Senin, 15 Juni 2009

Pemuda dan Maraknya Kasus Pembunuhan

DALAM waktu hampir bersamaan, polisi berhasil mengungkap dua kasus pembunuhan berencana. Keduanya juga melibatkan kalangan pemuda.

Kasus pertama terjadi di kebun tebu Dusun Resomulyo, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi. Korbannya adalah I Putu Eggiyah, 16, warga Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Kasus ini sebenarnya sudah terjadi sekitar sebulan lalu.

Akibat tindakan sadis para pelakunya, wajah dan identitas korban nyaris sulit dikenali. Wajah pelajar asal Bali itu rusak dan dibakar.

Sebelum dihabisi, korban diperdayai dengan cara diajak minum-minuman keras (miras). Melihat korban mabuk, Dedy dibantu WY berusaha membunuhnya. Korban dipukul dengan benda keras hingga meninggal. Selanjutnya, korban diseret ke kebun tebu lalu dibakar dengan cara disiram bensin lebih dulu.

Setelah sekian lama, akhirnya polisi berhasil menguak identitas korban. Tak lama kemudian, para tersangka pembunuhnya juga berhasil diungkap.

Pelakunya ternyata dua orang. Mereka adalah Dedy Yanwar alias Kebo Hitam, 19, dan seorang remaja berusia 18 tahun berinisial WY. Dedy merupakan otak dan tersangka tewasnya Putu Eggiyah. Sedangkan WY yang diduga kabur ke Banjarmasin, Kalimantan, sudah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada perkembangan terkini, alamat WY di Banjarmasin sudah berhasil dikantongi polisi.

Sementara itu, kasus kedua terjadi di Dusun Tanjung Geger, Desa Tanjung Pecinan, Kecamatan Mangaran, Situbondo. Abdurahman, 24, pemuda desa setempat, ditemukan tak bernyawa tak jauh dari motornya di tepi jalan Dusun Tanjung Geger. Saat ditemukan, kondisi Abdurahman cukup parah. Awalnya, sempat muncul dugaan bahwa korban meninggal karena kecelakaan. Namun, fakta di tempat kejadian berbicara lain. Polisi menemukan sebatang kayu berukuran cukup besar, tak jauh dari mayat korban yang bulan depan rencananya akan naik ke pelaminan itu. Dia

Hanya dalam tempo delapan jam, polisi sudah berhasil mengendus pelakunya. Tersangkanya adalah Baihaki, 20, warga Desa Mangaran. Pemuda itu akhirnya diringkus saat hendak menyerahkan diri melalui Kantor Desa Mangaran.Hasil penyidikan sementara, motif pembunuhan adalah masalah cemburu.

Sementara itu, ada beberapa kesamaan pada dua kasus pembunuhan tersebut. Korbannya sama-sama pemuda yang masih masuk usia produktif. Para tersangkanya juga masih muda dan produktif. Yang membedakan adalah motif terjadinya pembunuhan itu.

Kasus pembunuhan di Mangaran, Situbondo sangat jelas bermotif asmara. Ini termasuk motif klasik dalam kasus pembunuhan. Sedangkan kasus di Genteng Wetan, ternyata bermotif ingin menguasai sepeda motor milik korban.

Aksi sesadis itu, yakni membakar korban di kebun tebu, ternyata ‘hanya’ bertujuan memiliki sepeda motor. Setelah dijual, motor itu laku Rp 2,5 juta. Bahkan ketika dibagi berdua, masing-masing pelaku mendapat bagian Rp 1 juta. Ya, dalam hal ini, betapa murahnya harga nyawa manusia. Padahal, sebagai pemuda, masa depan mereka masih sangat membentang jauh ke depan. Begitu pendek cara mereka mengambil keputusan. Entahlah, apakah ada yang salah dalam hal ini. Apakah sudah sedemikian luntur rasa perikemanusiaan di kalangan pemuda zaman sekarang. Inilah yang perlu kita kaji bersama, agar negeri ini tetap penuh berisi pemuda yang ulet, suka bekerja keras, teguh iman dan tidak berpikir pendek dalam bertindak. (*)

Pengaruh Gaya Hidup Sinetron

ADA pernyataan menarik Psikolog Betty Kumala Febriyanti, yang menyikapi maraknya gaya berpacaran muda mudi zaman sekarang. Terlebih, kini semakin banyak remaja yang tak risih bermesraan di tempat terbuka.

Psikolog pada Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat dan Klinik Ketergantungan Obat (PKJM-KKO) di Kecamatan Licin itu menyatakan, banyak di sinetron yang mempertontonkan model masa kini dan gaya pacaran di tempat terbuka.

Analisis sang psikolog ini memang cukup realistis. Tak dapat dipungkiri, sinetron memang membawa pengaruh besar pada keluarga. Sinetron bisa langsung hadir tepat sasaran di dalam rumah jutaan keluarga di Indonesia.

Pemain sinetron yang ditampilkan kebanyakan adalah bintang idola. Wajah cantik dan bodi aduhai sang bintang selalu mendominasi di layar kaca. Belum lagi, ditampilkannya gaya hidup yang glamour dalam cerita sinetron.

Meski tidak semua sinetron menampilkan hal seperti itu, tetapi sebagian besar masyarakat akan ikut terbuai mimpi indahnya hidup dalam kemewahan dunia sinetron. Yang paling mudah kena pengaruh mimpi indah itu, tentu saja kalangan remaja.

Memang, masa remaja adalah masa ajang coba-coba. Rasa ingin tahu para remaja umumnya sangat tinggi. Apalagi, pergaulan saat ini sudah sangat meluas tidak hanya di lingkungan rumah dan sekolah, tetapi juga pergaulan di lingkungan luar.

Yang menyedihkan, cukup banyak remaja yang menganggap memadu kasih di tempat terbuka itu sebagai hal yang lumrah. Saat ini, semakin banyak remaja yang mengenal tempat maksiat, minum-minuman keras, merokok, dan bahkan narkoba.

Patut dicatat pula, remaja umumnya mencemaskan penampilan. Berlomba-lomba ingin mendapatkan cowok atau pun cewek, sang remaja ingin tampil trendi. Tak dapat dipungkiri pula, fenomena ini banyak dipengaruhi apa yang ada di televisi, khususnya sinetron.

Memang, sangat naif kalau televisi dan sinetron disalahkan sebagai satu-satunya pihak yang mengakibatkan merosotnya moral generasi muda saat ini. Karena kenyataannya, problem merosotnya moral remaja itu disebabkan banyak faktor. Mulai dari faktor kurangnya pengawaan orang tua, faktor pergaulan remaja itu sendiri, faktor pendidikan, faktor lingkungan serta faktor lainnya.

Karena ini, problem remaja ini butuh perhatian banyak pihak. Orang tua dan keluarga punya peran sangat besar dalam hal ini. Peran pendidik di sekolah juga tak kalah pentingnya, dalam mengajarkan remaja itu agar memahami diri serta agar mampu mengendalikan diri.

