihak berwenang memang sudah menetapkan bermacam peraturan dalam berlalu lintas. Bermacam peraturan itu diterapkan, salah satunya untuk meminimalisasi terjadinya musibah kecelakaan. Setiap kendaraan juga wajib dilengkapi dokumen dan kelengkapan lainnya. Sedangkan pengendaranya, wajib mengantongi surat izin mengemudi (SIM).

Nah, untuk urusan mendapatkan SIM tersebut, polisi telah menetapkan batasan umur. Usia minimal 16 tahun untuk SIM C; 17 tahun untuk SIM A; 20 tahun untuk SIM B1/B2. Pemohon SIM harus terampil mengemudikan kendaraan bermotor serta wajib sehat jasmani dan rohani.

Ada baiknya, kita melihat kembali kecelakaan yang terjadi di depan Hotel Minakjinggo, jalan raya Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi Sabtu pagi kemarin (20/6). Setyowati, pengendara motor Yamaha Mio bernopol P 5926 WT tewas di lokasi kejadian.

Kepala perempuan asal Jember itu retak setelah motornya ditabrak motor Honda Gl Pro bernopol P 3049 ZQ yang dikendarai bocah berumur sebelas tahun. ABG pengendara Honda GL Pro itu adalah M. Tohir, warga Dusun Sidomulyo, Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore.

Tohir menyalip mobil di depannya dengan kecepatan tinggi. Kemudian, motornya menabrak Yamaha Mio yang dikendarai Setyowati dari arah berlawanan.

Memang, musibah yang sudah terjadi tidak bisa diputar ulang. Namun, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kejadian itu. Setiap kepala keluarga sebaiknya bisa mengawasi serta mengendalikan seluruh anggota keluarga dalam berkendara di jalan. Jangan biarkan anak di bawah umur (yang belum layak mengantongi SIM) bebas berkendara di jalan raya. Apalagi, jalur yang dilalui merupakan jalan provinsi. Selain membahayakan keselamatan orang, hal tersebut akan membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Maka, sayangilah keluarga dan anak-anak anda. Jangan biarkan anak-anak belia itu melaju kencang tanpa kendali di jalanan.(*)

Kelulusan dan Kemerosotan

HASIL ujian nasional (unas) SMA di Banyuwangi tahun ini memang kurang menggembirakan. Jika dibandingkan dengan hasil unas tahun lalu, tingkat kelulusan kali ini menurun. Tingkat kelululusan siswa SMA tahun ini 93,46 persen. Padahal tahun sebelumnya, tingkat kelulusan siswa SMA mencapai 95,07 persen.

Secara matematis, memang telah terjadi kemerosotan pencapaian persentase kelulusan. Dari sudut pandang kuantitas, jumlah siswa yang tidak lulus juga semakin banyak. Tahun 2008 lalu, dari 5.392 peserta unas, yang tidak lulus 159 orang. Pada tahun 2009 ini, dari 5.594 peserta, yang tidak lulus lebih banyak, yakni mencapai 287 siswa.

Bagi pihak yang terkait dalam dunia pendidikan di Banyuwangi, hasil pencapaian tersebut memang sangat penting. Mungkin saja, penurunan tersebut menjadi salah satu indikator mereka dalam mengukur keberhasilan kinerja. Angka-angka itu dengan jelas menunjukkan pencapaian yang terukur.

Pada sudut pandang lain, ada juga faktor yang sebenarnya juga ikut mempengaruhi penilaian keberhasilan pendidikan di Bumi Blambangan ini. Namun, indikator penilaiannya tidak bisa terukur jelas seperti data kelulusan tersebut di atas.

Faktor yang tidak terukur itu bisa dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Seperti terlihat masih maraknya aksi corat coret seragam sekolah dan konvoi bermotor para siswa dalam merayakan kelulusan. Banyak aksi kurang senonoh yang dipertontonkan para pelajar itu.

Seperti yang terlihat di Kecamatan Genteng, banyak siswi sekolah berbasis agama yang berkonvoi dengan melepas kerudung. Bahkan, ada siswi yang duduk di motor sambil melingkarkan kakinya pada siswa di depannya. Belum lagi pemandangan yang kurang patut lainnya.

Hal seperti ini memang tidak bisa terukur, namun bisa dirasakan. Masyarakat merasakan adanya kemerosotan moral kalangan pelajar. Jadi, lengkap sudah merosotnya ’angka persentase kelulusan dan nilai norma’ dalam pembangunan pendidikan tahun ini. Inilah yang harus kita cermati bersama dan tugas kita semua untuk menuntaskannya. Semoga di tahun mendatang, tidak ada lagi kemerosotan pada semua lini pendidikan di Banyuwangi.(*)