Selain itu, masyarakat juga ikut berperan dalam melakukan kontrol sosial. Pengawasan masyarakat akan menjadi filter terbaik dalam mencegah terjadinya tindak asusila. Kalau masyarakat sekitar tegas menerapkan norma, kalangan remaja tentu tidak akan berani berbuat macam-macam di tempat-tempat tersebut. (*)

Ikut Mengawasi Penyalahgunaan Obat

OBAT batuk seharusnya bukan termasuk obat-obatan berbahaya. Pemerintah sepertinya menggarisbawahi dengan hal itu. Sebab, pemerintah masih memperbolehkan beberapa jenis obat batuk dijual secara bebas.

Kini, sebagian masyarakat sudah menganggap obat batuk jenis dextro sebagai barang berbahaya. Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, sudah sepuluh orang meninggal dunia karena diduga mengonsumsi dextro melebihi ambang batas. Nyawa pun melayang sia-sia karena overdosis.

Selain itu, ada juga yang mengonsumsi obat tersebut dengan campuran yang tidak lazim. Ada yang dicampur dengan minuman bersoda, ada juga yang dicampur dengan minuman keras berkadar alkohol tinggi.

Tentu saja, ini sudah melenceng dari kegunaan dan fungsi sebenarnya. Obat yang semestinya digunakan untuk menyembuhkan, justru disalahgunakan untuk teler dan merusak diri sendiri. Nah, letak bahaya yang ditimbulkan ternyata bukan berasal dari obat itu sendiri. Tetapi, faktor manusia sendiri yang menyalahgunakan obat tersebut untuk sesuatu yang bisa membahayakan keselamatan.

Maraknya penyalahgunaan obat, tentu saja tidak bisa ditangani aparat kepolisian sendiri. Seluruh komponen masyarakat harus bahu membahu ikut mendukung upaya pemberantasan penyalahgunaan obat tersebut.

Sebenarnya, faktor keluarga dan lingkungan bisa menjadi motor terdepan, dalam bertindak memberantas tindakan negatif penyalahgunaan obat-obatan ini. Lingkungan masyarakat dan lingkup keluarga itu ibarat alat pendeteksi dini dan pencegah awal terjadinya penyalahgunaan obat.

Melalui pendekatan kekeluargaan, serta menciptakan situasi yang kehidupan yang harmonis dalam keluarga, akan mencegah timbulnya problem pada masing-masing individu. Dengan minimnya problem serta depresi pada anggota masyarakat, tindakan yang memicu penyalahgunaan obat diharapkan akan bisa berkurang. (*)

Upaya Banding Zaman Sekarang

ENAM terpidana kasus Kasdagate Situbondo menyatakan banding, dua lainnya menerima putusan. Terdakwa yang mengajukan banding adalah Nur Setiadi Pamungkas, Ikhwansah, dan Endaryuni. Ketiganya dari PT Sentra Utama (SAU), pihak ketiga yang menerima aliran dana kasda hingga Rp 80 miliar lebih. Tiga orang lagi adalah Darwin Siregar, Hamzar Bastian, dan Alvia Rahman. Tiga terdakwa ini dari BNI Situbondo.

Dua terdakwa yang menerima putusan hakim adalah I Nengah Suarnata dan Juliningsih. Keduanya mantan Kabag Keuangan dan Bendahara Umum Daerah Pemkab Situbondo.

Sebelumnya, majelis hakim PN Situbondo menjatuhkan hukuman kepada delapan terdakwa kasdagate. Mantan Komisaris PT Sentra Artha utama (SAU), Endaryuni, dihukum 10 tahun penjara dan ganti rugi sebesar Rp 7.441 miliar. Nursetadi Pamungkas divonis 12 tahun penjara dan ganti rugi Rp 5,35 miliar. Ikhawansyah divonis 10 tahun dan ganti rugi Rp 5,304 M.

Mantan Pimpinan BNI Situbondo, Darwin Siregar, diganjar sepuluh tahun penjara dan ganti rugi Rp 1.184 miliar. Mantan marketing pemasaran BNI, Alvia Rahman, divonis 6 tahun penjara. Hamzar Bastian juga divonis 6 tahun penjara. Untuk dua terdakwa dari Pemkab Situbondo, Kabag Keuangan, I Nengah Suarnata, dan Juliningsih, diganjar hukuman 4 tahun.

Memang, setiap warga negara berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Namun yang perlu dicermati, ada beberapa contoh kasus yang membuat miris dalam melakukan banding di zaman sekarang. Terutama upaya banding untuk kasus-kasus korupsi.

Lihat saja kasus korupsi proyek Jalan Lingkar Ketapang (JLK) tahun 2001 yang terjadi di Banyuwangi. Majelis hakim PN Banyuwangi telah menjatuhkan vonis bersalah untuk Bambang Sugeng, pimpro JLK tersebut. Ketika itu, terpidana langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Hasilnya ternyata cukup mencengangkan. Putusan banding PT Surabaya ternyata menyatakan Bambang tidak bersalah dan bebas demi hukum.

Rupanya, drama kasus itu tidak berhenti sampai di situ. Ternyata, jaksa penuntut umum tidak puas atas putusan banding PT Surabaya tersebut. Berkas kasus itu pun menggelinding ke meja Mahkamah Agung. Selanjutnya, era baru perang melawan korupsi kian gencar berlangsung. Hasilnya, setelah tiga tahun berlalu, putusan kasasi MA akhirnya turun. Hasilnya malah menguatkan vonis PN Banyuwangi dan menggugurkan vonis bebas PT Surabaya. Terpidana pun langsung dieksekusi masuk Lapas.

Itu hanya secuil contoh, ending yang bikin miris dari upaya banding kasus korupsi. Terlepas dari semua itu, upaya banding sejatinya adalah hal yang wajar dalam mencari keadilan. Entah bagaimana nanti hasil akhirnya nanti, semoga bisa menjadi jalan terbaik bagi semua pihak. (*)

Betor, Problem Baru Setelah Gerandong

BUMI Blambangan ini memang bisa dibilang sebagai gudangnya kendaraan bermotor rakitan. Masalah gerandong (mobil rakitan) seolah tak pernah tuntas di daerah ini. Kini, muncul lagi masalah baru yang senada dengan gerandong dan juga tak kalah peliknya.

Masalah baru itu adalah kendaraan rakitan berupa becak-motor (betor). Sama seperti gerandong, populasi betor kini sudah mencapai lebih seribu unit. Gerandong memang sudah dinyatakan terlarang melintas di jalan raya. Karena kendaraan ini dianggap belum teruji kelayakan jalannya, dan berpotensi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Khusus untuk betor, pihak berwenang memang belum menerapkan larangan beroperasi di jalan raya. Setelah lima tahun beroperasi, baru kali ini dilakukan razia. Itu pun, yang dirazia masih sebatas dokumen kelengkapan seperti STNK motor yang digunakan untuk pendorong becak tersebut.

Sementara itu, setiap kendaraan bermotor (apalagi pengakut barang) yang melintasi jalan raya, harus selalu kendaraan yang lolos uji kelayakan. Dalam hal ini, gerandong dan betor jelas tidak didukung dengan dokumen kelayakan kendaraan di jalan raya. Namanya saja kendaraan rakitan sendiri, tentu saja tidak pernah mengikuti uji kelayakan jalan resmi.
Ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan gerandong, para korban kecelakaan sudah merasakan ketidakadilan. Terlepas siapa yang lalai, kalau kecelakaan terjadi di jalan raya, gerandong tetap tidak punya perlindungan hukum. Ini karena kendaraan rakitan itu tidak punya sertifikat uji kelayakan jalan. Selain itu, kendaraan roda empat rakitan itu juga tidak membayar pajak. Padahal, setiap pembayar pajak kendaraan selalu diikuti dengan asuransi jasa raharja.

Sedangkan betor, bagian belakangnya merupakan sepeda motor. Pemiliknya mungkin saja masih membayar pajak kendaraan roda dua. Tetapi faktanya, kendaraan tersebut telah berubah tampilan dan fungsinya. Fungsinya lebih banyak sebagai pengakut ikan dan barang. Bahkan, ada juga yang digunakan untuk mengangkut penumpang. Sedangkan tampilannya telah berubah menjadi beroda tiga. Kendaraan rakitan itu juga belum teruji secara resmi, terkait kalayakan jalannya.

Namun hingga kini, masih banyak gerandong dan betor yang beroperasi di jalan raya. Problem gerandong dan betor ini memang sangat pelik. Terlebih, masyarakat kecil di Muncar mengaku sangat terbantu dengan hadirnya betor. Selain mendorong perekonomian masyarakat bawah, betor juga membantu kelancaran distribusi ikan dari pelabuhan menuju kawasan industri.

Sehingga, seolah ada sesuatu yang kurang betul dalam membeludaknya populasi betor ini. Dokumen kendaraan yang kurang pas, serta kelayakan jalan yang belum teruji.

Namun di sisi lain, masyarakat yang cukup inovatif merakit sendiri becak dan motor menjadi betor, sebenarnya juga layak diapresiasi. Inilah salah satu karya anak negeri. Betor hadir untuk menyiasati kerasnya himpitan ekonomi. Betor juga termsuk karya brillian dalam hal efisiensi.
Lantas, kenapa tidak sekalian saja diuji secara resmi kelayakannya. Atau sekalian saja, dirakit secara masal dan kalau perlu dipatenkan. Dengan begitu, betor tak lagi jadi benda rakitan separo resmi dan separo ilegal. Ataukah, memang sengaja diciptakan demikian demi memudahkan penarikan pungutan liar? Semoga saja tidak. (*)

Masa Penantian Jukir dan Honorer

BERITA tentang keterlambatan pembayaran gaji sekitar 300 orang juru parkir (jukir), memang bukan hal yang baru. Isu-isu semacam itu memang sudah sering terjadi akhir-akhir ini.

Meski merasakan penderitaan luar biasa selama beberapa bulan, ratusan keluarga jukir tetap tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya diam dan pasrah. Mereka merasa lebih baik menunggu, untuk menanti pencairan haknya.

Selama ini, belum pernah terdengar berita, para jukir itu kalap dan melakukan aksi nekat. Misalnya saja, menduduki kantor Dinas Perhubungan, atau menduduki kantor bupati. Hal semacam itu, mungkin bukan menjadi watak dan kepribadian para jukir.

Mereka adalah wong cilik yang terlalu lemah posisi tawarnya. Berulah sedikit saja, nasib mereka bisa terancam. Sebab bukan mustahil, mereka yang terlalu ’vokal’ bisa dengan mudah dipecat sebagai jukir. Tidak mengherankan, tidak pernah terjadi gejolak ketika gaji para jukir tak kunjung cair selama beberapa bulan lamanya.

Bahkan, tekanan hidup akibat gaji belum cair, membuat sebagian jukir harus kreatif mencari pekerjaan sambilan. Jangan heran, ada jukir yang nyambi bekerja sebagai penjual bubur.

Penderitaan yang tak kalah berat, juga dirasakan tenaga honorer di Pemkab Banyuwangi. Honor mereka malah belum cair sejak bulan Januari 2009 lalu. Berarti sudah lima bulan terakhir ini, para tenaga honorer itu harus mengetatkan ikat pinggang.

Sama halnya seperti para jukir, kini sudah jarang muncul sosok atau figur tenaga honorer yang ’vokal’. Sebagian besar honorer hanya bisa pasrah dengan pahitnya kenyataan ini. Hal ini juga disebabkan karena posisi tawar mereka yang juga sangat lemah. Mereka selalu dibayangi ancaman pemecatan bila nekat berulah.

Memang, pihak pemkab telah menjelaskan secara mendetail, tentang problem teknis yang mengakibatkan molornya pencairan gaji ratusan jukir dan ratusan tenaga honorer tersebut. Intinya, tim pemkab akan berusaha sekuat tenaga, agar gaji para jukir dan honor ratusan tenaga honorer pemkab itu bisa cair secepat mungkin. Bahkan, Dishub menargetkan agar jukir sudah bisa gajian awal Juni 2009 mendatang.

Terlepas dari persoalan teknis tersebut, problem molornya gaji itu berpotensi menimbulkan penilaian miring masyarakat terhadap kinerja birokrat. Karena sumber upah tenaga honorer dan gaji pegawai negeri, ternyata sumbernya juga sama dari negara. Gaji PNS pemkab dan upah tenaga honorer juga sama-sama pengeluaran rutin. Barangkali, karena prosedurnya berbeda, akhirnya masa pencairannya juga berbeda.

Nah, masyarakat awam tentu tidak paham dengan persoalan teknis semacam itu. Yang jelas, problem upah honorer dan jukir itu ini sangat membutuhkan sentuhan cerdas, agar bisa cair tepat waktu tanpa molor lagi di masa mendatang. Apalagi, mereka adalah kaum teraniaya. Lebih mulia lagi, jika upah pekerja yang teraniaya itu sudah terbayar, sebelum keringatnya kering. (*)

Selamat untuk Wajah Baru Wakil Rakyat

HARI ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banyuwangi akan menetapkan 50 calon anggota legislatif (Caleg) DPRD terpilih. Pada saat hampir bersamaan, KPU Situbondo juga akan menetapkan nama-nama 45 anggota DPRD Situbondo periode 2009-2014.

Memang, penetapan wajah baru wakil rakyat yang terhormat itu sempat mengalami penundaan. Sedianya, KPU berencana menetapkan caleg kemarin (15/5). Namun, rencana itu dibatalkan. Rapat pleno tertutup anggota KPU akan digelar Sabtu pagi ini.

Tidak jelas, apa penyebab penundaan tersebut. Kemungkinan besar, penundaan itu dilatarbelakangi kepadatan kerja anggota KPU. Ada juga kabar, kalau anggota KPU masih mengikuti acara dinas di luar kota.

Penetapan calon anggota DPRD periode 2009-2014 itu, diagendakan dalam rapat pleno KPU secara tertutup. Momen ini, bisa jadi merupakan saat paling mendebarkan bagi para caleg. Langkah mereka untuk menduduki kursi empuk anggota dewan yang terhormat, tinggal selangkah lagi. Kalau pleno KPU sudah menetapkan nama mereka, berarti mereka sudah ’hampir resmi’ jadi anggota legislatif. Mereka tinggal menunggu saat pelantikan, yang ibaratnya tinggal menunggu resepsi saja.

Ya, selamat untuk yang akan segera dilantik menjadi anggota DPRD. Selamat datang di rumah rakyat. Selamat menikmati keluhan-keluhan masyarakat yang menyampaikan masalah dan bermacam aspirasinya.

Selama menjabat itu, selamat berkiprah untuk rakyat. Jagalah masa lima tahun masa pengabdian itu, untuk menjalankan amanah yang telah diberikan oleh rakyat. Jangan sampai menimbulkan kesan yang kurang simpatik di hati rakyat. Kalau semua amanah itu dijalankan dengan baik, tidak akan ada lagi insiden ‘pelecehan’ nama wakil rakyat seperti yang terjadi di gedung DPRD Situbondo.

Lihat saja papan nama anggota DPRD Situbondo periode 1999-2004, diacak-acak tangan jahil. Sebagian besar nama para wakil rakyat itu, kini sudah tak bisa dikenali. Hurufnya diacak sehingga menjadi kata-kata bernada sindiran. Misalnya kata Syaromben yang berarti ngawur; Hj. Dra. Erotis, RSJ Ditanggung, Patah Hati. Bahkan, ada sejumlah nama yang membentuk kata Mayit, Susuku Enak, Drs. Bludrek, dan Dibelai.

Semoga kejadian itu tak akan pernah terulang di Situbondo dan Banyuwangi. Semoga, wakil kita di DPRD bisa selalu menjaga amanah yang mulia selama lima tahun mendatang. Sekali lagi selamat, dan berusahalah untuk meninggalkan kesan baik di hati rakyat. Jangan sampai meninggalkan kesan yang kurang bagus. Jagalah martabat sebagai anggota dewan yang terhormat. (*)

Kepedulian Dalam Pengawasan Ujian

MULAI pagi ini, belasan ribu siswa sekolah dasar dan siswa madrasah ibtidaiyah mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Ujian ini akan menentukan nasib mereka selanjutnya.

Jika hasil ujian tersebut jeblok, siswa bisa saja harus menelan pil pahit dinyatakan tidak lulus. Jika nilai hasil ujian tersebut kurang bagus, mereka harus siap-siap tidak bisa memilih sekolah lanjutan yang diinginkan. Tentu saja, semua pihak mulai siswa peserta UASBN, para orang tua wali murid, para guru pembimbing serta seluruh keluarga peserta berharap, agar mereka bisa meraih nilai UASBN yang memuaskan.

Meraih nilai bagus dalam ujian, memang merupakan harapan dan cita-cita semua peserta UASBN tersebut. Karena itu, semua pihak yang terkait dengan mereka, akan melakukan bermacam upaya demi mencapai cita-cita meraih nilai UASBN yang bagus.

Para orang tua akan mendukung anaknya dengan dukungan materi dan spiritual. Para guru juga tak kalah berkorban demi cita-cita luhur tersebut. Mereka rela berangkat ke sekolah lebih pagi, demi mengisi pelajaran tambahan untuk siswa kelas enam. Pihak sekolah juga tak kalah berupaya sekuat tenaga.

Pihak sekolah terus melakukan inovasi agar seluruh siswanya yang mengikuti UASBN bisa sukses. Persiapan dilakukan jauh hari sebelum pelaksanaan ujian. Mulai melakukan program bimbingan dan pelajaran tambahan untuk siswa peserta ujian, hingga melakukan bermacam try out (tes uji coba) UASBN.

Dengan mengikuti try out tersebut, akan diketahui pasti kemampuan sebenarnya para siswa. Setelah diketahui hasil try out, pihak sekolah bisa memperbaiki bermacam kekurangan dan kelemahan para siswa dalam mengerjakan soal. Yang tidak kalah penting, try out menciptakan kondisi ujian yang sebenarnya. Dengan melatih siswa mengisi lembar jawaban komputer (LJK), mereka tidak akan canggung lagi ketika ujian yang sebenarnya berlangsung.

Memang, pengisian LJK punya peran penting dalam proses pelaksanaan UASBN. Karena, kesalahan sedikit saja dalam pengisian data identitas siswa pada LJK, akan berakibat fatal. Terutama, jika kesalahan terjadi saat mengisi nomor peserta ujian. Sebagus apa pun mereka menjawab soal, hasilnya tidak akan bagus kalau mereka salah mengisi data identitas nomor peserta ujian.

Tentu saja, kegiatan kecil tapi berdampak besar ini, memang membutuhkan ’nyali’ tambahan untuk siswa. Mereka dituntut jeli dan teliti saat mengisi data identitas peserta ujian. Itu saja tidak cukup. Mereka tetap butuh bimbingan, arahan serta filter terakhir agar data identitas yang diisi bisa betul-betul benar. Peran ini hanya bisa dilakukan oleh pengawas ujian. Karena itu, UASBN kali ini juga butuh sentuhan kepedulian para pengawas dari lubuk hati yang paling dalam. (*)

Lima Tahun Penentu Nasib

MASA lima tahun mendatang, merupakan masa emas bagi beberapa kalangan. Yang pertama, tentu saja ini merupakan masa kejayaan para anggota legislatif hasil pemilu 2009.

Mereka akan menikmati kursi sebagai wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten-kota. Selama masa lima tahun itu pula, mereka akan berkiprah. Tentu saja, kiprah mereka akan disertai pula dengan bermacam risiko. Mulai dari risiko negatif, hingga risiko positif menikmati pundi bermacam honor sebagai anggota dewan yang terhormat.

Masa lima tahun mendatang juga akan jadi masa emas bagi presiden dan wakil presiden RI terpilih, hasil pilpres 2009 mendatang. Selanjutnya, masa lima tahun mendatang juga sangat berarti bagi para bupati Banyuwangi dan Bupati Situbondo terpilih dalam ajang pilkada tahun depan.

Memang, semua masa emas lima tahunan itu masih dilihat dari sudut pandang politik. Mulai dari anggota dewan, presiden dan para kepala daerah. Mereka punya masa kerja sepanjang lima tahun. Baik buruknya kinerja mereka, akan terlihat dan dirasakan masyarakat dalam kurun lima tahun mendatang.

Kalau kita melihat perspektif lain, ternyata masih banyak orang di Bumi Blambangan ini yang berharap banyak dalam kurun lima tahun mendatang. Lihat saja kalangan guru Taman Kanak-Kanak (TK) dan guru Sekolah Dasar (SD) di Banyuwangi. Ada sekitar 9.111 guru TK-SD yang belum mengantongi ijazah sarjana di Banyuwangi. Itu belum termasuk guru nonsarjana yang kini mengajar di SMP, SMA dan SMK. Tentu, jumlah guru yang belum mengantongi ijazah sarjana strata satu (S-1) akan lebih banyak lagi.

Nah, nasib ribuan guru itu akan ditentukan dalam kurun lima tahun mendatang. Undang-Undang Pendidikan mensyaratkan, semua guru harus mengantongi ijazah sarjana (S-1). Mereka diberi kesempatan selama lima tahun, untuk menyelesaikan pendidikan S-1 sebagai syarat minimal kelayakan guru mengajar.

Namun, tidak semua guru tersebut bisa dengan mulus gelar sarjana S-1 pada tahun 2014 mendatang. Persoalan yang mengemuka tidak hanya seputar problem teknis. Yang lebih menonjol, ternyata justru masalah klasik, yakni masalah biaya pendidikan.

Sebagai orang tua, naluri para guru itu tentu akan lebih mengutamakan anak. Mereka akan lebih mengutamakan biaya pendidikan anaknya dari pada biaya kuliah dirinya. Beruntung, problem ini cukup cepat direspons Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Jawa Timur. LPMP menggerojok ribuan beasiswa bagi guru yang akan kuliah S-1.

Semoga, peluang emas ini bisa ditangkap dengan baik oleh para guru tersebut. Jangan sampai sia-siakan kesempatan emas beasiswa ini. Jangan sampai masa emas lima tahun terlewatkan begitu saja. (*)

(*)

Flu Babi: Raja Tega Baru

MEREBAKNYA virus flu babi, mengundang kekhawatiran masyarakat Banyuwangi. Terutama warga di kecamatan yang potensi ternak babinya besar. Seperti Sempu, Pesanggaran, Glenmore, Rogojampi, Gambiran, Genteng, dan Tegaldlimo.

Mengatasi kekhawatiran tersebut, tim Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, dan Peternakan Banyuwangi turun ke lapangan, kemarin siang (30/4). Sasaran utama di Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi. Di daerah tersebut terdapat banyak peternakan babi milik warga. Ada lima kandang babi, yang disemprot disinfektan secara menyeluruh.

Memang, sebagian besar warga Bumi Blambangan yang menganut agama Islam ini jarang bersentuhan langsung dengan babi. Sebab, babi termasuk binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi muslim. Karena secara alamiah, babi termasuk binatang pemalas dan paling rakus. Selain itu, berbagai penelitian di bidang kedokteran membuktikan, betapa daging babi merupakan makanan berisiko tinggi untuk mendatangkan penyakit pada manusia.

Berikut ini adalah penyakit babi yang menular pada manusia. Sebuat saja Swine Vescular Disease (penyakit kaki dan mulut), Reovirus yang ditandai dengan gangguan pencernaan dan pernapasan. Ada juga penyakit Literiosis, Brucellosis dan Leptospirosis yang ditandai gejala demam, pembesaran hati dan penyakit kuning. Tetanus babi yang ditandai dengan tegang otot, kesulitan menelan, kondisi badan memburuk dan encephalitis juga bisa menular pada manusia. Penyakit bakteri babi lainnya adalah Melioidosis, Pasteurellosis, Yersiniosis, Vibriosis, Staphylococcosis, infeksi Streptococcosis, Tuberculosis babi dan Anthrax. Semuanya juga berpotensi menular pada manusia.

Belum lagi penyakit pada babi yang diakibatkan oleh jamur seperti Actinomycetes, Cutaneous Mycosis, serta Coccidioidomycosis. Penyakit ini juga bersifat zoonosis (menular pada manusia). Dan yang paling penting, babi merupakan gudangnya penyakit cacing. Misalnya saja penyakit cacing Trichinosis, Ascariasis, Paragonimiasis, Taenidae, dan lain sebagainya.

Paling tidak, ada sekitar 12 penyakit parasit, enam penyakit bakteri dan tiga penyakit virus disebabkan karena mengonsumsi daging babi. Di samping mengandung penyakit yang dapat ditularkan ke manusia, daging babi sendiri mengandung kadar lemak yang lebih tinggi disbanding dengan sapi dan kambing. Ini menyebabkan mereka yang makan daging babi memiliki risiko lebih tinggi untuk mengidap penyakit tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.

Kini, merebak virus flu babi yang jauh lebih ganas, sadis dan kejam. Barangkali, virus ini layak disebut si raja tega baru. Sebab, dia akan menyerang (manusia) siapa saja tanpa pandang bulu. Karena penyebarannya lewat udara, siapa saja yang bernafas dan menghirup virus itu, bisa saja berpeluang terinfeksi virus mematikan itu. Sehingga, meski orang tidak mengonsumsi babi, meski orang tidak bersentuhan dengan babi, tetap saja bisa berpeluang terinfeksi virus ini. Betapa bahayanya. Waspadalah. (*)

Bahaya Mengintai di Mana-Mana

SEJAK awal tahun 2009 hingga kemarin, nyaris sudah tidak bisa terhitung, berapa kali foto orgil terpampang di halaman koran ini. Gaya mereka bermacam-macam. Model dan tingkahnya juga aneh-aneh. Yang sama, mungkin hanya bau badan mereka yang menyengat.

Dalam setiap berita itu selalu ada pesan singkat pada pihak yang berwenang di Bumi Blambangan. Banyak orang gila, bagaimana ini? Marak orang gila, bagaimana ini? Sekali lagi, koran ini selalu mengingatkan, bagaimana ini? Bagaimana ini, dan seterusnya.

Peningkatan populasi orgil di sepanjang jalan Bumi Blambangan ini, sepertinya meningkat luar biasa. Begitu mudahnya kita menemui mereka. Begitu kumuhnya wilayah sekitar tempat tinggal mereka. Dan sudah berulang kali pula, koran ini (melalui berita) selalu mengingatkan bahwa persoalan ini harus dicari jalan keluarnya.

Problem maraknya orgil ini, mungkin sudah termasuk menjadi salah satu penyakit masyarakat. Suatu penyakit -yang menurut pandangan beberapa pemerintah daerah- sangat sulit dikendalikan.

Tetapi, akankah kita berdiam diri dengan maraknya orgil tersebut. Padahal, sudah banyak orang yang celaka karena ulah orgil. Di Banyuwangi, pernah ada kasus pengendara motor mengalami kecelakaan gara-gara orgil. Bahkan, korban mengalami luka yang sangat serius.

Ada juga orgil yang bikin ulah melakukan pencurian baju milik warga. Ada juga orgil yang masuk dan bikin ulah di sebuah tempat ibadah. Yang terakhir, orgil membakar rumah Moch. Sarbini Sahwan, 45, warga Desa Sukonatar, Kecamatan Srono jumat kemarin (24/4). Karena rumah dan mobilnya terbakar, aktivis lembaga swadaya masyarakat itu mengalami kerugian materi sekitar Rp 500 juta.

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap beberapa saksi dan bukti di lapangan, diperoleh kesimpulan sementara bahwa pelaku masuk ke rumah dengan cara melompat pagar. Begitu masuk ke rumah seluas 700 meter persegi itu, orgil tersebut langsung menyulut kain dengan korek api. Kain yang dibakar tersebut ditaruh persis di bawah mobil sedan milik Sarbini. Api di kain tersebut menjalar ke mobil, kemudian api merambah ke atap dan dalam rumah.

Setelah kejadian itu, Sarbini mendesak Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsos Nakertrans) Banyuwangi untuk menertibkan orgil. Karena jika tidak dilakukan tindakan, dikhawatirkan orgil yang berkeliaran di jalanan itu bisa bikin ulah.

Sementara, Kepala Dinsos Nakertrans Banyuwangi berjanji akan melakukan razia orgil secepat mungkin di seluruh kecamatan. Pemkab memang sudah merespons desakan penertiban tersebut. Setelah ada kejadian, baru akan dilakukan penertiban. Padahal, sudah sejak lama dan seringkali ‘bahaya orgil’ ini disampaikan melalui koran.

Semoga saja, janji untuk menertibkan orgil itu bukan hanya lips service. Semoga saja, kejadian ini jadi pelajaran berharga bagi seluruh komponen yang berwenang. Semoga saja, para pemegang kebijakan itu lebih peka. Sehingga rakyat tidak lagi mengolok-olok, bahwa pemerintah kita didominasi orang-orang yang ‘telmi’. Telat mikir karena tak juga bertindak, meski sudah diingatkan berkali-kali. Semoga. (*)

Pelajaran Berharga dari Uang Receh

JANGAN pernah menyepelekan uang receh. Sekecil apa pun nilainya, uang tetaplah uang. Pecahan besar atau kecil, perannya tetap sama yakni sebagai alat pembayaran yang resmi dan sah.

Karena itu, jangan sekali-sekali menganggap remeh masalah uang receh. Kalau tidak hati-hati, nanti bisa berurusan dengan masalah hukum.

Seperti yang terungkap dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi Senin kemarin (20/4). Dua orang Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Motor Penumpang (KMP) Nusa Dua, harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Mereka adalah Abrori dan Sofyan.

Akibat memungut uang parkir kendaraan, kedua ABK itu harus diadili di PN Banyuwangi. Abrori dan Sofyan didakwa menerima uang dari sopir di tempat kerjanya.

Padahal, kejadian sopir memberi uang kepada ABK yang mengatur parkir di dalam kapal seolah sudah jadi tradisi di Pelabuhan Ketapang. Setiap kendaraan yang turun dari lambung kapal, sopir biasanya memberikan uang jasa parkir kepada ABK. Sebenarnya, nilai uang jasa parkir itu tidak seberapa. Setiap kendaraan hanya memberikan Rp 1.000 hingga Rp 5.000.

Dalam persidangan tersebut, kedua ABK mengaku tidak pernah meminta uang parkir. Mereka mengaku hanya menerima uang itu begitu saja. Karena diberi, maka uang tersebut mereka terima.

Sekilas, tindakan dua ABK itu sepertinya lumrah. Seperti yang lazim dilakukan semua orang. Karena diberi, ya akhirnya diterima begitu saja. Apalagi, nilainya tidak seberapa.

Namun ternyata, tindakan yang dilakukan kedua ABK itu melanggar hukum. Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 373 KUHP, tentang penggelapan ringan. Majelis hakim akhirnya mengganjar dua ABK itu divonis denda Rp 30 ribu atau kurungan selama dua hari. Dari pada masuk penjara, dua ABK itu pun langsung memilih membayar denda Rp 30 ribu.

Kejadian ini begitu membukakan mata dan pikiran kita. Apa yang kita lakukan selama ini, yakni memberi uang receh sebagai jasa parkir pada petugas di dalam kapal feri itu ternyata salah. Terlebih, petugas yang menerima pemberian jasa parkir itu ternyata juga salah. Bahkan, hal itu juga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar hukum yang berlaku di negeri ini.

Sudah selayaknya, kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Jangan terlalu mudah menerima pemberian orang. Jika pundak kita dibebani mandat sebagai petugas, beranikan diri untuk menolak pemberian seseorang. Jika semua warga negara ini sudah mampu berbuat seperti ini, bangsa ini akan bebas dari mental pengemis. Karena yang dibutuhkan negeri ini untuk lebih maju, adalah warga negara yang suka bekerja keras. Kembalilah bekerja, tinggalkan yang salah dan teruslah berkaya. (*)

Ujian Bagi Pengelola Sekolah

UJIAN nasional (Unas) sudah di depan mata. Para siswa tingkat akhir sudah memasuki musim Unas mulai pekan. Ini diawali dengan Unas SLTA yang akan dihelat mulai Senin besok (20/4).

Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dispendikpora). Mulai persiapan sarana dan prasarana ruangan, naskah soal, lembar jawaban komputer serta tenaga pengawas.

Penempatan pengawas dilakukan dengan sistem silang murni. Tenaga pengawas di sekolah tertentu, akan diambilkan dari sekolah lain. Selain itu, guru mata pelajaran yang sedang diujikan, tidak diperbolehkan berada di sekolah saat ujian berlangsung.

Beberapa kali, Dispendikpora mengingatkan agar pengawas ujian memiliki sikap dan perilaku jujur. Pengawas juga dituntut bisa bekerja dengan penuh bertanggung jawab, teliti, serta memegang teguh kerahasiaan.

Untuk menjaga pelaksanan ujian, pengawas tersebut dirasa belum cukup. Masih ada unsur pemantau yang datang dari unsur perguruan tinggi (PT). Pengawas dari unsur PT ini boleh masuk ruangan. Apabila ada pelanggaran dalam ruangan tersebut, mereka juga diperbolehkan melakukan tindakan.

Namun seperti Unas tahun-tahun sebelumnya, pengawas dan pemantau sudah cukup teruji. Dari ribuan pengawas, mungkin hanya ada satu-dua oknum yang bertindak berlebihan saat bertugas. Secara umum, pengawas sudah bekerja penuh tanggung jawab, jujur, teliti dan memegang kerahasiaan. Indikasinya, jarang ada komplain dari panitia atau pihak sekolah penyelenggara ujian.

Yang patut kita renungi bersama, Unas ini sebenarnya bukan hanya menjadi momen ujian para siswa. Perang yang dihadapi para siswa sangatlah nyata. Mereka harus siap bertempur dengan soal-soal ujian yang berstandar nasional. Jika mereka memenangkan pertempuran, mereka akan lulus. Jika kalah berperang dengan sederet soal itu, mereka berpeluang untuk tidak lulus.

Tetapi kalau kita cermati lebih mendalam, Unas ternyata juga merupakan momen ujian bagi pihak sekolah penyelenggara. Kejujuran pihak sekolah akan diuji. Keikhlasan pihak sekolah menerima hasil nilai kelulusan anak didiknya secara apa adanya, juga sedang diuji. Memang, hasil Unas sering menjadi pertaruhan gengsi bagi pihak sekolah. Jika semua anak didik berhasil lulus, apalagi dengan nilai baik, pihak sekolah akan bisa berbangga. Bahkan, hasil unas yang bagus itu bisa jadi senjata pamungkas yang jitu, untuk menarik minat calon siswa pada tahun ajaran baru berikutnya.

Namun, sudah selayaknya kita semua menyadari pentingnya meraih prestasi dengan cara yang jujur. Jangan sampai, pihak sekolah menggunakan segala cara demi mencapai nilai unas yang diharapkan. Jika menggunakan segala cara yang tidak baik, tentu saja akan menciderai hakikat pendidikan. Selamat menempuh ujian, jangan sampai berlaku curang. (*)

Rela Miskin Demi Bantuan Tunai

WARGA miskin di Banyuwangi ternyata masih banyak. Pada akhir tahun 2008, Badan Pusat Statistik mencatat masih ada 129.324 kepala keluarga (KK) yang masuk kategori miskin.

Jika mereka berbaris, tentu akan sangat panjang. Kalau seandainya disediakan jalan ke arah utara mulai depan kantor pemkab di Jalan A Yani Banyuwangi, barisan orang miskin bisa mencapai tikungan Batangan di tepi hutan Baluran yang masuk wilayah Kabupaten Situbondo.

Meski jumlahnya masih sangat banyak, jumlah masyarakat miskin ini sebenarnya sudah turun drastis daripada tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, jumlah keluarga miskin tercatat sebanyak 156.719 KK. Artinya, selama setahun sudah terjadi penurunan sebanyak 27.395 KK.

Biro Pusat Statitik di Banyuwangi menyatakan, bahwa pendataan keluarga miskin tersebut sudah dilakukan dengan 18 indikator. Masyarakat dikatakan miskin kalau masuk dalam indikator yang ditetapkan. Misalnya, indikator miskin itu antara lain jenis lantai rumah tinggal yang dihuni warga. Kalau mereka tinggal di rumah yang masih berlantai tanah, otomatis mereka termasuk kategori warga miskin.

Indikator kemiskinan lainnya adalah sumber air minum yang digunakan warga. Ada juga indikator jenis atap bangunan rumah tinggal mereka. Jenis dinding rumah tinggal warga juga masuk dalam indikator untuk pendataan kemiskinan. Indikator lainnya antara lain fasilitas tempat buang air besar, dan sering-tidaknya utang untuk kebutuhan sehari-hari, juga termasuk indikator pendataan kemiskinan tersebut.

Apa pun metode serta indikator yang digunakan dalam pendataan tersebut, sejatinya tak perlu banyak diperdebatkan. Karena yang jelas, faktanya tetap menunjukkan bahwa warga miskin di Bumi Blambangan ini masih banyak.

Yang lebih penting lagi, adalah membangun mental warga miskin itu agar mau bangkit. Mereka harus punya kesadaran dari diri sendiri untuk bekerja lebih keras dan mentas dari keterpurukan ekonomi keluarganya.

Memang pada praktiknya nanti, banyak kendala yang akan dihadapi dalam perjuangan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Tetapi, yang utama adalah mental untuk mau bekerja dan mentas dari keterpurukan. Jangan sampai kemiskinan dijadikan alat untuk meraup kenikmatan sesaat.

Jangan hanya demi mendapat bantuan yang hanya dinikmati sesaat, warga yang sudah meningkat taraf hidupnya, harus mengaku tetap miskin. Kalau di rumah sudah punya TV, penghasilan tetap, banyak perhiasan, tinggal di rumah berdinding tembok permanen, berlantai keramik, dengan suplai air PDAM, jangan lagi mengaku miskin demi mengharap dapat bantuan tunai dari pemerintah. (*)

Semangat di Tengah Kehampaan

SELAMAT pada delapan wajah baru anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPRD Banyuwangi. Mereka secara resmi telah menggantikan delapan orang yang telah menyeberang ke Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

Wajah baru anggota FKB DPRD Banyuwangi adalah Syaiful Khafi, Makmullah Harun, Wahidni Maksum, Budiyanto Eko Sisila, Tohari, Untung Samudra, Sanusi Affandi dan Yuyun Saadah.

Mereka menggantikan delapan mantan kader PKB yang telah pindah ke partai lain. Yang digantikan adalah Wahyudi, Nasiroh, Khairullah Nahrowi, Muhyidin Yusuf, Maftuhin Misri, Agus Ahmadi, Syarifuddin, dan Choiri Zein.

Dalam acara pelantikan wajah baru itu, Wahyudi dan Nasiroh tetap hadir dan memberikan ucapan selamat pada penggantinya. Keduanya menyatakan, pemberhentian sebagai anggota DPRD itu merupakan risiko politik seorang politisi. Dia juga sama sekali tidak keberatan dengan recall tersebut.

Nasiroh mengaku bisa menerima penggantian dirinya sebagai anggota DPRD. Dia juga menyatakan sama sekali tidak kecewa. Bahkan, dia cukup dewasa memohon maaf kepada semua pihak jika ada kesalahan selama menjabat sebagai wakil rakyat. Dia juga berharap, para penggantinya bisa melanjutkan tugas-tugas yang belum selesai.

Sementara itu, delapan wajah baru wakil rakyat itu akan bekerja selama hampir lima bulan lamanya di gedung DPRD Banyuwangi. Ini karena mereka menjadi wakil rakyat melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW). Sehingga, masa jabatannya hanya bersifat meneruskan masa jabatan delapan orang yang telah diganti.

Jika mengacu pada pelantikan anggota DPRD hasil pemilu 2004 lalu, maka delapan wajah baru itu akan habis masa tugasnya tanggal 21 Agustus 2009 mendatang.

Sebagai orang baru, biasanya akan membawa semangat kerja baru. Tentunya, mereka diharapkan bisa memenuhi keinginan penggantinya meneruskan pekerjaan yang belum tuntas. Kita masyarakat Banyuwangi harus berpikiran positif, bahwa delapan wajah baru wakil rakyat itu pasti membawa semangat kerja yang luar biasa. Namun, bekerja dalam lembaga legislasi yang berkaitan erat dengan regulasi daerah, tentu tidak bisa dilakukan seorang diri. Tidak juga menghasilkan produk yang baik, jika dilakukan dengan kelompoknya saja. Semua harus dilakukan secara bersama-sama, bahu membahu demi kepentingan semua rakyat Banyuwangi. Kalau saja delapan orang baru itu bersemangat, bagaimana pula dengan 37 wakil rakyat lainnya. Semoga saja semuanya tidak loyo lahir batin. Semoga mereka semangat tidak hampa, karena memikirkan masa jabatannya sudah hampir habis. Semoga.(*)

Longsor Jelang Musim Kemarau

MUSIM hujan sudah hampir berlalu. Musim kemarau sudah di depan mata. Hawa panas menyengat sudah terasa di jantung Kota Gandrung.

Tetapi di wilayah Kecamatan Glenmore, hujan masih belum beranjak pergi. Belakangan ini, hujan seakan tak berhenti mengguyur dataran tersebut. Guyuran hujan itu mengakibatkan gunung di Afdeling Muktisari, Perkebunan Kalirejo, Kecamatan Glenmore longsor pada Selasa malam (31/3).

Meski tidak menimbulkan korban jiwa, puluhan tanaman produktif milik perkebunan tertimbun lumpur dan bebatuan gunung. Bukan hanya itu, seratus lebih kepala keluarga (KK) yang tinggal di sisi selatan gunung juga nyaris terisolasi. Sebab, satu-satunya jalan telah tertutup lumpur dan bebatuan.

Setidaknya ada dua titik longsor di kawasan perkebunan tersebut. Kejadian longsor di dua lokasi itu juga dalam waktu hampir bersamaan. Dua titik longsor itu juga berpotensi menutup jalan yang menghubungkan ke arah permukiman ratusan KK. Seandainya terjadi longsor lagi, warga di selatan gunung itu hampir dipastikan akan terisolasi.

Betapa menderitanya warga kawasan itu jika sampai terisolasi. Mereka akan putus hubungan dengan dunia luar. Mereka tidak bisa berobat jika ada yang sakit. Anak-anak mereka juga tidak bisa sekolah. Jika stok makanan habis, ke mana lagi mereka akan makan. Sangat ironis jika di Bumi Indonesia ini masih ada yang terisolasi, meski negeri ini sudah 63 tahun merdeka.

Agar bencana itu benar-benar tidak terjadi, sudah selayaknya kita semua melakukan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan itu dilakukan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Langkah jangka pendek bisa berupa perbaikan sarana dan prasarana jalan, serta langkah strategis lainnya. Semua itu bisa saja dilakukan oleh pemerintah setempat didukung pengelola perkebunan.

Untuk langkah antisipasi jangka panjang, perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat. Langkah ini tidak lain adalah melakukan penghijauan kembali puncak gunung yang sudah gundul. Karena setelah ditelusuri, bagian atas gunung tersebut sudah tak hijau lagi.

Hampir semua pohon berukuran besar di gunung tersebut telah habis ditebang. Bentuknya tidak lagi seperti hutan yang berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone). Kawasan itu, kini tak ubahnya seperti tanah tegalan. Jika sewaktu-waktu diguyur hujan deras, tanah di atas gunung itu akan merosot, melibas dan menimbun apa saja yang ada di bawahnya.

Kini, sudah bukan lagi masanya untuk saling menyalahkan. Semua komponen harus bergandengan tangan, bekerja sama demi masa depan. Kalau masih cinta anak cucu, ayo menanam dan menghijaukan kembali gunung itu. (*)

Daftar Belanja Layak Diwaspadai

BANYAK hal yang menarik dalam sidang kasus pengeboman ikan di perairan Batu Aking, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Fakta yang terungkap di persidangan, cukup membelalakkan mata kita semua.

Terdakwa Sugiarit, 49, menjelaskan secara detil seputar proses pembuatan bom ikan di hadapan majelis hakim. Ternyata, warga Dusun Krajan, Desa Gedung Ringan, Kecamatan Muncar itu cukup piawai membuat bahan peledak.

Untuk membuat bom ikan, ternyata ongkosnya cukup murah. Dia mengaku hanya butuh modal Rp 50 ribu untuk membuat satu unit bom ikan. Dari modal segitu, mereka bisa meraih untung hingga jutaan rupiah. Setiap bom yang diledakkan di laut, mereka bisa menghasilkan tangkapan ikan hingga 50 Kg. Jika sedang musim ikan, bom yang diledakkan bisa mencapai lima unit.

Proses pembuatan bom ikan juga tidak terlalu rumit. Bahan bakunya bisa diperoleh secara bebas, kapan saja dan di mana saja. Bahan baku bom ikan itu adalah bahan-bahan yang dijual bebas. Mulai dari minyak solar, jenis cat tertentu, pupuk jenis tertentu, sumbu, serta bahan lainnya. Semua bahan tersebut bisa diperoleh di pasar atau tempat umum.

Peralatan untuk membuat bom itu juga cukup sederhana. Meski begitu, daya ledak yang dihasilkan ternyata cukup dahsyat. Seandainya bom itu meledak di daratan, kerusakannya bisa berpotensi mematikan orang. Bahkan, jarak ledaknya hanya satu menit dari pembakaran sumbu.

Ini jelas merupakan suatu pekerjaan yang berisiko tinggi. Tidak hanya membahayakan pembuatnya. Tetapi, kegiatan tersebut juga membahayakan keselamatan para tetangga dan lingkungan sekitarnya. Sudah banyak contoh kejadian kecelakaan ledakan bom ikan yang merenggut nyawa warga kampung di Jawa Timur.

Kegiatan membuat bom ikan sudah tak bisa ditoleransi. Acungan jempol untuk aparat penegak hukum yang tak kenal kompromi memberangus pengebom ikan hingga ke akar-akarnya. Namun, merujuk terungkapnya fakta di pengadilan, aparat harus semakin waspada. Sebab ternyata, membuat bom itu mudah dan murah. Bahan bakunya bisa didapat di mana saja dan kapan saja. Karena itu, tidak ada salahnya kita semua ikut waspada, ketika ada seseorang yang punya daftar belanja yang ’mencurigakan’. (*)

Barang Bagus Tapi Belum Laku

LAPANGAN terbang (lapter) di Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi bisa dikatakan belum laku. Secara resmi, bandar udara (bandara) tersebut memang belum diresmikan. Beberapa kali dilontarkan rencana peresmian bandara, ternyata harus molor dengan berbagai alasan dan kendala.

Meski begitu, masyarakat Bumi Blambangan tak perlu larut dalam kekecewaan dalam masalah lapter ini. Pada hari Senin siang kemarin (23/3), dua pesawat Cessna mendarat mulus di lapter Blimbingsari. Pendaratan pesawat mungil seperti itu, sejatinya sudah merupakan hal biasa. Namun kali ini, ada satu misi dan pesan istimewa yang dibawa pesawat ringat bermesin propeler tersebut.

Pesawat Cessna tersebut membawa rombongan Bali International Flight Academy (BIFA), sekolah penerbangan internasional yang dimotori PT Bali Widya Dirgantara. Dua pesawat itu mampu mendarat mulus, meski bandara Blimbingsari belum dilengkapi sarana navigasi. Pendaratan tersebut hanya mengandalkan metode navigasi Airdrome Reverensi Point. Metode navigasi tersebut relatif aman untuk pendaratan pada siang hari dengan dukungan cuaca yang bagus.

Kedatangan dua pesawat itu bertujuan untuk mencoba proving fligt (pengenalan rute bandara). Pengenalan rute tersebut menindaklanjuti surat yang dilayangkan BIFA ke Departemen Perhubungan. BIFA memang berminat menggunakan lapter Blimbingsari untuk pelatihan pilot sejak 20 Maret hingga 3 April 2009 mendatang.

Bos besar BIFA, Wiradharma mengatakan, pendaratan pesawat itu berjalan dengan mulus. Landasan pacu terasa datar dan sangat bagus sebagai tempat latihan terbang. Dia juga menilai lapter Blimbingsari ideal dan memenuhi syarat untuk pelatihan pilot.

Artinya, pendaratan dan penuturan orang-orang BIFA tersebut sudah cukup menegaskan, bahwa Banyuwangi ini memiliki lapter yang bagus. Bumi Blambangan sudah punya ’barang’ bagus yang sangat layak dijual. Hal itu juga sudah terbukti dengan kuatnya minat BIFA untuk bisa menggunakan lapter Blimbingsari sebagai lokasi latihan para pilot.

Namun hingga kini, Pemkab Banyuwangi ternyata belum membuat nota kesepahaman kerja sama dengan BIFA, terkait penggunaan lapter Blimbingsari. Semoga saja, masalah nota kesepahaman itu bisa berlangsung lancar. Demikian juga dengan maskapai-masakapai penerbangan nasional, semoga mereka mau segera membuka rute penerbangan di bandara Blimbingsari.

Kalau sudah resmi digunakan, berarti lapter kita sudah laku. Ibaratnya orang berdagang, masa awal berbisnis memang perlu masa promosi. Namun di masa mendatang, bandara yang terbilang ‘barang’ bagus itu tentu akan semakin laris. Semoga. (*)